Setya Novanto – bennyinstitute https://www.bennyinstitute.com education.art.culture.book&media Fri, 15 Dec 2017 15:21:51 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.3.1 https://www.bennyinstitute.com/wp-content/uploads/2019/06/cropped-PicsArt_06-13-08.46.47-32x32.png Setya Novanto – bennyinstitute https://www.bennyinstitute.com 32 32 NETRALITAS DALAM KORUPSI: PRO KORUPSI! https://www.bennyinstitute.com/netralitas-dalam-korupsi-pro-korupsi/ https://www.bennyinstitute.com/netralitas-dalam-korupsi-pro-korupsi/#respond Fri, 15 Dec 2017 14:40:47 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=834  

Menarik sekali mendengarkan pemaparan Bapak Sujanarko, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK tentang korupsi pada Studium Generalle di acara Taman Literasi (Tali) Integritas yang dihelat di Jakarta, 11-12 Desember 2017. Salah satu pernyataannya yang memantik kesadaran sekaligus kewaspadaan adalah tentang kompetensi koruptor.

Menurut beliau, tampilan dan perilaku koruptor–baik yang kerap kita lihat di televisi atau pun yang secara nyata ia saksikan dengan mata kepala sendiri–seharusnya memberikan kita peringatan bahwa menjadi pintar, bergelar akademik menterang, dan menyandang popularitas sebagai tokoh masyarakat, sama sekali tidak berbanding lurus dengan–untuk tidak mengatakannya “jaminan”–mutu kepribadian atau “moralitas” atau “akhlak” manusia. Sebagian besar paling rendah berijazah S2!

Taraf dan gelar pendidikan, pengalaman intelektual, dan ketokohan itu, justru membuat mereka memiliki kepekaan dan kesantunan sosial yang mengagumkan. Mereka seolah telah mengkhatamkan kuliah psikologi dan sosiologi sehingga mahir dan bertabiat. Bertemu masyarakat biasa mereka akan ramah menyapa, tak pelit berbagi senyum, bahkan dengan cakap memasang raut muka simpati atau empati terhadap kisah hidup atau nasib yang tak pernah terbayangkan. Di masjid, panti asuhan, atau bencana alam, tak jarang mereka menjadi penyantun dana pembangunan dalam jumlah yang besar, penyumbang terbesar untuk perayaan hari besar Islam yang tak pernah ia hadiri. Bahkan di salah satu provinsi di Indonesia, seorang koruptor membangun masjid di seberang rumahnya. Ketika Tsunami menyapu Aceh, koruptorlah yang pertama kali menyambangi provinsi paling barat itu. Ketika hajatan, mereka mengundang jemaah pengajian dan panti asuhan untuk mengumandangkan asma Allah dengan gemuruh, membaca yasin sekaligus menyuguhkan makan malam dengan menu yang menerbitkan liur, plus menyisipkan amplop kepada sesiapa yang hadir. Mereka, lanjut Sujanarko, memakai pantofel di kantor, tanpa singkuh mengenakan bakiak di pesantren, cekatan membuang sepatu dan melipat celana ketika hendak menyeberangi aliran banjir untuk mengantar bantuan kepada patra pengungsi.

Mereka adalah pelakon yang sesungguhnya. Yang memiliki stok wajah dengan ekspresi (baca; kebusukan) tak terbatas.

Penjelasan Sunajarko di atas, dapat saja dikait-sambungkan dengan paparan Maman Suherman yang mendapat giliran bicara setelah beliau di forum tersebut. Ketenangan dan ketakkhawatiran yang memancar dari wajah dan gestur sang koruptor tampaknya tak bisa dilepaskan dari catatan ICW atas rata-rata hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang hanya 26 bulan. Ya, 26 bulan, bukan 5 tahun, yang berimplikasi hilangnya hak mereka untuk memilih dan dipilih dalam perhelatan politik negeri ini.

