Berkarya di 3T – bennyinstitute https://www.bennyinstitute.com education.art.culture.book&media Wed, 10 Jun 2020 14:56:45 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.3.1 https://www.bennyinstitute.com/wp-content/uploads/2019/06/cropped-PicsArt_06-13-08.46.47-32x32.png Berkarya di 3T – bennyinstitute https://www.bennyinstitute.com 32 32 LUHU https://www.bennyinstitute.com/luhu/ https://www.bennyinstitute.com/luhu/#respond Mon, 30 Apr 2018 07:48:54 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1510
Rumah Raja yang berdiri di atas tanah benteng

(Hari ke-18 di Seram Bagian Barat)

Saya pikir, menjejakkan kaki di negeri adat terbesar di Seram Bagian Barat adalah sesuatu yang tak boleh saya lewatkan. Luhu, negeri yang membawahi 16 dusun itu menjadi ‘buruan’ saya di pengujung residensi ini. Kenyataan bahwa Luhu adalah kampung halaman bupati yang tengah menjabat saat ini sedikit pun tidak masuk pertimbangan saya. Sebagaimana negeri-negeri lain, saya berharap mengunjungi Luhu akan memberikan kejutan demi kejutan bagi proses kreatif saya.

Saya dan Bang Reimon berangkat pukul 10 pagi menggunakan sepeda motor. Tidak seperti biasa, kami tidak membawa bekal makan siang. Celotehan Bang Reimon tentang suami atau papeda atau kasbi-bambu yang mungkin akan kami temui di sana, membuat selera makan nasi saya mendadak hilang. “Semoga kita bertemu makanan-makanan itu di jam makan siang kita ya, Bang,” harap saya bersemangat.

Berulangkali Bang Reimon mengatakan bahwa jalan ke Luhu tidak semulus jalan-jalan yang kami lalui ketika mengunjungi negeri-negeri yang lain. Saya tahu, Bang Reimon memastikan kesiapan mental saya sebab perjalanan kami sebelumnya tidak menemukan kesulitan berarti, kecuali hujan deras yang mengguyur kami sepanjang perjalanan pulang dari Kamarian beberapa hari yang lalu. Ya, informasi jalan yang buruk itu sedikit pun tidak mengolengkan niat saya untuk ke Luhu.

Saya percaya, jalur baru selalu memberikan pengalaman yang menarik ditulis, batin saya. Saya ingat, bagaimana kebosanan sempat menyambangi saya ketika kami melakukan perjalanan ke Kaibobo dan Kamarian sebab kedua negeri itu kami harus capai dengan berkendara di jalan raya yang sama dengan yang kami lalui ketika berburu hikayat Masahatu di Hualoy.

Laki-laki berkepala plontos itu benar. Baru saja kami melewati kali baru, jalanan berlubang di sana-sini sudah menyambut. Saya beberapa kali menawarkan diri untuk berjalan kali agar medan yang kurang bersahabat itu bisa Bang Reimon lalui dengan lebih lancar, namun pendamping saya itu selalu menolaknya. Berikutnya, jalan-jalan serupalah yang menemani kami sepanjang perjalanan. Memang, sesekali kami bertemu jalan mulus ketika melintasi permukiman. Tapi, yaaa sesekali. Itu pun jalurnya pendek. Selebihnya, terlebih menjelang satu jam perjalanan, kubangan lumpur, lubang besar di jalan yang membentuk telaga kecil, jalan becek yang lumayan panjang, membuat Bang Reimon mau-tidak mau harus mengiyakan permintaan saya untuk turun dan berjalan kaki.

Rombongan panen sagu

Menjelang pukul satu, kami memasuki Luhu. Pemandangan serombongan orang di tepi jalan yang baru keluar dari rimba pohon sagu menyambut kami. Beberapa dari mereka sedang menghabiskan bekal di atas pohon sagu yang tumbang. Rupanya dari pagi mereka menebang pohon-pohon sagu. Sekitar lima ratus meter di depan, sebuah pondok pembuatan sagu di tengah hutan sedang melakukan peleburan batang sagu. Tiba-tiba saya teringat cerita sejumlah orang lokal tentang Luhu.

Orang-orang Luhu percaya kalau nenek moyang mereka di negeri-negeri yang raib itu masih hidup. Alkisah, karena khawatir kedatangan para penjajah akan menggoyahkan akidah, penduduk di 99 negeri Luhu berdoa agar mereka dihilangkan saja secara kasat mata. Ya, dihilangkan secara kasat mata, bukan dimusnahkan dalam arti yang sebenarnya. Doa itu pun diijabah. Sembilan puluh delapan negeri raib! Penduduk setempat menolak menyebut fenomena itu sebagai sesuatu hal yang mistik. Menurut mereka, sebagai negeri dengan riwayat dan peradaban Islam yang kuat, hal yang susah dinalar itu bukanlah sesuatu yang layak diragukan.

“Di tepi jalan tadi rame ya, Bang?” tanya saya ketika kami memasuki permukiman.

“Yang mana?” tanyanya cepat. “Orang-orang yang baru panen sagu tadi atau pondok pembuatan sagu?”

Alhamdulillah. Saya mengurut dada. Tujuan saya bertanya memang ingin memastikan bahwa yang saya lihat tadi bukanlah orang-orang Luhu yang tidak kasat mata itu.

Permukiman di Luhu

Penataan tempat tinggal di Luhu berbeda dengan negeri-negeri lain. Daerah permukimannya dapatlah dikatakan jauh lebih padat dan lebih luas dibandingkan negeri-negeri yang sudah saya kunjungi. Sebagaimana biasa, salah satu sisi permukiman bersisisan dengan laut. Di sini, permukiman seperti terdiri dari blok-blok dengan belokan yang sangat banyak. Saya cukup pusing ketika Bang Reimon meminta saya menandai belokan tertentu sebagai penunjuk jalan pulang nanti.

Baparaja Luhu ternyata sedang berada di Ambon. Kami diarahkan istrinya bertemu dengan sekretaris baparaja, Bapak Hamid Kelmas, yang saat itu sedang menunaikan salat zuhur di Masjid Jamiek Luhu.

Masjid Jamiek itu benar-benar membuat saya penasaran. Ketika memotretnya dari berbagai sisi, saya tidak menemukan papan nama. Ya, saya perhatikan dengan saksama, masjid yang berhadap-hadapan dengan baileo Luhu ini, tidak memiliki papan nama. Ketika saya memastikan hal itu kepada Pak Hamid, dengan santainya ia menjawab, “Ya, memang begitu!”

What? Saya mengernyitkan dahi.

“Kami menyebutnya Masjid Jamiek sekadar untuk memudahkan. Tapi sebenarnya masjid ini memang tidak ada nama dan memang tidak ada yang beriniasiatif memberinya nama. Kalaupun ada, mungkin kami akan menentangnya. Kami pikir, tidak seorang pun yang bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima sehingga masjid ini harus diberinama.”

Setelah berpikir sejenak, saya kembali bertanya, “Masjid ini kapan memangnya didirikan, Pak?”

“1907.”

“1907?” Saya mengulang jawabannya dengan nada memastikan. “Ini masjid tertua …”

“Bukan!” sigap Pak Hamid membalas. Ia menunjuk halaman luas di seberang masjid. “Di sana, masjid tertua kami pernah berdiri namun sayang sekali pada tahun 1901, masjid itu terbakar. Apakah karena ketidaksengajaan atau karena ada campur tangan Belanda, kami tak tahu.” Oh, awalnya saya pikir itu adalah halaman baileo, ternyata bekas masjid. Kemudian laki-laki berkopiah itu menuju ke sebuah puing bangunan di dekat salah satu meriam. “Ini adalah pondasinya.” Saya mengangguk-angguk seraya memerhatikan seonggok beton di dekat Pak Hamid itu. Ketika saya menanyakan kapan masjid tua itu dibangun, ia hanya tersenyum lalu mengggeleng.

Kami kemudian berjalan kaki ke barat. Di sana, saya menemukan rumah-rumah tua yang masih didiami penduduk. Walaupun sebagian besar atapnya sudah diganti seng, bangunan dan tiang yang menyanggahnya tidak dapat menyembunyikan usia.

Ternyata Rumah Raja terdapat di tengah-tengah permukiman. Rumah yang tampaknya sudah mengalami pemugaran ini tidak berpenghuni. Ia hanya sebagai penanda bahwa Kerajaan Huamual dulu pernah berdiri dan berjaya di Luhu. Rumah adat itu sendiri dibangun di atas tanah benteng. Hal ini terlihat dari puing-puing benteng yang terdapat di sekitarnya. Hal itu diakui oleh Pak Efdi, laki-laki paruh baya yang rumahnya berhadapan langsung dengan Rumah Raja.

Makin teranglah kalau Rumah Raja memang didirikan di atas tanah benteng ketika saya diajak Pak Hamid berjalan sekitar 60 meter ke belakang. Di sana, saya menemukan benteng sepanjang 50 meter. Sepanjang 30 meter benteng setinggi tiga meter itu masih utuh. Sisanya, sebagaimana yang tadi saya temui, hanya puing-puing. Benteng yang didirikan Kerajaan Huamual pada tahun 1400-an itu, mengalami beberapa kali pemugaran. Pak Hamid bercerita bahwa seorang arkeolog yang pernah meneliti bangunan itu mengatakan bahwa Portugis dan Belanda sempat memugarnya ketika mengambil alih benteng itu di masa penjajahan mereka.

Keliling Luhu bersama Pak Hamid

Benteng itu sejatinya tidak semenyedihkan ketika saya datang apabila dulunya baparaja setempat tidak menyilakan warganya untuk menghancurkan benteng dan menjadikan batunya sebagai pondasi rumah. Tahun 1874 memang terjadi kebakaran hebat di daerah sekitar benteng itu. Baparaja mengambil inisiatif itu karena penduduk yang jadi korban tidak bisa menunggu lebih lama untuk memiliki tempat tinggal.

“Tapi kebakaran hebat itu tidak membuat penduduk Luhu berkubang dengan kesedihan yang berkepanjangan.” Pak Hamid menegaskan. “Mereka tetap memegang keislaman mereka dan masjid-masjid selalu penuh!”

Saya sedikit pun tidak meragukan pernyataan laki-laki berkulit putih dengan garis wajah yang tegas itu. Keberadaan sepasang meriam di kedua sisi di seberang masjid-tanpa-nama yang kami lalui tadi, sudah sangat kuat menegaskan citra Luhu sebagai negeri dengan riwayat keislaman yang kuat: Tempat publik yang paling layak dijaga dari penjajah, orang jahat dan pengaruh asing adalah masjid! Ya, keberadaan dua meriam itu menunjukkan pertahanan tak main-main pada tempat ibadah sekaligus pusat pembelajaran umat muslim itu.

Jarum pendek jam tangan saya sudah bergerak mendekati angka tiga ketika saya merasa sudah mendapatkan bahan yang cukup untuk saya tuliskan. Kondisi jalan yang tidak bersahabat tiba-tiba membayangi saya. Berada di jalan yang buruk di tengah hutan di bawah kegelapan malam bukan lelucon yang menarik untuk diceritakan. Perjalanan Hualoy-Piru pernah kami lalui di bawah kegelapan. Jalan Trans Seram yang mulus seperti kehilangan keistimewaannya ketika tidak ada penerangan, dan jalan ke Luhu ini … bukan Trans Seram yang mulus! Kami akan melalui tanah becek atau nyaris menjelma telaga. Belum lagi kalau hujan lebat menyiram kami di tengah perjalanan. Oh, tak ingin saya membayangkannya ….

