Jubah Dari Surga

Jujur, aku benci jika diminta berkisah perihal ini. Bukan benci dengan orang-orang yang terlibat dalam kisahnya, namun benci pada aku yang entah bagaimana akan mengakhiri kisah ini. Kau pasti maklum betapa sulit menyelesaikannya, bukan karena aku malas apalagi malu untuk bercerita, tapi begitu banyak hal yang tak bisa kukabarkan pada khalayak tentang ia, wanita paruh baya bermata caramel dengan perawakan yang mulai membungkuk akibat mengasuh aku dan kedua adikku, sosok lembut yang kusapa Ibu. Tak cukup beribu aksara untuk berkisah tentangnya. Tapi tunggu, sepertinya ada satu cerita yang menjadi dalang terbentuknya aku yang sekarang, cerita ini dimulai pada hari itu, luka yang terkubur 14 tahun yang lalu, saat hal terumit dikelurga tiba dan saat Ibu tak melepaskan tanganku.

***

Mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya, pun langit berselimut embun nan meminang kabut. Masih terlalu pagi untuk mengumpat pada hari yang belum tentu menjadi buruk. Aku Putri Sanda Agustina, perempuan bumi yang anti dengan air pagi hari. Kali ini aku tidak lagi menyembunyikan namaku, biarlah semesta menjadi saksi bahwa aku adalah sosok yang tak terlepas dari Ibu, meski terkadang perdebatan antara kami tak terelakan tapi kami tetaplah Ibu dan anak. Kembali kepada hari itu, hari dimana aku sangat ingin memberikan jubah dari surga untuk ibu.

 Bermula ketika umurku 7 tahun, masih terlalu kecil untuk hidup dalam bayang-bayang kecemasan, namun itulah yang terjadi. Waktu begitu cepat sampai aku tak tahu apa yang terjadi, layaknya sebuah mimpi yang hadir dan hanya memberikan gambaran abstrak. Aku bernapas, makan, tidur, sekolah, dan bermain, namun bak boneka hidup yang entah dimana titik akhir pemberhentianku, sungguh hidupku tak tentu arah. Mungkin jika itu adalah mimpi, sesegera mungkin aku akan bangun, karena hari-hari itu adalah hari yang amat menjenuhkan. Bahkan jika kugali ingatan, hanya nampak bayangan secepat kilat dan guratan hitam pekat –aku tak mengingatnya- hanya ada tangan hangat milik Ibu yang tak pernah melepaskanku.

Aku tak ingin berhenti sekolah, namun kecenayanganku menuntut itu, bahkan orang disekelilingku menganggap aku “gila” bukan tanpa alasan, karena sejatinya Putri Sanda yang mereka kenal adalah anak yang aktif. Namun siklus perubahan turut mengubah persepsi mereka bahwa aku bukanlah yang dulu. Sudah pasti kau menebak bahwa Ayah dan Ibuku tak tinggal diam dengan judgement tetangga. Orang tua mana yang terima ketika anaknya disebut gila? Ibu dan Ayah rela mengorbankan waktu hanya untuk si sulung ini. Ibu rela membawa adik kecil yang masih balita (3tahun usianya pada saat itu), menggendongnya lalu ikut bersama ke sekolah, mungkin hal ini juga yang mendasari adikku lebih baik dalam segi akademik. Saat sekolah, Ibu ada di sampingku, karena Ibu tahu ketika ia pulang, maka secepat kilat akupun meninggalkan sekolah. Jika kau kembali bertanya apa yang sebenarnya terjadi apa diriku? Percuma, kau tak akan mendapat jawaban karena akupun tak tahu. Dengan sabar ibu menemai dan menjagaku, tak terbesit dibenaknya untuk melepasku, lalu kemana ayah? Ayah turut andil, namun dalam porsi sebagai kepala keluarga, bekerja memeras keringat demi mencukupi finansial dikeluarga kami.

Aku rasa, ketika Ibu dan ayah membaca tulisan ini mereka akan tersenyum bukan? Jangan menangis, karena aku terlalu gengsi untuk menghapus air mata. Saat aku berhasil, kisah ini bukanlah luka, melainkan pemanis mimpi kita. Selama ini aku hanya berpikir surga didapatkan melalui ibadah dan memang benar adanya. Namun ada surga yang bisa didapatkan dengan cara sederhana. Surga itu begitu dekat dengan kita, bahkan ia ada dirumah. Di kaki ibu-ibu kita, dan pada ridho orang tua kita. Mulai saat itu aku menginginkan jubah dari surga, bukan untuk kusombongkan atau kugadai pada penjual, namun untuk ia yang kerap gusar ketika anaknya tak kunjung membalas pesan singkat darinya.

Bu, yah… mungkin jika kita melihat kembali apa yang telah terjadi, rasanya seperti mimpi membandingkan hidupku saat ini. Meskipun aku belum bisa memberi kebahagiaan tiada tara pun memberikan jubah dari surga, setidaknya mimpi itu tak lagi terluka. Ibu yang telah menutupnya dengan plaster cinta tanpa mengharap sesuatu lainnya. Meski mungkin Ayah dan Ibu sering mendengar aku menggerutu kesal ketika tugas-tugasku yang menggunung belum selesai aku kerjakan, atau bahkan ketika aku membuat risau ibu dan ayah karena acapkali pulang begitu larut. Akan tiba saatnya, saat toga melekat dan jubah dari surga itu tiba untuk balasan dari plaster cinta penutup luka…

 

BIODATA

Putri Sanda Agustina, merupakan putri dari pasangan Damawi dan Susanti, lahir di Lubuklinggau, pada tanggal 22 Agustus 1999. Merupakan seorang gadis pecinta hujan yang memiiliki segudang mimpi, kini tengah menempuh studi nya di perguruan tinggi swasta yang ada di kota nya, STKIP PGRI Lubuklinggau, pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif dalam beberapa kegiatan mahasiswa sseperti LDK-KEMAS, KOMILWA dan KAMMI.

Comments (0)
Add Comment