MENULIS DENGAN GEMBIRA

—Perihal Mengetik di Gawai dan Deadline

BENNY ARNAS

Dua tahun ini saya mengetik draf buku-buku saya di gawai. Saya merasakan efektivitas, sebab saya bisa mengetik di mana dan kapan saja. Membawa laptop, karena ukuran dan beratnya, menurut saya tak relevan lagi untuk penulis yang mobilitasnya tinggi dan tak selalu bisa membuka-mencharger laptopnya di mana pun. Ah, repot. Makin ke sini, menulis di gawai saya jadikan solusi untuk menghadapi deadline. Sampai akhirnya, saya sadar, kalau saya telah ditipu oleh ilusi kepraktisan. Alih-alih santai dan menyenangkan, menulis di gawai membuat saya makin tertekan dan kelimpungan. Pelan tapi pasti, tulisan saya pun seperti jauh dari kedalaman. Ah, saya tetiba malu ketika ada orang yang menyebut saya sastrawan.

Tapi semuanya tak segamblang dan segampang itu. Supaya tak salah paham, sila baca sari pengalaman saya ini. Ingat, ini pengalaman saya ya, bukan hasil riset yang katanya bisa diberlakukan kepada khalayak. Kali aja, ada yang sebangun pengalamannya dengan saya, sehingga tulisan ini menemukan kegunaannya.

Sila.

***

Saya pikir, apa pun pekerjaannya, selama kita disiplin, deadline takkan datang, takkan mendekat. Tapi, sebagai sapiens yang mendesain dirinya dengan banyak kecakapan, pikiran, dan kemauan, kita selalu bisa merasa bisa merampungkan banyak hal sebelum tenggat, meskipun kenyataannya selalu saja … tamu tak diharapkan itu selalu mengetuk pintu. Ya, banyak situasi yang membuat kita tak bisa melarikan diri darinya.

Dalam urusan mengarang, tak jarang menyamakan arti dateline (tenggat) dan deadline (ujung-tenggat). Oh ya, Ivan Lanin dalam salah satu cuitannya di Twitter mengatakan deadline itu padanan bahasa Indonesianya adalah “tenggat”, bukan “ujung-tenggat”. Boleh dong nggak manut ama Om Ivan untuk hal ini😊

Tapi bukan hal di atas yang jadi poin tulisan ini. Bukan paragraf pertama, apa lagi yang kedua. Mereka hanya “pengantar”.

Saya sekadar ingin berbagi pengalaman menghadapi ujung-tenggat atawa deadline. Ya, ini pengalaman pribadi, bukan merupakan sari dari sejumlah trik mengarang (itu gampang?!) yang saat ini dengan mudah ditemukan di mana-mana. Ah, lagipula, hanya satu-dua buku How To tentang kepenulisan yang saya baca, itu pun tak pernah tamat! Ah, apa yang tidak ditulis-terbitkan oleh—orang-orang yang hidup—/di zaman semua bisa punya buku dengan sedikit uang ini, meskipun yang baca bukunya yaaa dia sendiri.

Bulan November adalah tenggat (dateline) saya dalam menggarap novel berlatar Jeddah. Menurut kerangka novel yang saya buat, sedikitnya saya harus menulis 25 bab agar kisahnya tuntas. Tanggal 3 November pun saya pilih sebagai permulaan karena dua hari pertama di bulan itu saya disibukkan mengisi materi kepenulisan di luar kota. Tentu saja saya memulainya dari bab pertama, lalu kedua, dan seterusnya dan seterusnya. Saya memilih menulis babnya secara berurutan, begitulah aturan umum cum aturan yang saya terapkan pada diri sendiri. Kalaupun ada yang meminta saya menulis bab secara acak, saya pasti bergeming karena si penyaran pasti bukan penulis atau si penyaran adalah psikopat yang ingin menyaksikan migrain atau roh halus menyerang saya diam-diam.

Saya targetkan, tiap hari, minimal satu bab saya tik. Karena saya berangkat dari seorang cerpenis (koran?), sepuluh ribu karakter tanpa spasi adalah panjang standar tiap bab. Karena saya mengetik di ponsel—sebagaimana saya menulis “Bercerita dari Piru” dan “Hayya”, saya tak bisa mengetahui telah seberapa panjang (atau pendek) saya menulis. Ya, saya mengetik di aplikasi Note yanh hanya menyediakan saya kertas kosong tanpa kelengkapan apa pun. Seorang rekan pernah menyarankan saya untuk menggunakan aplikasi lain yang menurutnya lebih lengkap dan sesuai untuk profil seorang penulis, tentu saja salah satunya karena pengguna bisa melihat jumlah kata atau karakter yang telah dia tulis, tapi sampai sekarang saya belum mengunduhnya. Saya tuh orangnya memang begini, kalau sudah nyaman, susah pindah hati, setianya sampai matiiiii #eaaa.

Kembali ke laptop!

Tapi, lagi-lagi, bukan tentang aplikasi menulis di gawai itu yang ingin saya kemukakan di sini. Saya pikir, sebagian besar penulis mungkin sudah tahu tentang itu. Saya ingin menceritakan bagaimana proses kreatif menulis di gawai yang saya terapkan, yang alih-alih memudahkan, tapi malah melelahkan, dan menghabiskan hampir semua waktu saya.

