education.art.culture.book&media

Dear Adik-adikku, Bertanyalah! (Esai Lingkaran Kopdar #2)

Oleh: Yuhesti Mora

Tulisan ini saya susun khususnya untuk adik-adik saya di taman baca yang barangkali mereka ingin tahu mengapa saya terus menodong mereka dengan pertanyaan dan mendorong untuk selalu bertanya dan secara umumnya bagi semua pembaca yang ingin saya curhati soal pandangan saya tentang “bertanya”.

Ini semua bermula dari ketika saya menemukan quotes menarik dari Voltaire yang adalah  seorang penulis dan filsuf Perancis pada abad pencerahan beberapa tahun silam. Judge a man by his questions rather than his answers yang jika diterjemahkan kira-kira bermakna nilailah seorang manusia dari pertanyaannya bukan jawabannya.

Ketika mencari tahu lebih lanjut mengenai quotes itu saya juga menemukan quotes lain yang gagasannya sama dari Pierre Marc Gaston—seorang politikus Perancis. It is easier to judge the mind of a man by his question rather than his answer. Jika diterjemahkan bermakna jauh lebih mudah menilai pikiran seorang manusia dari pertanyaannya ketimbang jawabannya.

Dari kedua quotes itu semuanya menekankan betapa pentingnya bertanya. Lantas apa yang sebenarnya membuat bertanya jauh lebih penting ketimbang menjawab pertanyaan.

Sampai di sini, saya ingin saya sendiri dan pembaca sadar bahwa informasi yang saya peroleh secara acak di internet ini—yang menarik minat saya tentu saja—akhirnya membuat saya bertanya.

Sebagai informasi tambahan, untuk menjawab pertanyaan itu, saya merenung selama beberapa jam di tempat tidur semalaman suntuk. Barangkali kalian juga akan mulai bertanya apa yang saya dapatkan dengan memikirkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu—yang mana adalah pertanda baik.

Baiklah saya akan memulainya dari awal. Saya memikirkan apa yang membuat diri saya menjadi seperti sekarang. Saya tidak terlahir tiba-tiba menjadi orang yang mengetahui apa yang saya ketahui sekarang, saya melalui sebuah proses yang panjang dari mulai lahir, masa sekolah dan masa sekarang. Ada istilah bahwa bayi itu adalah kertas putih—yang artinya ia adalah titik nol. Saya memulai segala sesuatunya dari titik nol. Dari sebuah ketidaktahuan. Bagaimana saya mencoba untuk mengetahui sesuatu.

Saya mengingat sebuah caption di sebuah postingan akun instagram Philosophy of Science tentang apa yang Carl Sagan—seorang santis—katakan mengenai itu. “Jika kita memasuki kelas taman kanak-kanak atau kelas satu SD, kita akan menemukan bahwa kelas sangat antusias dengan sains. Mereka acapkali bertanya pertanyaan-pertanyaan besar semisal seperti apakah mimpi itu? Mengapa bulan berputar? Kapan bumi ini berulang tahun? Mengapa rumput berwarna hijau? Itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan penting dan mendalam.”

Coba bandingkan dengan beberapa Pertanyaan besar dalam sains yang dirumuskan guardian.com. Bagaimana semesta terbentuk? Bagaimana kehidupan ini bermula? Apakah kita sendirian di semesta ini? Apa yang membuat kita berbeda dari mahluk lainnya? Mengapa kita bermimpi? Apakah ada semesta lain? Apa dasarnya lubang hitam? Dapatkah kita hidup selamanya? Apakah mungkin melakukan perjalanan waktu?

Lebih lanjut ucapnya, “Sementara jika kita memasuki kelas dan berbicara dengan siswa-siswa kelas menengah tidak ada hal-hal yang semacam itu. mereka berhenti menjadi penasaran.”

Dalam kehidupan nyata saya, apa yang Carl Sagan katakan itu ada benarnya pula. Saya menghabiskan akhir pekan saya dengan bermain dengan adik-adik usia balita dan sedikit di atasnya. Hal yang menarik dari mereka adalah bahwa mereka sangat peka dengan stimulus lingkungan yang bisa berupa apa saja misalnya melihat hewan-hewan yang berkeliaran di jalan, motor dan mobil yang lalu lalang dan apa saja yang saya sedang kerjakan. Hal yang pertama yang mereka lakukan adalah mengamati dan kemudian bertanya. Pertanyaannya bisa berupa macam-macam—meskipun tidak semuanya pertanyaan besar dan mendalam. Dari yang memang benar-benar penting dan mendalam hingga saya terpukau dibuatnya sampai yang benar-benar konyol hingga membuat saya geli setengah mati.

