Nuklir Itu Benar Solusi Atau Malah Menjadi Pembawa Masalah Baru? (Lingkaran KOPDAR #7)

Sepulangnya dari majelis lingkaran yang membahas tentang nuklir, saya dan teman-teman diskusi yang lain jadi punya amanah untuk memperbaiki mindset sendiri dan (mungkin) orang-orang di sekeliling tentang apa nuklir tersebut. Bahwa ketika mendengar soal nuklir, jangan lagi berpikiran soal bom atau senjata pemusnah masal. Well, that really sounds good. Walaupun yah, sebenarnya itu juga bukan tanpa dasar. Jika kita ketik kata nuklir di kolom pencarian google, maka yang muncul paling atas adalah soal bom dan senjata dan lagi ini ulah para media pula yang kebanyakan mengenalkan kita tentang nuklir selalu dengan embel-embel bom dan senjata.

Saya juga sepakat dengan anjuran Juli bahwa jika mendengar kata nuklir, tolonglah jangan melulu tentang bom dan senjata, namun ingat-ingatlah tentang ayam, sapi, beras, buah-buahan dan sayuran yang sama-sama kita konsumsi, obat-obatan dan perawatan kesehatan di rumah sakit yang diterima dan ingatlah juga bahwa ada banyak sekali tawaran kemudahan dan sumber energi yang menggiurkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Namun sebelum itu simaklah dulu kegelisahan saya tentang dua poin terakhir itu, yaitu tentang kemudahan dan godaan nuklir sebagai sumber energi yang melimpah yang masih belum “duduk” di kepala saya.

Saya menyimak bagaimana pemanfaatan nuklir tersebut di berbagai sektor memberi keuntungan. Seperti pada sektor pangan misalnya, pemanfaatan nuklir menghasilkan bibit-bibit unggul yang meminimalkan menghasilkan produk yang tidak sesuai harapan, seperti buah yang kecil atau berbiji banyak, tidak manis dan sebagainya. Dan pada kentang misalnya, radiasi nuklir membuatnya lambat bertunas. Ini meminimalkan kerugian pedagang karena proses penjualannya jadi tidak diburu-buru oleh waktu. Di sektor kesehatan, pemanfaatan nuklir menghasilkan obat-obat untuk penyakit tertentu dan layanan kesehatan bagi penyakit-penyakit berbahaya yang sebelumnya belum ditemukan perawatannya. Di sektor energi, satu PLTN digadang-gadang memiliki sumber energi setara dengan sepuluh lebih pembangkit listrik konvensional.

Okey, so far that still sounds good.

Lalu saya ingat seratus tahun yang lalu, ketika orang-orang dipusingkan dengan limbah sampingan proses pengilangan minyak bumi, pengolahannya menjadi apa-yang-kita-sebut-plastik-hari-ini adalah solusinya. Ia menawarkan kemudahan, efiensi dan ia seolah-olah menyelesaikan masalah tanpa masalah. Saya dapat bayangkan betapa gembiranya orang-orang pada masa itu dengan plastik sehingga ia akhirnya kita jumpai hampir di setiap lini kehidupan kita, mulai dari industri hingga pangan. Plastik-plastik kita jumpai di setiap ruangan di rumah kita, mulai dari pagar hingga kamar. Oleh karena itu, tidak ada yang tidak tahu apa itu plastik. Bahkan anak-anak batita yang saban hari jajan permen pun tahu bahwa kalau beli permennya seribu, ia diberi kantong plastik kecil.

Lalu hari ini kita baru sadar bahwa plastik mendatangkan masalah baru bagi kita. Mulai dari masalah ekologi hingga sosial. Burung-burung camar ditemukan mati di tepi pantai dan setelah diselidiki ditemukan banyak potongan plastik di dalam perutnya yang tak tercerna. Ada banyak tumpukan plastik di pekarangan rumah, sungai, di tempat pembuangan sampah akhir yang makin hari makin banyak jumlahnya. Dan karenanya hari ini kita terkotakkan ke dalam dua gaya hidup yaitu yang boros plastik dan yang hemat plastik. Persoalan ini juga membuat pemerintah mati-matian berusaha meminimalisir penggunaannya yaitu salah satunya dengan melarang penggunaan plastik di sekolah-sekolah.

Lalu bagaimana dengan nuklir?