Baru saja kami hendak pamit, Pak Hamid memaksa kami mampir ke rumahnya. Tentu saja kami tak mungkin menolaknya. Meskipun waktu terus berjalan, kami juga harus menghormati orang yang telah dengan baik hati memberikan informasi sekaligus menemani saya berkeliling Luhu.

Di rumahnya, istri Pak Hamid sudah menyiapkan makanan di meja dapur.
Saya baru sadar kalau kami belum makan siang. Tiba-tiba saja perut saya keroncongan. Saya membayangkan suami, kasbi-bambu, atau papeda sebagai sajian utamanya.

Ternyata tuan rumah menghidangkan nasi dengan ikan laut goreng dan sambal kacang tumbuk sebagai menu utamanya. Tidak mengubah apa pun! Lagu keroncong di petut saya sedang mengalunkan reffrain. Saya sedang lapar-laparnya! Keberadaan semangkuk rujak hutan benar-benar membetot perhatian saya. Rujak yang dibuat dari kacang tumbuk, irisan mentimun, daun kemangi, cabai rawit, dan irisan bawang merah itu memberikan sensasi pedas-asam-segar di lidah ketika dimakan dengan nasi dan ikan laut. Alhasil, saya menambah nasi dua kali, menghabiskan dua potong ikan, dan nyaris membersihkan semangkuk rujak hutan!

Bah, benar-benar hidangan penutup yang mengesankan! Jalan pulang yang buruk? Ah, nanti saja memikirkannya!*

Ambon, 29 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/luhu/feed/ 0
TENGKORAK https://www.bennyinstitute.com/tengkorak/ https://www.bennyinstitute.com/tengkorak/#respond Sun, 29 Apr 2018 05:22:53 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1497
Di dalam Gua Kakehan

(Hari ke-16 di Seram Bagian Barat)

Pertama kali mendengar kakehan dari Jan Sukouta, saya langsung berpikir bagaimana kepercayaan Suku Alifuru itu bisa saya rekam jejaknya. Entah itu dengan video, maupun foto. Tentu saja yang saya maksud adalah tradisi atau ritual paling legendaris dari kakehan itu: penggal kepala!

Awalnya saya mengira kakehan adalah tradisi pemenggalan kepala oleh anak laki-laki yang meranjak atau sudah remaja sebagai bentuk ‘kedewasaannya’. Mereka yang sudah melakukan kakehan dianggap sudah layak menikah, menjadi prajurit, bahkan menjadi kapitan atau panglima perang. Namun, pertemuan saya dengan David Kuhurima, tua adat Taniwel yang bermukim di Negeri Nuniali, membuat persepsi itu terbantahkan.

wawancara dengan David
Kleindahan Nuniaali
Bersama Baparaja Demianus

Dari tuturan laki-laki yang saya taksir berusia 70 tahunan itu, kakehan adalah semacam kepercayaan yang di dalamnya terdapat tradisi pemenggalan kepala. Bapak David bukan hanya membantah kakehan yang disamakan dengan pemenggalan kepala, ia juga membantah kalau sebagai kepercayaan, kakehan hanya tentang penggal-memenggal kepala. Menurutnya, sebagaimana sifat kepercayaan yang lain, kakehan juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan, seperti saling menghormati, tidak boleh mengambil hak orang lain, cinta tanah air, dan lain-lain. “Saya yakin ada lapis paling dalam tentang ‘pemenggalan kepala’ dalam kakehan yang kita sama-sama belum mengerti atau pahami,” ujarnya sebelum kemudian, dengan nada menyesalkan, ia mengungkapkan kedatangan mahasiswa-mahasiswa (dari) Jogja yang pernah mewawancarainya terkait kepercayaan suku etnik yang mendiami Pulau Seram di masa lampau itu namun tak pernah sekalipun mengirimkan hasil penelitian itu kepada mereka.

“Insya Allah kumpulan catatan perjalanan saya di Seram Bagian Barat, termasuk di Taniwel ini, akan dibukukan oleh Badan Bahasa, Bapak,” balas saya cepat. Ya, saya tak ingin disamakan dengan mahasiswa-mahasiswa yang ia sebutkan tadi. “Saya akan mendorong penerbit untuk mendistribusikan buku ini sampai ke negeri-negeri yang pernah saya kunjungi,” janji saya kemudian. Saya menulis ini, juga sebagai alarm bagi Badan Bahasa, untuk juga memerhatikan hal-hal terkait pasca-program, termasuk pendistribusian ke daerah-daerah yang menjadi lokasi pengumpulan data oleh sastrawan yang bersangkutan.

Setelah mulai teryakinkan dengan cerita saya di daerah residensi sebelumnya yang selalu melahirkan buku, David menjadi lebih santai dalam bercerita. Sementara saya menyimak, Baparaja Nuniali, Bapak Demianus Nauwe, memanggil beberapa warga untuk bergabung dengan kami.

“Yang dipenggal oleh seorang (anak/remaja) laki-laki itu, adalah kepala seseorang yang berada di negeri nun jauh di sana,” David kembali bercerita. “Apa buktinya?” tanyanya retoris. “Kamboti yang mereka bawa ke tapuara biasanya berisi tengkorak, bukan kepala. Bukan kepala dengan batang leher yang bercucuran darah segar, apalagi kepala dengan dua mata yang masih membelalak sebagaimana film-film menggambarkan peristiwa semacam itu. Bukan!”

Wah ini benar-benar pengetahuan baru! Saya memang pernah mendengar kamboti, semacam wadah dari anyaman pandan hutan yang memiliki sepasang kuping sebagai pegangannnya. Tapi saya baru tahu kalau baileo atau balai adat di Nuniali ini memiliki nama tersendiri yaitu tapuara. “Artinya anak lelaki itu melakukan perjalanan yang sangat jauh, Bapak?” Saya merasa perlu menggali lebih jauh.

“Benar!” jawabnya cepat. “Bisa saja (anak) laki-laki itu bermukim di Seram Barat dan mendapatkan-kepala di Seram Timur atau Utara. Artinya tengkorak yang mereka bawa adalah hasil pengembaraan, perjalanan yang sangat jauh dan lama.”

Tak lama kemudian Baparaja Demianus dan dua orang penduduk lokal menghampiri kami. Bapak David bangkit dari tempat duduknya. “Saya tunggu di tapuara,” katanya. Awalnya saya bingung, apa yang akan mereka lakukan. Barulah ketika baparaja menyilakan saya mengikuti dua penduduk lokal yang baru saja bergabung tadi, baru sadarlah saya kalau kami akan ke tempat yang paling saya cari-cari, paling saya tunggu-tunggu: gua kakehan!

Mendaki menuju gua

Kedua penduduk lokal (saya lupa menanyakan nama mereka) mengajak saya menyusuri jalan setapak di belakang rumah baparaja. Kami menaiki tebing yang bersemak. Oh perjalanan mendaki itu mengingatkan saya pada bukit rendah di Hualoy ketika berburu hikayat Masahatu. “Sebentar lagi sampai,” ujar laki-laki lokal yang saya taksir berusia 40. “Iya, sebentar lagi,” timpal rekannya yang saya taksir baru memasuki usia 50. Oh tampaknya mereka berdua menangkap napas saya yang terengah-engah.

Ingin sekali saya mengatakan kalau saya baru saja kembali dari air terjun waytona, sekitar 400 meter dari tempat kami berdiri saat ini. Sebenarnya lokasi air terjun itu itu hanya enam puluh meter dari jalan utama Nuniali, namun saya dan Bang Reimon memilih jalan yang salah. Kami harus melewati semak belukar yang cukup menganggu dan menguras tenaga. Batu-batu besar yang berlubang (sepertinya laut yang terbentang sekitar 150 meter di seberang, pantainya menjorok hingga mendekati daerah sekitar air terjun).

Beberapa meter menjelang air terjun, kami baru sadar kalau kami sebenarnya bisa memilih jalan beton setapak yang lebih mudah kami lalui di seberang. Lebih cepat dan tidak akan terlalu menguras tenaga. Pemerintah setempat sepertinya pernah menaruh perhatian pada tempat yang indah ini sebelum kemudian mengabaikannya kembali. Di dekat jalan setapak di seberang, terdapat beberapa meja dengan tenda dan kursi kayu panjang yang sudah lapuk. Lagi, sebagaimana kunjungan saya dan para pendamping ke air terjun Lumoli pada hari kedua, tidak ada pengunjung lain di sini. Hanya saya dan Bang Reimon. Kapan lagi kami bisa mendapatkan previlege ‘semahal’ ini?

“Kita sudah sampai!”

Saya tergeragap sejenak. Oh ternyata mereka benar. Letak gua ini bukan di atas bukit sebagaimana makam Syeikh Zainal Abidin di lingkaran utama Bukit Masahatu. Saya belum mengeluh kehausan atau terlalu lelah, tapi sebuah gua batu menganga di depan kami.

Pintu masuk gua

Laki-laki lokal yang lebih muda berbicara dalam bahasa setempat. Sepertinya ia sedang meminta izin kepada ‘penunggu’ gua. Entah bagaimana, ada ‘perasaan aman’ ketika menyaksikan hal itu. Oh, sejak kapan saya percaya pada hal-hal mistik?!

Ternyata gua itu tidak dalam. Baru tiga langkah saya masuk, pecahan piring-piring antik di sudut kiri menjadi pemandangan pembuka. Tiga meter ke dalam, kami pun tiba di tempat yang kami cari. Tumpukan tengkorak yang berada di dekat jalan keluar.

Sebelum kerusuhan pecah di Maluku pada tahun 1999, tengkorak-tengkorak di dalam gua jumlahnya ratusan. Tumpukan tengkorak itu seperti gunung. Namun, karena gua batu yang berbentuk semacam lorong pendek dan memiliki pintu masuk dan pintu keluar ini juga dimanfaatkan penduduk setempat sebagai tempat berlindung atau mengungsi, tengkorak-tengkorak itu pun ‘harus minggir’ karena menyebabkan ruang dalam gua terasa sempit. Sebagian tengkorak pecah dan hancur, separuhnya lagi diam-diam dibawa pulang penduduk yang percaya kalau benda mati itu sebenarnya tidak mati. Sampai di sini, kita semua bisa menebak, apa yang akan terjadi pada sekitar belasan tengkorak yang tersisa di dalam gua ini beberapa tahun ke depan apabila Pemda tidak lekas berinisatif mengambil alih pemeliharaannya. Ya, bagaimana jejak kakehan di Seram ini bisa diendus dengan hanya mengandalkan cerita semata?

Sebagaimana yang saya tulis di atas, awalnya saya mengira gua ini adalah sekadar lorong yang pendek. Namun ketika mata saya menangkap lubang yang hanya muat untuk dimasuki satu orang, saya sebenarnya baru tahu kalau kami sedang berada di semacam foye dari sebuah rumah. Kedua pendamping lokal itu sepertinya tidak menganjurkan saya masuk lebih dalam. Dulu, kata mereka, pernah ada yang masuk untuk mengetahui apa isi di dalamnya. Namun mereka tidak mendapatkan apa-apa setelah menyusur hampir 20 meter dalamnya.

