Nufa

Nufa

Tugas Kelas Menulis Daring FLP Jambi

Mulut ini masih asyik melahap goreng tempe tatkala terdengar ada suara langkah mendekat. Emak tiba-tiba muncul dari arah dapur. Tangannya yang gempal menenteng plastik biru yang mengeluarkan bau mawar, dan pandan yang menyengat. Perut seakan berkontraksi mengaduk lambung dengan semangat tingkat tinggi dan memunculkan rasa mual yang luar biasa. Sial ! Emak tak bosannya menemui dukun gadungan itu. Pantaslah dari tadi pagi rumah sepi, ternyata Emak bersedekah lagi pada dukun beristri lima itu. Aktivitas makan langsung dihentikan meskipun perut masih minta untuk diisi. Bau-bau seperti ini mampu membinasakan selera makan. Bergegas Nufa menuju kamar depan, namun bibir mungil perempuan itu lebih cepat menyapa telinga daripada gerakan kakinya yang mendadak melambat.

“Nufa ! Kau harus mandi kembang ini, campur dengan air tujuh sumur yang sudah kusediakan di kamar mandi. Biar agak terang wajahmu dilihat laki-laki” ucapannya sukses menjadikan kepala ini seperti diaduk-aduk.

Hanya tatapan sekilas yang dipersembahkan untuk Emak tercinta. Sembari menahan amarah akan kepedulian perempuan itu padaku yang terlalu berlebihan. Ini bukan kali pertama kembang itu mengisi rumah, hampir setiap minggu datang kembang-kembang tujuh rupa, lima rupa, hingga sebelas rupa yang tak dimengerti. Kondisi yang bahkan sudah menjadi rutinitas setiap kali pulang ke rumah beratap seng ini, rumah warisan dari kakek.

Mata yang Nufa tatap malah semakin tajam menatap balik. Gemerutuk gigi-giginya yang mulai ompong tak lagi dia pedulikan. Nufa tak berani melihat lebih lama khawatir amarahnya akan meningkat dan pasti akan ada lagi olahan dukun itu yang akan diberikannya esok hari.

“Sekarang mandi !” Ucap Emak dengan garangnya. Sambil menarik tangan Nufa menuju sumur. Lumayan sakit terasa, namun tetap dituruti keinginannya. Kali ini persiapan Emak lebih lengkap dari sebelumnya. Ada tiga baskom berisi penuh air, salah satu ditaburinya dengan air tujuh sumur, satunya lagi diisi dengan mawar dan pandan, yang terakhir malah dibiarkan hanya berisi air saja. Entahlah apakah itu disengaja, atau sudah ada sesuatu yang ditambahkan Emak ke dalam baskom itu sebelum menemuinya. pasrah.

Senyum Emak terlihat menakutkan begitu Nufa keluar dari kamar mandi. Ada lagi plastik hitam digenggaman tangannya. Gesit sekali Emak mengeluarkan dedaunan hijau yang berbau busuk tersebut. Langkahnya percepat, namun tangan Emak menggapai lebih awal.

“Bawa dedaunan ini tidur bersama kau Nufa”. Kata Emak sembari menyerahkan dedaunan tersebut ke tangan. Menyentuhnya saja sudah membuat tangan merinding, apalagi harus tidur bersama. Entah jimat apa lagi yang kali ini diberikan. Emak masih saja mempercayai kata-kata dukun tersebut dibandingkan percaya pada anaknya sendiri.

Nufa tak berani menolak secara langsung permintaan Emak. Bagaimanapun beliau adalah Emak sekaligus berperan sebagai Bapak. Hidupnya penuh liku-liku demi menghidupi kebutuhan kami berdua. Hingga Nufa bisa melanjutkan kuliah dan diterima bekerja di Kota Jambi. Selalu dia sempatkan untuk pulang setiap akhir pekan, berhubung Emak tidak mau ikut tinggal bersama di kota. Dia relakan semua tetek bengek yang beliau upayakan, meskipun perempuan 55 tahun tersebut tahu anaknya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.

***
Menginjak usia 30 tahun berbagai masalah mulai muncul ke permukaan, salah satunya masalah pernikahan. Kata yang terlalu mudah untuk diucapkan namun agak sulit untuk diwujudkan. Akan menjadi hal biasa jikalau tidak ditanyai namun menjadi luar biasa ketika hal tersebut ditanyai disetiap kesempatan. Beban yang cukup berat ditanggung oleh seorang Nufa di tanah rantau.