Hal lain yang dapat saja memicu “kebebalan” koruptor dalam bersopan-santun hingga berlaku sangat relijius itu adalah masih mandeknya pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana di DPR menjadi sebab lembaga penegak hukum seringkali kesulitan melaksanakan penyitaan dan perampasan aset koruptor. Maman bercerita, ia beberapa kali bertemu dengan keluarga koruptor dan sedikitpun mereka tidak menunjukkan rasa malu atau merasa dirugikan sehingga masih bisa clubbing, mandi susu, atau jalan-jalan ke luar negeri plus shoping barang-barang branded sebab pemenjaraan tidak otomatis membuat mereka jatuh miskin!

Meskipun menurut Transparency International Indonesia (TII), indeks prestasi korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan kenaikan yang signifikan, dengan menjadi peringkat 3 di ASEAN di bawah Singapura dan Malaysia, namun di sisi lain TII melihat Negara (KPK) masih relatif lamban sebab KPK masih berkonsentrasi pada sektor biokrasi, belum menyasar swasta. Meskipun, tak bisa dipungkiri, birokrasi kita memang berada dalam zona “darurat-pengawasan-korupsi”, mengingat begitu banyaknya urusan terkait sekror itu yang begitu berbelit-belit, pungli yang merajalela, hingga memakan waktu penyelesaian urusan yang sulit diprediksi.

Menurut Maman Suherman, Dar al Ifta, lembaga fatwa di sana Mesir, telah mengeluarkan fatwa terkait korupsi waktu. Mengingat urgensinya dalam menjalankan amanah, melalui lembaga yang memiliki fungsi serupa, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Saudi Arabia mengadopsi fatwa tersebut. Bahkan negara terakhir menambahkan urusan “manipulasi data kehadiran” di dalam fatwanya. Di Indonesia, tampaknya hal ini sangat relevan, mengingat iklim birokrasi kita yang begitu bersahabat dengan penyia-nyiaan waktu. Maman mengambil hari Jumat sebagai contohnya; pukul 8-10 pagi senam bersama. Setelahnya siap-siap salat Jumat. Lalu istirahat hingga pukul 2 siang, dan sisanya sekitar 2 jam adalah waktu pelayanan yang memanfaatkan sisa energi. Bayangkanlah. Belum lagi di sektor-sektor lain, di mana korupsi waktu menjelma dalam berbagai varian pemborosan. Bila kembali pada kutipan legendaris “waktu adalah uang”, tak pelak, korupsi waktu seharusnya masuk dalam definisi dan tindak hukum korupsi itu sendiri.

Memang, sejak berdirinya pada 2002 hingga hari ini, KPK telah menyelamatkan sekitar 182 triliun uang negara. Namun, hal ini tentu saja tidak bisa dimaknai bulat-bulat “kembali ke Negara” sebab biaya penindakan dan persidangan, biaya terkait warisan jahat berupa “corruption-mindset”, dan biaya implisit berupa iuran/biaya rutin yang harus dikeluarkan demi “melunasi/menombok” proyek dan urusan yang telah dikorupsi, kalau dihitung lebih rinci, bisa saja membuat Negara dalam kerugian yang mengerikan!

Korupsi sejatinya telah nyata-nyata berada di sekitar kita. Yang menyaru dalam kesantunan, kedermawanan, hingga kesalehan. Yang didukung oleh keringanan hukuman, jauh dari peluang pemiskinan, hingga menyia-nyiakan waktu. Tinggal kita, sewaspada apa melihatnya, seberani apa melawannya. Melihat Negara yang dipermainkan sedemikian konyolnya oleh seorang Setya Novanto, tampaknya semua elemen bangsa ini harus bersatu, termasuk mengadopsi semangat yang diusung KPK yang terus mengampanyekan lawan korupsi.

Ya, lawan korupsi. Laporkan. Sekadar diam atau menghindarinya, tak cukup lagi, atau bahkan menunjukkan bahwa yang bersangkutan prokorupsi atau bahkan bagian dari jemaah koruptor!(*)

Tulisan di atas disarikan–dan dikembangkan seperlunya–dari Studium Generalle oleh Sujanarko dan Maman Suherman di acara Tali Integritas (Jakarta, 12-12-2017)

]]>
https://www.bennyinstitute.com/netralitas-dalam-korupsi-pro-korupsi/feed/ 0