“Artinya lorong gua sedalam …”

“Oh tidak!” sela yang penduduk yang lebih tua cepat. “Peneliti itu belum sampai di ujung. Kami tidak tahu mengapa ia berhenti. Katanya di dalam sangat gelap.” Ya, tentu saja sangat gelap sebab kami tidak menemukan tembusan jalan keluar di sekitarnya.

“Bagaimana tengkorak-tengkorak ini bisa berada di sini? Bukankah mereka seharusnya dipamerkan di tapuara?”

Tak ada yang bisa menjawab. Saya menyukai keadaan ini. Kalau memang ada sesuatu yang gagal ditemukan musababnya, diam lebih baik. Terus bercerita dalam ketakmengertian, hanya akan melahirkan kesesatan. Kesesatan demi kesesatan!

Kami pun turun. Saya tak sabar ingin melihat seperti apa tapuara itu. Saya makin bersemangat karena, kata David tadi, saya boleh masuk dan memotret isinya.

Di depan tapuara

Ternyata baileo Nunuiali tidak segagah lekewa di Kamarian. Bagian dalam tapuara ini hanya berukuran 2 x 5 meter. Beserta berada lepasnya, mungkin hanya bertambah satu meter saja lebarnya. Bagian bawah balai adat ini terbuat dari kayu kelapa, atapnya adalah rumbia sagu. Sebagaimana lekewa, kita tidak akan menemukan paku di tapuara. Penyangga dan dinding diikat dengan tali ijuk atau dalam bahasa setempat disebut gamutu, sedangkan ruas atap dan langit-langitnya diikat dengan loleba atau tali bambu.

Meskipun tampilannya sederhana, tapuara ini adalah baileo-nya orang-orang yang permukimannya dialiri batang air Sapalewa. Artinya, tapuara ini adalah balai adat induk yang biasa didatangi orang-orang Sapalewa dalam sejumlah acara adat. Ina Ama Ahunae, begitu Negeri Nuniali digelari dengan status Sapalewa induknya ini.

Di dalam tapuara, saya menemukan kamboti, tiga batu yang menjadi tungku masak, tempat sendok-piring dan gantungan makanan yang dianyam dari daun pandan hitam yang sudah kering, bangku kayu yang hanya boleh diduduki pemuka masyarakat dan baparaja dalam acara-acara adat. Sayang sekali saya lupa bertanya, di dinding atau langit-langit sebelah manakah tengkorak-tengkorak bawaan anak lelaki Suku Alifuru dulu digantung-pamerkan?*

Ambon, 29 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/tengkorak/feed/ 0
GADIS KAMARIAN https://www.bennyinstitute.com/gadis-kamarian/ https://www.bennyinstitute.com/gadis-kamarian/#respond Fri, 27 Apr 2018 12:01:35 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1471
Lekewa dan pohon gupasa di halaman muka

(Hari ke-13 di Seram Bagian Barat)

Meskipun gelar doktor dari Universiteit Leiden hampir berada dalam genggaman gadis 29 tahun itu, ia tetap harus putar kaki!

Ketika kecil dulu ia sering melihat calon mempelai perempuan yang melaksanakan tradisi itu. Yang terakhir adalah kakak perempuannya yang hendak dipersunting laki-laki yang tak lain tak bukan adalah tetangga mereka sendiri yang saat itu sudah menjadi pengusaha sukses di Jakarta. Kakaknya itu meletakkan kaki di atas ketiga permukaan tungku, satu-satu, lamat-lamat, penuh khidmat. Dapat ia rasakan kegugupan melingkupi diri calon mempelai perempuan itu. Ketika kakinya sampai pada akhir prosesi itu–meletakkan telapak kakinya di abu perapian yang sudah dingin, ketegangan itu seperti terbang menembus langit rumah. Telah sah ia diterima menjadi bagian dari keluarga laki-laki!

Ia juga ingat, bagaimana kakak iparnya harus menjadi salwir di perhelatan-perhelatan adat. Awalnya ia tentu menyangsikan suami kakak perempuannya yang terpandang itu akan benar-benar diperlakukan sebagai ‘pelayan’ bagi ayah dan kakak laki-lakinya yang hanya seorang pekebun atau nelayan, tapi ketika dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan bagaimana laki-laki itu menuangkan sopi ke gelas-gelas kosong di tangan anggota keluarganya itu, ia menghela napas beberapa kali.

Oh, di Negeri Kamarian tercintaku ini, siapa pun, apa pun, dari mana pun, ketika masuk ke lingkungan adat, harus menjunjung Bumi tempat ia berpijak, batinnya. Termasuk seorang pengusaha ternama yang menjadi salwir alias pelayan bagi ayah dan kakak-kakak iparnya yang lain karena status malamait, menantu laki-laki dalam adat Amalohy!

Rindu dan gugup kini beradu-dentam di dalam dadanya. Tiba-tiba segala hal beraroma Kamarian seperti berebutan mengisi sebuah ruang dalam dirinya yang selama ini jarang ia buka: kenangan.

Pada pukul 5 petang tiap akhir tahun, dengan mengenakan pakaian longgar berwarna hitam dan syal putih yang panjang, tiga tungku berkumpul di kediamannya. Tiga tungku adalah sebutan untuk aparat pemerintahan, pemuka masyarakat, dan pendeta, yang menjadi tritunggal dalam khazanah adat di Kamarian. Ini mirip dengan tritunggal adat di Minangkabau. Kalau Kamarian menyebutnya tiga tungku, Minangkabau menamainya agak lebih panjang: tiga tungku sejarangan.

Karena ayahnya adalah seorang baparaja, kepala negeri yang biasanya juga membawahi beberapa dusun, rumahnya ramai kalau ada acara-acara adat. Tak terkecuali di akhir tahun. Ya, tritunggal itu datang ke rumahnya tidak hanya diwakili oleh satu dua orang untuk tiap-tiap tungku, tapi bisa puluhan orang. Maka, ia pun biasanya akan ikut repot mempersiapkan segala hal terkait keramaian itu. Membentang tikar pandan, memungut daun kasbi, mengiris jantung pisang, atau membasuh rebung patong. Kadang ia berandai-andai, lebih enak menjadi rombongan aparat pemerintah dan guru-guru atau para pemuka adat atau para pendeta. Mereka tinggal datang, ngobrol dan tertawa, lalu menyantap hidangan yang dipersiapkan ibunya dan para sanak kerabat perempuan lainnya.

Tapi sebenarnya mereka tidak sekadar datang, ngobrol, dan makan sore. Mereka datang membawa nazar, semacam sumbangan yang dimasukkan ke dalam kotak kayu yang ia letakkan sejak siang harinya di dekat pintu masuk. Mereka menyebutnya peti nazar. Lagi pula, mereka tidak serta-merta melahap hidangan. Mereka akan mendengarkan arahan dari petinggi ketiga tungku terlebih dahulu, meskipun biasanya yang bicara hanya baparaja alias ayahnya. Atau kalaupun ada lagi yang memberi pengarahan, ia adalah pendeta. Pemuka adat seperti selalu yakin kalau suaranya sudah terwakili oleh kedua tungku ini.

Selesai makan, mereka lalu berdoa bersama. Gadis 29 tahun itu dulu sempat menganggap ini seperti sebuah lelucon. Bukankah seharusnya berdoa dulu baru makan. Namun seiring waktu dan kerapnya menyaksikan keramaian saban akhir tahun itu, ia pun paham. Doa bersama itu diperuntukkan untuk keberkatan perjalanan mereka menuju gereja, sedangkan sebelum makan biasanya tiap orang berdoa masing-masing. “Nak, bukan hanya makan sore. Sebelum memetik lemon cina di belakang rumah pun, kau juga harus berdoa,” ujar ibunya dengan mata selembut air telaga.

Setelah lima belas menit berjalan kaki dari rumahnya, mereka biasanya sudah tiba di gereja pukul 7 malam. Ibunya membawa peti nazar seperti anggota paskibraka yang membawa bendera pusaka. Ibu, pikirnya, bertahun-tahun kau membawa peti nazar ke gereja, takkah membosankan?

Di gereja, seperti biasa, mereka beribadah dan berdoa bersama. Sebelum jemaat pulang, baparaja kembali memberikan arahan. Biasanya lebih banyak terkait situasi dan keadaan negeri terkini. Di matanya, sang ayah menjelma orang paling berwibawa bila sudah menjadi pusat perhatian seperti itu. Ingin sekali ia berteriak, “Baparaja itu ayahku!”

Tiba-tiba ponselnya berdering. Ibu. Lekas ia menekan tombol OK. Rindunya memuncak. “Iya, Ibu, beta baru tiba di Bandara Pattimura. Ini langsung ke Hunimual. Mungkin beta akan berangkat dengan feri pukul 10 pagi.” Sebagaiman dirinya yang tiba-tiba kaku memanggil diri sendiri dengan panggilan Beta, ibunyan juga tidak pernah dan tidak terbiasa bilang rindu, meskipun suara perempuan itu bergetar dan getarannya menabuh-nabuh gendang telinganya. Perempuan 60 tahun itu pasti mati-matian menahan air asin tidak merembes dari ekor matanya, batin gadis 29 tahun itu. Oh prasangkanya jadi bumerang. Buru-buru ia lap pipinya yang basah dan memerah.

Baru saja gadis 29 tahun itu memasukkan ponsel di saku jins selutut yang ia kenakan, seorang sahabat lama sudah menjemputnya. “Ayo! Katong harus cepat kalau mau dapat jadwal berangkat lebih awal!” teriak temannya.

Katong? Ah, lama sekali ia tidak mendengar kosakata Maluku yang berarti “kita” itu. Sesekali ia mendengarnya kalau sedang bicara dengan Ibu di telepon. Itu pun, karena rutinitas penelitiannya dua tahun belakangan ini, hanya bisa terjadi sebulan dua kali. Ya, penelitian doktoralnya membuat ia harus tinggal di rimba yang dipenuhi pohon ek tua di perbatasan Belanda-Luxemburg.

“Malam pergantian tahun besok, kamu ikut masuk rombongan mana? Tetap ke lekewa?” Baru saja mobil melaju, sahabat lamanya sudah melemparkan pertanyaan.

Oh ia baru ingat kini.

Setelah berdoa di gereja dan jemaat pulang, beberapa orang perwakilan tiga tungku tadi akan membagi rombongan menjadi enam. Ia dan beberapa anak yang lain biasanya tidak mau tinggal di rumah meskipun mata ibu mereka sudah memelotot. Ibu mereka memang tidak mungkin marah atau berteriak di dalam gereja. Dan ayah mereka, selalu menjadi figur penyayang dengan membolehkan mereka ikut. Ya, ia selalu masuk rombongan ayahnya ke baileo atau balai adat. Ia selalu suka berada di baileo. Bahkan orang-orang Kamarian memiliki sebutan tersendiri untuk baileo mereka: lekewa.

