Cerita – bennyinstitute https://www.bennyinstitute.com education.art.culture.book&media Mon, 04 Dec 2023 12:02:15 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.3.1 https://www.bennyinstitute.com/wp-content/uploads/2019/06/cropped-PicsArt_06-13-08.46.47-32x32.png Cerita – bennyinstitute https://www.bennyinstitute.com 32 32 Didukung BPK Sumsel, Benny Institute Rilis Buku Cerita Rakyat https://www.bennyinstitute.com/didukung-bpk-sumsel-benny-institute-rilis-buku-cerita-rakyat/ https://www.bennyinstitute.com/didukung-bpk-sumsel-benny-institute-rilis-buku-cerita-rakyat/#respond Sun, 03 Dec 2023 05:52:59 +0000 https://www.bennyinstitute.com/?p=41249  

Tahun ini, Benny Institute menjadi satu dari 20 penerima Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VI Provinsi Sumatra Selatan.

Juli Yandika, penanggung jawab kegiatan menyatakan, fasilitasi pada penerbitan buku cerita rakyat sangat berarti karena berdirinya Benny Institute ditandai oleh terbitnya cerita rakyat Bujang Kurap versi lengkap pada Februari 2012.

Setelahnya, banyak cerita rakyat, kebudayaan, dan sastra yang diterbitkan.

“Hari ini, produktif saja, kami pikir tidak cukup,” tegasnya. “Sejak lama, kami mengkritisi cerita rakyat yang jauh dari ramah kepada anak-anak, kalangan yang ternyata kerap menjadi “pasar” atau “target” pembacanya,” terangnya lagi.

Melalui kegiatan ini, sejak Oktober lalu, Benny Institute mengajak berbagai kalangan di mana pun berada untuk menulis cerita rakyat.

Alhasil 42 cerita rakyat ramah anak pun terkumpul. Sayang sekali, hanya 10 cerita yang lulus kurasi. Saat ini, kesepuluh cerita yang diterbitkan di bawah judul “Batu Belah Batu Betangkup” ini sedang dalam proses cetak.

Para penulis yang karya-karyanya dibukukan yaitu: Wendy Fermana, Septi Wayuni, Tampu Bolon Suvardi, Rido Amilin, Dhekaprawi, Leli Nur Inda Sari, Desy Arisandi, dan Dany Georgetown.

“Terima kasih BPK Wilayah VI Sumsel atas dukungannya sehingga projek kebudayaan ini bisa kami rilis,” kata Benny Arnas selaku Direktur Benny Institute.(*)

]]>
https://www.bennyinstitute.com/didukung-bpk-sumsel-benny-institute-rilis-buku-cerita-rakyat/feed/ 0
Nufa https://www.bennyinstitute.com/nufa/ https://www.bennyinstitute.com/nufa/#respond Wed, 20 Dec 2017 20:03:36 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=886 Nufa

Tugas Kelas Menulis Daring FLP Jambi

Mulut ini masih asyik melahap goreng tempe tatkala terdengar ada suara langkah mendekat. Emak tiba-tiba muncul dari arah dapur. Tangannya yang gempal menenteng plastik biru yang mengeluarkan bau mawar, dan pandan yang menyengat. Perut seakan berkontraksi mengaduk lambung dengan semangat tingkat tinggi dan memunculkan rasa mual yang luar biasa. Sial ! Emak tak bosannya menemui dukun gadungan itu. Pantaslah dari tadi pagi rumah sepi, ternyata Emak bersedekah lagi pada dukun beristri lima itu. Aktivitas makan langsung dihentikan meskipun perut masih minta untuk diisi. Bau-bau seperti ini mampu membinasakan selera makan. Bergegas Nufa menuju kamar depan, namun bibir mungil perempuan itu lebih cepat menyapa telinga daripada gerakan kakinya yang mendadak melambat.

“Nufa ! Kau harus mandi kembang ini, campur dengan air tujuh sumur yang sudah kusediakan di kamar mandi. Biar agak terang wajahmu dilihat laki-laki” ucapannya sukses menjadikan kepala ini seperti diaduk-aduk.

Hanya tatapan sekilas yang dipersembahkan untuk Emak tercinta. Sembari menahan amarah akan kepedulian perempuan itu padaku yang terlalu berlebihan. Ini bukan kali pertama kembang itu mengisi rumah, hampir setiap minggu datang kembang-kembang tujuh rupa, lima rupa, hingga sebelas rupa yang tak dimengerti. Kondisi yang bahkan sudah menjadi rutinitas setiap kali pulang ke rumah beratap seng ini, rumah warisan dari kakek.

Mata yang Nufa tatap malah semakin tajam menatap balik. Gemerutuk gigi-giginya yang mulai ompong tak lagi dia pedulikan. Nufa tak berani melihat lebih lama khawatir amarahnya akan meningkat dan pasti akan ada lagi olahan dukun itu yang akan diberikannya esok hari.

“Sekarang mandi !” Ucap Emak dengan garangnya. Sambil menarik tangan Nufa menuju sumur. Lumayan sakit terasa, namun tetap dituruti keinginannya. Kali ini persiapan Emak lebih lengkap dari sebelumnya. Ada tiga baskom berisi penuh air, salah satu ditaburinya dengan air tujuh sumur, satunya lagi diisi dengan mawar dan pandan, yang terakhir malah dibiarkan hanya berisi air saja. Entahlah apakah itu disengaja, atau sudah ada sesuatu yang ditambahkan Emak ke dalam baskom itu sebelum menemuinya. pasrah.

Senyum Emak terlihat menakutkan begitu Nufa keluar dari kamar mandi. Ada lagi plastik hitam digenggaman tangannya. Gesit sekali Emak mengeluarkan dedaunan hijau yang berbau busuk tersebut. Langkahnya percepat, namun tangan Emak menggapai lebih awal.

“Bawa dedaunan ini tidur bersama kau Nufa”. Kata Emak sembari menyerahkan dedaunan tersebut ke tangan. Menyentuhnya saja sudah membuat tangan merinding, apalagi harus tidur bersama. Entah jimat apa lagi yang kali ini diberikan. Emak masih saja mempercayai kata-kata dukun tersebut dibandingkan percaya pada anaknya sendiri.

