SELANANG & MENTAL SPORTIF YANG HILANG (Dari Malam Anugerah LSSMF 2018)

 

Film Terbaik LSSMF 2018

 

Salah satu karakter yang diagung-agungkan dari (kerja) kebudayaan adalah keluhuran nilai-nilai kehidupan yang diusungnya; saling-menghargai, mencintai sesama, tenggang rasa, dll. Turunan dan atau varian (kerja) kebudayaan itu, salah satunya adalah aktivitas kreatif. Apalagi dalam konteks kekinian, (kerja) kebudayaan tanpa kreativitas ibarat masturbasi. Dilakukan dan dinikmati sendiri … dan bahayanya adalah ia menerbit-lekatkan candu pada diri pelakunya.

Kreativitas, pada akhirnya, bukan tentang produktivitas semata, tapi juga tentang memelihara visi sosial dalam berkarya. Pekerja kreatif dituntut untuk bukan hanya menunaikan pekerjaannya, melainkan juga memahami apa yang dilakukan. Pemahaman atau proses memahami ini akan menghadirkan perenungan, penyaringan, dan pengambilan-keputusan terukur dalam berproduksi. Karya-karya dari keberpahaman-dalam-berkreativitas akan melahirkan kreator yang bijak dan karya yang matang. Dari sinilah, sikap mental sportif itu akan tumbuh dan rimbun di dalam diri para pekerja kreatif.

Alangkah paradoksnya ketika pertandingan sepakbola harus diwarnai keributan hingga perkelahian yang membuat nyawa melayang. Di mana sportivitas yang diusung oleh olahraga?Apalagi oleh olahragawan yang menekuni sepakbola sebagai olahraga paling populer. Alangkah oksimoronnya kompetisi paduan suara ketika sebuah grup tampil, grup lainnya sibuk latihan di tempat lain. Alangkah mirisnya saya melihat pemandangan malam tadi, ketika “Selanang” diumumkan sebagai Film Terbaik Lubuklinggau Student Short Movie Festival (LSSMF), kru dan pemain film dari rumah produksi yang lain malah ramai-ramai meninggalkan tempat acara.

Ya, dapat dimaklumi kalau itu adalah buah kekecewaan atas harapan kemenangan yang ditanam masing-masing rumah produksi. Namun, sebagaimana uraian di atas, keluaran paling penting dari sebuah aktivitas (termasuk kompetisi) kreatif adalah mental-mental juara yang sesunguhnya: menang dengan layak dan introspeksi ketika kalah tentu saja dengan tetap mengucapkan selamat kepada mereka yang naik podium. Kekecewaan yang diekspresikan dengan sikap tak menghargai menunjukkan visi berkarya yang masih mentah. Berorientasi produksi itu baik, namun akan lebih baik apabila disertai sikap rendah hati. Sebab menjadikan diri sebagai ‘gelas kosong’ adalah tahapan prabelajar alias praproduksi yang efektif. Lebih jauh lagi, sikap ini akan melahirkan sikap-sikap positif lainnya, yang menjadi karakter kerja kreatif itu sendiri, yang setali tiga uang dengan karater kerja kebudayaan: saling-menghargai, mencintai sesama, tenggang rasa, dll. Apabila sudah melewati fase produksi-yang-baik ini, barulah berikutnya bicara lebih dalam dan jauh: gaya, konten, atau bahkan mutu!

Ya, jamak saya dengar cerita dramatik perihal proses kreatif yang melelahkan dari beberapa penggawa rumah produksi, seakan-akan tim produksi merekalah yang paling lelah, sehingga mereka layak menang, sehingga mereka (lebih) layak dihargai. Simpan! Simpanlah cerita itu. Tiap kreator memiliki kadar dan wilayah kelelahan kreatif yang berbeda-beda.

Yang dinilai dan dianggap adalah semengilap apa keringat kreativitas itu menjelma mutiara. Kalau justru menjadi batu biasa yang kesat dan tak memancarkan cahaya, cara terbaik adalah belajar kepada mereka yang bisa menghasilkan mutiara, bukan malah menganggap mutiara yang mereka hasilkan sebagai buah sihir atau kecakapan dalam memanipulasi batu mulia.

Semoga sikap yang ditunjukkan beberapa rumah produksi di pengujung anugerah LSSMF malam tadi adalah imbas dari kebelumtahuan dan atau kebelumpahaman tentang keluaran apa yang paling penting dalam berkreativitas, bukan ego yang dipupuk dari rumah, bukan kebodohan yang kawin dengan kesombongan yang menjadi bumerang di kemudian hari. Berputar-putar dengan kedangkalan pemikiran untuk kemudian membunuh diri sendiri.

Salam kreatif!

Lubuklinggau, 6 Agustus 2018

Benny Arnas
Direktur Benny Institute

Comments (0)
Add Comment