Pernikahan, masih hal itu yang ditanyakan Emak. Kemarin malam pada saat menelponpun masih hal yang sama ditanyakannya. Masalah yang cukup sensitif untuk ditanyakan, dan hanya bisa tersenyum jawaban untuk saat sekarang.

Mengenai calon imam sebenarnya Nufa sudah mempunyai satu nama yang diyakini akan mampu membimbing untuk meraih kebahagian dunia akhirat. Dialah Okta Septian yang baru menyelesaikan program Double Degree nya di Negeri Sakura. Okta anak tunggal yang lahir dan besar di Jepara. Nufa sudah pernah menyampaikan hal tersebut kepada Emak.

“Bolehkah Nufa kenalkan Okta kepada Emak?” tanya Nufa sewaktu Emaknya datang ke Jambi.

Emak hanya diam menanggapi. Tidak berkomentar hanya saling pandang dan segera mengganti dengan topik yang lain. Nufa pun menjadi serba salah, padahal perempuan itu sering menuntut untuk segera menikah, namun ketika Nufa mengajukan satu nama malah diam, apakah tidak setuju atau bagaimana, Nufa hanya bisa menahan kesedihan itu sendiri. Berharap Emaknya merestui keinginan tersebut.

Esoknya Nufa beranikan diri untuk bertanya lagi mengenai Okta.
“Mak, bagaimana jika Okta yang menjadi pendamping Nufa?” Dengan hati-hati Nufa menyampaikan keinginan tersebut, itupun sambil melihat berbagai kondisi. Jangan sampai pertanyaannya membuat sakit maag Emak kambuh. Setelah makan malam pertanyaan itu terlontarkan.

“Emak tidak setuju Nufa, dia lelaki Jawa, kita tidak tahu bagaimana asal-usulnya, keluarganya, perilakunya, bahasanya, lingkungannya, dan adat istiadatnya. Emak tidak mau Nak, nanti terjadi sesuatu, terlebih kau adalah harapan satu-satunya yang akan merawat Emak di hari tua nanti,” suara Emak terdengar agak keras dari biasanya, Nufa hanya bisa menunduk berusaha menahan agar air matanya tidak mengalir turun.

“Mak, Emak belum pernah berjumpa dengan Okta, janganlah membuat keputusan terlalu cepat mengenai dia,” Nufa masih mencoba untuk mengungkapkan apa yang dirasanya. Berharap Emaknya akan paham dan memakluminya.

“Nufa, Emak tidak mau mempunyai menantu orang Jawa, ini demi kebaikan kau juga,” ujar Emak terdengar tegas di telinga, namun seperti bom atom di sanubari. Ledakannya begitu kuat dan menghancurkan semua bagian yang ada. Keputusan yang sudah bulat dan tak bisa diganggu. Emak kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.

Nufa yang mendengar ucapan Emak tidak bisa lagi menahan tangisnya, satu persatu butir air mata itu jatuh di pipi. Sedih sekali jika keinginan ini ditentang langsung oleh Emak. Begitu hebatnya tantangan yang harus dihadapinya jika dia tetap bersikukuh untuk melanjutkan hubungannya ke pelaminan. Sedangkan di satu sisi Emaknya terlalu berambisius untuk mencarikan jodoh, apapun caranya asal jangan dengan orang Jawa. Apa yang Emak inginkan tak lain dan tak bukan hanyalah untuk Nufa, adat Jambi berbeda dengan adat Jawa. Okta juga anak tunggal otomatis dia tidak akan bisa tinggal jauh dari orang tuanya. Baik Nufa maupun Okta merupakan harapan dari orang tuanya masing-masing.

***

Satu persatu kawan seangkatannya sudah menemukan pasangannya masing-masing, bahkan sebagian kawan sudah mendaftarkan anaknya ke Sekolah Dasar dan Nufa masih saja sendiri. Segala perkakas pemberian dukun gadungan itu tak ada yang nyantol sedikitpun, padahal Emak sudah membayar dengan harga tinggi. Dukun itu malah menyalahkan Emak saat beliau kembali ke dukun tersebut dan mempertanyakan kenapa tidak ada yang manjur. Nufa tidak kuasa untuk mencegah. Emak tabiatnya keras dan jikalau sudah percaya akan satu hal, dia akan lanjutkan. Beruntung mandi dengan beraneka ragam bunga itu hanya berlangsung sekitar 5 bulan, berhubung dukun tersebut ketahuan menipu masyarakat sekitar, sehingga tidak ada lagi alasan Emak untuk datang ke situ. Dan Nufa mulai fokus di karir.