Nufa tak berani menolak secara langsung permintaan Emak. Bagaimanapun beliau adalah Emak sekaligus berperan sebagai Bapak. Hidupnya penuh liku-liku demi menghidupi kebutuhan kami berdua. Hingga Nufa bisa melanjutkan kuliah dan diterima bekerja di Kota Jambi. Selalu dia sempatkan untuk pulang setiap akhir pekan, berhubung Emak tidak mau ikut tinggal bersama di kota. Dia relakan semua tetek bengek yang beliau upayakan, meskipun perempuan 55 tahun tersebut tahu anaknya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.

***
Menginjak usia 30 tahun berbagai masalah mulai muncul ke permukaan, salah satunya masalah pernikahan. Kata yang terlalu mudah untuk diucapkan namun agak sulit untuk diwujudkan. Akan menjadi hal biasa jikalau tidak ditanyai namun menjadi luar biasa ketika hal tersebut ditanyai disetiap kesempatan. Beban yang cukup berat ditanggung oleh seorang Nufa di tanah rantau.

Pernikahan, masih hal itu yang ditanyakan Emak. Kemarin malam pada saat menelponpun masih hal yang sama ditanyakannya. Masalah yang cukup sensitif untuk ditanyakan, dan hanya bisa tersenyum jawaban untuk saat sekarang.

Mengenai calon imam sebenarnya Nufa sudah mempunyai satu nama yang diyakini akan mampu membimbing untuk meraih kebahagian dunia akhirat. Dialah Okta Septian yang baru menyelesaikan program Double Degree nya di Negeri Sakura. Okta anak tunggal yang lahir dan besar di Jepara. Nufa sudah pernah menyampaikan hal tersebut kepada Emak.

“Bolehkah Nufa kenalkan Okta kepada Emak?” tanya Nufa sewaktu Emaknya datang ke Jambi.

Emak hanya diam menanggapi. Tidak berkomentar hanya saling pandang dan segera mengganti dengan topik yang lain. Nufa pun menjadi serba salah, padahal perempuan itu sering menuntut untuk segera menikah, namun ketika Nufa mengajukan satu nama malah diam, apakah tidak setuju atau bagaimana, Nufa hanya bisa menahan kesedihan itu sendiri. Berharap Emaknya merestui keinginan tersebut.

Esoknya Nufa beranikan diri untuk bertanya lagi mengenai Okta.
“Mak, bagaimana jika Okta yang menjadi pendamping Nufa?” Dengan hati-hati Nufa menyampaikan keinginan tersebut, itupun sambil melihat berbagai kondisi. Jangan sampai pertanyaannya membuat sakit maag Emak kambuh. Setelah makan malam pertanyaan itu terlontarkan.

“Emak tidak setuju Nufa, dia lelaki Jawa, kita tidak tahu bagaimana asal-usulnya, keluarganya, perilakunya, bahasanya, lingkungannya, dan adat istiadatnya. Emak tidak mau Nak, nanti terjadi sesuatu, terlebih kau adalah harapan satu-satunya yang akan merawat Emak di hari tua nanti,” suara Emak terdengar agak keras dari biasanya, Nufa hanya bisa menunduk berusaha menahan agar air matanya tidak mengalir turun.

“Mak, Emak belum pernah berjumpa dengan Okta, janganlah membuat keputusan terlalu cepat mengenai dia,” Nufa masih mencoba untuk mengungkapkan apa yang dirasanya. Berharap Emaknya akan paham dan memakluminya.

“Nufa, Emak tidak mau mempunyai menantu orang Jawa, ini demi kebaikan kau juga,” ujar Emak terdengar tegas di telinga, namun seperti bom atom di sanubari. Ledakannya begitu kuat dan menghancurkan semua bagian yang ada. Keputusan yang sudah bulat dan tak bisa diganggu. Emak kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.

Nufa yang mendengar ucapan Emak tidak bisa lagi menahan tangisnya, satu persatu butir air mata itu jatuh di pipi. Sedih sekali jika keinginan ini ditentang langsung oleh Emak. Begitu hebatnya tantangan yang harus dihadapinya jika dia tetap bersikukuh untuk melanjutkan hubungannya ke pelaminan. Sedangkan di satu sisi Emaknya terlalu berambisius untuk mencarikan jodoh, apapun caranya asal jangan dengan orang Jawa. Apa yang Emak inginkan tak lain dan tak bukan hanyalah untuk Nufa, adat Jambi berbeda dengan adat Jawa. Okta juga anak tunggal otomatis dia tidak akan bisa tinggal jauh dari orang tuanya. Baik Nufa maupun Okta merupakan harapan dari orang tuanya masing-masing.

***

Satu persatu kawan seangkatannya sudah menemukan pasangannya masing-masing, bahkan sebagian kawan sudah mendaftarkan anaknya ke Sekolah Dasar dan Nufa masih saja sendiri. Segala perkakas pemberian dukun gadungan itu tak ada yang nyantol sedikitpun, padahal Emak sudah membayar dengan harga tinggi. Dukun itu malah menyalahkan Emak saat beliau kembali ke dukun tersebut dan mempertanyakan kenapa tidak ada yang manjur. Nufa tidak kuasa untuk mencegah. Emak tabiatnya keras dan jikalau sudah percaya akan satu hal, dia akan lanjutkan. Beruntung mandi dengan beraneka ragam bunga itu hanya berlangsung sekitar 5 bulan, berhubung dukun tersebut ketahuan menipu masyarakat sekitar, sehingga tidak ada lagi alasan Emak untuk datang ke situ. Dan Nufa mulai fokus di karir.

***

Ini kali ketiga Nufa berada di ruang tunggu bandara Soetta minggu ini. Seperti biasa pesawat delay sudah lebih dari 1 jam. Penumpang yang akan menuju Jambi sudah menggerutu semenjak pengeras suara memberitahukan keterlambatan ini. Hanya sekotak kue yang dijadikan sebagai penebus kesalahan.