Lima kelompok lain tentu tidak akan ke lekewa. Serombongan pendeta tetap berada di gereja. Sementara empat kelompok lainnya akan tersebar di empat penjuru negeri. Ia ingat, sahabat lamanya yang saat ini berada di balik kemudi, sebagaimana dirinya, selalu menolak diajak ayahnya yang pemuka adat untuk bergabung. Ia selalu memilih bergabung dengannya ke lekewa. “Tengah-tengah malam ke hutan, buat apa?” ujarnya ketika ayahnya menanyakan alasannya masuk rombongan ke lekewa. Meskipun berada di tempat yang berbeda, kecuali para pendeta di gereja, lima kelompok itu akan melakukan pasawari alias melakukan ritual memohon kebaikan dan keberkahan untuk setahun ke depan kepada arwah nenek moyang.

Menjelang pukul dua belas, semua penduduk akan berkumpul lagi di gereja. Mereka datang bukan untuk beribadah, melainkann berdoa bersama. Doa syukur. Lalu pulang lagi. Berdoa di rumah masing-masing. Sebelum tifa ditabuh (dulu memang gereja di tempatnya belum punya lonceng), rumah-rumah dipeluk kesunyian.

Ia pernah mengeluh terkait ini. “Kenapa kita harus bolak-balik gereja dan berdoa lagi di rumah sepulangnya, Bu?” Dan seperti biasa, dengan ketenangan yang masyuk, ibunya menjawab, “Inilah yang membuat malam pergantian tahun ini menjadi istimewa, Nak. Kalau sama saja seperti biasa, adakah kau akan mengingat semuanya. Nanti, kau akan rindu kalau sudah jauh.” Ia ingat, kata-kata itu diutarakan ibunya ketika ia sudah tamat SMA dan sedang menunggu hari untuk menyeberang ke Ambon demi mengejar gelar sarjana di Universitas Pattimura.

Ibunya benar. Kini, tiap mengingat itu, ia merindukan aroma kursi panjang gereja yang terbuat kayu kelapa dan rambut ibunya yang menguar bau matahari, merindukan bermain di mangge-mangge di tepi laut yang hari ini separuh pohonnya terendam air laut karena abrasi, merindukan berlarian di sepanjang pantai (kakaknya akan menjewer telinganya lalu menyeretnya pulang karena menemukan ia dan teman-temannya bermain jauh dari rumah–hingga pantai Hutasua atau Seriwawan), merindukan nasi kuning yang dibuat Ibu untuk sarapan, merindukan teriakan ayahnya di meja makan sebab ia lupa menyiapkan tempat garam, colo-colo, dan rujak hutan sebagai teman ikan bakar. Merindukan rumah. Merindukan Ibu. Ayah?

Ah, ayah sudah di surga.

“Oh aku tidak seharusnya membuatmu ingat pada almarhum ayah ….” Ada nada penyesalan dari kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu, sebelum kemudian ia meraih tangan kanan gadis 29 tahun itu dan menggenggamnya sejenak seperti hendak menguatkan lalu kembali memegang kemudi.

Gadis 29 tahun itu menoleh dan tersenyum. Ia ingin bilang “tidak apa-apa” tapi lidahnya kelu.

“Eh kamu masih ingat Om David?”

Suara nyaring sahabatnya itu seperti membuka bilik kenangannya yang lain. Mungkin sahabatnya itu pikir, dengan mengalihkan percakapan tentang ayahnya ke topik terkait Om David, bisa membuatnya hijrah dari masa lalu yang barusan merangkulnya begitu erat. Sayang sekali, sahabatnya itu keliru.

Tiba-tiba bilik ingatan yang lain membuka pintunya sendiri.

Ketika tahun baru saja bernama baru, di tengah malam yang mulai riuh, ayahnya membawanya ke rumah-rumah tetangga yang memegang jabatan sebagai pemuka adat atau pendeta. Mereka bersalaman. Mengucapkan selamat tahun baru sekaligus mengirimkan doa untuk kebaikan masing. Seseorang yang ia panggil Om David sering memberinya dodol durian yang sangat manis kepada anak-anak di malam itu. Ia selalu tidak ingin melewatkannya!

Walau tidak selalu, Om David juga gemar bercerita. Dari pria bermarga Tomatala itulah ia tahu kalau lekewa diamanahkan kepada keluarga Tomatala untuk dijaga dan dipelihara.

Dari laki-laki berperawakan keras dan berambut keriting itu juga ia akhirnya tahu kalau Negeri Kamarian yang didominasi pemeluk kristen memiliki pela yang sama dengan Negeri Sepa yang muslim di Ambon. Informasi dari Om David itu menjadi penting baginya, paling tidak, berhasil membuatnya berhenti mengagumi Ahmad, cowok satu kelas yang jadi perbincangan cewek-cewek satu SMA-nya kala itu, karena akhirnya ia tahu kalau Ahmad berasal dari Sepa. Belakangan ia juga baru sadar kalau teman-teman SMA-nya yang perempuan tidak pernah serius menyukai Ahmad. Tebakannya … tentu karena pela yang sama.

Di sini, adat dan budaya begitu digdaya di hadapan cinta …

“Fulani dicambuk di lekewa dan disaksikan keluarganya di Kamarian sini,” lapor Ibu ketika meneleponnya dua tahun lalu. Ia sempat bungkam beberapa saat. Wine yang baru ia tenggak hampir ia muntahkan saking mendadaknya perasaan terperenyak itu mendorongnya. Ia tak menyangka, adat itu masih mencengkeram kuat pemikiran orang-orang Kamarian dan Sepa. Apakah Bumi tak berputar di sana, batinnya. “Bagaimana dengan pacarnya, Bu?” Ia tahu, ada emosi dalam pertanyaannya. Sebagai perempuan berpendidikan yang menjunjung keadilan, ia tidak terima kalau laki-laki Sepa itu tidak dihukum. “Ia juga menerima akibatnya.” Ia sedikit lega sebab tidak menemukan intonasi menutup-menutupi sesuatu dari suara ibunya. “Tapi bukan di sini. Di negerinya. Ia bahkan dikembalikan ke Sepa,” tandas ibunya. Oh baru tahulah ia kalau hukuman itu menimpa dua orang pelajar SMA. Tiba-tiba ia merasa beruntung sekali karena dulu tidak menindaklanjuti kekagumannya pada Ahmad.

Selain kepemilikan lekewa oleh dua negeri, gadis 29 tahun itu juga baru tahu tidak ada panaspela di antara Sepa dan Kamarian ketika Om David memberitahunya suatu hari. “Kita mulanya adalah anak kembarnya Nunusaku. Buat apa perayaan  bagi saudara kembar?” Ia masih ingat, bagaimana laki-laki berkulit gelap itu menerangkannya dengan kedua mata yang hampir keluar saking bersemangatnya. Nunusaku? Ah tempat tanpa alamat itu telah lama menumbuhkan kebanggaan dirinya sebagai seseorang yang lahir di Nusa Ina.

Ia juga pernah mendengar, saking terikatnya Sepa-Kamarian, pernah ada peristiwa menggemparkan di kampung halamannya. Seseorang dari Sepa yang kehausan setelah melakukan perjalanan jauh, meminta kelapa muda kepada salah seorang penduduk Kamarian yang menanam pohon itu di muka rumahnya. Entah karena sedang ada masalah atau karena tabiatnya yang tidak baik dan … tentu saja karena ia tak tahu kalau si peminta berasal dari Sepa, warga Kamarian itu menolak memberikan kelapa mudanya. Tak berselang lama, semua kelapa di Kamarian menua dan jatuh dari pohonnya.

Kekuatan pela di Negeri Raja-Raja ini juga pernah diuji oleh sebuah peristiwa di zaman modern ini: kerusuhan yang melanda Maluku Tengah pada tahun 2008. Seorang guru berdarah Amalohy (Kamarian) sedang mengajar ketika Negeri Kilosatu itu diserang orang-orang Sepa yang mengenakan kain penutup kepala berwarna merah menyala. Menyadari kekacauan yang lebih besar akan pecah, guru itu bukannya bersembunyi, melainkan berlari keluar kelas dan meneriakkan kata “Amalohy!” dengan lantang. Ia dengan kepercayaan yang tinggi pada kekuatan pela merasa perlu menunjukkan identitasnya. Menyadari kalau ada pela mereka di negeri yang mereka serang, orang-orang Sepa menghentikan penyerangan itu. Refleks mereka meneriakkan “Silalouw” yang menunjukkan kalau mereka memang berasal dari pela yang sama.

“Eh iya, apa kabar Om David?” Gadis 29 cengengesan dan mengggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tahu kalau respons yang ia berikan telat.

“Kemarin ia sedang membongkar atap lekewa. Baris pertamanya banyak yang lapuk.”

“Kenapa tidak meminta yang lain saja? Kasihan Om David sudah tua.”

“Lha memang siapa?” Sahabatnya itu bertanya cepat. “Apa kamu tidak tahu kalau atap dan tiang di baris pertama lekewa itu hanya bisa dibongkar oleh marga Tomatala, bukan marga yang lain! Kelamaan di Leiden, kamu lupa Kamarian!”

Perempuan itu diam saja. Ingin sekali ia menyela, “Memangnya tidak ada Tomatala yang lebih muda dari Om David?” tapi urung. Ia khawatir hal itu malah memancing sahabatnya itu mengeluarkan semua perbendaharaan pengetahuannya tentang adat negeri. Ia tidak ingin terlihat bodoh terlalu sering.

Yang ia tahu, lekewa dibangun dari kayu gupasa, tanpa cat, tanpa paku, tanpa lampu. Ia juga ingat hikayat pohon gupasa di depan lekewa yang diceritakan Om David saat ia masih kecil. Kalau ranting besar gupasa itu patah dan jatuh, alamatnya akan ada orang dewasa Kamarian yang akan meninggal dalam waktu dekat. Apabila yang patah dan jatuh itu ranting yang kecil, seorang anak kecil Kamarian harus bersiap-siap dijemput-Nya tak lama lagi.

“Kamu ingat hikayat pohon gupasa yang tumbuh di depan lekewa?” Kali ini giliran perempuan 29 tahun itu bersiap-siap memamerkan pengetahuannya.

Sahabatnya itu tertawa kecil sebelum menyilakan ia membentang hikayat.

“Pohon gupasa di depan Lekewa mulanya adalah sebatang tombak milik panglima perang Amalohy. Mulanya ada beberapa tombak panglima yang dibawa dua orang Sepa dan seorang Kamarian. Mereka diperintahkan panglima yang tinggal di gunung untuk mencari tempat tinggal dengan cara menandai  tanah yang mereke pilih. Setelah menemukan dan menanam tombak, ketiga orang itu menghadap. Dengan bangga mereka melaporkan tugas yang baru saja ditunaikan. Panglima dan rombongan pun turun ke wilayah-wilayah yang dimaksud. Alangkah terkejutnya mereka ketika mendapati tombak-tombak yang ditanam prajurit dari Sepa berubah menjadi sebatang pohon mengku dan kemutu, sedangkan tombak yang dibawa prajurit dari Kamarian berubah menjadi pohon gupasa!”

Sahabatnya bertepuk tangan serta-merta. “Kamu masih gadis Kamarian, rupanya, ya?”

“Eh kamu sedang menyetir!” Gadis 29 tahun itu memberi peringatan.

Tawa mereka pun pecah. Gadis 29 tahun itu tertawa makin keras hingga berujung tangis yang tak terkendalikan.

