LUHU

Rumah Raja yang berdiri di atas tanah benteng

(Hari ke-18 di Seram Bagian Barat)

Saya pikir, menjejakkan kaki di negeri adat terbesar di Seram Bagian Barat adalah sesuatu yang tak boleh saya lewatkan. Luhu, negeri yang membawahi 16 dusun itu menjadi ‘buruan’ saya di pengujung residensi ini. Kenyataan bahwa Luhu adalah kampung halaman bupati yang tengah menjabat saat ini sedikit pun tidak masuk pertimbangan saya. Sebagaimana negeri-negeri lain, saya berharap mengunjungi Luhu akan memberikan kejutan demi kejutan bagi proses kreatif saya.

Saya dan Bang Reimon berangkat pukul 10 pagi menggunakan sepeda motor. Tidak seperti biasa, kami tidak membawa bekal makan siang. Celotehan Bang Reimon tentang suami atau papeda atau kasbi-bambu yang mungkin akan kami temui di sana, membuat selera makan nasi saya mendadak hilang. “Semoga kita bertemu makanan-makanan itu di jam makan siang kita ya, Bang,” harap saya bersemangat.

Berulangkali Bang Reimon mengatakan bahwa jalan ke Luhu tidak semulus jalan-jalan yang kami lalui ketika mengunjungi negeri-negeri yang lain. Saya tahu, Bang Reimon memastikan kesiapan mental saya sebab perjalanan kami sebelumnya tidak menemukan kesulitan berarti, kecuali hujan deras yang mengguyur kami sepanjang perjalanan pulang dari Kamarian beberapa hari yang lalu. Ya, informasi jalan yang buruk itu sedikit pun tidak mengolengkan niat saya untuk ke Luhu.

Saya percaya, jalur baru selalu memberikan pengalaman yang menarik ditulis, batin saya. Saya ingat, bagaimana kebosanan sempat menyambangi saya ketika kami melakukan perjalanan ke Kaibobo dan Kamarian sebab kedua negeri itu kami harus capai dengan berkendara di jalan raya yang sama dengan yang kami lalui ketika berburu hikayat Masahatu di Hualoy.

Laki-laki berkepala plontos itu benar. Baru saja kami melewati kali baru, jalanan berlubang di sana-sini sudah menyambut. Saya beberapa kali menawarkan diri untuk berjalan kali agar medan yang kurang bersahabat itu bisa Bang Reimon lalui dengan lebih lancar, namun pendamping saya itu selalu menolaknya. Berikutnya, jalan-jalan serupalah yang menemani kami sepanjang perjalanan. Memang, sesekali kami bertemu jalan mulus ketika melintasi permukiman. Tapi, yaaa sesekali. Itu pun jalurnya pendek. Selebihnya, terlebih menjelang satu jam perjalanan, kubangan lumpur, lubang besar di jalan yang membentuk telaga kecil, jalan becek yang lumayan panjang, membuat Bang Reimon mau-tidak mau harus mengiyakan permintaan saya untuk turun dan berjalan kaki.

Rombongan panen sagu

Menjelang pukul satu, kami memasuki Luhu. Pemandangan serombongan orang di tepi jalan yang baru keluar dari rimba pohon sagu menyambut kami. Beberapa dari mereka sedang menghabiskan bekal di atas pohon sagu yang tumbang. Rupanya dari pagi mereka menebang pohon-pohon sagu. Sekitar lima ratus meter di depan, sebuah pondok pembuatan sagu di tengah hutan sedang melakukan peleburan batang sagu. Tiba-tiba saya teringat cerita sejumlah orang lokal tentang Luhu.

Orang-orang Luhu percaya kalau nenek moyang mereka di negeri-negeri yang raib itu masih hidup. Alkisah, karena khawatir kedatangan para penjajah akan menggoyahkan akidah, penduduk di 99 negeri Luhu berdoa agar mereka dihilangkan saja secara kasat mata. Ya, dihilangkan secara kasat mata, bukan dimusnahkan dalam arti yang sebenarnya. Doa itu pun diijabah. Sembilan puluh delapan negeri raib! Penduduk setempat menolak menyebut fenomena itu sebagai sesuatu hal yang mistik. Menurut mereka, sebagai negeri dengan riwayat dan peradaban Islam yang kuat, hal yang susah dinalar itu bukanlah sesuatu yang layak diragukan.