Sambil menikmati roti berisi coklat, Nufa teringat Emaknya yang sudah hampir sebulan ditinggalkan. Rindu ocehan dan berbagai upaya Emak untuk mencarikan jodoh. Patut diacungkan empat jempol sekaligus. Meskipun terkadang di luar logika dan membuat isi perut berhamburan ingin keluar. Namun usaha Emak patut diapresiasi. Tinggal di kampung terlalu banyak cobaan dan pertanyaan dari tetangga. Itulah mungkin salah satu alasan beliau ngotot mencarikan pendamping untuk Nufa.

Berbagai macam kegiatan dilakukan oleh manusia di ruang tunggu. Sebagian besar sibuk dengan gadget masing-masing. Sebagian lagi ada yang tidur-tiduran di kursi, ada yang menonton, bahkan ada yang hanya sibuk memperhatikan manusia yang lalu lalang. Tetapi Nufa malah memilih untuk menyibukkan diri membaca novel terbaru Tere Liye Sesekali pandangannya beralih pada kesibukan penumpang yang hilir mudik dihadapannya. Pikirannya terkadang sudah berada di Leipzig University, Jerman, tempat dimana dia akan melanjutkan studi tahun depan.

Tetiba seorang laki-laki duduk di sebelahnya,

“Permisi Mba, boleh pinjam pulpen?”

Nufa segera mengalihkan pandangan ke sebelah kiri asal suara muncul. Laki-laki berkacamata itu menatapnya sekilas sambil terus mengamati buku yang dipegangnya. Bergegas Nufa merogoh tas, mengambil pulpen berwarna hijau dan memiliki gantungan keropi. Laki-laki itu langsung meraih pulpen dan menuliskan sesuatu pada bukunya.

“Terima kasih sudah menyimpan keropi ini,” ujarnya

“Eh?”

“Ingatkah dengan saya?” dia bertanya sambil melepaskan kacamatanya, dan menyunggingkan senyuman, lesung pipitnya itu mengingatkan Nufa akan sesuatu.

“Afiii? tanya Nufa sambil terus menatap tak percaya. Ini kawan sepermainannya dahulu sewaktu masih SD, kawan berantem, kawan belajar. Rivalnya dalam meraih juara kelas. Selain pintar sains, tulisan Afi sangat bagus tiada tandingannya dengan tulisan Nufa. Sayang setelah tamat SD Nufa harus pindah mengikuti orang tuanya yang pindah tugas ke kampung halaman dan Afi memberikan keropi sebagai kenang-kenangan.

“Ya Nufa,” jawab Afi dengan semangat. Mulailah bergulir pertanyaan-pertanyaan Afi mengenai keberadaan Nufa, mulai dari studi, kegiatan sekarang, kabar keluarganya dan berbagai pertanyaan lainnya. Canda tawanya masih sama seperti 18 tahun silam. Nufa merindukan saat-saat itu. Sesaat seperti ada yang beda pada dirinya. Hanya saja ia tak pernah menyangka selalu ada yang kosong di dalam dirinya. Dan barusan, kekosongan itu rasanya tidak lagi kosong.

Waktu bergulir dengan cepatnya. Pemberitahuan keberangkatan pesawat tujuan Jambi terdengar di ruang tunggu. Nufa merasa agak enggan untuk menghentikan nostalgia mereka. Sebelum Nufa pamit, seorang perempuan berkulit putih yang menyandang tas ransel menghampiri mereka, Afi langsung meraih tangan perempuan itu seraya bilang,

“Nufa, ini istriku,”.

]]>
https://www.bennyinstitute.com/nufa/feed/ 0
Bukan Pribumi (Tugas kelas menulis dari Flp Jambi) https://www.bennyinstitute.com/bukan-pribumi-tugas-kelas-menulis-dari-flp-jambi/ https://www.bennyinstitute.com/bukan-pribumi-tugas-kelas-menulis-dari-flp-jambi/#respond Wed, 20 Dec 2017 19:55:12 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=898 Pribumi. Itu namaku. Dan entah apa maksudnya-orangtuaku menamaiku itu. Aku sungguh tidak tahu. Aku tak bisa menerka, pun bertanya sebab mereka yang harusnya menjawab tanyaku sudah tiada lagi menginjak bumi. Ya, mereka sudah mati.

Kutelusuri di kamus-kamus, di mesin pencarian-apa  artinya namaku, namun tak juga kutemukan titik terang mengapa mereka menamaiku, begitu. Haruskah aku menyisirnya ke masa lalu ? Hatiku bimbang. Lama tinggal di panti asuhan, terkadang membuatku lupa tempat asalku. Tempat dimana kedua orang tuaku dulu tinggal. Tepatnya di daratan seberang dari tempatku kini berdiri.

“Kau tidak akan menemukan apa-apa disana.” Pak Chan mengingatkan. Saat kupinta ia untuk ikut berlayar lusa, ke tanah seberang.

“Apa yang kau cari? Aku tak yakin orang tuamu mewariskan sesuatu. Tak ada yang bisa diharapkan. Semua orang disana miskin!” Jelas Wak Edo, pengasuhku dulu di panti asuhan.

Namun tanggapan Mbak Juriah membuat tekatku bulat.

“Pergilah boi, tuntaskan semua tanyamu disana. Lalu kembalilah pulang!”

Dan disinilah aku sekarang, di ombang ambing angin, diterjang ombak di tengah laut.

***

Berbekal foto hitam putih kusam aku memulai pencarian, mencari jejak-jejak tersisa dari orangtuaku dulu. Foto itu diberikan Wak edo, meski ia tak betul-betul merestui kepergianku.

Sayangnya tak ada satupun yang mengenali ibuku. Namun seseorang memastikan dari latar pantai foto itu, ini adalah negeri Berantah, kembarannya negeri Antah.

Merupakan dua negeri kecil yang tidak ketahuan dalam sejarah. Negeri yang bak kembar dibelah dua, karena memang lokasinya berdampingan. Konon, negeri itu dulu terpisahkan oleh konflik selama hampir lima puluh tahun, hingga akhirnya mampu dipersatukan lagi seperti sekarang. Mendengarnya, keingintahuanku menjadi.

Atas rekomendasi dari seorang nelayan, aku diantarkan kesini. Kepada Wak Abbas, orangtua yang umurnya nyaris menyentuh angka seratus, yang kemungkinan mampu menjawab rasa ingin tahuku.

