KANGEN

(Hari ke-9 di Seram Bagian Barat)

Walaupun baru bisa terlelap dini hari, pukul tujuh pagi saya sudah berada di lobi hotel. Dalam percakapan via WhatsApp malam tadi, Obi, pegawai Kantor Bahasa Maluku memberi tahu kalau biasanya para panitia berangkat ke lokasi acara pukul setengah delapan. Rombongan Kantor Bahasa Maluku sejak tiga hari yang lalu menjadikan Hotel Amadeus tempat saya menginap sebagai basecamp kegiatan yang mereka adakan: Penyuluhan Bahasa bagi Tenaga Pendidik Bahasa Indonesia di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kegiatan yang dipusatkan di SMAN 1 Piru itu dilaksanakan dari tanggal 16 hingga 19 April 2018.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Piru, Zulfan memang pernah bilang kalau instansinya akan mengadakan kegiatan di Piru. “Sepertinya kami akan meminta Abang untuk mengisi materi Penulisan Kreatif pada hari Jumat,” tegasnya waktu itu. Tentu saja saya bersedia. Apalagi di Seram Bagian Barat saya mengatur jadwal saya sendiri. Berbagi dengan guru-guru bahasa Indonesia tentang sesuatu yang menjadi passion saya, alih-alih memberatkan, ia malah menjadi amunisi kegembiraan seorang ‘perantau’ seperti saya.

Tidak banyak yang saya siapkan untuk pelatihan ini. Saya hanya perlu mengunduh materi presentasi yang sudah saya siapkan di email. Apalagi Dr. Asrif, kepala Kantor Bahasa Maluku, mengatakan kalau panitia menyiapkan laptop dan projektor. Selebihnya, materinya penulisan kreatif itu sudah melekat dalam kepala!

Tepat pukul 7.30 WIT, Obi dan Bang Harlin menghampiri saya yang sedang sarapan pisang goreng di temani teh tawar. Mereka mengatakan kalau accu mobil panitia sedang diganti, sehingga kemungkinan besar kami ke lokasi naik motor. Saya mengerti maksud mereka. “Oh tidak ada masalah. Saya tiap hari juga ke mana-mana naik motor sama Bang Reimon,” ujar saya seraya mengibaskan tangan. Karena beberapa malam ini saya dan para legawai Kantor Bahasa Maluku sudah akrab oleh acara makan ikan bakar dan durian bersama, seharusnya mereka tak perlu merasa tak-enak-hati hanya karena tidak bisa membawa narasumbernya dengan kendaraan roda empat ke lokasi acara.

Benar saja. Kami menghabiskan tidak sampai 10 menit di atas ojek untuk tiba di SMAN 1 Piru. Dalam hal ini, kendaraan roda empat benar-benar tentang prosedur dan prestise! Tadi sebenarnya saya sempat mengontak Bang Reimon untuk membawa saya ke sana dengan sepeda motornya sebagaimana biasa, tapi tampaknya dia belum bangun. Ya, biasanya Bang Reimon menyambangi saya di Amadeus pukul 9 atau 10 pagi. Saya memang lupa memberitahunya kalau agenda hari ini dimulai lebih pagi.

Di ruangan acara, saya mencoba menguji tampilan file presentasi saya di projektor. Setelah merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saya bergabung dengan Obi dan Bang Harlin yang tampak sibuk menyiapkan urusan administrasi di pintu masuk. Oh, saya baru ngeh. Ini adalah hari terakhir acara, pasti banyak berkas yang harus ditandatangani peserta nantinya. Panitia juga menyiapkan sertifikat untuk para peserta.

Saya sebenarnya ingin bercengkerama dengan para peserta yang sebagian besar perempuan, namun melihat bahasa tubuh mereka yang kaku (mungkin kentara sekali saya adalah ‘orang baru’ dari tampilan fisik maupun pakaian yang saya kenakan), niat itu tak jadi saya realisasikan. Saya memilih jalan-jalan melihat-lihat sekolah yang memiliki halaman yang cukup luas ini.

