Menjadi Ceruk Lebar Tanpa Dasar-dengan Saringan di Atasnya (Bagaimana Sastra Merespons Revolusi 4.0) (Esai Lingkaran Kopdar #1)

Ilustrasi oleh Tytton Sishernanto

OLEH BENNY ARNAS

Disampaikan dalam Seminar Nasional

“Pengembangan Pembelajaran Sastra, dan Budaya, pada Era Revolusi 4.0”

Diselenggarakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Prima Indonesia

Mutiara Suara Naviri Convention Hall, Medan, Rabu, 23 Januari 2019

 

Abstrak

Sudah keniscayaan bahwa, sebagai wujud sensitivitasnya dalam beradaptasi dengan situasi yang ada, karya-karya sastra mengambil latar kejadian/peristiwa atau menyerap kronik suatu zaman. Sastra melakukan hal serupa ketika Revolusi Industri bertandang. Kemudahan dan efisiensi dalam produksi dan distribusi karya sastra membaik di Era Eropa Modern (di mana Revolusi 1.0 “numpang hidup” di dalamnya) adalah konsekuensi kemajuan teknologi yang menimpa apa pun yang mungkin diindustrialisasi. Hingga Revolusi Ketiga (3.0), sastra baik-baik saja, dengan atau tanpa revolusi itu. Secara karya kreatif, sastra berhak dan bebas membuat “apa saja” seterbuka ia bisa diajak kompromi dengan perubahan dalam urusan nonkekaryaan. Sebabnya terang sekali: Revolusi Industri berjalan di jalan raya yang kerap dilalui sastra. Sastra lebih dulu ada jauh sebelum Revolusi Industri. Lagi pula, dari revolusi ke revolusi, sastra tak pernah diteropong secara substansial. Materialisme dan kapitalisme konsisten menjadi latar belakang sekaligus sasaran tembak geliat Revolusi Industri. Namun, di Revolusi 4.0 yang sedang akan kita masuki, sastra masuk dalam bingkai teropongan arus perubahan. Hal ini ditengarai oleh kemunculan “informasi” sebagai target produksi revolusinya—tentu saja tanpa harus meninggalkan produksi barang dan jasa dalam jumlah masif. Ke depan, sastra tidak cukup sekadar menjalankan “program kerja” kolaborasi dan alih wahana. Sastra membutuhkan peran aktif keluarga (orangtua). Bukan untuk merebut kemudi Zaman Serba-Internet (Internet of Things), melainkan untuk sintas sekaligus memastikan generasi hari ini dan masa depan tidak menjadi Ceruk Lebar-tanpa Dasar-tanpa Saringan di Atasnya yang dengan mudah didepak oleh artificial intelligence!

Kata kunci: sastra, revolusi industry 4.0, informasi, materialisme,internet of things,

 

 

MUSIM DINGIN TAHUN 1795, di rumah kayu yang dipagari pohon kenari—tentu saja ranting dan daunnya membeku oleh salju—di sudut kota Southampthon, dua sastrawan muda Inggris terkemuka, William Blake (1757-1827) dan Robert Burns (1759-1796), menyusun acara minum bir untuk pekan depan. “Apakah ini semacam Scriblerus Club[1]?” tanya Burns penuh kesangsian. Ia paham benar kerasnya tabiat pengarang yang kelak menjadi pemberontak Zaman Romantik itu. Rencana mengundang penulis lain untuk berkumpul itu mengingatkannya pada sebuah perkumpulan berisi para penulis dan penyair yang memprovokasi publik melalui satir, puisi, dan pamflet-pamflet politik itu. Scriblerus Club sendiri didirikan pendahulu mereka: Jonathan Swift (1667-1745), Alexander Pope (1688-1744), John Gay (1685-1732) dan Henry Fielding (1707-1754).

Pertemuan itu berhasil menghadirkan Richard Sheridan (1751-1816), William Wordsworth (1770-1850), dan Samuel Taylor Coleridge (1772-1834) yang kala itu masih berusia 23 tahun, di kediaman Burns di utara London.

Namun, malam itu skenario merevisi dirinya sendiri. Topik berat “Sastra dan Revolusi Industri” pun menguap tanpa asap dan aroma. Yang terjadi malah percakapan antarpengarang sebagaimana biasa: melipir dan melompat-loncat ke sana-kemari. Namun, sedikit pun mereka tak merasa berdosa sebab eksistensi pengarang-pengarang Inggris Raya hingga menjelang 1776 sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda menuju keruntuhan.

Geliat kehidupan sastra jelang Revolusi Industri itu seperti berpesan bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan dari penemuan mesin pemintal(an) (James Hargreaves dan Spinning Lenny, 1764) dan mesin tenun (John Kay, 1773). Di Zaman Romantik itu, selain kelima pengarang yang terlibat dalam “pertemuan-tanpa-hasil”, Inggris menyumbangkan sastrawan besar bagi peradaban, seperti William W’ordsworth (1770-1850), Samuel Taylor Coleridge (1772-1834), Lord Byron (1788-1824), Percy Bysshe Shelley (1792-1822), dan John Keats (1795-1821).

Kenyataan—yang sebenarnya masih sekadar menyebut beberapa nama itu—sedikit banyak menggambarkan bagaimana pergerakan zaman tidak menghambat kreativitas para pengarang pada masanya. Mereka sadar benar, revolusi itu memiliki papan tujuan bernama materialisme; bagaimana produksi massal dapat dilakukan, transportasi lebih efektif dan efisien, dan kota menjalankan peran elitenya sebagai penyedia lapangan pekerjaan dengan gedung mentereng sebagai sumber gengsi yang semu. Gairah keberkaryaan di era ini juga merambah ke Eropa dan belahan dunia yang lain.