Sahabatnya terus menyetir. Ia ingin bertanya dan meminta gadis 29 tahun itu berhenti tertawa, tapi tak jadi. Ia seperti baru sadar, bawa apa saja yang mereka bicarakan barusan sudah menggiring gadis 29 tahun itu ke kubangan nostalgia yang sephia. Ia kini dapat membayangkan, bagaimana perasaan calon doktor itu di ritual pergantian tahun besok malam ketika mendapati rumahnya tak lagi ramai sebab baparaja itu sudah tiada. Ia dan ibunya akan hanya berdoa di gereja sebelum kemudian berdiam di rumah menunggu lonceng dibunyikan Om David Tomatala (hari ini, tak ada lagi tifa!).

Ia mati-matian menahan dirinya untuk tidak bertanya, “Setelah putar kaki di rumah calon suamimu tanggal 4 Januari nanti kau akan menikah tak lama setelahnya. Kau akan menghabiskan waktu menemani ibumu di Kamarian atau kembali ke Leiden bersama suamimu?”*

Piru, 26 April 2018

Catatan:
⁃ semua informasi tentang tradisi pergantian tahun, putar kaki, salwir, tiga tungku, malamait, didapatkan penulis dari tuturan baparaja Kamarian, Jo dan istrinya.
⁃ Semua informasi terkait pela, lekewa, dan hikayat pohon gupasa, disarikan dari tuturan David Tomatala, tuagama yang juga menjabat kepala urusan kesra di Kantor Pemerintah Negeri Kamarian.
⁃ Untuk menggambarkan kekayaaan lokalitas Kamarian kepada pembaca, penulis merasa perlu ‘menciptakan’ tokoh-tokoh yang ia pinjam dari Negeri Entahberantah: perempuan 29 tahun dan sahabat lamanya dan sejumlah nama lainnya. Selebihnya, termasuk peristiwa, hikayat, dan kronik negeri Kamarian lainnya, penulis bersandar pada tuturan baparaja Jo dan istrinya, dan David Tomatala.
⁃ Lampiran foto adalah hasil kunjungan penulis di Negeri Kamarian.

Pantai Seriwawan
Berbincang tentang lokalitas dengan Baparaja Kamarian, Bapak J.P. Kainama, S.Sos, M.Si (Bapak Jo)
Lekewa tampak depan
Langit-langit lekewa
Pintu lekewa
Berburu hikayat pada Tuagama, Bapak David Tomatala
Remaja Kamarian bermain di tanah lapang yang menghadap Laut Seram
Berkumpul di dalam rumah baparaja
Beramai-ramai menuju gereja
Keramaian di dalam gereja di malam pergantian tahun
Beribadah di gereja di malam pergantian tahun
Baparaja Jo memberikan sambutan di rumahnya sebelum sama-sama menuju gereja
]]>
https://www.bennyinstitute.com/gadis-kamarian/feed/ 0
BUKU https://www.bennyinstitute.com/buku2/ https://www.bennyinstitute.com/buku2/#respond Thu, 26 Apr 2018 05:56:17 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1466  

Hari ke-11 & 12 di Seram Bagian Barat

Saya seperti baru sadar. Selama berada di Seram Bagian Barat, belum satu buku pun yang saya tamatkan. Wah seorang penulis yang katanya berkarya di suatu daerah dalam program kepenulisan tapi malah tidak membaca buku selama masa penugasan, tidakkah ini aib yang dengan polos saya buka di sini?! Ya, buku terakhir yang saya baca adalah Cerita Meksiko yang ditulis Azhari Aiyub, alumnus Program Sastrawan Berkarya Angkatan I (2016). Itu pun ketika saya masih berada di Wisma Badan Bahasa alias sebelum bertolak ke Piru.

Maka, Ahad kemarin (21-4-2018) saya memilih libur. Saya pikir, ada baiknya saya membuat semacam jeda bagi perjalanan ini. Lagi pula, sepulang dari Kaibobo kemarin, sisa pegal-pegal di badan saya belum juga hilang hingga pagi ini. Saya mengontak Bang Reimon dan mengutarakan hal itu. Saya perlu melakukannya sebab kehadiran beliau di lobi hotel setiap pagi sudah menjadi rutinitasnya sejak menjadi pendamping saya di program badan bahasa ini. Saya tak ingin dia datang pagi ini sementara saya belum bersiap-siap sebab memang saya sedang tidak ingin ke mana-mana. Ya, dedikasi dan tanggungjawab yang melekat pada diri Bang Reimon dalam menjalankan tugas yang diamanahkan oleh Bagian Humas Pemerintah Daerah Seram Bagian Barat untuk mendampingi saya sungguh tidak perlu diragukan. Sebagaimana biasa, laki-laki 45 tahun itu tidak banyak bicara. Ia mengerti dan menyisipkan peringatan di ujung telepon, “Bang Ben jangan makan terlalu banyak durian!” Ia hafal sekali rupanya. Sejak hari ke-4 di Piru, tidak satu hari pun yang saya lewatkan tanpa melahap 2-4 durian.

Dari sekitar enam buku yang saya bawa ke Piru, saya justru memilih buku yang mulanya tidak saya siapkan untuk menemani proses kreatif saya di sini. Pagi Ahad kemarin saya justru memilih “Bahasa, Sastra, dan Identitas”, kumpulan esai kebudayaan yang diterbitkan Kantor Bahasa Maluku (2016). Bunga rampai esai yang ditulis sejumlah mahasiswa di Maluku itu disunting langsung oleh kepala Kantor Bahasa Maluku, Dr. Asrif M. Hum. Saya mendapatkannya sebagai buah tangan usai saya mengisi materi penulisan kreatif bagi empat puluh guru bahasa Indonesia kabupaten ini dua hari yang lalu. Sampulnya yang klasik langsung membetot urat kepenasaran saya. Belakangan saya tahu kalau potret hitam putih dua orang–yang mulanya saya pikir adalah ibu dan anak–di sampul buku adalah ayah dan anak. Penutup kepala yang dikenakan sang ayah yang mirip lipatan kain ibu-ibu Melayu selintas lalu membuatnya tertangkap pandang sebagai perempuan, sebagai ibu. Foto yang diberi judul “Father and Son” itu ternyata dipetik fotografer Petrus Drabbe pada tahun 1930 dan diunduh dari sebuah situs di internet. Semoga kebermanfaatan hasil karyanya untuk sebuah buku kebudayaan, sedikit banyak, memberikan Drabbe sedikit kegembiraan ‘di sana’.

Namun, sebagaimana biasa, memulai kebiasaan yang sempat terabaikan itu membuat saya susah fokus. Saya malah menyelingi pembacaan saya dengan buku-buku lain. Alhasil, kumpulan esai kebudayaan itu pun hanya saya baca seperempatnya. Sebenarnya bukan semata godaan buku-buku lain. Keinginan saya untuk ‘mengubek-ubek’ pasar kota dan pasar pantai Piru juga menjadi pemicunya. Di tengah niat untuk mengkhatamkan sebuah bahan bacaan, sebuah keinginan tiba-tiba menyeruak. Saya tiba-tiba merindukan makan pisang ambon!

Memang, di rumah saya, buahan itu nyaris tidak pernah absen ada di atas meja makan kami. Saya bisa menghabiskan satu sikat kalau sedang ingin-inginnya. Di sini, di provinsi yang ibukotanya bernama Ambon, bagaimana bisa saya lidah saya tidak mencicipi pisang ambon barang sebuah pun, beuh!

Ahad itu pun, saya gagal menamatkan sebuah buku, sebagaimana saya gagal menemukan pisang ambon yang oleh masyarakat setempat disebut pisang meja. “Jadi di mana saya bisa mendapatkannya, Mama?” tanya saya pada salah seorang penjual yang memasang muka ramah.

“Tunggu ada yang jual, Kaka,” jawabnya ramah dan ‘tanpa dosa’.

Tunggu ada yang jual?! Waduh! Mama, takkah kau lihat muka Hamba yang ngidam pisang ambon!–teriak saya dalam hati sebelum kemudian saya refleks menepuk kening, seakan-akan mengingatkan kalau saya sedang berada di Piru, bukan di Lubuklinggau. Daging pisang ambon yang legit dan aromanya yang khas itu pun hanya bisa saya simpan dalam kepala.

Dan … jadilah Senin (22-4-2018) adalah salah satu hari yang menggembirakan. Ya, saya telah menamatkan buku terbitan Kantor Bahasa Maluku itu! Meskipun itu artinya saya mengambil tambahan satu hari libur, namun sebenarnya saya tidak menghabiskan seharian penuh untuk membaca. Saya sempat menulis sebuah jurnal terkait perjalaanan saya ke Kaibobo dua hari yang lalu. Libur yang tidak sia-sia. Begitu saya menamai dua hari tanpa bepergian itu.

“Bahasa, Sasta, dan Identitas” yang membahas eksistensi bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Provinsi Maluku itu, kalau saya boleh menyebutnya, adalah narasi panjang tentang kekhawatiran generasi muda (baca: mahasiswa) terhadap turunnya kebanggaan dan minat masyarakat setempat dalam menggunakan bahasa daerah karena pengaruh televisi dan ‘aliran Jakartanisme’ yang menjangkiti kawula muda, bahasa Indonesia yang diabaikan (bahkan oleh pemerintah daerah) dalam penamaan landmark kota atau bangunan publik sebab bahasa Inggris menjadi pilihan utama atas alasan tuntutan zaman, fenomena penggunaan media sosial yang kebablasan sehingga bahasa seperti kehilangan izzah dan fitrahnya sebagai peranti utama komunikasi, bahkan memelipir pada ekspansi bahasa di wilayah ekonomi kreatif. Melihat sebaran topik-topik yang disajikan para penulis, “sastra” yang tertera di judul rasanya tidak muncul di dalam buku. Memang ada salah dua artikel yang menggunakan kata “sastra” pada judulnya, namun bahasannya ternyata begitu permukaan. Wacananya terasa sangat mengawang-awang. Apalagi ketika memaksa-kaitkannya dengan ekonomi kreatif. Setahu saya, hingga hari ini, Badan Ekonomi Kreatif (BeKraf) belum/tidak pernah melirik sastra, apalagi menjadikannya sebagai komoditas ekonomi kreatif seperti yang dikondisikan para penulis dalam buku ini. BeKraf, sejauh ini, ‘lebih sibuk’ dengan arsitektur, kerajinan tangan, tekstil, desain produk dan busana, desain interior, fotografi, videografi, hingga memelipir ke tari dan musik. BeKraf ‘berani’ melakukan ekspansi pada wilayah-wilayah yang “selintas-lalu’ bukan menjadi domainnya seperti film yang sejatinya garapan Pusat Pengembangan Film (Pusbangfilm) atau tari dan musik yang biasanya masuk ke ranah kesenian dan kebudayaan yang diurus oleh Direktorat Kesenian atau direktorat yang bersinggungan lainnya, di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), namun tidak sedikit pun ‘menganggap’ sastra!