Wak Abbas mencoba meluruskan tubuhnya yang memang sudah bungkuk. Mengangsur tubuhnya agar duduk lebih nyaman yang bersandarkan bantal. la meyesap kopi hitamnya dengan  tangan bergetar. Setelah beberapa teguk barulah ia mulai bercerita.

Sebelum teknologi menyentuh sudut negeri ini. Negeri ini adalah negeri yang kukuh adat istiadatnya. Salah satu adat kami itu adalah tidak dibenarkan untuk bersinggungan dengan sesuatu yang berbau asing. Itu hukum-mutlak adanya, kami harus menikah dengan sesama kami, harus sepenuh hati mencintai dan menjaga negeri ini, dan apapun yang kami peroleh adalah untuk kemaslahatan negeri ini. Kami makan dari negeri ini,  memberdayagunakan, melestarikan potensi yang ada. Begitulah Negeri Antah.

Berbeda halnya dengan Negeri Berantah, negeri kembaran kami. Mereka lebih toleran dan welcome terhadap perubahan yang ada. Mereka juga punya nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Nilai-nilai religius yang membuat masyarakatnya hidup tentram damai.

Suatu waktu seorang putri negeri ini tak sengaja masuk ke area teritorial Negeri berantah. Ia tersesat di hutan dalam kondisi terluka di lengannya-akibat tergores  lesatan anak panah pemburu yang mengejar rusa.

Seorang pemuda menemukan gadis yang tengah pingsan itu, membawa gadis itu berkuda bersamanya ke tempat tabib terdekat agar segera ditolong.

Pemuda itu siap mempertaruhkan masa depannya, demi gadis itu. Karena konsekuensi dari berduaan dan menyentuh wanita di Negeri itu adalah mesti menikahinya.

Singkat cerita, sang pemuda menikahi sang gadis. Identitas si gadis sebagai penduduk negeri Antah dirahasiakan, demi kemaslahatan. Si gadis tak punya pilihan lain selain harus tinggal di Negeri Berantah dan melupakan kampung halamannya.

Beberapa tahun berselang hingga gadis itu mengandung. Ia memohon kepada suaminya untuk pulang ke Negeri Antah dengan menghiba-hiba. Ia merindui Ayahnya. Seolah punya firasat bahwa umur ayahnya itu tidak akan lama.

Namun semuanya tak sesederhana itu. Negeri Antah tidak mentolerir adanya orang asing, sang pemuda bisa saja mengantar si gadis tapi tak ada garansi baginya untuk bisa kembali pulàng.

Tak sanggup melihat istrinya selalu menangis sesegukan tiap malam,  sang pemuda luluh, lalu mengantarkan sang gadis ke Negeri Antah.

Dan benar adanya, bahwa mertuanya itu sedang sakit. Negeri Antah sangat riuh, mendapati putri orang bijak negerinya sudah berbadan dua dengan orang asing. Tak ada yang setuju dan simpatik. Namun demi menghormati ayah sang putri yang cukup berjasa di negeri Antah, dan demi mempertimbangkan kondisi Ayah sang gadis yang sedang sakit, penduduk menahan amarahnya. Dan membiarkan laki-laki asing itu tinggal bersama mereka.

Meski ia diterima di negeri itu. Sang pemuda sejatinya tak pernah diterima. Ia seolah tak dianggap disana. Orang-orang tak mau mendengar, menggubris atau bahkan sekedar bertransaksi dengannya.

Bahkan, ketika pemuda itu memberikan banyak bantuan untuk negeri itu, seperti membuat bendungan, membangun jembatan, tapi orang-orang tak pernah sekalipun berterimakasih padanya. Hal yang membuat pemuda itu selalu berpikir. Kenapa? Apa karena ia bukan pribumi?

Tak lama berselang, Ayah sang gadis pun berpulang menghadap Tuhan. Orang-orang sudah tak mampu lagi membendung amarah di dada mereka. Paceklik melanda negeri. Pangan mulai sulit. Semua mempersalahkan sang gadis dan suaminya. Alam telah murka! Begitulah yang orang-orang pikir.

Mereka memisahkan sang suami dengan istri yang tengah hamil besar itu. Semua harus dikembalikan seperti sediakala. Sang suami diasingkan sedangkan sang istri dikurung menunggu hari kelahiran.

Hingga bayi itu lahir, sang ibu hanya diberi waktu untuk menyusuinya dua bulan lalu dititipkan lah bayi itu ke negeri seberang. Setahun berselang, sang gadis jatuh sakit dan meninggal karena tak tahan menanggung rindu dengan suami dan anaknya.

Bulan berganti, tahun-tahun berputar. Tak ada yang menduga, sebuah longsor dahsyat meluluh lantakkan hampir separuh Negeri Antah. Ideologi mereka yang kental, membuat mereka tak bergeming. Membuat keadaan semakin memprihatinkan. Tak ada satupun dari mereka yang mengungsi, mereka tak berniat meminta bantuan. Mereka bertahan hidup semampunya, sebisanya, dengan apa yang tersisa.

Hingga berita-berita burung itu sampai jua ke negeri kembaran- Negeri Berantah.

Ayah sang pemuda yang kian risau memikirkan nasip putra dan menantunya yang tak ada kabar, tak mau tinggal diam. Negeri Berantah, untuk kali pertama membuang ego, menepis angkuh, menyambangi Negeri Antah untuk pertama kalinya, demi memberi pertolongan. Camp-camp pengungsian dibangun, tabib-tabib terbaik dihantar, logistik didatangkan.

Semua penduduk Negeri Antah tergugu sekaligus haru hingga ketika disampaikan  kekhawatiran sang kepala negeri Berantah akan keberadaan putranya, ungkapan terimakasih itu berubah menjadi tangis.

Penduduk Negeri Antah memohon pengampunan Kepala Negeri. Mereka mengakui kesalahan mereka, meminta maaf atas perlakuan tak baik mereka pada pemuda malang itu dan berjanji  akan segera membebaskan sang pemuda. Tapi semua  terlambat. Pemuda yang diasingkan itu baru saja menghembuskan napas terakhir, akibat terluka kena reruntuhan dinding kurungannya yang tak terelakkan  longsor. Tapi goresan-goresan darahnya yang tertinggal, menunjukkan. Bahwa ternyata, sang pemuda lah yang telah mengirimkan sinyal, agar mengirimkan bala bantuan ke negeri Antah. Sejak paceklik melanda.