Sepengalaman saya, mengetik di ponsel itu akan menghadapkan kita pada beberapa keadaan berikut:

Pertama, tekanan ujung jari kita harus presisi pada tuts keyboard digital. Melenceng sedikit, tentu saja akan typo. Meskipun dalam proses menulis ini hal lumrah, sebab penyuntingan akan membereskannya, tapi kalau typo itu membuat kita tak mampu mengenali bentuk kata dasarnya, tentu kita tak bisa berkompromi dengan ini. Oleh karena itu memilih ukuran gawai itu menjadi penting. Artinya kalau gawai yang sekarang digunakan ukurannya membuatmu tak nyaman mengetik lama, entah karena terlalu besar atau terlalu kecil, kamu harus beli gawai baru yang juga punya desain keyboard digital yang cocok dengan ujung jarimu. Kalau kamu gak punya cukup uang, apalagi untuk spesifikasi itu, yaaa jangan baper. Beradaptasilah dengan gawai lamamu. Kalau gagal lagi? Kembali ke laptopmulah. Gak juga punya laptop? No comment-lah, takut dosa, soalnya.

Kedua, kalau gawai yang digunakan itu adalah gawai yang juga kamu gunakan untuk bermedia sosial atau ada paket data di dalamnya, berhati-hatilah. Inilah yang paling sering membuat urusan mengetik di gawai menjadi lambat, terhambat, atau tak menghasilkan apa pun, selain waktu yang terbuang—lalu menangis merutuki media sosial yang gemar menggodamu. Ya, notifikasi demi notifikasi medsos susah sekali kamu abaikan. Tapi, ‘kan, kita bisa mengatur si gawai dalam mode pesawat sehingga, jangankan notifikasi medsos, telepon pun takkan bisa masuk. Oh ya? Yakin kamu bisa istiqomah untuk tidak menonaktifkan internetmu? Pengalaman saya, setan yang terkutuk gemar sekali membisiki beragam bentuk godaan. Kamu gak buka medsos kok, buka Google aja, kamu perlu riset cepat untuk menemukan, mencocokkan, atau menguatkan data-data dalam novelmu, so birukan saja paket datamu! Asu! Saya yakin, salah satu kualifikasi yang harus setan miliki sebelum dilepas menggoda manusia adalah memiliki sertifikat atau paling tidak surat keterangan bahwa doi lulus mata kuliah retorika dengan nilai bagus. Kamu bisa bilang kalau saya aja yang gak kuat imannya. Begitu, ‘kan? Aku selalu salah kok.

Yang ketiga, mengetik di gawai relatif mudah lelah. Hal ini disebabkan karena daya tahan kita hanya mengandalkan kekuatan jemari dan mata yang melek terus. Sementara itu, mengetik di gawai memungkinkan kita untuk berada dalam berbagai posisi yang menurut kita paling nyaman. Lalu, adakah yang lebih nyaman main hape selain sambil tiduran dan selonjoran? Di sini, setan tak perlu retorika, ia cukup ngakak dari jauh menyaksikan sepoi angin membuatmu nguap sebelum menyerah tanpa syarat.

Keempat: ilusi citra penulis masa kini. Penulis yang menulis di gawai potensial jatuh pada ilusi di atas. Ia mungkin akan “berteriak”: Orang awam akan melihat saya sibuk main hape seharian, padahal saya sedang menulis, sedang berkarya! Ah yang bener? Pengalaman saya, hanya 10% waktu bergawai yang benar-benar saya gunakan untuk mengetik tulisan, itu pun dengan sebaran yang serampangan, misal 2% pagi, 3% jelang zuhur, 2% bakda zuhur, 1% bakda ashar, 2% bakda isya. Itu pun sekadar mengejar tenggat panjang tulisan. Itu pun dengan membiarkan diri menjadi korban Intenet di 90% waktu bergawainya. Oh, alangkah mengenaskannya.

Kelima, jangan coba-coba menyunting tulisan di gawai. Kalau sekadar membereskan typo, mungkin gawai masih bisa dipakai, tapi kalau hal yang lebih besar seperti plot, logika, dan pendalaman data, pengalaman mengajarkan kalau saya membutuhkan tampilan layar lebih besar: layar komputer atau laptop. Sifat menyunting yang berorientasi kesempurnaan dan kedalaman susah bersesuaian dengan gawai dengan citra (catet: citra!) kepraktisan yang melekat padanya.

***

Hingga tanggal 22 November 2019 saya masih mengetik di gawai dengan semua ujian di atas, yang membuat aktivitas mengetik saya, alih-alih santai dan menyenangkan, tapi dipenuhi suasana buru-buru dan ketegangan karena khawatir saya baru menulis sedikit sekali. Perasaan itu muncul karena rasa bersalah sudah mengetik nyambi medsosan, googlean, whatsappan, atau teleponan, sepanjang hari.