“Di tepi jalan tadi rame ya, Bang?” tanya saya ketika kami memasuki permukiman.

“Yang mana?” tanyanya cepat. “Orang-orang yang baru panen sagu tadi atau pondok pembuatan sagu?”

Alhamdulillah. Saya mengurut dada. Tujuan saya bertanya memang ingin memastikan bahwa yang saya lihat tadi bukanlah orang-orang Luhu yang tidak kasat mata itu.

Permukiman di Luhu

Penataan tempat tinggal di Luhu berbeda dengan negeri-negeri lain. Daerah permukimannya dapatlah dikatakan jauh lebih padat dan lebih luas dibandingkan negeri-negeri yang sudah saya kunjungi. Sebagaimana biasa, salah satu sisi permukiman bersisisan dengan laut. Di sini, permukiman seperti terdiri dari blok-blok dengan belokan yang sangat banyak. Saya cukup pusing ketika Bang Reimon meminta saya menandai belokan tertentu sebagai penunjuk jalan pulang nanti.

Baparaja Luhu ternyata sedang berada di Ambon. Kami diarahkan istrinya bertemu dengan sekretaris baparaja, Bapak Hamid Kelmas, yang saat itu sedang menunaikan salat zuhur di Masjid Jamiek Luhu.

Masjid Jamiek itu benar-benar membuat saya penasaran. Ketika memotretnya dari berbagai sisi, saya tidak menemukan papan nama. Ya, saya perhatikan dengan saksama, masjid yang berhadap-hadapan dengan baileo Luhu ini, tidak memiliki papan nama. Ketika saya memastikan hal itu kepada Pak Hamid, dengan santainya ia menjawab, “Ya, memang begitu!”

What? Saya mengernyitkan dahi.

“Kami menyebutnya Masjid Jamiek sekadar untuk memudahkan. Tapi sebenarnya masjid ini memang tidak ada nama dan memang tidak ada yang beriniasiatif memberinya nama. Kalaupun ada, mungkin kami akan menentangnya. Kami pikir, tidak seorang pun yang bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima sehingga masjid ini harus diberinama.”

Setelah berpikir sejenak, saya kembali bertanya, “Masjid ini kapan memangnya didirikan, Pak?”

“1907.”

“1907?” Saya mengulang jawabannya dengan nada memastikan. “Ini masjid tertua …”

“Bukan!” sigap Pak Hamid membalas. Ia menunjuk halaman luas di seberang masjid. “Di sana, masjid tertua kami pernah berdiri namun sayang sekali pada tahun 1901, masjid itu terbakar. Apakah karena ketidaksengajaan atau karena ada campur tangan Belanda, kami tak tahu.” Oh, awalnya saya pikir itu adalah halaman baileo, ternyata bekas masjid. Kemudian laki-laki berkopiah itu menuju ke sebuah puing bangunan di dekat salah satu meriam. “Ini adalah pondasinya.” Saya mengangguk-angguk seraya memerhatikan seonggok beton di dekat Pak Hamid itu. Ketika saya menanyakan kapan masjid tua itu dibangun, ia hanya tersenyum lalu mengggeleng.

Kami kemudian berjalan kaki ke barat. Di sana, saya menemukan rumah-rumah tua yang masih didiami penduduk. Walaupun sebagian besar atapnya sudah diganti seng, bangunan dan tiang yang menyanggahnya tidak dapat menyembunyikan usia.

Ternyata Rumah Raja terdapat di tengah-tengah permukiman. Rumah yang tampaknya sudah mengalami pemugaran ini tidak berpenghuni. Ia hanya sebagai penanda bahwa Kerajaan Huamual dulu pernah berdiri dan berjaya di Luhu. Rumah adat itu sendiri dibangun di atas tanah benteng. Hal ini terlihat dari puing-puing benteng yang terdapat di sekitarnya. Hal itu diakui oleh Pak Efdi, laki-laki paruh baya yang rumahnya berhadapan langsung dengan Rumah Raja.