Sayang sekali, sastra Asia pada masa itu mengalami kemunduran, bukan disebabkan revolusi industri, melainkan karena meluasnya penjajahan Barat di Asia(-Afrika). Keberadaan dua sastrawan dari Negeri Matahari Terbit—Fukuda Chiyo-ni (1703-1775) dengan sajak Morning Glory dan Kagawa Kageki (1768-1843) dengan kumpulan sajak Keien Isshi—dan berdirinya kantor penerbitan Bataviasche Nouvelles pada 1744 yang kemudian mencetak surat kabar modern pertama yang terbit di Hindia Belanda, menjadi penting dikemukakan, untuk menyatakan bahwa sastra terus diproduksi di Asia, dengan atau tanpa arus perubahan yang kelak diberi nama Revolusi 1.0 itu.

Kehidupan literasi abad ke-17 benar-benar mengandalkan peranan sastrawan, ilmuwan, dan cendekiawan, seperti Francis Bacon, Rene Descartes, Galileo Galilei, Nicolaus Copernicus, Isaac Newton, dan lain-lain. Dewan gereja yang semena-mena membuat kalangan ini mendukung dan terlibat penuh atas eksistensi lembaga seperti The Royal Society for Improving Natural Knowledge dan The Royal Society of England yang sudah ada sejak 1662. Indonesia zaman itu masih direncanakan untuk diembuskan ke tenggara Asia. Masih rencana.

REVOLUSI INDUSTRI KEDUA umumnya dimulai tahun 1870 hingga 1914, awal Perang Dunia I. Kemajuan pada bidang manufaktur dan teknologi produksi tampak mencolok. Tentu saja hal ini memungkinkan pengadopsian secara luas dari teknologi yang sudah ada sebelumnya seperti sistem telegraf dan jaringan kereta api, gas dan air bersih, dan sistem pembuangan limbah, yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di beberapa kota. Ekspansi kereta api dan jalur telegraf besar-besaran setelah tahun 1870 memungkinkan pergerakan orang dan ide yang belum pernah terjadi sebelumnya, memunculkan gelombang baru globalisasi. Dalam periode waktu yang sama, sistem teknologi baru diperkenalkan, yang paling signifikan adalah listrik dan telepon.

Revolusi yang kelak disebut Revolusi (Industri) 2.0 ini direspons sastra dengan cara yang relatif tidak terlalu berbeda dengan respons mereka atas revolusi pertama. Tanpa kehebohan dan kecemasan berarti. Sastra masih baik-baik saja. Bahkan, nama-nama dan karya yang muncul makin menggila.[2]

Dari Nusantara sendiri, tahun 1897 Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM), perusahaan listrik pertama di Hindia Belanda, didirikan di Weltevreden.

Namun, ada kabar yang lebih mengejutkan (untuk tidak menyebutnya: menggembirakan). Revolusi Teknologi ini menunjukkan keterbukaan sastra terhadap peluang berkolaborasi dengan musisi sekaligus merelakan dirinya untuk diekranisasi alias diadaptasi ke layar lebar, menjadi film.[3]

Revolusi Industri 2.0 berlanjut ke abad ke-20 dengan elektrifikasi awal pabrik-pabrik dan lini produksi, dan berakhir pada awal Perang Dunia I. Namun, geliat itu adalah kabar baik bagi dunia sastra, setidaknya penerbitan makin mudah, distribusi lebih luas, dan tentu saja, jangkauan pasar lebih luas. Apakah perubahan (zaman) itu akan membuat sastra kehilangan otentisitasnya—baik oleh industrialisasi yang sangat kapitalis dan materialis atau peluang kolaborasi dan alih wahana yang makin terbuka? Ah, percakapan itu, sudah angslup ke dalam mitos, menjelma hantu-hantu.

Ilustrasi oleh Tytton Sishernanto

Di kedua era ini, Indonesia di mana, sedang apa, dan mau apa, belumlah jelas adanya. Kita tak masuk orbit revolusi. Tak dihitung! Lagi pula, Kerajaan Pagaruyung (1500–1825) Kerajaan Inderapura (1500–1792), Kesultanan Demak (1475–1548), Kesultanan Aceh (1496–1903), Kesultanan Banten (1527–1813), dan Kesultanan Siak (1723–1945)—masih  sibuk dengan ideologi Islam yang diusungnya sekaligus bersilang-sengkarut dengan bangsa imprealis. Bila kita hendak mundur jauh ke belakang, kita bisa mempertanyakan: apakah pernah Barat meneropong Nusantara seserius kita merasa sibuk dan cemas ditulari istilah dan “hantu” yang bernama Revolusi Digital dan Era Serba-Internet hari ini? Tidak! Mereka berbondong-bondong mendatangi tanah kita bukan karena pesona Negarakertagama yang dikarang Empu Prapanca pada 1365 meskipun kakawin itu baru ditemukan ilmuwan Belanda, J.L.A. Brandes, pada kurun Revolusi 2.0, bukan juga karena kedidgayaan karya sastra terpanjang di dunia La Galigo yang ditulis di antara (selama [?]) abad 13-15—yang baru dunia lirik ketika ia diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, secara internasional pada/sejak tahun 2004! Mereka datang ke Nusantara, karena motif ekonomi. Materialistis dan kapitalis sekali!

Lalu, bagaimana setelah Indonesia “ada”? Bagaimana setelah tahun 1945?

TAHUN 1970 DITENGARAI waktu lahirnya Revolusi Industri 3.0. Dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi. Debut revolusi industri generasi ketiga ini ditandai dengan kemunculan  pengontrol logika terprogram (PLC) pertama, yakni modem 084-969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi (sepenuhnya) dikendalikan manusia. Dampaknya memang biaya produksi menjadi lebih murah. Pada sastra, sebagaimana juga pada produk barang lain, produksi buku dalam skala besar menjadi lebih mudah dieksekusi, dan tentu saja ini layak disebut kabar gembira.

Dalam Pidato Kebudayaan-nya di Kongres Kebudayaan 2018, Budiman Sutjatmiko menyatakan bahwa pada tahun 1977, sebuah kampus di Jakarta telah membuka pendidikan spesialisasi manajemen komputer. Lembaga tersebut didirikan untuk mendidik tenaga kerja manajerial yang mempunyai kemampuan teknis dalam bidang komputer dan komputerisasi. Alangkah pesat dan lesatnya dunia merespons perubahan, tak terkecuali Indonesia yang kala itu baru berumur 32 tahun.