Nasi telah menjadi bubur. Semua telah terjadi. Meski pedih mendapati putranya yang sudah tiada. Sang kepala negeri tetap berjiwa besar, mengakuisisi negeri Antah menjadi satu negeri yang ada sekarang,  Negeri Menanti.

Sekejap aku takjub mendengar cerita dari Wak Abbas. Betapa Ironi dan menyedihkan kisah tersebut. Akupun tak sabar ingin menanyakan

“Apakah negeri Menanti sekarang menjadi lebih baik dibandingkan sebelum kedua negeri itu disatukan?”

Wak abbas menghela napas. “Sayangnya tidak, negeri ini tidak lagi memiliki ideologinya sendiri” ucapnya agakterengah.

“Jika dahulu, negeri Antah benar sangat menjaga kecintaannya terhadap negeri ini,  hingga menolak keras orang asing. Negeri ini tidak..”

Wak Abbas menghela napasnya sekali lagi.

“Semua orang kini bebas keluar masuk, bertransaksi, dapat memiliki setiap jengkal tanah negeri ini tanpa pengecualian. Hutan-hutan sengaja dibakar, Sebagian aset negeri ini pun sudah dijual, dikelola oleh asing..”

“..orang-orang pribumi sini juga banyak berpindah ke negeri seberang, karena di seberang mereka bisa lebih kaya dan mendapat uang lebih banyak. Mereka bahkan berbangga memakai barang produksi negeri seberang daripada produksi Negeri Menanti sendiri.”

“Lalu bagaimana dengan ideologi dasar yang dimiliki Negeri Berantah? Apakah juga hilang?”

Wak Abbas membenarkan. “Begitulah. Orang-orang menjadi lebih sering membaca opini daripada kitab suci. Ideologi itu berakhir, bersama dengan berakhirnya hidup sang kepala negeri.

Aku semakin penasaran. Kutanyakan saja, pertanyaan yang menggangguku sedari dulu itu.

“Menurut Wak Abbas apa itu pribumi?”

Wak Abbas memperbaiki lagi posisi bantal di punggungnya. “Mungkin di buku-buku ada dijelaskan. Tapi bagiku, pribumi bukan masalah kita besar dimana, orangtua kita lahir dimana.

Lebih dari itu, pribumi adalah seorang yang dimanapun ia berpijak maka ia akan memperlakukan negeri pijakannya itu sebagaimana rumahnya sendiri. Selalu ia bersihkan, ia rawat, ia minyaki biar tidak berkarat. Meskipun negeri lain lebih menawan, lebih indah. Namun rumah sendiri tetaplah rumah ternyaman, tempat ia tinggal hingga berpulang. Dan tentu ia takkan pernah mau menjualnya.”

Kulirik jam di pergelangan tanganku sekilas. Azan Maghrib sepertinya kan menjelang.

“Terimakasih Wak Abbas atas penjelasannya, kalo begitu saya minta diri.”

“Baik. Saya senang bertemu dengan anak muda sepertimu”

“Saya pun lebih dari itu wak. Sungguh banyak hikmah yang bisa saya ambil dari sejarah negeri ini…”

“Saya ada satu pertanyaan lagi, menurut Wak Abbas, mengapa negeri ini dinamakan Negeri Menanti?”

“Kupikir karena kepala negeri terdahulu, merindukan cucunya kembali..”

“..tapi terus terang itu sulit. Semua sia-sia walau sudah susah payah mereka mencari anak itu.”

” Di zaman sekarang tak ada yang tak mungkin wak,” timpalku.

Wak Abbas menggeleng. “Aku menyangsikan, Karena informasi yang mereka punya hanya sebuah nama yang diberikan ayahanda anak itu. Kau bisa bayangkan. Hanya sebuah nama, Padahal nama orang bisa saja berganti”

“Siapa gerangan nama anak itu, wak?”

“Namanya Pribumi. Negeri ini, menanti sang pribumi”

 

 

 

 

 

]]>
https://www.bennyinstitute.com/bukan-pribumi-tugas-kelas-menulis-dari-flp-jambi/feed/ 0
Asa Pendidikan Di Daerah Terpencil Part 2 (Inspirasiku) https://www.bennyinstitute.com/asa-pendidikan-di-daerah-terpencil-part-2-inspirasiku/ https://www.bennyinstitute.com/asa-pendidikan-di-daerah-terpencil-part-2-inspirasiku/#respond Fri, 15 Dec 2017 14:08:36 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=813 Dua hari melaksanakan misi sosial pendidikan di daerah terpencil rupanya tak membuat hasratmu redup. Hal itu sudah jauh tertanam sejak engkau masih kecil. Nilai-nilai pendidikan yang diajarkan orang tuamu untuk selalu berbagi dan mengasihi membentuk kepribadian yang prososial.

Melihat senyum kegembiraan anak-anak pedalaman menumbuhkan bahagia yang luarbiasa mengalahkan kemegahan harta dunia. Dalam naungan komunitas kalian yang selalu peduli terhadap lingkungan, betul-betul sevisi dengan apa yang menjadi tujuan hidupmu bahwa kehidupan bukan tentang harta dan tahta tapi bahagia. Kebahagian tak dapat kau beli dengan dua hal itu. Kebahagian adalah tentang hati, tentang bagaimana kau memberi dengan sepenuh hati, keikhlasan melakukan sesuatu.

Fakta lapangan memberi gambaran bahwa pendidikan Indonesia masih perlu diperbaiki. Banyak sekolah-sekolah yang butuh perhatian dari pemerintah, mulai dari fasilitas dan sosok guru. Bagaimana mungkin pendidikan akan baik jika semua itu masih menjadi pr. Melihat dari kaca mata kegiatan sosial kalian, bahwa pendidikan di pulau sumatera masih jauh lebih baik dari wilayah Indonesia timur lain.  Jika melihat berita-berita di tv mengenai pendidikan Indonesia timur jauh lebih ironi dan kau patut bersyukur terhadap pendidikan yang kau alami di daerahmu, sumatera.