Makin teranglah kalau Rumah Raja memang didirikan di atas tanah benteng ketika saya diajak Pak Hamid berjalan sekitar 60 meter ke belakang. Di sana, saya menemukan benteng sepanjang 50 meter. Sepanjang 30 meter benteng setinggi tiga meter itu masih utuh. Sisanya, sebagaimana yang tadi saya temui, hanya puing-puing. Benteng yang didirikan Kerajaan Huamual pada tahun 1400-an itu, mengalami beberapa kali pemugaran. Pak Hamid bercerita bahwa seorang arkeolog yang pernah meneliti bangunan itu mengatakan bahwa Portugis dan Belanda sempat memugarnya ketika mengambil alih benteng itu di masa penjajahan mereka.

Keliling Luhu bersama Pak Hamid

Benteng itu sejatinya tidak semenyedihkan ketika saya datang apabila dulunya baparaja setempat tidak menyilakan warganya untuk menghancurkan benteng dan menjadikan batunya sebagai pondasi rumah. Tahun 1874 memang terjadi kebakaran hebat di daerah sekitar benteng itu. Baparaja mengambil inisiatif itu karena penduduk yang jadi korban tidak bisa menunggu lebih lama untuk memiliki tempat tinggal.

“Tapi kebakaran hebat itu tidak membuat penduduk Luhu berkubang dengan kesedihan yang berkepanjangan.” Pak Hamid menegaskan. “Mereka tetap memegang keislaman mereka dan masjid-masjid selalu penuh!”

Saya sedikit pun tidak meragukan pernyataan laki-laki berkulit putih dengan garis wajah yang tegas itu. Keberadaan sepasang meriam di kedua sisi di seberang masjid-tanpa-nama yang kami lalui tadi, sudah sangat kuat menegaskan citra Luhu sebagai negeri dengan riwayat keislaman yang kuat: Tempat publik yang paling layak dijaga dari penjajah, orang jahat dan pengaruh asing adalah masjid! Ya, keberadaan dua meriam itu menunjukkan pertahanan tak main-main pada tempat ibadah sekaligus pusat pembelajaran umat muslim itu.

Jarum pendek jam tangan saya sudah bergerak mendekati angka tiga ketika saya merasa sudah mendapatkan bahan yang cukup untuk saya tuliskan. Kondisi jalan yang tidak bersahabat tiba-tiba membayangi saya. Berada di jalan yang buruk di tengah hutan di bawah kegelapan malam bukan lelucon yang menarik untuk diceritakan. Perjalanan Hualoy-Piru pernah kami lalui di bawah kegelapan. Jalan Trans Seram yang mulus seperti kehilangan keistimewaannya ketika tidak ada penerangan, dan jalan ke Luhu ini … bukan Trans Seram yang mulus! Kami akan melalui tanah becek atau nyaris menjelma telaga. Belum lagi kalau hujan lebat menyiram kami di tengah perjalanan. Oh, tak ingin saya membayangkannya ….

Baru saja kami hendak pamit, Pak Hamid memaksa kami mampir ke rumahnya. Tentu saja kami tak mungkin menolaknya. Meskipun waktu terus berjalan, kami juga harus menghormati orang yang telah dengan baik hati memberikan informasi sekaligus menemani saya berkeliling Luhu.

Di rumahnya, istri Pak Hamid sudah menyiapkan makanan di meja dapur.
Saya baru sadar kalau kami belum makan siang. Tiba-tiba saja perut saya keroncongan. Saya membayangkan suami, kasbi-bambu, atau papeda sebagai sajian utamanya.

Ternyata tuan rumah menghidangkan nasi dengan ikan laut goreng dan sambal kacang tumbuk sebagai menu utamanya. Tidak mengubah apa pun! Lagu keroncong di petut saya sedang mengalunkan reffrain. Saya sedang lapar-laparnya! Keberadaan semangkuk rujak hutan benar-benar membetot perhatian saya. Rujak yang dibuat dari kacang tumbuk, irisan mentimun, daun kemangi, cabai rawit, dan irisan bawang merah itu memberikan sensasi pedas-asam-segar di lidah ketika dimakan dengan nasi dan ikan laut. Alhasil, saya menambah nasi dua kali, menghabiskan dua potong ikan, dan nyaris membersihkan semangkuk rujak hutan!

Bah, benar-benar hidangan penutup yang mengesankan! Jalan pulang yang buruk? Ah, nanti saja memikirkannya!*

Ambon, 29 April 2018

Comments (0)
Add Comment