Sementara anak-anak yang berusia beberapa tahun di atasnya—anak-anak SMP—sudah tidak seaktif mereka. Barangkali persis yang ia ucapkan bahwa mereka berhenti menjadi penasaran atau barangkali hanya ketertarikan mereka saja yang sudah berbeda. Saya belum dapat memutuskan apakah itu adalah hal yang baik atau justru memang semengkhawatirkan pesan yang ingin Carl Sagan tegaskan.

Jika saya renungi sekali lagi saat kita bertanya kita memang sedang menunjukkan antusiasme untuk mengetahui perihal sesuatu. Dari bertanya juga kita akhirnya memperoleh sebuah fakta, pengetahuan atau pengalaman baru dari jawaban yang diperoleh. Ada pepatah pula yang mengatakan bahwa malu bertanya sesat di jalan. Intinya kira-kira siapa yang tidak ingin tersesat maka bertanyalah.

Seorang novelis, Patrick Rothfuss, memberikan saya poin tegas tentang lebih pentingnya bertanya ketimbang menjawab pertanyaan. Bahwa katanya pertanyaan yang tidak bisa kita jawab itu paling membuat kita belajar banyak. Lebih lanjut lagi ia juga mengatakan bahwa jika kamu memberikan jawaban kepada seseorang, yang ia peroleh hanyalah secuil fakta. Namun berikan ia pertanyaan dan dia akan mencari jawabannya sendiri.

Tentang hal kedua yang ia sampaikan saya teringat seorang kawan. Kami sangat sering mengobrol, sharing tentang banyak hal. Ketika saya sedang mempertimbang sesuatu yang penting dalam hidup saya alih-alih menyarankan saya sesuatu, ia menberikan saya pertanyaan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang sedang saya hadapi. Bagi saya ia sangat cerdas. Ia membantu saya menyelesaikan persoalan dengan tidak menggurui saya—tidak ada satu orang pun yang ingin digurui—tetapi lebih ke memberikan jalan dan memberikan ruang bagi saya untuk menyelesaikan masalah saya sendiri.

Saya telah belajar banyak dari pertanyaan yang ia ajukan. Bahwa belajar itu adalah jua soal proses. Bayangkan jika ia memberikan saya nasihat sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang saya bagi dengannya. Saya hanya akan mendapatkan sebuah nasihat saja.

Selama periode waktu itu saya masih menganggap bahwa bertanya jauh lebih penting ketimbang menjawab pertanyaan. Dampaknya adalah siswa-siswa di kelas saya, diharuskan mengajukan pertanyaan sebagai tugas rutin setiap selesai pembelajaran. Dan itu saya lakukan sebagai sebuah bentuk protes mengapa sistem pendidikan kita lebih banyak membuat siswa menjawab pertanyaan ketimbang mengajukan pertanyaan.

Dari mengamati berbagai macam pertanyaan siswa itu saya dapati bukan saja seberapa jauh ia belajar dalam satu waktu tetapi juga menguak siapa diri siswa itu. Saya mengenali mereka dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan itu. Meskipun dalam prakteknya tidak selalu mulus. Karena tidak semuanya bertanya dengan serius—setengahnya hanya menyalin pertanyaan dari buku teks, bukan hasil merenunginya dalam-dalam. Ini bisa dipahami karena biasanya sesi bertanya dilakukan selama proses pembelajaran yang paling banyak satu atau dua orang saja. Sementara ada lebih banyak siswa yang tidak terbiasa dengan bertanya.

Untuk beberapa waktu menjadi guru yang demikian saya merasa bersyukur. Meskipun saya belum tahu lebih lanjut tentang apa manfaat yang diperoleh dari siswa-siswa saya itu dari bertanya—yang saya dorong mati-matian.

Kemudian, saya mencoba mendorong “bertanya” kepada siswa-siswa yang saya asuh sekarang. Mereka usianya jauh lebih rendah. Namun saya percayai mereka sebagai makhluk yang berpikir. Saya tidak sepakat bahwa mereka hanyalah sebuah benda yang bersih atau tidaknya tergantung kita yang membuatnya.

Semisal, Dik, apa manfaatnya bermain game online? Mengapa malas datang ke sekolah? Mengapa malas baca buku? Apa manfaatnya keluyuran ke sana ke mari? Dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya.