Namun, tentu saja jurnal ini tidak akan membahas tumpang-tindih tupoksi sejumlah lembaga atau instansi pemerintahan yang mengurusi hajat hidup kebudayaan. Narasi di atas sekadar pemancing wacana untuk membuka cakrawala berpikir kritis tentang bagaimana terpinggirkannya sastra oleh BeKraf. BeKraf tidak menganggap sastra sebagai salah satu cabang kesenian yang hendak mereka rangkul. Nah, buat apa kita berkoar-koar dengan mencocokkan sastra dengan prinsip-prinsip ekonomi kreatif sedangkan badan yang mengurusi hal itu sedikit pun tidak menganggap sastra sebagai bagian darinya? Dua tulisan dalam buku ini mungkin akan terasa ‘bekerja’ ketika bertendens untuk memberikan masukan (baca: kritik) tergadap BeKraf, bukan memaksa-kondisikannya dalam konteks artifisial sebagaimana yang mereka tulis.

Terlepas dari aroma sastra yang hanya numpang lewat saja, buku ini sebenarnya memuat pandangan-pandangan naratif-persuasif tentang bagaimana menyikapi kepunahan bahasa daerah dan nasionalisme yang rapuh di waktu yang bersamaan, sebab semua penulisnya, menulis dengan struktur penulisan esai yang tertib. Selalu ada usulan pemecahan masalah dan kesimpuan di akhir tulisan. Jenis esai begini, sangat membantu pembaca untuk menandai muatan-muatan penting di dalamnya, meskipun di sisi lain ia menjadi kaku dan kurang mengalir. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika ‘merampungkan’ buku setebal 179 halaman itu.*

]]>
https://www.bennyinstitute.com/buku2/feed/ 0
SIMSALABIM https://www.bennyinstitute.com/simsalabim/ https://www.bennyinstitute.com/simsalabim/#respond Wed, 25 Apr 2018 14:27:52 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1454
Membelakangi Pulau Babi di Kaibobo

(Hari ke-10 di Seram Bagian Barat)

Negeri dengan riwayat religios-mistik. Cuma itu bayangan saya tentang Kaibobo.

Kaibobo, berdasarkan hikayat yang pernah dituturkan Pak Gasper, Asisten I Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Barat di hari kedua kehadiran saya dan tim pendamping dari Jakarta dan Ambon, dulunya banyak ditumbuhi rerumputan sehingga menjadi daerah pengembalaan kambing pada masanya. Namun ironisnya, hari ini, jangan bermimpi menemukan kambing di Kaibobo!

Kami memulai perjalanan pukul 10 pagi. Untuk mengantisipasi kesulitan mencari makan di jalan, saya mengusulkan agar kami membawa bekal. Namun Bang Remon bersikeras menolak. Nanti saja, katanya. Nggak sampe 50 kilometer kok, tegasnya kemudian.

Baiklah. Saya nurut saja. Namun, saya tetap membeli sebungkus roti kacang dan dua botol besar air mineral untuk jaga-jaga. Kabar tentang jalan utama Kaibobo yang membelah perbukitan, membuat saya senantiasa bersiaga. Mengharapkan toko makanan atau kedai berdiri di atas bukit, adalah kesia-siaan. Bang Reimon tampaknya mau protes ketika saya keluar dari toko dengan kresek di tangan, namun ketika saya menggantungkan belanjaan itu di cantelan tiang stang motor, laki-laki bermarga Manuputty itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Mungkin percuma, pikirnya. Toh sudah dibeli juga.

Hampir setengah jam berada di sepeda motor, kami bertemu kembali dengan gerbang piru. Menyadari hal itu, serta-merta saya bertanya, “Tidakkah ini arah yang sama dengan dengan perjalanan kita ke Hualoy?”

Bang Remon mengangguk. Walaupun berada di boncengan, saya bisa melihat gerakan kepalanya. “Tapi seperti beta bilang, Kaibobo ini dekat.”

Oh, saya mengerti. Meskipun begitu, tak urung, saya pun melanjutkan pertanyaan, “Bang Reimon pernah ke sana?”

“Belum.”

Lalu, bagaimana Abang bilang kalau tempatnya lebih dekat? Sebenarnya, saya ingin bertanya, “Bang Reimon punya keluarga atau teman atau kenalan di Kaibobo?”. Namun saya memilih untuk tidak melanjutkan. Tiba-tiba saya teringat kredo perjalanan saya di Pulau Seram ini: Cara menikmati perjalanan adalah dengan membiarkan matamu tertutup kain!

Plank yang menipu. Kaibobo masih jauh eui!

Tampaknya Bang Reimon benar. Kaibobo memang tidak sejauh Hualoy. Tak sampai satu jam kami sudah bertemu dengan sebuah papan bertuliskan “Kaibobo” disertai arah panah ke kanan. Alhamdulillah, batin saya, sampai juga akhirnya.

Sekitar lima puluh meter setelah berbelok, kami bertemu dengan sebuah gerbang. Saya meminta Bang Reimon berhenti karena saya tertarik dengan miniatur perkampungan yang mengingatkan siapa pun yang melihatnya dengan peristiwa kelahiran Yesus Kristus.

Miniatur gua tempat lahirnya Yesus Kristus di dekat gerbang kedatangan

Beberapa menit kemudian Bang Reimon harus membunyikan klakson karena beberapa anak perempuan setempat sedang bermain di tengah jalan. Hal itu mengingatkan saya dengan jalan provinsi di Tihulale yang begitu ramai. Dari Bang Reimon saya baru tahu kalau di negeri itu, penduduk setempat biasa bermain di tengah jalan. Bahkan, masih kata Bang Reimon, ia pernah hampir menabrak penduduk yang tidur-tiduran di jalan Trans Seram Tihulale. Tapi, tampaknya anak-anak tadi sekadar memanfaatkan kelengangan jalan, bukan menjadi kebiasaan yang mengganggu kepentingan umum.

Anak-anak perempuan bermain di tengah jalan

Sepuluh manit kemudian, saya baru sadar kalau perjalanan ini sepertinya tidak mudah. Kami kerap berhadapan dengan jalan koral yang turunan, tanjakan, dan kelokan yang sangat Ekstrem. Beberapa kali saya mohon izin turun dan memilih berjalan kaki ketika kami bertemu dengan jalan menurun yang belum diaspal. Saya tak mau ambil risiko, keringnya permukaan jalan berpotensi mengolengkan kendaraan. Tidak awas sedikit, sepeda motor kami pasti terbalik.

Ketika memasuki jalan tanah, di dekat kali kecil di tengah hutan, saya melihat pemadangan tak lazim. Penduduk setempat menjemur pakaian dengan cara membentangkannya di atas rerumputan.

Di siang yang terik, jalan koral yang gembur sangat membahayakan bagi kendaraan roda dua

Hingga setengah jam perjalanan, pemandangan di kiri-kanan jalan hanya berupa hutan sagu yang diselingi pohon-pohon tak bernama yangbrimbun. Ketika melewati sebuah tanjakan, mata saya menangkap hamparan pohon kayu putih di sisi kanan. Saya baru ingat, meskipun kerap saya lihat, saya belum pernah memetik daun yang ekstraknya dijadikan minyak yang berkhasiat menghangatkan, menyegarkan, atau bahkan memulihkan keadaan badan yang tidak fit. Seakan ingin menunjukkan “cara efektif” mendapatkan aroma kayu putih yang kuat, di hadapan saya Bang Reimon meraut seranting kecil daun dengan tangan kanannya lalu langsung meremasnya. Saya pun menirunya. Ketika remasan daun itu saya dekatkan ke hidung, aroma minyak kayu putih yang keras mengisi relung indera penciuman saya.

Pohon minyak kayu putih yang menyerupai semak-semak

Mungkin tidak banyak yang tahu, kalau tidak semua pohon kayu putih itu tinggi-tinggi sebagaimana pohon pada umumnya, sebagaimana bayangan saya sebelumnya. Di seberang Gedung Nunusaku dan di dekat Istana di Atas Bukit (demikian saya menyebut gedung DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat yang terdapat di dataran tinggi Piru, pohon kayu putih tumbuh menyerupai semak-semak berbatang kecil, seperti pohon bunga sedap malam atau bahkan semak bunga melati. Di dekat Gedung Nunusaku, bahkan saya pernah melihat orang-orang memetik daun kayu putih seperti serombongan pemetik teh, saking rendahnya pohon itu.

“Kaibobo sepi sekali ya, Bang?” celetuk saya ketika hampir satu jam sejak belokan dari jalan Trans Seram tadi tapi saya belum juga menemukan permukiman.

“Kita memang belum tiba di Kaibobo,” jawab Bang Reimon santai.

“Beneran, Bang?!” Nada suara saya meninggi.

“Lalu gerbang di awal tadi?”

“Itu Dokyar!”

Dokyar? Ah sudahlah. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. “Wah jauh juga ya, Bang?” celetuk saya kemudian.

“Iya nih,” Bang Reimon ikut-ikutan mengeluh. “Kok nggak ada tanda-tanda kehidupan, ya?”

“Lho kok Bang Reimon balik nanya?” Saya mulai sewot.

“Kan memang beta belum pernah ke sini.”

Saya diam.

Bang Reimon menghentikan laju sepeda motor. “Lihat itu!” Ia menunjuk tanjakan yang sangat tinggi. “Apa kita mau lanjut?”

Turunan-tanjakan seperti ini menjadi ‘santapan’ sepanjang perjalanan

Saya masih diam. Kalau kami berputar balik, perjalanan ini akan sia-sia. Kepenasaran saya pada rupa negeri muslim yang hari ini sudah menjadi negeri kristen itu takkan terbayarkan. Memang, harus saya akui, dibandingkan ke Hualoy atau Telaga Tenggelam, medan ke Kaibobo memang lebih melelahkan dan ‘membahayakan’. Seharusnya kami melalui medan ini dengan mobil, batin saya sedikit menyesal.

“Bagaimana?” Bang Reimon menoleh ke belakang.

“Saya tak punya ide, Bang.”

Baru saja Bang Reimon hendak memutar balik stang sepeda motornya, saya memberanikan diri menceletuk, “Bagaimana kalau di balik tanjakan itu ternyata ada permukiman,” suara saya seperti bergumam.

“Jangan banyak gerak, ya!” instruksi Bang Reimon,m cepat, bersamaan dengan gas yang ditariknya maksimal.

Motor kami melaju naik.

“Kalem-kalem, Bang!” Saya menepuk pundaknya.

“Iya, kalem-kalem,” jawabnya tenang. Kosakata “kalem-kalem” yang berarti “pelan-pelan” memang pertama kali saya dengar darinya.

Saya memekik tertahan. Saya bertakbir atas apa yang terbentang di hadapan. Tidak, kami memang tidak menemukan opermukiman. Tapi kami menemukan yang sejatinya kami cari.

Kami menemukan surga kesekian di Seram Bagian Barat. Hamparan perbukitan, laut dan langit yang biru, dan sebuah pulau di tengah-tengahnya membuat saya matikata. Tiba-tiba saya teringat dengan kata-kata Bu Nani Si Pemilik Amadeus dalam sebuah percakapan. “Nanti pertama kali masuk Kaibobo kalian akan disambut Pulau Babi atau Pulau Kasa yang indah!” Oh, bagaimana saya baru mengingatnya saat ini.

“Bagaimana, Bang?” tanya saya seraya merekam keindahan Kaibobo dari ketinggian dengan ponsel.

“Lanjuuut!”