Inspirasiku membuka gerbang pikiran tentang pendidikan. Anak-anak indonesia perlu diberi suntikan semangat dalam mencari ilmu. Jangan kita biarkan anak-anak Indonesia putus sekolah dan tidak memiliki impian serta cita-cita. Sebagai seorang pemuda kita tidak hanya mengkritisi tapi memberi solusi akan permasalahan yang ada. Memberi opini bukan caci maki. Melihat kegembiraan anak-anak ketika kalian sampai di sekolah tujuan membuat kalian bahagia bukan main. Rasa suka cita membuncah melihat generasi penerus bangsa yang masih kecil dan polos itu. Flash back ingat masa kecil bagaimana kalian sekolah membandingan sekolah dulu dan sekarang trus kalian diskusikan.

Apapun sistem, cara pengajaran, kita tetap ingin memajukan pendidikan dan pola pikir anak Indonesia. Bersyukur semenjak keberangkatan sampai selesai acara cuaca cerah menaungi langit. Secerah harapan anak-anak perbukitan itu untuk maju, salut bukan main ketika kau melihat anak-anak harus turun gunung selama 2 jam melewati hutan menuju sekolah. Para orang tua anak-anak itu dengan semangat yang tak kalah besar, mengantar dan menunggu anak-anaknya belajar. Mereka dalam penglihatannmu tidak ingin nasib anak-anaknya seperti mereka para orang tua, seorang petani tradisional yang tinggal di bukit yang tidak banyak tahu apa-apa tentang perkembangan zaman dan harga tanaman. “teruslah belajar nak, ibu bapak, ingin kamu menjadi orang pintar dan tidak seperti kami”. kau tersenyum memandangi ibu-ibu yang menunggu anaknya itu, betapa surga dibawah telapak kaki ibu dan orang tua adalah guru pertama anak. Semoga pengobanan yang besar itu diberi tuhan dengan balasan yang besar pula. Dan anak-anak itu akan berhasil suatu saat nanti, membanggakan orang tua mereka bahwa anak-anak primitif yang tinggal di bukit bisa menjadi seseorang.   [Curup, 14 Desember 2017]  

]]>
https://www.bennyinstitute.com/asa-pendidikan-di-daerah-terpencil-part-2-inspirasiku/feed/ 0
Asa Pendidikan Di Daerah Terpencil Part 1 (Inspirasiku) https://www.bennyinstitute.com/asa-pendidikan-di-daerah-terpencil-part-1-inspirasiku/ https://www.bennyinstitute.com/asa-pendidikan-di-daerah-terpencil-part-1-inspirasiku/#respond Thu, 14 Dec 2017 02:41:19 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=791 Perjalanan survey ke dusun Palembang Kecik lebih layak disebut petualangan. Akses jalan yang menantang dan kurang bersahabat membuat adrenalin terpacu. Beberapa kali kalian harus mendorong motor untuk keluar dari perangkap lumpur dan jalan yang licin.

“Oh my god! Ini baru tantangan” katamu sambil geleng-geleng disko menikmati perjalanan itu.

Endang di depanmu mendokumentasikan setiap moment seperti wartawan profesional, ia merekam dan memotret. Darwin dengan semangat empat limanya selalu tersenyum walau kakinya kena knalpot motor dan terluka. Semua demi pengabdian untuk negeri.

Kalian ingin sekali berbagi dengan anak-anak di sekolah yang terpencil, berbagi pengalaman, mengajar, menumbuhkan cita-cita anak, supaya mereka semangat dalam mencari ilmu. Itu adalah tahun kedua program Inspirasiku yang diselenggarakan komunitas kalian. Masih saja ada anak-anak muda yang mau peduli di era zaman sekarang, yang biasanya anak muda menghabiskan waktunya dengan senang-senang dan hura-hura.

Tak sampai satu jam kalian sampai dilokasi sekolah yang hanya memiliki 5 ruang bangunan. Masing-masing kelas merangkap dipakai kelas 1 dan 2, satu lagi kelas 3 dan 4, dan dua ruang lain untuk kelas 5 dan 6.  Satu ruang lagi merangkap untuk kepala sekolah dan guru-guru. Guru disana berjumlah 7 orang beserta  kepala sekolahnya. 3 PNS dan 4 honorer. Setiap guru memiliki jadwal mengajar selama tiga hari, dan tiga hari lain diisi dengan guru yang lain. Medan jalan yang sulit dan jarak membuat kepala sekolah membuat kebijakan itu agar guru-guru tidak terlalu capek. Bahkan kalian yang baru pertama kali survey saja sudah membuat kelelahan yang luar biasa. Untung disetiap perjalanan mata kalian dimanjakan dengan pemandangan pepohon di kiri-kanan jalan, serta hewan-hewan liar yang membuat kalian selalu tersenyum.

Kamu sangat salut dengan guru-guru yang mengajar disana, pergorbanan mereka sungguh besar. Apalagi saat hujan, jalan sudah pasti akan dipenuhi oleh kolam lumpur.

“Apa anggota wanita kita berani untuk terjun ke sekolah dan camping selama 3 hari dalam acara Inspirasiku nanti” tanyamu kepada ketua umum komunitas kalian, Endang.

Endang tersenyum “Komitmen diawal sudah kita ikrarkan, aku rasa anggota kita tidak secenggeng itu, mereka pasti berani ” balas Endang.

“Mereka semua militan kak Agus” tambah Darwin menegaskan.

 

Sesampai disana kalian berbicang dengan kepala sekolah dan guru-guru. Membicarakan program komunitas kalian untuk mengajar selama satu hari dengan mengudang para profesional; berprofesi dan berprestasi. Sambutan kepala sekolah sangat antusias, guru-guru juga merasa senang. Menumbuhkan semangat anak-anak untuk belajar dan bercita-cita sudah menjadi bagian komitmen komunitas kalian, muda berkarya.

Yang special dari kegiatan inpirasiku kali ini kalian menyasar sekolah yang benar-benar terpencil, terbelakang dan terisolir. Bahkan kalian harus gecamp selama 3 hari agar tidak capek jika dilakukan satu hari.

            “Mudah-mudahan kegiatan kita lebih sukses dari tahun lalu” ucap Darwin disela obrolan kalian.