Ia (mungkin) benar bahwa digunakan dengan standar pengawasan tertentu dan diawasi oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Sehingga paparan radiasinya (katanya) tidak akan membahayakan bagi kita. Tapi jangan lupa bahwa plastik dulunya juga diproduksi oleh orang-orang yang katanya mumpuni di bidangnya. Makanya tidak heran kalau sebagian orang rentan sekali untuk tidak mudah percaya.

Lalu bagaimana soal PLTN?

(Informasi berikut ini saya sadur dari laman greenpeace, dari tulisan Q & A yang berjudul “apa itu nuklir?”)

Reaktor tenaga nuklir sipil memanfaatkan energi dari uranium yang dihasilkan selama proses fisi, yaitu proses ketika nucleus dari atom yang tidak stabil menangkap suatu neutron yang menyebabkan atom ini akan membelah. Proses ini menghasilkan suatu reaksi berantai di mana neutron-neutron yang dilepaskan dari proses fisi akan menambah fisi di dalam, setidaknya terhadap satu nucleus yang lain. Pembelahan ini menghasilkan radiasi sinar gamma, suatu bentuk radiasi nuklir yang mematikan dan mengandung tingkat energi yang sangat tinggi.

Dalam sebuah reaktor nuklir, reaksi berantai tersebut dikendalikan agar energi yang dihasilkan dari proses tersebut dapat digunakan untuk memanaskan air agar menjadi uap air.

Pada tahap ini, fungsi pembangkit listrik tenaga nuklir sesungguhnya sama saja dengan pembangkit listrik tradisional yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti minyak, atau batu bara. Tenaga yang dihasilkan oleh uap air untuk menggerakkan turbin, yang kemudian menberikan tenaga ke suatu generator guna menghasilkan listrik. Semua reaktor nuklir yang menggunakan uap air sebagai penggerak turbin bekerja dengan prinsip serupa.

Lebih lanjut tentang Uranium sendiri yang adalah bahan bakar nuklir, sebelum bisa dipakai dia perlu melewati beberapa proses dulu.

Uranium alami harus diekstraksi (ditambang) dari dalam bumi sebagaimana layaknya barang tambang lainnya. Namun, tidak seperti barang tambang lainnya, uranium merupakan elemen radiatif. Akibatnya, seluruh aspek yang berkaitan dengan produksi bahan bakar uranium, mulai dari pertambangan, pemrosesan, dan pengayaan, sampai transportasi, memiliki potensi dampak yang merusak terhadap lingkungan dan kesehatan. Rata-rata setiap bijih uranium mengandung hanya 0,1% uranium. Sebagian besar materi lainnya yang dipisahkan pada saat penambangan bijih uranium adalah bahan beracun, berbahaya, dan radiatif.

Secara alami, uranium yang dijumpai di deposit uranium di alam dapat berbentuk Uranium-235 (U-235) yang bersifat radiatif (tidak stabil) dan U-238 yang stabil. Agar bisa digunakan dalam reaktor, uranium tersebut harus mengalami proses ”pengayaan”, yang artinya sejumlah uranium tersebut mengalami proses penambahan persentase unsur U-235 yang bersifat radiatif dan U-235 perlu dipisahkan dari U-238.

Untuk pembangkit listrik sipil standar, kandungan uranium harus ditambah dari 0,7% agar mencapai 3% sampai 5% U-235. Proses ini disebutkan pengayaan uranium. Uranium yang diperkaya kemudian dihancurkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan diletakkan di dalam suatu batang (rod) besi panjang. Batang-batang ini kemudian dikumpulkan menjadi satu ikatan (bundle).

Informasi tentang ketersediaan uranium sendiri nyatanya ada di Indonesia, di Kalimantan tepatnya, namun ia berkualitas rendah, karena kehadiran unsur U-235 nya tidak memadai untuk diperkaya.Walaupun uranium cukup berlimpah di dunia ini, persentase U-235 harus setidaknya bernilai 0,7% sebelum proses pengayaan atau pengayaannya. Artinya akan terlalu mahal dan tidak efisien. Karena kalau Indonesia memakai PLTN, uraniumnya perlu diimpor dari Australia untuk selanjutnya diperkaya dulu di Jepang atau Russia sebelum bisa dipakai di sini.