Hingga pukul delapan yang artinya bel untuk jadwal saya sudah berdering, baru sebagian peserta yang hadir. Bang Harlin meminta saya menunggu, walaupun sebenarnya saya tidak masalah sedikit pun. Fleksibel saja, batin saya. Tiga puluh menit kemudian, barulah Bang Harlin memberi kode kalau acara akan dimulai. Kelas tampaknya juga sudah penuh.

Ternyata Bang Harlin langsung yang bertindak selaku moderator. Ia membuka acara, memperkenalkan narasumber, sebelum akhirnya menyerahkan pelatihan itu sepenuhnya kepada saya.

Sebagaimana biasa, saya izin untuk berdiri. Memberi pelatihan dalam posisi duduk sungguh bukan tipe saya. Awalnya saya meminta Bang Harlin mengoperasikan laptop untuk memperlancar jalannya slide, namun itu hanya berlangsung hingga lima belas menit pertama. Bang Harlin harus berkutat dengan berkas-berkas administrasi acara lagi. Saya maklum. Saya mengambil alih. Saya pun menjadi sangat mobile dan … itu bukan masalah sama sekali. Saya menikmatinya. Apalagi wajah para peserta menunjukkan antusiasme.

Ketika saya menyimulasikan cerita Anak Ayam dan Anak Bebek seakan-akan sedang mendongengi anak-anak saya menjelang tidur, suasana langsung cair. Apalagi ketika saya melibatkan mereka untuk menebak kalimat apa yang keluar dari mulut Anak Ayam setiap kali Anak Bebek mengutarakan sesuatu, suasana selalu riuh. Tiap kali tebakan mereka salah (dan memang biasanya selalu begitu), tawa pun pecah. Dalam keadaan demikian, kelas itu sudah jadi ‘milik’ saya. Ya, dalam mengampu kelas atau pelatihan bagi orang dewasa, hal paling penting untuk dipastikan adalah para peserta sudah masuk ke dalam lingkungan yang saya bangun. Saya harus ‘mengendalikan’ mereka, memastikan mereka ‘lupa’ dengan ‘kedewasaan’ mereka yang tahu banyak hal. Membuat mereka, secara tidak sadar, mengosongkan gelas pengetahuan untuk menerima apa pun yang datang dari saya. Maka, dalam pembelajaran orang dewasa, fase ‘mencairkan suasana’ ini memegang peranan penting. Kalau saya sudah ‘memegang’ mereka, kelas yang saya ampu alamatnya akan berjalan sesuai harapan. Kalau tidak, saya tak dapat berharap banyak.

Mengisi kelas menulis di wilayah yang jauh dari kampung halaman ini, mengingatkan saya dengan residensi saya di Desa Panca Mukti, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah dalam Program Seniman Mengajar (Agustus-September 2017). Lebih dari sebulan saya berproses kreatif di sana. Datang dengan status pegiat teater, saya memiliki peserta didik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sembilan puluh persennya berada dalam rentang usia 55-80 tahun. Tapi, dalam jurnal ini, saya tidak akan menceritakan hal itu.

Lagi pula, sebagaimana peribahasa, lain padang lain ilalang. Hari ini, kelas dan jenis kelasnya sangat jauh berbeda dengan yang pernah saya ampu di Panca Mukti.

Orang-orang Timur memiliki antusiasme dan rasa penghargaan yang tulus. Lagi, saya harus mengutarakan kesan yang saya dapatkan tiap kali berinteraksi dengan mereka.