Lalu, apa kabar dunia sastra, apa kabar sastra dunia? Masih baik-baik saja. Nama-nama besar pun lahir dari belahan dunia. Salman Rushdie, Haruki Murakami, Alice Munroe, J.K. Rowling, Mo Yan—sekadar menyebut beberapa nama. Sastra mulai memasuki (atau diajak masuk) media dan wahana yang lain. Dari dalam negeri, kita mengenal W.S. Rendra, Wiji Tukhul, Andrea Hirata, Helvy Tiana Rosa, Eka Kurniawan, dan lain-lain. Di era ini, sastra Indonesia seakan-akan baru dianggap bagian dari orbit dunia, orbit revolusi, dengan “dianggap dan diaminkannya” pengusulan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) untuk meraih Hadiah Nobel Kesusatraan pada 2004-2005.

PERKEMBANGAN SEBUAH KEBUDAYAAN, tak terkecuali sastra, selalu membawa konsekuensi. Salah satunya yaitu sastra mulai diajak meninggalkan bentuk-fisiknya sebagai yang mulanya adalah tulisan-tulisan yang tercetak di atas kertas. Hadirnya internet yang kemudian melahirkan website dan blog, media sosial, ebookaudiobook, dan Youtube di pengujung era perubahan yang juga dijuluki Revolusi Digital ini, walau bagi sebagian kalangan disebut akan membunuh “sastra”, justru membuat dunia kepengarangan makin meriah. Festival dan hajatan terkait sastra dan kebudayaan yang makin marak dan bertumbuh, di kota maupun di daerah, membuat sastra makin popular. Sastra pun bekerjasama dengan pergerakan zaman.

Khusus era ini, untuk mendapatkan efek intim, penulis akan menukil fenomena di dalam negeri.

Sastra makin kerap berkolaborasi dengan (media) kesenian lain. Penerbit sudah berani “keluar modal” untuk membayar ilustrator untuk menggambar sampul, ilustrasi isi, atau bahkan berkolaborasi penuh dengan menjadikannya karya duet. Dimulai pada tahun 1992, Penerbit Kompas memeloporinya lewat kumpulan cerpen Kompas yang menampilkan karya para ilustrator lintas-genre berdampingan dengan cerpen-cerpen terpilih.

Puisi-puisi Sapardi DJoko Damono (SDD) bahkan diaransmen khusus untuk proyek album puisi indie profesional oleh duo Ari Malibu (alm)-Reda Gaudiamo. Dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab pada perhelatan Asian Literary Festival 2016, SDD menyatakan bahwa kalau “Hujan Bulan Juni” dan “Aku Ingin”—dua puisinya yang sangat popular hingga hari ini—tidak akan banyak dikenal masyarakat apabila tidak dibawakan oleh duo itu untuk kemudian termaktub dalam album mereka Becoming Dew (2007).

Ilustrasi oleh Tytton Sishernanto

Di ranah teater, sekadar menyebut contoh: sejak tahun 1999, sutradara dan aktor kawakan yang bergiat di Main Teater  (Bandung), Wawan Shofwan, mulai menyutradarai dan mementaskan karya-karya sastra dan drama, di antaranya Saudagar Venesia (Shakespeare) dan Nyai Ontosoroh (Pramoedya A. Toer/Faiza Marzuki) ke berbagai daerah di Indonesia.

Dari layar lebar (dan layar kaca), ekranisasi (apabila tak ingin dikatakan “kolaborasi  sastra-film”) menunjukkan efek komersial yang menggembirakan. Ayat-Ayat Cinta yang disutradarai Hanung Bramantyo (2008), diikuti novel Habiburrahman el Shirazi yang lain—Ketika Cinta Bertasbih—yang disutradarai Chaerul Umam (2009); Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi karya Andrea Hirata yang diadaptasi dengan ciamik oleh Riri Riza ke layar lebar di bawah judul yang sama (2008-2009);  dan masih banyak produk ekranisasi yang berhasil lainnya. Hingga Revolusi Digital, industri masih menggunakan komputer untuk digitalisasi sistem dalam rangka memproduksi produk dalam skala yang masif—untuk tidak menyebutnya “tak terbatas”, termasuk sastra yang menjadi inklusif dengan menjelalah dan siap dijelajah platform atau wahana yang lain.

NAMUN, TAK DEMIKIAN dengan Revolusi (Industri) 4.0!

Istilah “Industrie 4.0” muncul sejak lama sebelum diangkat kembali di Hannover Fair tahun 2011.  Revolusi ini didesain untuk menghasilkan dunia dengan “pabrik cerdas yang supertangkas” di dalamnya—bukan sekadar pabrik produktif. Lewat Internet untuk segala (Internet of Things atau IoT), sistem siber-fisik berkomunikasi dan bekerja sama, selain dengan manusia, juga sangat dimungkinkan terjadi di antara sesama varian internet, secara bersamaan.

Di era ini, tawaran pada sastra bukan lagi sekadar kolaborasi dan alih wahana sebab tawaran itu sudah disambut dengan baik di era sebelumnya—dan tentu saja terus produktif hingga saat ini. Belakangan, sastra dituntut lebih terbuka terhadap wahana/media lain. Bukan saja untuk sekadar sintas, tapi untuk terus diendus keberadaannya—untuk kemudian digemari dan dibaca terus-menerus.

Selain website dan blog yang banyak digemari, popularitas aktivitas vlog mencapai puncaknya di era ini hingga Youtube kebanjiran pengguna. Aplikasi untuk menulis lebih mudah dengan keluaran digital pun bermunculan, dari Tumblr.co, Jotterpad, Steller, Story.co, hingga yang paling populer dan digandrungi remaja adalah wattpad. Bahkan, Google dengan Google Translate-nya, juga sudah “berani” mengalihbahasakan puisi.