Benarlah! Setelah dua kelokan dan tiga tanjakan-turunan kami mendapati ‘surga’ itu makin nyata di depan mata. Dari atas rusbang bambu di ketinggian Kaibobo, sebuah pohon pandan huta pada mulanya mengganggu pemandangan. Namun saya keliru. Ternyata pohon itu justru seperti membagi lautan di hadapan kami menjadi dua. Menjadi laut kembar. Menyempurnakan panorama yang menyegarkan mata itu.

Panorama Kaibobo

“Mengapa tidak ada kambing-kambing di Kaibobo?” Tepat pukul satu siang, ingatan saya melenting pada pertanyaan yang saya ajukan pada Pak Gasper sembilan hari yang lalu itu.

“Karena satu dan lain hal,” jawabnya diplomatis.

“Lebih spesifik, Pak?” Saya ingat sekali, betapa bersemangatnya saya mendesak beliau.

“Karena sihir!” jawabnya cepat. “Hingga hari ini, penduduk Kaibobo seperti makan kutukan atas ‘sihir’ itu,” lanjutnya. “Orang-orang Kaibobo asli selalu gagal memelihara kambing. Ada-ada saja hal!yang akan membuat kambing peliharaan mereka. Misalnya kambing itu terkena penyakit atau lain sebagainya. Hal sebaliknya terjadi pada babi. Di negeri itu, babi-babi itu tidak memerlukan pemeliharaan khusus. Hewan-hewan itu sehat dan beranak-pinak dengan sendirinya.”

Kamu, iya kamu, rela membiarkan saya sendirian saja di rusbang bambu ini?

Saya sebenarnya ingin bertanya bagaimana itu bisa terjadi. Namun kata “Sihir” yang kadung melekat di kepala membuat saya membatalkan niat itu. Ah, seharusnya saya tidak lupa menanyakan satu hal padanya.

“Apakah keindahan alam di Kaibobo juga buah dari sihir?”*

Kamariang, 20 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/simsalabim/feed/ 0
KANGEN https://www.bennyinstitute.com/kangen/ https://www.bennyinstitute.com/kangen/#respond Tue, 24 Apr 2018 10:51:22 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1445 (Hari ke-9 di Seram Bagian Barat)

Walaupun baru bisa terlelap dini hari, pukul tujuh pagi saya sudah berada di lobi hotel. Dalam percakapan via WhatsApp malam tadi, Obi, pegawai Kantor Bahasa Maluku memberi tahu kalau biasanya para panitia berangkat ke lokasi acara pukul setengah delapan. Rombongan Kantor Bahasa Maluku sejak tiga hari yang lalu menjadikan Hotel Amadeus tempat saya menginap sebagai basecamp kegiatan yang mereka adakan: Penyuluhan Bahasa bagi Tenaga Pendidik Bahasa Indonesia di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kegiatan yang dipusatkan di SMAN 1 Piru itu dilaksanakan dari tanggal 16 hingga 19 April 2018.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Piru, Zulfan memang pernah bilang kalau instansinya akan mengadakan kegiatan di Piru. “Sepertinya kami akan meminta Abang untuk mengisi materi Penulisan Kreatif pada hari Jumat,” tegasnya waktu itu. Tentu saja saya bersedia. Apalagi di Seram Bagian Barat saya mengatur jadwal saya sendiri. Berbagi dengan guru-guru bahasa Indonesia tentang sesuatu yang menjadi passion saya, alih-alih memberatkan, ia malah menjadi amunisi kegembiraan seorang ‘perantau’ seperti saya.

Tidak banyak yang saya siapkan untuk pelatihan ini. Saya hanya perlu mengunduh materi presentasi yang sudah saya siapkan di email. Apalagi Dr. Asrif, kepala Kantor Bahasa Maluku, mengatakan kalau panitia menyiapkan laptop dan projektor. Selebihnya, materinya penulisan kreatif itu sudah melekat dalam kepala!

Tepat pukul 7.30 WIT, Obi dan Bang Harlin menghampiri saya yang sedang sarapan pisang goreng di temani teh tawar. Mereka mengatakan kalau accu mobil panitia sedang diganti, sehingga kemungkinan besar kami ke lokasi naik motor. Saya mengerti maksud mereka. “Oh tidak ada masalah. Saya tiap hari juga ke mana-mana naik motor sama Bang Reimon,” ujar saya seraya mengibaskan tangan. Karena beberapa malam ini saya dan para legawai Kantor Bahasa Maluku sudah akrab oleh acara makan ikan bakar dan durian bersama, seharusnya mereka tak perlu merasa tak-enak-hati hanya karena tidak bisa membawa narasumbernya dengan kendaraan roda empat ke lokasi acara.

Benar saja. Kami menghabiskan tidak sampai 10 menit di atas ojek untuk tiba di SMAN 1 Piru. Dalam hal ini, kendaraan roda empat benar-benar tentang prosedur dan prestise! Tadi sebenarnya saya sempat mengontak Bang Reimon untuk membawa saya ke sana dengan sepeda motornya sebagaimana biasa, tapi tampaknya dia belum bangun. Ya, biasanya Bang Reimon menyambangi saya di Amadeus pukul 9 atau 10 pagi. Saya memang lupa memberitahunya kalau agenda hari ini dimulai lebih pagi.

Di ruangan acara, saya mencoba menguji tampilan file presentasi saya di projektor. Setelah merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saya bergabung dengan Obi dan Bang Harlin yang tampak sibuk menyiapkan urusan administrasi di pintu masuk. Oh, saya baru ngeh. Ini adalah hari terakhir acara, pasti banyak berkas yang harus ditandatangani peserta nantinya. Panitia juga menyiapkan sertifikat untuk para peserta.

Saya sebenarnya ingin bercengkerama dengan para peserta yang sebagian besar perempuan, namun melihat bahasa tubuh mereka yang kaku (mungkin kentara sekali saya adalah ‘orang baru’ dari tampilan fisik maupun pakaian yang saya kenakan), niat itu tak jadi saya realisasikan. Saya memilih jalan-jalan melihat-lihat sekolah yang memiliki halaman yang cukup luas ini.

Hingga pukul delapan yang artinya bel untuk jadwal saya sudah berdering, baru sebagian peserta yang hadir. Bang Harlin meminta saya menunggu, walaupun sebenarnya saya tidak masalah sedikit pun. Fleksibel saja, batin saya. Tiga puluh menit kemudian, barulah Bang Harlin memberi kode kalau acara akan dimulai. Kelas tampaknya juga sudah penuh.

Ternyata Bang Harlin langsung yang bertindak selaku moderator. Ia membuka acara, memperkenalkan narasumber, sebelum akhirnya menyerahkan pelatihan itu sepenuhnya kepada saya.

Sebagaimana biasa, saya izin untuk berdiri. Memberi pelatihan dalam posisi duduk sungguh bukan tipe saya. Awalnya saya meminta Bang Harlin mengoperasikan laptop untuk memperlancar jalannya slide, namun itu hanya berlangsung hingga lima belas menit pertama. Bang Harlin harus berkutat dengan berkas-berkas administrasi acara lagi. Saya maklum. Saya mengambil alih. Saya pun menjadi sangat mobile dan … itu bukan masalah sama sekali. Saya menikmatinya. Apalagi wajah para peserta menunjukkan antusiasme.

Ketika saya menyimulasikan cerita Anak Ayam dan Anak Bebek seakan-akan sedang mendongengi anak-anak saya menjelang tidur, suasana langsung cair. Apalagi ketika saya melibatkan mereka untuk menebak kalimat apa yang keluar dari mulut Anak Ayam setiap kali Anak Bebek mengutarakan sesuatu, suasana selalu riuh. Tiap kali tebakan mereka salah (dan memang biasanya selalu begitu), tawa pun pecah. Dalam keadaan demikian, kelas itu sudah jadi ‘milik’ saya. Ya, dalam mengampu kelas atau pelatihan bagi orang dewasa, hal paling penting untuk dipastikan adalah para peserta sudah masuk ke dalam lingkungan yang saya bangun. Saya harus ‘mengendalikan’ mereka, memastikan mereka ‘lupa’ dengan ‘kedewasaan’ mereka yang tahu banyak hal. Membuat mereka, secara tidak sadar, mengosongkan gelas pengetahuan untuk menerima apa pun yang datang dari saya. Maka, dalam pembelajaran orang dewasa, fase ‘mencairkan suasana’ ini memegang peranan penting. Kalau saya sudah ‘memegang’ mereka, kelas yang saya ampu alamatnya akan berjalan sesuai harapan. Kalau tidak, saya tak dapat berharap banyak.

Mengisi kelas menulis di wilayah yang jauh dari kampung halaman ini, mengingatkan saya dengan residensi saya di Desa Panca Mukti, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah dalam Program Seniman Mengajar (Agustus-September 2017). Lebih dari sebulan saya berproses kreatif di sana. Datang dengan status pegiat teater, saya memiliki peserta didik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sembilan puluh persennya berada dalam rentang usia 55-80 tahun. Tapi, dalam jurnal ini, saya tidak akan menceritakan hal itu.

Lagi pula, sebagaimana peribahasa, lain padang lain ilalang. Hari ini, kelas dan jenis kelasnya sangat jauh berbeda dengan yang pernah saya ampu di Panca Mukti.

Orang-orang Timur memiliki antusiasme dan rasa penghargaan yang tulus. Lagi, saya harus mengutarakan kesan yang saya dapatkan tiap kali berinteraksi dengan mereka.

Hingga saya menyelesaikan presentasi, tak satu pun mengacungkan tangan untuk meminta penjelasan terkait bagian-bagian tertentu dari slide materi. Karena materi yang saya ketengahkan memang mudah mereka pahami atau tabiat mereka yang khidmat menyimak sebelum sesi diskusi dibuka, saya tak ingin berspekulasi. Namun, umumnya, dalam sejumlah kelas yang ampu, akan ada satu-dua penanya di tengah-tengah presentasi. Bertanya atau tidak bertanya di tengah-tengah presentasi memang tidak memberi implikasi yang berarti terhadap jalannya kelas, termasuk target-target kecil yang saya canangkan pada tiap pelatihan. Namun, para peserta pelatihan di Piru ini, dalam pandangan saya, relatif tertib. Ya, sedari awal memang sudah saya sampaikan bahwa sesi bertanya akan saya buka menjelang kelas berakhir.

Simulasi pun dimulai.

Ini adalah bagian penting dari tiap kelas yang saya ampu. Saya akan meminta mereka menulis (bukan mengetik) dengan cepat tanpa menyilakan mereka mencoret satu kata pun. Saya meminta mereka memikirkan sejumlah kata dan menuliskannya dalam hitungan detik. Saya juga meminta mereka mengisi daftar karakter, informasi dasar sebuah peristiwa, untuk kemudian menjahitnya dalam tulisan yang bercerita. Dan semuanya, sekali lagi, dilakukan dalam hitungan detik hingga lima menit paling lama!

Ketika saya meminta lima orang untuk membacakan karya-cerita mereka di depan kelas, tangan-tangan mereka refleks terangkat menujuk langit-langit ruangan. Saya sempat kebingungan memilih.

Saya meminta mereka menyimak pembacaan karya-cerita rekan-rekan mereka yang terpilih. Ternyata tiap peserta menyajikan cerita yang menarik dan lekat dengan keseharian. Ada yang menceritakan kisah kematian suaminya, orang ketiga dalam rumah tangga mereka, cinta pada pandangan pertama, dan lain-lain. Dari presentasi mereka, alangkah senagnya saya ketika mendapati, dalam waktu supersingkat yang saya berikan, mereka mampu menuliskan pilihan ide dengan ringkas, bercerita, dan tuntas! Seru dan menggembirakan, pokoknya! Tampaknya mereka benar-benar mendengarkan dan menerapkan anjuran saya untuk menulis sesuatu yang paling mereka tahu, ingat, dan sukai.