“Aamiin” jawabmu. Kamu sangat berharap agar pemerintah bisa melihat kondisi sekolah dan siswa di SD yang kurang diperhatikan itu, bahwa fakta pendidikan yang sebenarnya masih sangat ironi.

Kepedulian kalian terhadap pendidikan dan anak-anak bukan tanpa alasan. Kalian ingin membuka paradigma masyarakat bahwa kepedulian itu masih ada. Bahwa masih ada anak-anak muda yang mau peduli dengan masyarakatnya. Bahwa masyarakat lembak tempat daerah kalian yang dicap buruk tak semua  orangnya buruk, ada banyak orang baik dan peduli serta semangat seperti kalian yang mau membangun daerah kalian, Lembak.*  [Tanjung Aur, 10 November 2017]

 

*Lembak= nama suku di sumatera tengah, terdapat di daerah bengkulu, sumatera selatan.

]]>
https://www.bennyinstitute.com/asa-pendidikan-di-daerah-terpencil-part-1-inspirasiku/feed/ 0
Kopi dari Benny https://www.bennyinstitute.com/kopi-dari-benny/ https://www.bennyinstitute.com/kopi-dari-benny/#respond Thu, 30 Nov 2017 10:18:34 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=740 “Mas, ada paket…” teriak tetangga depan rumah ketika saya baru pulang. Mungkin saya termasuk sering dapat paket. Baik kiriman buku, sekadar oleh-oleh, majalah, atau pesanan online. Petugas ekspedisi sudah kenal baik. Jadi mereka sudah tahu, kalau saya atau istri tidak ada, bakal dititipkan kepada tetangga.

Pengirimnya? Benny Institute, Lubuk Linggau.

Hmm… beberapa hari yang lalu, Benny Arnas tanya, “Alamat rumah nggak berubah kan Bang?” Saya menjawab, “Mau pindah kemana lagi Ben…” Kami saling tertawa. Karena demikianlah, tertawa adalah bagian penting dari setiap perbincangan saya dan Benny. Mungkin juga dengan yang lain. Selanjutnya pembicaraan beralih, saya hanya membatin. Benny mau ngirim pisang kali, baru panen kebonnya.

Benny Arnas itu bukan orang lain di Fun Institute. Bukan karena menulis yang mempertautkan saya dan Benny, tapi jauh dari itu. Kalau ke Jakarta, ada acara di Jakarta, sebisa-bisanya kita berjanji saling berjumpa. Bila tak ada jatah menginap di hotel atau akomodasi dari panitia, dia biasa menginap di rumah saya. Begitulah, sederhana saja.

Saya mengagumi Benny dengan semangat dan kerja kerasnya dalam menempuh jalan ini. Menjadi penulis. Dan kesungguhannya bisa dijadikan contoh buat teman-teman, anak-anak muda lain yang ingin menjadi penulis seperti dirinya. Kekuatannya mengeksplorasi tema-tema lokal membuat karyanya unik dan berbeda. Keberaniannya tampil dan menyorong karya ke berbagai panggung menjadi nilai tambah lainnya. Termasuk kemampuannya berkomunikasi dengan berbagai kalangan, lintas dunia kreatif, pun dengan birokrasi.

Bila saya bercerita banyak tentang Benny, saya bisa jadi gila. Ibarat orang yang menggarami air laut. Dari Lubuk Linggau dia melanglang buana, termasuk ke New Zealand dalam program residensi budaya. Karyanya merekah tak hanya sastra yang pencapaiannya tidak biasa. Tapi mengiris ke wilayah kreatif lainnya, menjadi penulis lagu, produser, sutradara, sekaligus penulis naskah drama.

“Benny kirim kopi, Mas…” kata istri saya yang membuka paketnya. Saya tersenyum, segera saja mengambil hape. Ben, kirimannya sudah sampai. Terima kasih ya… dan seperti biasa, tak bisa hanya saling menyahut patah-patah. “Saya lupa Bang, kalau Abang penyuka kopi sasetan…” tawanya berderai. Benny mengirimkan biji kopi dalam kemasan yang musti digiling dengan coffee grinder kalau mau disajikan. Ada kopi Pagar Alam dan kopi Curup Rejang Lebong. Aromanya menggoda. Rasanya ingin segera memanggil Zaenal Radar untuk ngopi bareng. Sori Zae, ini bukan kopi pemula…

24232547_10212850989283981_7526862475030236134_n.jpg

Selain kopi, Benny menyertakan tiga buku. Satu naskah drama yang ditulisnya dan baru saja dipentaskan di Lubuk Linggau. Dua buku lainnya, satu karyanya, satu lagi karya istrinya, Desi. Benny menulis, Desi pun menulis. Seperti juga saya, istri saya pun menulis. Itulah persamaan yang membuat persaudaraan ini kian seirama. Saya mendirikan Fun Institute tahun 2011, dia mendirikan Benny Institute di tahun 2012. Begitu saja, selanjutnya saling tegur sapa, saling menguatkan dan menyemangati. Selebihnya, kita ngomongin kopi sambil tertawa geli.

Karena memang banyak ironisme yang menjadi sangat komedial. Setidaknya, saya dan Benny membuatnya jadi sangat komedial. Hidup tidak harus serius terus, kalau masih bisa menemukan ruang tawa, ya tertawa saja. Terutama menertawakan diri kita, meskipun ini sudah level di atas rata-rata. Terima kasih kopinya Ben… [tef]

]]>
https://www.bennyinstitute.com/kopi-dari-benny/feed/ 0
Keliling Asia, Memburu Cahaya https://www.bennyinstitute.com/keliling-asia-memburu-cahaya/ https://www.bennyinstitute.com/keliling-asia-memburu-cahaya/#respond Sun, 19 Nov 2017 11:24:35 +0000 http://www.bennyinstitute.com/2017/11/19/bs-7-fashion-tips-that-will-make-you-the-center-of-the-room/ Ditengah membanjirnya buku-buku (tentang) perjalanan, penulis sejatinya dituntut pandai bersiasat untuk menuliskan segala-hal-berkaitan-dengan-tempat-tujuan dengan cara yang lain, cara yang menghadirkan nilai non-perjalanan yang hanya bisa ditemukan oleh penulis sendiri ketika bertualang. Memang, konten demikian berpotensi menjadikan buku bercitarasa sangat personal. Tapi tidakkah itu akan membuatnya menjadi “lain”. Lagi pula, memangnya masalah kalau hal-hal privat dilempar untuk publik? Mari berpikir lebih terbuka: Di era media sosial yang membuat kehidupan seperti kehilangan sekatnya ini, adakah yang lebih mahal dari privasi?