Di era yang digembar-gemborkan akan menjadi serbainternet ini, sastra(wan) seharusnya dengan sadar mengambil peran, sebab Revolusi (Industri) 4.0 tidak sekadar membidik barang untuk diproduksi secara masif sebagaimana yang jadi sasaran Revolusi 1.0 dan 2.0, atau barang-jasa yang menjadi sasaran Revolusi 3.0. Revolusi 4.0 memiliki sasaran baru yang sangat potensial mengubah dunia, yaitu: informasi.

Dengan semua perkembangan dan kemajuan di atas, sastra(wan) dihadapkan pada pilihan untuk mengubah tradisi proses-kreatif, dari mengetik di “ruang kerja” menjadi nomaden dari kafe ke kafe dengan fasilitas WiFi; dari mengetik di tuts komputer ke layar datar, dari media massa ke media daring. Apakah ini sulit? Relatif. Apakah kita (baca: pengarang) pernah ada di era ini dan dapat melaluinya? Jawabannya tentu pernah, tentu ada. Bagaimana dahulu, di zaman purba kita hanya menulis di tanah, batu, daun, atau kulit hewan, akhirnya harus terbiasa dengan ujung bulu ayam yang dicelupkan ke tinta sebagai penanya, lalu muncullah temuan dengan menyatukan tinta dan alat tulis dalam benda mungil bernama pulpen pada abad ke-10.[4] Dan itu terjadi jauh sebelum Revolusi Industri pecah. Hingga kini, meski karya sastra sudah bisa ditik dengan mesin tik atau komputer atau android layar sentuh atau sejumlah aplikasi digital lainnya, apakah kita kemudian meninggalkan pena-tinta? Banyak pengarang di era 3.0 yang mengaku kalau mereka lebih nyaman menulis di laptop atau komputer, bukan di ponsel pintar atau aplikasi-aplikasi yang tersedia di dalamnya. Bahkan, Arafat Nur, pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2011, hari ini masih menulis draf novel-novelnya di atas kertas buku tulis dengan pulpen sebelum kemudian menyalinnya di laptop!

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa waktu dan pembiasaan akan membuat produk sebuah peradaban akan berterima atau digunakan masyarakat, dengan atau tanpa meninggalkan yang lama, sebagaimana pena bulu ayam yang tak bisa lagi kita temukan dan bolpoin yang hingga hari ini masih diproduksi.

SEBAGAI KONSEKUENSI REVOLUSI 4.0, ke depan (dan dimulai hari ini!), disinyalir akan lahir mesin-mesin dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) di dalamnya. Produk ini akan dilengkapi dengan teknologi informasi sebagai isiannya. Bukan tidak mungkin, kecerdasan buatan ini akan memproduksi teks dengan sistem yang telah diformat sebelumnya—dengan rumus 5W+H untuk membuat berita, menganalisis pertunjukan dengan pendekatan kesesuaian antara skrip dan capaian akting para aktor untuk menghasilkan esai, atau menulis cerita pendek atau novel hanya dengan memasukkan premis atau sinopsis ke dalam program, misalnya. Kita tidak tahu, semuanya mungkin terjadi di dunia yang kaya dengan kefanaan ini.

Pada tingkat ini, bila hendak diperlakukan secara matematis, profesi sastra(wan) berpeluang hilang ke depannya. Tapi, tunggu dulu. Sastrawan yang mana? Sastrawan (baru) yang malas dan yang menuhankan pasar sebagai landasan berkaryanya-lah yang akan punah dan angslup di atas kedangkalan. Mereka akan hilang, bukan karena tak bisa akur dengan zaman. Bukan! Mereka akan hilang karena karya-karyanya tidak memiliki kekuatan, tidak memiliki genuinity, sehingga gampang direplikasi atau dimodifikasi oleh kecerdasan buatan.

Perkara tidak mampu merespons zaman, ia bisa saja bekerja sama dengan agen atau penerbit yang menaunginya selama ini. Namun, perkara menuhankan pasar, tidak ada ampun baginya! Revolusi 4.0 tidak akan memberi ruang pada karya pabrikan, sebab robot-robot pun bisa menghasilkan tulisan yang mengombinasikan kalimat untuk sampai di konflik dan ending tertentu. Copy-paste prinsip sebuah story sangat mungkin bisa diprogram. Tapi, keaslian yang mengandalkan intuisi, sense, dan kasih-sayang, hanya manusia yang punya!

Sastra, hingga revolusi ke berapa pun, masih akan baik-baik saja. Masih akan terus ditulis, masih akan terus dibaca, yang patut diperdebatkan (atau disayangkan) adalah seberapa banyak jumlahnya. Dengan sensitivitas kemanusiaannya, Swift memprovokasi sastrawan-sastrawan di era 1.0 yang membaca karyanya untuk tidak tinggal diam dengan kesemena-menaan bangsawan dan pendeta di Inggris Raya, Lermontov rela dibuang ke Kaukasia pada era 2.0 karena popularitas karya-karya Pushkin kala itu menurutnya berbahaya bagi militansi masyarakat Rusia, dan Pram menulis Tetralogi Pulau Buru di penjara untuk mengkritik ketakadilan di rentang 3.0. Tahun dua ribu belasan ini, pengarang-pengarang (Indonesia) tidak lagi berurusan dengan perang dan pemberontakan terang-terangan. Kesastraan akan diuji oleh imunitasnya terhadap hoax dan senjata literer apa yang ia miliki untuk membungkam berita sampah, konten agama dengan framing kemanusiaan atau sebaliknya, dan sekritis apa ia memperlakukan teknologi yang di satu sisi ia gunakan untuk mengarang dan mempromosikan karyanya, tapi di sisi lain ia cemaskan efek buruknya, atau … sastra(wan) justru akan jatuh, terperosok hingga kehilangan maruahnya, karena fiksi yang ia tulis setara dengan hoax, puisi yang ia agung-agungkan bisa diproduksi mesin teks otomatis, dan esai yang ditulisnya sama nilainya dengan berita 5W+H yang tak menyajikan apa-apa selain peristiwa yang “tak bergerak”.

Lalu, apa yang tersisa untuk sastra dengan lahan yang dimakan teknologi informasi digital di mana-mana?

