Di hari kemerdekaan ini, kami para pegiat literasi seluruh Indonesia yang bergabung di Forum Literasi Indonesia menulis surat terbuka untuk Ir. Ridwan Bae, S. T., Wakil Ketua Komisi V DPR RI.

Bapak Ridwan, Bertahun-tahun kami berusaha agar kegiatan literasi berjalan baik di daerah, dalam kondisi apa pun. Kegiatan-kegiatan literasi semarak, dari barat hingga timur negeri ini. 

Bahkan, tahun 2017, karena geliat gerakan ini, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan pengiriman buku gratis se-Indonesia. Di tahun 2023 ini, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pembangunan SDM Indonesia ini mengacu kepada  “Transformasi Perpustakaan untuk Mewujudkan Ekosistem Digital Nasional”.  Kami ingin menunjukkan kepada Anda bahwa gerakan literasi, dimana perpustakaan dan buku tak bisa terlepas darinya, adalah konsen penting bangsa yang akan menyongsong bonus demografi pada 2035 nanti.

Di mana-mana, Perpustakaan Pemda maupun taman bacaan masyarakat (TBM) yang lahir untuk memperkuat fondasi literasi di masyarakat telah bergerak, berkarya, dan bersinergi. Kami pun dengan semangat terus bergerak di antaranya mendukung Gerakan Literasi Nasional dan Revitalisasi Perpustakaan menjadi terbuka untuk pusat belajar masyarakat. Merdeka belajar itu makin dekat dan terasa. Perpustakaan juga sebagai ruang terbuka membangun ide gagasan dan kreatifitas sampai produksi barang dan jasa.

Kemudian, menjelang peringatan hari kemerdekaan kita yang ke-77, kami menonton tayanan video yang diunggah akun FB PenaSultra.id  yang berjudul “Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Ir. Ridwan Bae, ST Soroti Kerusakan Infrastrukutur Jalan Provinsi”.

Dalam video utuhnya, Anda mengutarakan kegeramannya karena Gubernur tidak memprioritaskan pembangunan jalan di dapil Anda yang kondisinya sangat memprihatinkan. Anda kemudian mengkritik, kenapa dalam keadaan demikian, Gubernur malah membangun “yang lain”. Anda kemudian menyebut beberapa pembangunan yang Anda nilai seharusnya bukan prioritas. Salah satunya adalah pembangunan perpustakaan. (https://fb.watch/eUkNiJWUpc/)

Sampai di sini, kami masih bisa memaklumi. Sebab prioritas pembangunan setiap daerah tentu saja berbeda-beda. Mengapa gubernur Sultra memprioritaskan pembangunan “yang lain”—termasuk perpustakaan, bukan jalan yang kondisinya sangat memprihatinkan, sejatinya kami tidak tahu. 

Tapi, ketika kemudian Anda mengimbuhi kritik terhadap pembangunan perpustakaan itu dengan pernyataan “Untuk apa perpustakaan itu? Orang sekarang tinggal buka Google”. Kami pikir Anda telah menyakiti hati banyak orang. Tentu saja kami tidak sedang berdiri bersama Gubernur Sultra. Tidak. Kami tidak ada urusan dengan itu. Gerakan literasi sejatinya adalah gerakan sosial yang lepas dari kecenderungan politis. Kami menyadari dan memegang itu.

Ya, menyebut perpustakaan tak layak jadi prioritas pembangunan karena (fungsi) perpustakaan bisa digantikan oleh Google, adalah sebuah kekeliruan fundamental. Karena Anda adalah anggota legislatif yang mempresentasikan banyak orang dan komentar Anda tersiar di kanal publik, kami, para pegiat literasi, merasa perlu memberikan respons.

*

Pernyataan “Google bisa menggantikan perpustakaan” menunjukkan kurangnya pemahaman anda terhadap apa perpustakaan itu dan bagaimana fungsinya. Sebagai tokoh publik, kami sangat menyayangkan hal itu.

Perpustakaan bukanlah tempat buku-buku dipajang semata. Di perpustakaan, orang bukan hanya mencari informasi sebagaimana fungsi Google yang Anda maksud. Kalaupun demikian, Anda juga perlu tahu bahwa tidak semuanya ada di Google. Banyak manuskrip atau buku tua atau buku terbitan terbatas belum didigitalkan dan di-Google-isasikan. Banyak berkas wawancara dengan tokoh adat atau penelitian lokal yang berkas fotokopinya hanya ada di perpustakaan.

