Kerja Buruk Itu Perlu

Kata Eleanor Roosevelt, “Orang besar berbicara tentang ide-ide, orang biasa berbicara tentang kejadian sekitar, dan orang kecil berbicara tentang orang lain.”

 

Kata-kata di atas sangat bagus untuk dikutip mulanya. Namun perjumpaan saya dengan sejumlah orang yang, atas iman pada kutipan Roosevelt tersebut, saya labeli sebagai Orang Besar, membuat saya refleks mengoreksi unsur yang membuat kata-kata mutiara itu bergerak: kata kerja yang dipilih Rooseveslt—berbicara tentang, mendiskusikan, membincangkan, dan sejenisnya.

Pernahkah Anda bertemu dengan orang-orang yang begitu bersemangat membicarakan ide besarnya—tentang calon buku pertamanya, partitur album debutnya, lukisan surealis yang belum pernah ada sebelumnya, atau pertunjukan teater avant garde-nya yang akan booming? Pernahkah Anda bertemu dengan orang-orang semacam ini pada kesempatan yang lain, yang lain lagi, dan yang lain lagi, dan omongannya belum berubah? Masih tentang ide besar. Masih tentang impian. Masih tentang rencana. Masih tentang sesuatu yang mengawang-awang. Wacana semata. Hingga akhirnya dengan hakkul yakin kita mencapnya sebagai omdo alias omong doang!

Ya, kita tidak rela memasukkan para pembual semacam di atas ke dalam kategori pertama kutipan Roosevelt itu. Kalau kutipan itu ingin tetap dimuliakan, kita bisa saja terus merasa gagal atau keliru memahami diksi “membincangkan” di sana dengan arti leksikalnya. Kita akan terus didorong dan dipaksa untuk memaklumi Roosevelt sembari memodifikasi pemahaman kita bahwa maksud Roosevelt bukan “bicara tentang”, tapi “bertindak”.

Merujuk versi kutipan bahasa Inggrisnya yang berbunyi, “Great minds discuss ideas; average minds discuss events; small minds discuss people.” Jelas sekali kalau Roosevelt tidak menyebut “orang”, tapi “pikiran” (minds). Namun itu bukan hal yang fatal dalam konteks penerjemahannya. Yang paling esensial adalah diksi “discuss” yang rentan menjelma payung mahabesar bagi para pembual untuk berlindung dari hujan kritik dan celaan.

Dalam sebuah percakapan tentang orang-orang omdo, seorang teman memberikan ciri yang melekat pada golongan Omdo ini. “Bagaimana mereka mau mewujudkan semua kalau rokok aja masih nebeng!” serunya lalu tertawa. Saya tahu dia tidak sedang berseloroh. Sebagai bukan perokok, saya ikutan ketawa.

Saya sepakat, membincangkan ide sejatinya karakter orang besar. Namun ia tidak bisa berhenti sampai di situ. Karakter orang-orang besar adalah mereka yang berani merealisasikan ide (besar) sesegera mungkin. Besar atau tidak, ia membutuhkan proses dan respons lingkungan yang bersikait dengan waktu untuk mengujinya.

Ya, untuk mengujinya.

Kerja besar, harus diuji terlebih dahulu sedari ia masih berupa embrio-yang-berorientasi-kerja. Ya embrionya adalah kerja juga, bukan semata ide atau wacana atau rencana tanpa ujung. Embrio-kerja itu adalah jamak tampil sebagai kerja remeh, superkecil, atau buruk sekalipun. Lho? Ya, memang begitu. Tidak apa. Itu proses menuju kerja yang jadi, menjadi karya. Mau tidak mau, proses itu kudu dilalui oleh pengkarya. Kalau nggak mau, ya berbual aja terus!

Ya, buku yang baik, lagu yang bagus, lukisan yang indah, atau pertunjukan yang memuaskan, lahir dari eksekusi dan revisi yang berulang-ulang atau bahkan tak keruan kali. Selama apa prosesnya, kembali pada intensitas “menggauli” draf atau kerja pertama itu. Seseorang yang tiap hari berurusan dengan kerja kreatifnya bisa saja merampungkannya selama 1 minggu, sementara pengkarya yang lain membutuhkan waktu 1 tahun untuk menghasilkan karya dengan nilai yang relatif sama karena ia tidak intens membongkar draf atau kerja pertamanya. Relatif sekali.

Sebagai pemenang pertama, Air Akar menjadi judul kumpulan cerpen pemenang kompetisi Tulis Nusantara – Kemenparekraf 2012 (Gramedia Pustaka Utama, 2012)

“Air Akar” yang membuat saya terpilih sebagai Penulis Fiksi Terbaik Tulis Nusantara dari Kemenparekraf tahun 2012 ditulis dalam waktu dua jam pada mulanya dan saya malu bahkan mengejeknya sebagai fiksi murahan. Inilah yang namanya embrio-kerja; kesan pertamanya selalu mentah, buruk, bahkan memalukan. Saya membutuhkan waktu 14 hari untuk menyunting atau menulis ulang hingga yang hadir di meja dewan juri saat itu adalah draf saya yang ke-15, yang bahkan masih ragu saya labeli sebagai “karya”, sebelum kemudian ia dinyatakan menang; Leonardo da Vinci merampungkan lukisan “Monalisa” yang legendaris dalam waktu lebih dari empat tahun; Dewi Lestari menulis lagu yang “hanya 2-3 bait” dalam waktu 7 hari—atau lebih; bahkan Rachel Chavkin, sutradara “Hadestown” yang diganjar Tony Award untuk Produksi Teater Terbaik Amerika tahun 2019 mempersiapkan pertunjukan 2 jamnya lebih dari dua tahun. Dan tentu saja masih banyak contoh lainnya.

Sekali waktu, Salman Aristo, salah satu penulis skenario produktif di Indonesia saat ini, dalam kelas skenario yang diampunya, mengatakan “the worst draft must be released soon”—draf terburuk harus keluar secepat mungkin”—sebagai salah satu syarat untuk menghasilkan skenario yang bagus.

Saya pikir prinsip merilis draf terburuk atau kerja kecil sesegera mungkin, bukan hanya berlaku di ranah kreatif, bahkan di segala lini kehidupan. Kesadaran dan kecepatan merealisasikan ide (besar) adalah keniscayaan dalam produksi dan inovasi. Kenikmatan terbang ke Pluto dengan meminjam sayap rajawali atau membangun Prambanan dalam satu malam cukuplah bergerak dalam angan-angan anak kecil yang punya hak penuh bergembira. Namun bagi kita (baca: orang dewasa) yang hidup di zaman yang bergerak lebih cepat daripada lalulintas kata-kata, ide yang terus dibincangkan tanpa batas waktu akan usang, akan kehilangan kelayakannya disebut ide, apalalagi ide besar.

Orang-orang besar bergerak lebih cepat dari ide yang begitu manja minta terus dibincangkan, sebab, menyitir kata-kata Winston Churcil, kesempurnaan adalah perubahan—atas kerja pertama—yang dilakukan berulang-ulang. ***

Lubuklinggau, 26 Februari 2020

Comments (0)
Add Comment