Kemewahan! Ya, kemewahan—untuk tidak ingin menyebutnya kelangkaan.

Dikepung oleh produk (berbasis/bermuatan) internet dengan variasi tanpa batas, sastra berpeluang menjelma sebuah kavling ladang kerontang di antara jutaan hektar ladang hijau dan berwarna-warni. Manusia (atau manusia robot) akan disertai benda ajaib ke mana-mana (hari ini kita menyebutnya ponsel pintar, entah ke depan). Manusia modern akan kuasa melakukan apa pun dengan alat itu selama sumber daya revolusioner mendukungnya. Orang bisa bekerja, berbelanja, mengontrol rumah, memerintahkan selang untuk menyiram bunga yang layu atau memprogram kulkas untuk mengeluarkan ikan segar pada setiap jam makan siang kucing-kucing kesayangan, dan sastra?[5]

Jadi, siapa yang berurusan dengan sastra?

Yang mungkin akan mengakses sastra adalah kita hari ini, generasi yang sempat hidup di Revolusi 3.0, karena perkenalan dan pergaulan kita dengan buku fisik. Namun, bagi yang tak punya kebiasaan itu ya … posisinya sama dengan Generasi Revolusi 4.0 yang tak dibekali tradisi literasi sehingga kedua kelompok ini potensial menjelma Ceruk Lebar Tanpa Dasar Tanpa Saringan yang menerima apa saja, bahkan ketika hanya sampah dan kotoran peradaban saja yang dibuang ke dalamnya. Hidup tanpa bekal literasi—apalagi sastra!—di era supercanggih, bukan hanya membuat manusia kalah bersaing dengan sesamanya, tapi juga didepak robot jauh-jauh dari kehidupan!

Bisa saja pengandaian di atas terdengar berlebihan. Namun, gambaran seperti itulah yang dikhawatirkan pelbagai kalangan, termasuk dunia sastra; bagaimana manusia hidup di tengah arus internet yang tak mengenal ruang dan waktu sehingga yang tak punya pondasi keberilmupengetahuan yang mumpuni, akan tersesat di tengah kota, asing di tengah permukiman, dan kesepian padahal diriapi kebisingan di mana-mana.

Kurikulum pendidikan bisa saja diarahkan agar aktivitas membaca subur dan berbunga di sekolah-sekolah, komunitas-komunitas literasi bisa saja terus digalakkan untuk menyelenggarakan banyak kegiatan berfaedah, namun semuanya hanya aksesori bagi kehidupan generasi revolusi ini, bagi anak-anak kita kelak, apabila, ya apabila … keluarga tidak menanamkan kecintaan pada buku (fisik) sejak mereka kecil, sejak hari ini juga!

Mengapa saya menggunakan terminologi yang sangat spesifik, sangat bendawi, dan sangat tidak digital: “Buku,” bukan ilmu pengetahuan, misalnya.

Ya, kenapa mesti buku (fisik)?! Bukankah sudah ada ebook dan audiobook yang bisa diakses dengan android atau ponsel yang terkoneksi dengan internet?

Ketika Albert Einstein mengungkapkan kalimat yang sangat popular ini—Jika kau ingin anakmu cerdas, bacakan ia cerita. Jika ingin menjadikannya genius, bacakan ia lebih banyak cerita—, sesungguhnya ia tidak main-main. Termasuk dengan pilihan kata. Einstein lebih memilih menggunakan kata “membaca” daripada “menceritakan” atau “menyampaikan” atau “mengungkapkan”. Mengapa?

Karena “membacakan (cerita)” akan menerbitkan keingintahuan atau rasa kepenasaran, tak terkecuali bagi anak-anak. Anak-anak yang dekat dengam aktivitas membaca (baca: kerap dibacakan cerita) akan menghubung-kaitkannya dengan kertas yang menerakan cerita di atasnya—entah itu cerita anak atau hikayat fabel yang mengandung nilai atau rasa sastra di dalamnya. Mereka akan tahu bahwa cerita-cerita itu berasal dari kertas, dari buku yang sering orangtuanya bacakan kepadanya. Pada titik ledak tertentu, anak-anak akan merasa tidak cukup lagi dengan sekadar menjadi pendengar. Ia adalah peniru ulung atas aktivitas atau apa pun yang beririsan dengan kebiasaan orangtuanya. Ia akan membaca sendiri, lalu membawa tokoh-tokoh dalam cerita ayah-ibunya itu ke dalam gambar-gambarnya (perhatikanlah: anak-anak selalu punya cerita atas gambar-gambarnya), lalu ia akan menuliskan cerita versinya. Untuk apa ia melakukannya? Untuk merasakan sensasi memproduksi karya-cerita, karya yang orangtuanya kerap bacakan kepadanya menjelang tidur. Anak-anak yang “dikelilingi” buku, termasuk kerap dibacakan buku, bukan hanya akan menyukai buku, tapi juga potensial menjadi pembuat buku, tak menutup kemungkinan menjadi sastrawan!

Bayangkan, kalau media-cerita yang orangtuanya gunakan untuk mengantar si anak terlelap adalalah ebook (apalagi audiobook!) dari tablet atau ponsel pintar yang sangat potensial terkoneksi dengan internet? Pada titik ledak anak merasa harus membaca sendiri cerita itu atau bahkan harus menulis sendiri cerita versinya, barang pengantar imajinasinya adalah peranti elektronik tadi. Ia butuh tablet, android, ponsel pintar! Dan ketika barang itu telah berada di tangannya, dengan waktu pembelajaran yang singkat, ia akan mahir mengoperasikannya. Makin ia tahu dan ahli dalam menggunakannya, makin besarlah peluang ia tergoda oleh aplikasi atau tawaran IoT dalam peranti teknologi cerdas itu. Apakah kita bisa menjamin ia akan bersetia dengan cerita yang ayah-ibunya bacakan atau kita yakin ia hanya akan menulis saja di layar sentuh itu sementara ia juga tahu dengan sedikit geseran dan tekanan, layar ajaib itu bisa membawanya ke mana saja, ke tempat paling gelap yang tak pernah orangtuanya bayangkan sekalipun!