Perpustakaan adalah wahana kegiatan literasi yang bersifat sosial dan meliputi banyak aspek kehidupan. Di perpustakaan, kita bukan hanya akan bertemu dengan ilmu (teks), tapi orang-orang lain yang juga memiliki konsen yang sama. Kemungkinan bertemunya mereka di bawah atap yang sama, memungkinkan terjadinya interaksi sehingga bukan hanya akses pengetahuan yang didapat, tapi juga interaksi sosial. Dan interaksi sosial potensial melahirkan pertukaran informasi dan cara pandang terhadap permasalahan dan kehidupan. Jadi, perpustakaan bukan hanya melahirkan pengetahuan, tapi juga jaringan. Kalaupun yang jadi patokannya adalah informasi. Maka, pengetahuan bukan hanya berasal dari buku, tapi juga pergaulan.

Perpustakaan hari ini juga, sebagaimana kami terakan di awal surat ini, telah menjadi pusat pembelajaran masyarakat. Ketika kami, masyarakat yang peduli literasi, merasa ada yang kurang maksimal di perpustakaan, kami bukan menyuarakan agar pembangunan perpustakaan dihentikan atau memprovokasi orang-orang untuk merobohkannya. Tidak. Kami memperkuat fungsinya dengan melahirkan perpustakaan-perpustakaan baru dalam wujud taman baca, komunitas literasi, forum diskusi, kelas film, atau aktivitas kebudayaan. Apalagi, misalkan Anda berkunjung ke Perpustakaan Daerah Banten, Balikpapan, Banjarbaru, Samarinda, Lubuklinggau, Banda Aceh, Padangpanjang, Surabaya, dan Jepara—sekadar menyebut beberapa untuk contoh—Anda akan melihat bagaimana kelas komputer, menulis, dan diskusi buku dan kebudayaan kerap digelar. Bahkan, untuk anak-anak, disediakan ruangan bermain. 

Pernyataan bahwa “Google bisa menggantikan perpustakaan” menunjukkan kalau Anda tidak melihat bagaimana pegiat literasi berlomba-lomba membangun perpustakaan di ruang-ruang publik. Anda akan terkejut bahwa perpustakaan publik alias taman bacaan masyarakat (TBM) membuat warganya punya bank sampah, menyelenggarakan kelas aksara lokal, rutin menghelat festival film, atau bahkan saling kunjung-dan-tinggal di “perpustakaan” masing-masing untuk belajar dan menyerap praktik baik agar melihat kehidupan dengan lebih literat, peka, terbuka, dan bijaksana.

Coba Anda tunjukkan kepada kami, seperti apa Google menggantikan fungsi-fungsi perpustakaan sebagaimana yang tertera di atas?

Nah sekarang, kami mencoba melihatnya dalam sudut pandang yang lain.

Bisa saja, ketika menyampaikan pernyataan itu, Anda hanya keceplosan karena terbawa emosi sebab Anda memang sedang menyampaikan kritik. Kalau memang demikian, kami harap Anda berjiwa besar untuk menyampaikan klarifikasi kepada para pegiat literasi di negeri ini yang telah berjibaku menghidupkan perpustakaan karena kami menginginkan pembelajaran yang manusiawi, yang mendekatkan dan menggembirakan, bukan hanya lewat gawai yang menyebabkan generasi ini terjauhkan satu sama lain sebab merasa semuanya bisa didapat lewat Google.

Melalui surat terbuka ini, kami harap Anda bisa memahami keberatan kami terhadap pernyataan Anda yang kontraproduktif itu. Oleh karena itu, untuk kami menunggu—untuk tidak menyebutnya “menuntut”—klarifikasi Anda secepatnya.

Demikian. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Merdeka!

Indonesia, 17 Agustus 2022

Demikian surat terbuka ini kami buat.