Ahad, 24 November, saya menyadari semuanya. Kesia-siaan yang saya pilih. Fatamorgana teknologi yang telah melenakan saya. Kuantitas yang menjadi tujuan sebab kedalaman teks mustahil lahir di tengah-tengah keriuhan.

Hari itu, saya tak ingin mengetik dan tak ingin pula merutuk berkepanjangan. Saya sudah menyusun daftar kegiatan yang mengggembirakan sedari pagi. Diawali sarapan di luar bersama keluarga, menjenguk fasilitator Bennyinstitute yang baru saja dikaruniai anak pertama, mengikuti diskusi di Majelis Lingkaran, salat Magrib di rumah orangtua, dan bersilaturahim ke kediaman salah satu guru favorit saya semasa SMP. Bakda Isya, saya masih bisa bertemu dengan anak-anak, membacakan mereka sebuah cerita rakyat dari Argentina tentang rubah yang malang, sebelum kemudian saya pun terlelap dengan sendirinya.

Senin, 25 November 2019, saya sudah akan mulai bekerja lagi. Menulis lagi. Tapi saya tak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan yang lalu. Ketika istri meminta saya mengantar sekaligus menungguinya di sekolah sampai waktu pulang tiba, saya iyakan saja. Saya malah melihatnya sebagai keberkahan. Sekolah istri saya terletak di desa yang menjorok ke dalam, jauh dari jalan raya, dan tak terjangkau keramaian. Jangankan internet, sinyal untuk menelepon saja kembang-kempis. Saya memutuskan hanya membawa sebuah buku dan laptop dengan charger-nya. Hape? Ngendon di rumah dulu.

Setiba di sekolah, seperti biasa, seperti hendak menunjukkan otoritasnya sebagai kepala perpustakaan sekolah, ia menyilakan saya memanfaatkan sudut mana pun dari ruangan 3×4 meter itu untuk saya menulis, menulis di laptop. Namun saya tak segera membuka laptop. Saya duduk di kursi panjang di luar ruangan itu, memandang lapangan sekolah yang dipenuhi rumput yang sudah meninggi dengan latar rerimbunan pohon karet di kejauhan. Tak lama kemudian, saya bercengkerama dengan para guru. Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, kepala sekolah menghampiri saya. Meminta saya bercerita banyak tentang Pakistan yang baru saja kunjungi. Saya memenuhi permintaannya asalkan obrolan kami ditemani kopi yang dibuat dengan air yang masih mendidih, bukan dari termos. Tos! Obrolan kami pun melipar-lipir ke sana-kemari. Tak jarang, candaan dan tawa menyelinginya. Satu jam kemudian, sekolah tampaknya akan mengadakan rapat. Oke, saya sudah dapat semua. Kegembiraan dan ketaktergesa-gesaan.

Saya masuk ke perpustakaan dan membuka laptop. Tanpa gawai, tanpa intenet. Saya mengetik dengan lepas, dengan gembira. Pukul setengah satu, bersamaan dengan bel pulang berdentang dan rapat guru selesai, lebih 14 ribu karakter telah saya tik. Bab paling panjang yang saya buat untuk novel baru ini.

Seharian itu, saya bisa memperlakukan gawai, bukan diperlakukan gawai. Seharian itu, saya bisa menjalani hari tanpa ketegangan yang memburu saya ke sana-kemari.

Malam harinya, bakda magrib saya izin keluar. Saya menyebut tempat saya membuka laptop. Ya, saya hanya memasukkan sebuah buku, dompet, dan laptop yang penuh daya, untuk dibawa ke sana. Saya tak membawa gawai. Tidak. Untuk membatasi diri agar tak lupa waktu, saya juga tak membawa charger. Kalau baterainya laptopnya mau habis, artinya saya harus pulang. Jadilah kemarin, keberkahan itu melimpahi saya. Dua bab novel dalam sehari.

Tenggat masih lima hari lagi, 20 bab tertuntaskan sudah. Apakah saya berada di ujung-tenggat atau deadline? Anda simpulkan sendiri. Apakah setelah 25 bab rampung, novelnya siap terbit, ya nggaklah. Masih ada penyuntingan yang akan menguras banyak waktu dalam keadaan gembira. Ya, saya memperlakukn kegiatan menyunting sebagaimana menghiasai bolu spons untuk kemudian menghadiahi diri saya dengan blackforest sebagai karyanya.

Menulis = membuat bolu spons
Menyunting = menghias bolu spons
Karya = blackforest

Jadi, bagaimana bisa, kamu membuat bolu sambil menghiasnya?

Singkat kata, saya biasa membuat tenggat yang berbeda untuk menulis dan menyunting. Menggabungkan tenggat keduanya tentu saja mungkin, tapi tentu dengan durasinya akan ditambah. Mengetik di gawai adalah untuk kepentingan menulis saja. Memastikan diri
kita berada dalam suasana gembira, tak terburu-buru, dan jauh dari hiruk-pikuk internet adalah salah satu jalan yang saya teroka untuk terus berkarya di zaman yang cepat ini.

Wallahu’alam.

Lubuklinggau, 26 November 2019

NB: Tulisan ini adalah sekuel atas “Membaca dengan Gembira

Comments (0)
Add Comment