Itulah, mengapa buku dan orangtua menjadi sahabat pendamping utama anak-anak untuk menjadikan mereka generasi yang tak diombang-ambing oleh barang, jasa, dan informasi, yang bersilintasan di dalam hidupnya tanpa permisi dan aba-aba. Kedekatan mereka pada buku, pada sastra, akan membentuk mereka menjadi Ceruk Lebar Tanpa Dasar dengan Saringan di Atasnya. Dan yang bisa memastikan itu terlebih dahulu, bukan idolanya, bukan teman-temannya, bukan pula informasi yang mendekatinya bertubi-tubi, melainkan orang terdekatnya: orangtuanya!

Maka, selain usaha mendekatkan anak-anak dengan buku dan sastra, para orangtua sebaiknya  merevisi doa yang kerap mereka ajukan bakda salat—Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak-anak yang saleh dan saliha—menjadi Ya Allah, jadikanlah kami orangtua yang saleh dan saliha. Mengapa? Mereka tidak akan jadi anak-anak yang saleh dan saliha apabila orangtuanya tidak saleh dan saliha. Mereka tidak akan menjadi generasi yang memiliki cinta dan kasih, apabila orangtuanya sibuk mengumbar kemarahan di rumah. Mereka hanya akan menjadikan buku sebagai tameng ponsel pintar yang ia mainkan apabila orangtuanya sibuk mengeluarkan perintah membaca buku sementara mereka sendiri sibuk dan asyik dengan gawai setiap saat.

Sampai di sini, sedikit terenyaklah saya dengan apa yang saya tulis sendiri. Baru dapatlah saya gambaran, mengapa era serbainternet ini harus direspons sedemikian rupa, dengan seminar ini-itu, dengan kecemasan begini dan begitu …. Sekali lagi, dunia sastra akan tetap baik-baik saja. Dari revolusi 1.0 hingga hari ini pun, sedikit pun ia tak terjerembab, hanya goyah sesekali. Kita dan anak-anak, mungkin lain lagi ceritanya.***

Lubuklinggau,  10-18 Januari 2019

 

  

Daftar Pustaka

Adhim,Mohammad Fauzil (2015). Membuat Anak Gila Membaca. Yogyakarta: Pro U Media.

Adisusilo, Sutarjo (2016). Revolusi Eropa Menjadi Modern. Theotraphi: Yogyakarta.

Bartodziej, Christoph Jan (2016). The Concept Industry 4.0 – An Empirical Analysis of Technologies. Wiesbaden: Springer Nature.

Bentman, Raymond (2014). Satiric Stucture and Tone in the Conclusion of Gulliver’s Travels. Newyork: Studies in English Literature, 1500-1900, Vol. 11, No. 3.

Berger, Arthur Asa (2010). Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara wacana.

Brown, Alison (2009). Sejarah Renaisans di Eropa. Yogyakarta: LKTM Kreasi Wacana.

Budiman, Maneke (2005). Sastra dan Industri Budaya Popular dalam Pasar Budaya Indonesia. Majalah Pusat No. 9. Jakarta: Pusat Bahasa.

Damono, Sapardi Djoko (2012).  Alih Wahana. Jakarta: Editum.

Djaja, Wahyudi (2012). Sejarah Eropa. Yogyakarta: Ombak.

Hastiadi, Fithra Faisal (2018). Revolusi Industri 4.0. Jakarta: Youtube MITV UI – Makara Internet TV Universitas Indonesia.

Isaacson, Walter (2008). Einstein; Kehidupan dan Pengaruhnya bagi Dunia. Yogyakarta; Bentang.

Larsen, Win. P (2000). Europhe 17th Century – Literature & Culture, A Paper. London: Academia.

Majelis Pendidikan, Dewan Pendidikan Tinggi (2017). Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Moses, Ferdinandus (2005). Alih Wahana sastra dalam Pengaruh Khalayak Sastra. Majalah Pusat No. 9. Jakarta: Pusat Bahasa.

Pratisti, Aliyuna (2017). Satir Genius Swift dan Perjalanan Gulliver. Antimateri.com (https://antimateri.com/satir-jenius-swift-dan-perjalanan-gulliver/)

Pettinger, Tejvan (2012). Biography of Johannes Gutenberg. www.biographyonline.net. London: Oxford, UK.

Sampaolo, Marco (2017).  The Victorian Web – “Martinus Scriblerus”—an annotation to Thomas Carlyle’s “Signs of the Times”. London:  British Literary Club

Ricklefs, M.C (1993). A History of Modern Indonesia Since c.1300, second edition. London: MacMillan

Soedarsono, R.M. (2003). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Depdikbud.

Sutjatmiko, Budiman (2018). Indonesia 4.0: Berguru pada Alam Terkembang. Pidato Kebudayaan Kongres Kebudayaan 2018. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

The Writers (1998). How Does A Ballpoint Pen Work?. Atlanta: www.howstuffworks.com.

Toer, Koesalah Soebagyo (2016). Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Vlekke, Bernard H.M. (2008). Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

 

Biodata penulis:

BENNY ARNAS lahir di Lubuklinggau, 8 Mei 1983. Menulis 21 buku tunggal, fiksi dan nonfiksi. Sejumlah penghargaan yang diraihnya antara lain Krakatau Award (2009 dan 2010), Penulis Fiksi Terbaik Kemenparekraf (2012), Penulis Cerpen Terpuji Forum Lingkar Pena (2013), Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (2016). Ia menjalani residensi kebudayaan di Abu Dhabi (2015), Australia dan Selandia Baru (2016), Bengkulu Tengah (2017), Pulau Seram (2018), Eropa dan Maroko (2019). Sejak 2012 ia berkhidmat di lembaga kebudayaan yang ia dirikan: bennyinstitute. Sejak 2017 ia menutup perpustakaan pribadinya dan merelakan semua koleksinya dinikmati publik melalui perpustakaan lembaganya. Kontak: +6281373534051. Website: www.bennyinstitute.com.