***

Ini kali ketiga Nufa berada di ruang tunggu bandara Soetta minggu ini. Seperti biasa pesawat delay sudah lebih dari 1 jam. Penumpang yang akan menuju Jambi sudah menggerutu semenjak pengeras suara memberitahukan keterlambatan ini. Hanya sekotak kue yang dijadikan sebagai penebus kesalahan.

Sambil menikmati roti berisi coklat, Nufa teringat Emaknya yang sudah hampir sebulan ditinggalkan. Rindu ocehan dan berbagai upaya Emak untuk mencarikan jodoh. Patut diacungkan empat jempol sekaligus. Meskipun terkadang di luar logika dan membuat isi perut berhamburan ingin keluar. Namun usaha Emak patut diapresiasi. Tinggal di kampung terlalu banyak cobaan dan pertanyaan dari tetangga. Itulah mungkin salah satu alasan beliau ngotot mencarikan pendamping untuk Nufa.

Berbagai macam kegiatan dilakukan oleh manusia di ruang tunggu. Sebagian besar sibuk dengan gadget masing-masing. Sebagian lagi ada yang tidur-tiduran di kursi, ada yang menonton, bahkan ada yang hanya sibuk memperhatikan manusia yang lalu lalang. Tetapi Nufa malah memilih untuk menyibukkan diri membaca novel terbaru Tere Liye Sesekali pandangannya beralih pada kesibukan penumpang yang hilir mudik dihadapannya. Pikirannya terkadang sudah berada di Leipzig University, Jerman, tempat dimana dia akan melanjutkan studi tahun depan.

Tetiba seorang laki-laki duduk di sebelahnya,

“Permisi Mba, boleh pinjam pulpen?”

Nufa segera mengalihkan pandangan ke sebelah kiri asal suara muncul. Laki-laki berkacamata itu menatapnya sekilas sambil terus mengamati buku yang dipegangnya. Bergegas Nufa merogoh tas, mengambil pulpen berwarna hijau dan memiliki gantungan keropi. Laki-laki itu langsung meraih pulpen dan menuliskan sesuatu pada bukunya.

“Terima kasih sudah menyimpan keropi ini,” ujarnya

“Eh?”

“Ingatkah dengan saya?” dia bertanya sambil melepaskan kacamatanya, dan menyunggingkan senyuman, lesung pipitnya itu mengingatkan Nufa akan sesuatu.

“Afiii? tanya Nufa sambil terus menatap tak percaya. Ini kawan sepermainannya dahulu sewaktu masih SD, kawan berantem, kawan belajar. Rivalnya dalam meraih juara kelas. Selain pintar sains, tulisan Afi sangat bagus tiada tandingannya dengan tulisan Nufa. Sayang setelah tamat SD Nufa harus pindah mengikuti orang tuanya yang pindah tugas ke kampung halaman dan Afi memberikan keropi sebagai kenang-kenangan.

“Ya Nufa,” jawab Afi dengan semangat. Mulailah bergulir pertanyaan-pertanyaan Afi mengenai keberadaan Nufa, mulai dari studi, kegiatan sekarang, kabar keluarganya dan berbagai pertanyaan lainnya. Canda tawanya masih sama seperti 18 tahun silam. Nufa merindukan saat-saat itu. Sesaat seperti ada yang beda pada dirinya. Hanya saja ia tak pernah menyangka selalu ada yang kosong di dalam dirinya. Dan barusan, kekosongan itu rasanya tidak lagi kosong.

Waktu bergulir dengan cepatnya. Pemberitahuan keberangkatan pesawat tujuan Jambi terdengar di ruang tunggu. Nufa merasa agak enggan untuk menghentikan nostalgia mereka. Sebelum Nufa pamit, seorang perempuan berkulit putih yang menyandang tas ransel menghampiri mereka, Afi langsung meraih tangan perempuan itu seraya bilang,

“Nufa, ini istriku,”.

Comments (0)
Add Comment