Indonesia, 17 Agustus 2022 

Tertanda

Forum Literasi Indonesia

1. Gol A Gong – Duta Baca Indonesia

2. Arys Hilman – Ketua Umum IKAPI Pusat

3. Maman Suherman – Sahabat Literasi Indonesia 

4. Nero Taufik Abdullah – Ketua Umum PP Forum TBM (Taman Bacaan Masyarakat)

5. Gege Mapangewa – Ketua Umum PP Forum Lingkar Pena

6. Abdul Salam – Ketua Komunitas Literasi Rumah Dunia 

7. Benny Arnas – CEO Benny Institute

8. Gufron Khan – Direktur LBH Universitas Muhammadiyah Tangerang 

9. Muhammad Subhan – Founder Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis.

10. Gusty Richarno – Direktur Media Pendidikan Cakrawala NTT

11. Jodi Yudoyono – Ketua Umum Ikatan Wartawan Online Indonesia 

12. Muhammad Khoiri – Ketua Leksikon Gerakan Indonesia Menulis

13. Melly W – Founder Komunitas Perempuan Penulis Indonesia

14. Akmal Nasery Basral – Ketua FAMMI (Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia)

15. Jimmy S Johansyah – Founder Koloni Seniman Ngopi Semeja

16. Rahmat Hely HS – Koordinator Dua Baca se-Indonesia 

17. Kurnia Effendi Ketua Alumni Penulis Cerita Anita

18. Erwan Juhara, Ketua Asosiasi Guru Penulis/Pengarang Indonesia(AGUPENA) Jawa Barat

19. Dr.Tjahjo Suprajogo, MSi Ketua Umum PP GPMB (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca), pengamat kebijakan dan pelayanan publik IPDN

20. Syaifuddin Gani – Ketua Pustaka Kabanti

21. Polikarpus Do – Ketua YASPORA NTT

22. Virgina V – Pendiri Komunitas KKS Melati

23. Heraldha Savira – Ketua Forum Duta Baca se-Indonesia

24. Irma Susanti Irsyadi – Founder Nulis Aja Dulu

25. Suyadi – HISKI Komisariat Sumatra Utara

26. Ramayani, Komunitas Literasi Tebo, Jambi

27. Masya Firdaus – Forum Laskar Literasi dan Jenius Writing Coach Lutfi, Jepara

28. Eko Prasetyo – Pustaka Kencana Way Kanan, Lampung

29. Andi Suhud Trisnahadi – Ketua Forum Ekonomi Keatif (Fekraf) Banten

30. Salman Yoga S – The Gayo Institute (TGI) & Komunitas Sastra Bukit Barisan (KSBB)

31. Suci Arnani – Ketua Komunitas Disabilitas Jember dan Komunitas Srawung Satra Jember

32. Mohammad Saroni – Ketua Sangkar Buku Mojokerto

33. Rita Audriyanti – Komunitas Diaspora Perempuan Menulis (KDPM)

34. Kunni Masrohanti – Ketua/founder Komunitas Seni Rumah Sunting, Riau

35. Tatan Daniel – Lembaga Kajian Kebudayaan Indonesia, Jakarta

36. Bambang – Iqro Semesta, Jawa Timur

37. Firman  Venayaksa – Motor Literasi

38. Okta Piliang – Komunitas Seni Intro/Komunitas Tanah Rawa

39. Zulfikar Kirbi – Teater Mata/Pelaku Sastra Banda Aceh

40. Mohamad Iskandar – Ketua Komunitas Kelas Puisi Alit (KEPUL)

41. Sam Mukhtar Chan – co-Founder Komunitas Literasi Betawi (KLB)

42. Saufi Ginting – Komunitas Azka Gemilang Asahan Sumatra Utara

43. Saifullah – Inisiator Perpustakaan Pantai Agung Budin Pulau Gilingan Sumenep Madura

44. Kirana Kejora -Pengampu Elang Tempur & Elang Nuswantara

45. Lutfi JW – founder Kelas dan Komunitas Menulis Jenius Writing

46. Mamuk SMPA-Komunitas Literasi Anak Negri 

47. Rusmin Toboali – Komunitas Literasi Bangka Selatan

48. Fikar W.Eda, komunitas Musikalisasi puisi indonesia dan komunitas gayo prasejarah

49. Linda Tanjung – co-Founder Pustaka Dua, Payakumbuh

50. Samsul-Ikatan Pustakawan Indonesia