 

Footnote:

[1] Karya agung Jonathan Swift, Gulliver’s Travels (1724), adalah bagian dari siasat Scriblerus Club untuk memancing “suara bawah tanah” pada Era Rasionalisme. Mulanya pemerintahan Inggris tak melihat karya Swift itu berbahaya. Alasannya sederhana. Para petinggi tak memosisikan diri sebagai pembaca yang bebas. Menjadi pengamat-dalam-format-selalu-curiga ternyata berpeluang menjadikan mereka abai pada pesan-pesan penting di bawah teks (subtext). Pembaca (kritis) kala itu justru melihat perjalanan Gulliver ke berbagai tempat dalam novelnya justru sangat kaya kritik sosial, yang bukan saja ditujukan pada kebiasaan korup dan semena-semena dalam pemerintahan, tapi juga pada fenomena gegar-budaya yang melahirkan manusia-manusia keranjingan teknologi dan ilmu pengetahuan yang fana. Meskipun selintas lalu, poin terakhir (gegar-budaya) tidak cukup kontekstual, sebenarnya Swift sedang membaca zaman ke depan, yang kemudian benar-benar terjadi: Revolusi Industri dengan subtext—menggila-gilai segala ilmu yang berafiliasi dengan materialisme—pun pecah setengah abad kemudian. Sebenarnya, “ramalan” Swift mulai menunjukkan belang wujudnya ketika John Kay menghebohkan Inggris dengan kumparan terbang (flying shuttle), yang membuat proses pemintalan dapat berjalan secara cepat, yang ia ciptakan pada 1733. (Disarikan dari Satiric Stucture and Tone in the Conclusion of Gulliver’s Travels [Raymond Bentman, Studies in English Literature—1500-1900, 2014] dan Satir Genius Swift dan Perjalanan Gulliver [Aliyuna Pratisti, Antimateri.com (https://antimateri.com/satir-jenius-swift-dan-perjalanan-gulliver/, 2017])

[2] Pada periode ini, Inggris yang lagi-lagi menjadi titik luncur revolusi yang dijuluki Revolusi Teknologi ini, kembali melahirkan nama-nama besar di dunia sastra. W.M. Thackeray (1811-1863), Thomas Hardy (1840- 1928), Emily Bronte (1818-1848), George Eliot (1819-1880), Samuel Butler (1835-1902), Robert Louis Stevenson (1850-1936), dan Rudyard Kipling (1865-1936). Thackeray menganalisis tabiat manusia dalam The Egoist dan Cobaan Richard Feverel. Emily Bronte mewariskan satu novel yang terkenal, yaitu Wuthering Heights. Nama-nama lain seperti Eliot, Butler, Stevenson dan Kipling juga tak ingin kalah memperkarya khazanah sastra Inggris Raya dan Eropa. Perancis menyumbang nama Arthur Rimbaud (1854-1891), Paul Verlaine (1844-1896), dan Stephane Mallarme (1842-1898). Karya mereka sangat mempengaruhi perkembangan puisi dunia tahun 1900-an. Selain itu, pada abad ke-19, negara ini juga menyumbangkan karya novel besar untuk dunia: George Sand (1804-1876) menulis Indiana dan Leila; Victor Hugo (1802-1885) menulis puisi, drama dan novel seperti Les Miserables; Stendahl (1783- 1842) dengan karya penting seperti The Charterhouse of Parma; Emile Zola (1840-1902) menulis banyak novel naturalisme yang menunjukkan sisi gelap kehidupan antara lain Nana, Germinal, L ‘Assommoir, dan La Debacle; dan akhirnya Guy de Maupassant (1850-1893) menulis ratusan cerita pendek tentang petani Normandia. Sejak tahun 1800-an sastra Amerika mulai menarik perhatian dunia dengan munculnya sejumlah penulis novel, cerpen dan penyair. Washington Irving (1783-1859) menulis cerita pendek seperti Rip van Winkle dan The Legend of Sleepy Hollow. James Fenimore Cooper (1789-1851) dikenal dengan sejumlah novel kehidupan Orang Indian, Suku Mohawk Tumpas, The Prairie, Sang Pemandu, dan Pembunuh Rusa. Di era ini, Amerika memang menggila! Herman Melville (1819-1891) dikenal dunia lewat novel utamanya Moby Dick yang mengupas sisi hitam hati manusia. Henry James (1843-1916) mewariskan novel yang mempelajari hubungan psikologi manusia dengan lingkungannya dalam Daisy Miller dan The Ambassadors. Dalam bidang puisi, munculnya Edgar Allan Poe yang telah kenyang bereksplorasi di ranah prosa horor, Ralph Walde Emerson (1803-1882), Henry Wadsworth Longfellow (1807-1882), yang dikenal dengan puisi panjangnya Evangeline, Kisah Acadie dan Lagu Hiawatha. Sementara itu Emily Dickenson (1830-1886) dikenal sangat individual dan revolusioner dalam sajak yang ekliptikal dan provokatif, seperti halnya Melville yang baru diakui kebesarannya selang puluhan tahun setelah ia meninggal, dan terakhir: Walt Whitman (1819-1892) yang terkenal dengan puisi Daun-daun Rumputan dan Nyanyian Diri. Menjelang tahun 1840-an, sastra Rusia beralih ke realisme dengan tokoh pertamanya Iwan Turgenev (1818-1883), penulis besar “westernis” dengan pemahaman yang mendalam terhadap masyarakat dan bangsanya. Simpatinya kepada kaum petani-budak dituangkan dalam skets-skets seorang olahragawan. Novel Rudin mengisahkan frustrasi seorang nihilis Rusia. Turgenev juga menggemari tema cinta muda seperti yang dituangkan dalam novel Cinta Petama, Asya, dan drama Sebulan di Kampung.  Realisme Rusia mencapai puncaknya pada karya Leo Tolstoi (1838-1910), Fyodor Dostoyevsky (1821- 1881), Anton Chekov (1860-1904) dan Maxim Gorki (1868-1936). Tolstoi mengupas makna cinta, kepahlawanan, rumah tangga dan konflik moral dalam novel War and Peace, Anna Karenina, The Death of  Ivan Illich, dan sejumlah cerpen serta dongeng. Dostoyevsky menekankan studi kepribadian serta makna kejahatan dan kebaikan dalam diri manusia yang dituangkan dalam novel Kejahatan dan Hukuman, Karamazov Bersaudara, Si Idiot, Rumah Mati di Siberia, dll. Chekov adalah kampiun seni dan cerpen Rusia yang juga menulis beberapa drama masyhur seperti Kebun Ceri, Paman Vanya, Tiga Saudara, dll. Dan Wladimir Korolenko (1853-1921) menulis novel Impian Makar dan Pemusik Buta, juga cerpen bernada optimistik. Dari Norwegia, peraih nobel sastra Bjornstjerne Bjornson (1832-1910), penyair dan novelis, menulis Kebangkrutan, Sigurd Slembe, Di Balik Kekuatan Manusia. Mihail Eminiscu (1850-1889) ‘mewakili’ penyair dan novelis romantik Rumania yang bernada pesimistik. Knut Hamsun (1859-1952), novelis, penyair, dan dramawan yang juga peraih nobel sastra asal Norwegia, menunjukkan kemuakannya pada materialisme dengan bukunya Pertumbuhan Bumi.  Dari Spanyol, Benito Perez Galdos (1834-1920), novelis, penulis drama, penganut realisme, dan penyebar ide liberalisme, menulis 80 novel, 24 drama, antara lain Gloria dan Misericordia, dan agak ke tengah, Henryk Sienkiewicz (1846-1916), novelis sejarah Polandia, terkenal dengan buku Quo Vadis dan Dengan Api dan Pedang. (Disarikan dari berbagai sumber)