Di sisi lain, sebenarnya selain PLTN ada banyak energi lain yang justru terbarukan yang bisa memenuhi kebutuhan energi global enam kali lebih banyak dibandingkan dengan teknologi yang sudah ada sekarang–ditambah dengan jaminan keberlanjutan, secara damai, bersih, dan ketersediaannya yang melimpah. Energi terbarukan adalah sumber energi yang benar-benar bersih (dengan emisi karbon yang sangat rendah) dan tidak mengandalkan bahan bakar fosil (batu bara, minyak, atau gas bumi), atau fisil (uranium). Contoh energi terbarukan adalah panas bumi (geothermal), biomasa, angin, surya, mikro-hidro, dan gelombang.

Sebab walaupun emisi karbon dari pengoperasian PLTN jauh lebih kecil daripada emisi dari PLTU batu baru atau minyak, tapi kalau kita memperhitungkan emisi yang disebabkannya mulai dari pertambangan, pemrosesan, pengayaan uranium, transport, hingga pembongkaran PLTN, maka emisi karbonnya akan terbukti jauh lebih tinggi dari yang dikeluarkan tenaga angin atau panas bumi. Jadi jelaslah, dalam upaya pengurangan emisi, kontribusi nuklir amatlah kecil.

Saat ini 436 reaktor nuklir memasok sekitar 16% listrik global, yang hanya mewakili 6,5% konsumsi energi keseluruhan. Skenario global dari Badan Energi Internasional (IEA), yang diterbitkan pada bulan Juni 2008, menunjukkan; Bahkan jika kapasitas nuklir digandakan empat kali pada tahun 2050, kontribusinya hanya 6% terhadap upaya menurunkan emisi karbon – dari sektor energi – sampai setengahnya pada tahun 2050 tersebut.

Lalu kenapa dengan kontribusi sekecil itu mau ambil resiko begitu besar? Ekspansi nuklir seperti yang diinginkan industrinya juga tugas yang mustahil. Sejak tahap perencanaan, tahap pembangunan sampai pengoperasian rata-rata butuh waktu sepuluh tahun. Itu berarti bahwa listrik yang dihasilkan baru dapat dinikmati jauh setelah tahun 2020, yaitu pada saat di mana dunia seharusnya sudah jauh mengurangi emisi gas rumah kaca. Di samping itu, PLTN tersebut akan terus menimbulkan bahaya besar dari limbah yang dihasilkan, radiasi zat radioaktif, dan kemungkinan kecelakaan serta bencananya.

Kecelakaan yang dimaksud dapat terjadi di reaktor manapun, yang dapat menimbulkan terjadinya pelepasan radiasi mematikan dalam jumlah besar terhadap lingkungan. Kalaupun katakanlah teknologi tidak gagal dan para operator tidak melakukan kesalahan, bencana alam tak boleh diabaikan dan masih merupakan resiko yang berarti. Sebagai contoh, pada tahun 2007, sebuah gempa bumi di Jepang mengakibatkan kebakaran di PLTN Kashiwazaki-Kariwa. Gempa bumi tersebut memaksa tujuh reaktor tutup. gempa itu mengakibatkan sobekan di reaktor, kemudian melepas cobalt-60 dan chromium-51 ke atmosfir dari sebuah cerobong asap dan mengakibatkan bocornya 1.200 liter air yang terkontaminasi ke laut. Lebih dari setahun kemudian ketujuh reaktor tersebut masih tak bisa dioperasikan.

Lalu sampai di sini, saya kira uraian tersebut cukup dijadikan sebagai referensi bahwa kekhawatiran akan PLTN itu sebenarnya bukanlah sekedar permainan negara adidaya. Makanya ketidakhadiran PLTN di negara ini tolonglah jangan cuma dikait-kaitkan dengan “Amerika’s thing” yang tidak ingin negara-negara berkembang menjadi lebih maju (yang indikasinya katanya adalah memiliki teknologi nuklir). Katakanlah jika itu memang benar. Tolonglah (sekali lagi) berikan sesuatu yang lebih dari sekedar asumsi agar terasa lebih bertanggung jawab dan karenanya bisa diterima oleh siapapun.

Akhirnya seperti halnya paper pemantik, saya mengawali dan mengakhiri tulisan ini juga dengan bertanya (dengan pertanyaan yang berbeda tentu saja) bahwa apakah benar pemanfaatan nuklir itu adalah solusi atau malah akan membawa masalah baru seperti halnya plastik? (Karena entah bagaimana bahkan setelah sepulangnya diskusi dan membaca informasi seputar nuklir tambahan di sumber lain pun kok itu malah semakin tidak “duduk” di kepala saya).(Yuhesti Mora)

Comments (0)
Add Comment