Hingga saya menyelesaikan presentasi, tak satu pun mengacungkan tangan untuk meminta penjelasan terkait bagian-bagian tertentu dari slide materi. Karena materi yang saya ketengahkan memang mudah mereka pahami atau tabiat mereka yang khidmat menyimak sebelum sesi diskusi dibuka, saya tak ingin berspekulasi. Namun, umumnya, dalam sejumlah kelas yang ampu, akan ada satu-dua penanya di tengah-tengah presentasi. Bertanya atau tidak bertanya di tengah-tengah presentasi memang tidak memberi implikasi yang berarti terhadap jalannya kelas, termasuk target-target kecil yang saya canangkan pada tiap pelatihan. Namun, para peserta pelatihan di Piru ini, dalam pandangan saya, relatif tertib. Ya, sedari awal memang sudah saya sampaikan bahwa sesi bertanya akan saya buka menjelang kelas berakhir.

Simulasi pun dimulai.

Ini adalah bagian penting dari tiap kelas yang saya ampu. Saya akan meminta mereka menulis (bukan mengetik) dengan cepat tanpa menyilakan mereka mencoret satu kata pun. Saya meminta mereka memikirkan sejumlah kata dan menuliskannya dalam hitungan detik. Saya juga meminta mereka mengisi daftar karakter, informasi dasar sebuah peristiwa, untuk kemudian menjahitnya dalam tulisan yang bercerita. Dan semuanya, sekali lagi, dilakukan dalam hitungan detik hingga lima menit paling lama!

Ketika saya meminta lima orang untuk membacakan karya-cerita mereka di depan kelas, tangan-tangan mereka refleks terangkat menujuk langit-langit ruangan. Saya sempat kebingungan memilih.

Saya meminta mereka menyimak pembacaan karya-cerita rekan-rekan mereka yang terpilih. Ternyata tiap peserta menyajikan cerita yang menarik dan lekat dengan keseharian. Ada yang menceritakan kisah kematian suaminya, orang ketiga dalam rumah tangga mereka, cinta pada pandangan pertama, dan lain-lain. Dari presentasi mereka, alangkah senagnya saya ketika mendapati, dalam waktu supersingkat yang saya berikan, mereka mampu menuliskan pilihan ide dengan ringkas, bercerita, dan tuntas! Seru dan menggembirakan, pokoknya! Tampaknya mereka benar-benar mendengarkan dan menerapkan anjuran saya untuk menulis sesuatu yang paling mereka tahu, ingat, dan sukai.

Di akhir kelas, usai sesi tanya jawab, saya mengucapkan terimakasih atas sambutan dan semangat mereka dalam merespons materi kepenulisan kreatif dasar yang saya ketengahkan.

“Hari ini Anda sudah menulis sebuah karya cerita untuk dibawa ke rumah masing-masing!” Dapat saya lihat air muka terkejut mereka. Ya, mereka refleks memandangi karangan yang mereka tulis ‘dengan tergesa-gesa’ barusan. Mereka telah menyelesaikan sebuah tulisan. Mereka telah melampaui diri mereka sendiri.

“Banyak yang abai,” ujar saya kemudian, “bahwa ‘tekanan’ dan ‘kesempitan’ adalah keadaan yang kerap menggiring kita untuk melampaui batas-batas normal kemampuan kita, termasuk akhirnya, di bawah ‘paksaan’ yang saya rekayasa sedemikian rupa, Bapak dan Ibu semua akhirnya bisa menulis sebuah ide hingga selesai, sesingkat apa pun tulisan itu!”

Lalu tepuk tangan pun bergemuruh.

Dada saya buncah. Tepuk tangan itu adalah oleh dan untuk mereka sendiri.

Saya harap mereka bisa terus memelihara energi menulis yang mereka dapatkan hari ini. Terimakasih, telah membuat saya merasa ‘ada’ di negeri kalian, wahai Bapak-Ibu Guru yang Mulia.

Tiba-tiba saya merindukan seorang guru bahasa Indonesia yang mengajar di Desa Tabarenah, Musirawas, Sumatra Selatan, yang sudah delapan tahun ini menanamkan dirinya di rusuk kiri saya, sekaligus mengurus putri-putri kami dengan cinta tanpa kata tetapi. “Istriku, kamu baik-baik saja di sana?”*

Piru, 19-24 April 2018

Comments (0)
Add Comment