[3] Musisi Jerman, Franz Schubert (1797-1828), sudah membuat komposisi musik vokal berdasarkan syair-syair gubahan pujangga-pujangga besar Eropa di zaman itu (yang masih dalam rentang Revolusi Teknologi, pen.). (Alih Wahana Sastra dalam Pengaruh Khalayak Sastra, Ferdinandus Moses, Majalah Pusat No.9, 2015).

Di kurun ini, karya-karya Pushkin—Evgeny Onegin, Pique Dame, Boris Godunof digubah ke dalam musik oleh komponis Tchaikowsky dan Moussorgsky. Tibbes & Welsh (2005) menulis, di Amerika, sutradara Edwin S. Porter dan D. W. Griffith, secara berturut-turut telah mengekranisasi novel Uncle Tom’s Cabin (1903) karya Harriet Beecher Stowe dan The Pit (1909) karya Frank Norris. Adapun di Perancis, Georges Méliès mengekranasi novel karya Jules Verne, From the Earth to the Moon (1865) dan novel karya H. G. Wells, The First Men in the Moon (1901) dengan judul A Trip to the Moon (1902) untuk versi layar lebarnya. Sejak 1908-1913, perusahaan film Le Film d’Art Studios di Prancis juga rutin memproduksi film layar lebar dari beberapa versi karya sastra milik Dickens, Goethe, Bulwer-Lyon, Dumas, dan Balzac. Fenomena serupa juga terjadi di Inggris, sutradara Cecil Hepworth dan Percy Stow membuat versi 16-scene film Alice in Wonderland (1903) dari buku cerita anak-anak berjudul Alice’s Adventures in Wonderland karya Lewis Carroll. Hal itu juga terjadi di Denmark, dengan munculnya sebuah film horor berjudul Dr. Jekyll and Mr. Hyde (1909), hasil ekranisasi novel The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde (1886) karya Robert Louis Stevenson. Selanjutnya dari tahun ke tahun karya ekranisasi semakin meningkat jumlahnya. (Disarikan dari berbagai sumber)

[4] Catatan tertulis tertua mengenai pena yang dilengkapi kantong tinta berasal dari abad ke-10 M. Pada 953, khalifah Ma’ād al-Mu’izz dari Mesir menginginkan pena yang tidak mengotori tangan dan bajunya dengan tinta. Ia diberi pena yang dilengkapi penyimpanan tinta, dan tintanya mengalir ke mata pena dengan bantuan kapilaritas dan gravitasi. Seperti dicatat oleh kadi al-Nu’man al-Tamimi (974) dalam Kitdb al-Majalis wa’l-musayardt, al-Mu’izz yang memimpin proyek pembuatan pena memberi instruksi: Kami ingin membuat pena yang bisa dipakai menulis tanpa harus bolak-balik menceluplan pena ke tempat tinta, dan pena tersebut harus dilengkapi kantong tinta di dalamnya. Pemilik pena dapat meletakkannya di lengan baju atau di mana saja ia ingini tanpa terkena noda tinta atau tinta bocor dari pena. Tinta hanya mengalir kalau pemilik memakainya untuk menulis. Sepengetahuan kami belum ada orang yang pernah membuat (pena seperti ini), dan sebagai “bahan perenungan” bagi siapa saja yang menyadari kegunaan dan pentingnya pena seperti ini. (How Does A Ballpoint Pen Work?,  www.howstuffworks.com, 1998)

[5] Dalam enam seri video Youtube tentang Revolusi 4.0, Dr. Fithra Faisal Hastiadi mengungkapkan fenomena di Siliconn Valley (Kawasan selatan dari San Francisco Bay Area, California Amerika Serikat, yang dihuni banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang komputer dan semikonduktor, seperti Adobe Systems, Apple Computer, Cisco Systems, eBay, Google, Hewlett-Packard, Intel, dan Yahoo!) bahwa kulkas sudah bisa memesan sendiri makanan ke Amazon.com untuk kemudian dikirimkan menggunakan drone beberapa menit kemudian. (Revolusi Industri 4.0, Fithra Faisal Hastiadi, Enam Seri Video Youtube MITV UI – Makara Internet TV Universitas Indonesia).

 

*Esai pemantik diskusi di atas kemungkinan besar akan direvisi sesuai bentuk terbaiknya ketika akan dibukukan dalam Bunga Rampai Esai Lingkaran kelak.

Comments (0)
Add Comment