Kejadian dan pengalaman yang personal dan privat, bila dikemas dengan perspektif dan bahasa yang luwes, tentu akan melahirkan genuinity alias kekhasan—baik dalam peristiwa, maupun narasi. Artinya, banyak sekali buku-buku perjalanan yang sudah melakukannya—mengeksplorasi urusan personal dan privat, namun alih-alih menghasilkan kekhasan, malah membuat buku tersebut menjadi catatan harian yang hanya layak dikonsumsi penulisnya sendiri.

Menuntaskan Memburu Cahaya, Keliling Asia yang ditulis Tary Lestari, penulis dan pejalan, membuat pikiran saya merinci ulang, hal-hal apa saja yang membuat sebuah buku saya tekuni hingga tuntas—di mana saya yakin, salah satunya adalah karena di dalamnya, terdapat hal-hal, atau paling tidak nuansa khas, yang membangun isinya.

Ya, ketika hampir merampungkan buku terbitan Grasindo (Maret, 2017) ini, saya bersoliloqui; Apa yang saya cari? Selain ketertarikan terhadap perjalanan ke luar negeri, saya pun mengkritisi diri sendiri lebih dalam lagi: Apa yang ditawarkan Tary?

Hal yang membuat catatan perjalanan setebal 165 halaman ini langsung membetot urat ketertarikan saya sejak halaman-halaman awalnya adalah kesadaran Tary yang menetapkan tempat wajib-kunjung dalam itineary di sembilan negara Asia yang disinggahinya: masjid. Sebagai seorang muslim, pilihan tersebut seperti memberikan energi bawah sadar untuk terus menelisik buku ini, hingga selesai!

Detail demi detail dalam sejumlah momen yang diketengahkan Tary, dalam beberapa bagian, mampu menciptakan kesubtilan yang emosional atau sebaliknya, seperti cerita ia dan teman-temannya yang dikejar tiga ekor anjing karena mereka kesasar ketika mencari masjid di Macau, atau ketika pelajaran kecil yang hendak ia tularkan pada pembaca: jangan pernah mencari alamat di luar negeri dalam keadaan lapar—yang lahir dari pengalaman bepergiannya di China dan Jepang yang kelelahan wara-wiri ke sana-kemari mencari kantor dan penginapan yang letaknya sangat dekat dari tempat mereka memulai pencarian. Dalam keadaan lapar dan lelah, Google Maps kehilangan kesaktiannya. Bagian-bagian “remeh” di atas sejatinya penting bagi pembaca untuk merasakan citarasa privatnya.

Sebagaimana label “travel-diary” di sampul muka, pembaca memang diajak Tary larut dalam perjalanan-perjalanan yang diceritakan dengan tandas, apa adanya, nirtendens. Kadang, cerita yang diketengahkan tidak memberi apa-apa, selain narasi yang berisikan nama-nama tempat, sejarah, dan atmosfer Asia. Meskipun begitu, sebagai pembaca, saya merasa dimanusiawikan dengan bagian-bagian yang demikian. Hidup tidak selalu logis, penuh twist, atau berurusan dengan hal-hal besar, ‘kan? Buku yang baik, menurut saya, tidak mesti dan tidak melulu berisi “daging-daging” sebab “daging” baru akan “terpampang” sebagai “daging” bila ada lemak dan tulang.

Hal yang patut disayangkan dari buku ini adalah sesuatu yang mulanya menjadi alasan kuat bagi saya untuk menuntas-bacakannya. Ya, masjid. Masjid yang Tary metaforkan dengan “Cahaya”, dari cerita ke cerita, justru tampil kedodoran, sekadar tempelan. Seakan-akan, masjid adalah anak kandung yang, seiring waktu, kehilangan daya tariknya, sehingga tidak lagi mendapatkan perhatian memadai dari orangtuanya. Di tengah kelindan cerita perjalanannya, masjid adalah anak kandung yang diurus setengah hati. Yang kehilangan magnet dan keseksiannya. Yang menjadi anak tiri!

Memang tidak ada larangan menjadikan “Cahaya” sebagai komoditas (baca: daya tarik), namun ketika masjid tak lebih sekadar lokus, subsetting sebuah subcerita, ruh tulisannya pun melayang. Bahkan kehadirannya menjelma semacam benang-yang-ditemukan-kemudian, setelah semua kisah lunas dituliskan, ketika semua kisah “diharuskan” memiliki sebuah persinggungan.

Celah itu, untungnya, menjadi samar karena cara penulisan Tary yang prosaik, sehingga tiap tulisan mengalir sesuai takaran.

Namun, kesesuai-takaran ini pun sejatinya adalah pisau bermata dua. Ia menjelma kekuatan yang akan mengikat pembaca sebab seperti ada alur yang sengaja dibuat penulis, namun di sisi lain, karena ditulis dengan kesadaran penuh bahwa ini bukan karya prosa, tiap tulisan menghadirkan emosi yang tidak tertata dan tanggung. Meskipun begitu, hal terakhir ini tidak bisa dikategorikan secara mutlak sebagai “kekurangan”, sebagaimana hal pertama tidak saklek dinamai “kelebihan”, sebab Tary relatif lihai memilah ingatan-ingatan perjalanannya untuk meramaikan cerita.

Beragamnya kesan yang muncul dalam pembacaan “travel-diary” ini, tak pelak menciptakan pengalaman memahami penulis dan kisahnya dengan cara yang asyik dan mengusik. Ini adalah sehimpun catatan perjalanan yang bercerita dengan realis(tis) tanpa harus repot-repot mengelabui pembacanya dengan menyulapnya menjadi “novel perjalanan” atau sejenisnya.

 

BENNY ARNAS, Penulis dan pejalan.

Hp. 081373534051 | No. Rek. BCA 0570438689

]]>
https://www.bennyinstitute.com/keliling-asia-memburu-cahaya/feed/ 0