Hasilnya tentu saja jauh lebih tidak mulus ketimbang sebelumnya. Dan saya merasa buruk sekali. Ini karena saya terlanjur memiliki pengharapan yang tinggi sementara saya lupa bahwa barangkali benar, mereka hanyalah anak-anak saja.

Seperti yang dituliskan Aan Mansyur dalam salah satu esainya bahwa ketidakpastian adalah racun bagi tubuh. Tidak semua orang senang diombang-ambingkan oleh perasaan bimbang. Ya, bertanya memang membuat kita bimbang. Siapa pula yang senang dibuat bingung. Siapa pula yang senang dibuat bertanya jika pertanyaan-pertanyaan itu membuat tidak tidur malam—seperti yang saya alami.

Saya, suatu kali iseng-iseng mengajukan pertanyaan di sebuah akun sosial media bernama Quora—situs berbagi pengetahuan di mana user dapat mengajukan dan menjawab pertanyaan apapun.

“Yang mana yang lebih penting dalam pembelajaran, bertanya atau menjawab pertanyaan?”

Dari semua jawaban para user lain yang saya peroleh, intinya itu tergantung proses apa yang ingin didapatkan. Tidak satu pun dapat memutuskan mana yang lebih penting—dua-duanya penting dan saling melengkapi. Menjawab pertanyaan berguna untuk mereview yang telah dipelajari sedangkan bertanya berguna untuk memperoleh pengetahuan baru.

Dan itu merupakan jalan tengah bagi saya. Di satu sisi saya menjadi lebih terbuka ketimbang sebelumnya. Di sisi lain itu makin menguatkan saya soal protes sistem pendidikan itu. Bahwa nilai kognitif siswa jangan hanya dinilai dari jawabannya saja namun juga dari pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Meskipun dalam praktiknya ini menjadi tidak mudah. Siapa yang sanggup menilai sebuah pertanyaan yang diajukan tiap-tiap orang—yang jika diterapkan secara benar, sudah pasti berbeda dan original.

Seorang dosen saya yang bijak dalam sebuah kelas Filsafat menilai tiap-tiap jawaban yang kami ajukan berdasarkan kata kunci dan kesesuaiannya. Saya mengajukan gagasan bagaimana jika kita jua menilai pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan kata kunci dan kesesuaian dengan materi pembelajaran di hari itu? Meskipun akan memunculkan potensi subjektivitas besar di sana sini, namun apakah itu sebuah alasan yang tepat untuk tidak mencoba?

Lebih lanjut lagi apakah benar soal bertanya atau menjawab pertanyaannya yang penting dalam pembelajaran? Apa bukan soal motivasi? Mau diterapkan metode atau cara apapun jika niat untuk belajar itu tidak tertanam sendiri dalam pribadi masing-masing semuanya barangkali akan sia-sia saja. Seperti halnya saya, setiap ornag akan mengajukan pertanyaan jika menemukan hal yang menarik minatnya. Soal minat ini perkara siapa lagi?

Sebelum menjadi esai yang tidak berujung, untuk menghibur diri, saya akan menanamkan dalam-dalam kata-kata Kiai Hj Maemun Zubair ini. Bahwa katanya, “Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”

Sebagai penutup, saya teringat sebuah judul dari buku yang ditulis Leon Max Lederman yang mengupas tentang The God Particle (Partikel Tuhan—Higgs Boson) yang dulu menjadi motivasi terbesar saya untuk belajar lebih banyak. Semoga juga bisa menjadi motivasi bagi yang membaca atau paling tidak yang membaca menjadi tergerak untuk mencari motivasi belajarnya sendiri di tempat lain.

If the universe is the answer, what is the question?

Jika semesta ini adalah jawabannya, apa pertanyaannya?(*)

 

Biodata penulis:

Yuhesti Mora, penyuka sains dan sastra dari seorang Michio Kaku dan Haruki Murakami. Tahun 2016 mulai merintis TBM Hesti Mora lalu 2017 membuat film Kado yang memenangkan kategori aktris terbaik di ajang LSMF 2017, 2018 membuat film Saguradam yang meraih gelar film terbaik di ajang LSMF 2018. Lebih dekat dengannya di facebook “Yuhesti Mora”, Instagram @hestimora dan channel youtubenya “Yuhesti Mora”.

 

 

 

 

 

*Esai pemantik diskusi di atas kemungkinan besar akan direvisi sesuai bentuk terbaiknya ketika akan dibukukan dalam Bunga Rampai Esai Lingkaran kelak.

Comments
Loading...