Di akhir kelas, usai sesi tanya jawab, saya mengucapkan terimakasih atas sambutan dan semangat mereka dalam merespons materi kepenulisan kreatif dasar yang saya ketengahkan.

“Hari ini Anda sudah menulis sebuah karya cerita untuk dibawa ke rumah masing-masing!” Dapat saya lihat air muka terkejut mereka. Ya, mereka refleks memandangi karangan yang mereka tulis ‘dengan tergesa-gesa’ barusan. Mereka telah menyelesaikan sebuah tulisan. Mereka telah melampaui diri mereka sendiri.

“Banyak yang abai,” ujar saya kemudian, “bahwa ‘tekanan’ dan ‘kesempitan’ adalah keadaan yang kerap menggiring kita untuk melampaui batas-batas normal kemampuan kita, termasuk akhirnya, di bawah ‘paksaan’ yang saya rekayasa sedemikian rupa, Bapak dan Ibu semua akhirnya bisa menulis sebuah ide hingga selesai, sesingkat apa pun tulisan itu!”

Lalu tepuk tangan pun bergemuruh.

Dada saya buncah. Tepuk tangan itu adalah oleh dan untuk mereka sendiri.

Saya harap mereka bisa terus memelihara energi menulis yang mereka dapatkan hari ini. Terimakasih, telah membuat saya merasa ‘ada’ di negeri kalian, wahai Bapak-Ibu Guru yang Mulia.

Tiba-tiba saya merindukan seorang guru bahasa Indonesia yang mengajar di Desa Tabarenah, Musirawas, Sumatra Selatan, yang sudah delapan tahun ini menanamkan dirinya di rusuk kiri saya, sekaligus mengurus putri-putri kami dengan cinta tanpa kata tetapi. “Istriku, kamu baik-baik saja di sana?”*

Piru, 19-24 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/kangen/feed/ 0
LA TUDJUH https://www.bennyinstitute.com/la-tudjuh/ https://www.bennyinstitute.com/la-tudjuh/#respond Mon, 23 Apr 2018 07:49:56 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1429  

Berfoto La Tudjuh dan istrinya sebelum pamit

(Catatan hari ke-7 & 8 di Seram Bagian Barat)

Saya tidak mengerti mengapa hal ini jamak terjadi ketika saya tengah berburu hikayat di pelbagai daerah: tukang hikayat atau tetua kampung atau pemuka adat seperti susah sekali membagikan kisah-kisah terkait lokalitas yang mereka tahu, seakan-akan saya hendak mencuri ‘harta-karun’ mereka lalu menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi.

Saya ingat, ketika pertama kali bertemu keluarga (alm) Tose, pegiat cerita rakyat di Lubuklinggau. Salah seorang anggota keluarganya bilang kalau Silampari, salah satu cerita rakyat di Musirawas-Lubuklinggau, tidak boleh diturunkan kepada siapa pun sebab Si Putri akan murka. Ketika saya bertemu dengan tua-tua Negeri Hualoy, keadaan yang sama kembali saya temui. Tetua itu tiba-tiba berhenti pada penjelasan perihal pela kedua dari tujuh pela di Ambon (Silakan membaca jurnal hari ke-3 “Osi” untuk mendapatkan penjelasan terkaik ini–meskipun saya berencana menuliskannya dalam jurnal khusus nantinya). Ketika saya bertemu dengan penduduk lokal Piru yang, katanya, juga tahu cukup banyak tentang beberapa hikayat terkait Pulau Seram, jawabannya juga mirip. “Beta tidak berani membagikan Tete (leluhur laki-laki) punya cerita.”

Keadaan di atas, sempat menggiring saya pada sebuah prasangka yang cukup emosional: Kalian sebenarnya menguasai tidak materi-materi lokalitas itu? Atau hanya tahu sedikit, lalu tidak mau menceritakannya karena yang sedikit itu khawatir akan cepat habis? Atau … sebenarnya semua kisah dan laku zaman dahulu itu tak lebih karangan Anda sehingga Anda khawatir saya serang dengan sejumlah pertanyaan dan Anda gagal menjawabnya?!

Saya ingat, Bapak Suwandi Syam (semoga kesehatan selalu menyertainya), budayawan yang sangat saya hormati di Lubuklinggau-Musirawas, pernah dengan gamblang dan panjang lebar menceritakan lokalitas kampung halaman saya–dan saya selalu kagum oleh kedalaman ilmunya, suatu ketika pernah melontarkan sebuah pernyataan, “Siapa pun yang meragukan hikayat yang telah saya sampaikan tadi, silakan menghadap saya!”. Selintas lalu, pernyataan itu menunjukkan kebertanggungjawabannya terhadap cerita-ceritanya. Namun, di sisi lain, ia terdengar seperti pertahanan yang dari luar tampak gagah tapi sebenarnya keropos.

Tanggal 18 April 2018, saya menemui La Tudjuh.

Laki-laki kelahiran tahun 1933 itu direkomendasikan oleh semua penduduk Negeri Telaga Tenggelam ketika kami bertanya siapa yang paling layak kami temui bila ingin mengetahui hikayat di negeri mereka.

Saya dan Bang Reimon yang biasanya selalu menemui baparaja ketika memasuki suatu negeri, kali ini sedang tidak beruntung. Tidak beruntung untuk kedua kalinya!

Rumah gantung di Negeri Telaga Tenggelam

Ya, sebenarnya kami sudah merencanakan segalanya sejak kemarin (17-4-2018). Namun beberapa saat setelah melewati Negeri Loun, langit mulai mendung. Setiba di Telaga Tenggelam, hujan rintik-rintik. Ketika kami mendatangi rumah baparaja untuk mengutarakan maksud kedatangan kami berburu hikayat (sekalian berteduh juga siih!), kepala negeri itu sedang berada di luar. Karena tak ingin menyia-nyiakan perjalanan, di bawah hujan rintik yang renyai, kami melajukan motor menjauhi Piru. Mendapati pemandangan Gunung Tinggi yang mengingatkan saya pada dataran tinggi yang dipenuhi rerumputan di Selandia Baru, lebih dari cukup untuk mengobati kekecewaan saya yang harus rela pulang tanpa hikayat di tangan!

Panorama Gunung Tinggi

Hari ini, ketika kami kembali ke negeri yang terdapat di dataran tinggi Piru itu, baparaja Telaga Tenggelam masih juga tak ada di tempat. Ia baru saja pergi ke negeri tetangga, begitu kata menantunya yang membukakan pintu. “Beta tidak bisa memastikan kapan mereka pulang,” pungkasnya sebelum kemudian menutup pintu.

Baiklah. Merasa semua SOP (standard of procedure) berkunjung ke negeri baru sudah dijalani, saya dan Bang Reimon saling pandang sejenak. Kami mengerti arti tatapan mata masing-masing. Kami mengarahkan sepeda motor ke rumah Bapak La Tudjuh, tua adat Negeri Telaga Tenggelam. Kami menemui tua negeri tanpa mengantongi izin baparaja. Bismillah, batin saya.

Ternyata kami harus berbelok alias harus keluar dari jalan utama negeri. Beberapa penduduk sekitar yang kami tanyai mengatakan kalau jalan ke rumah Bapak La Tudjuh bisa dilalui dengan sepeda motor. Ternyata tidak demikian ketika kami sudah berada sekitar lima puluh meter dari rumah gantung si pemuka masyarakat itu. Masyarakat setempat memiliki dua sebutan untuk tempat tinggal, yaitu rumah darat dan rumah gantung. Rumah darat adalah sebagaimana umumnya rumah, sedangkan rumah gantung gantung adalah istilah untuk rumah panggung atau rumah yang lantainya tidak menyentuh tanah.

Jalan becek menjelang rumah Bapak La Tudjuh

Bang Reimon memarkir sepeda motornya di jalan becek. “Kalau mau saya dorong kita bisa melewati jalan becek ini, Bang,” usul saya. Ya, sisa hujan kemarin membuat jalan tanah menuju rumah Bapak La Tudjuh menjadi sebaran telaga kecil. Seperti biasa ia meminta saya tidak perlu mengkhawatirkan keamanan sepeda motornya. Sepengalamanan saya, dalam urusan keamanan, Piru memang patut dipuji.

Kami hanya berjalan kaki sekitar lima menit untuk kemudian menemukan sebuah rumah gantung yang kami sama-sama yakini sebagai rumah yang kami cari. Kami ternyata mengetuk bagian belakang rumah. Seorang perempuan tua yang hanya mengenakan kain setinggi dada, keluar dari pintu lalu meminta kami masuk lewat depan.

Rumah Gantung La Tudjuh

“Ini benar rumah Bapak La Tudjuh?” Saya tidak mendengar Bang Reimon menanyakan nama pemilik rumah, soalnya.

“Tenang aja,” kata Bang Reimon tanpa menoleh.

Kami naik tangga kayu sebelum kemudian Bang Reimon mengucapkan _massalamu’alaikum. Salam yang Bang Reimon ucapkan seperti memberitahu saya kalau Bapak La Tudjuh beragama Islam atau sebagian besar penduduk Telaga Tenggelam memeluk agama yang sama. Saya tak lagi terkejut apalagi mempermasalahkan assalamu’alaikum yang diucapkan seorang Kristen seperti Bang Reimon.

Ternyata pendamping saya itu benar. Di dalamnya, orang yang kami cari itu bergegas keluar dari kelambu tepat ketika Bang Reimon melangkah masuk ke dalam bilik yang berlantaikan bilah-bilah bambu yang kuning mengilap di bawah terpaan sinar matahari yang menyusup dari jendela yang terbuka penuh.

Menyimak cerita La Tudjuh

“Maaf Bapak kalau kami mengganggu istirahatnya,” ujar saya sembari menyalami tangan kanan pemuka adat itu.

“Tamu itu rezeki yang dikirim Tuhan.” Jawabannya itu sungguh mengejutkan saya. Selain karena ia mengutarakannya dalam nada yang tinggi, intonasi yang tegas, dan pengucapan huruf vokal yang kelewat terang (sehingga air mukanya menampilkan riak yang begitu kentara perubahannnya), jawaban itu tentu tidak datang dari mulut orang sembarangan.

Bapak La Tudjuh membetulkan posisi sarungnya yang makin naik ke paha. Ia tidak mengenakan baju. Mungkin karena siang itu cuaca cukup panas. Mungkin juga karena sehari-hari ia bertelanjang dada. Kepalanya nyaris plontos sebab tak banyak lagi rambut yang tumbuh di sana.

Sebagaimana biasa, saya memperkenalkan diri. Ketika tahu saya diutus oleh Kemdikbud, Bapak La Tudjuh refleks bereaksi. Baru saja saya akan melanjutkan perkenalan, ia meminta kami merekam kata-katanya dalam bentuk video. Ia menyampaikan pesan agar Presiden Jokowi mendatangi Piru. Mendatangi tempatnya tinggal. Itu syarat yang ia kemukakan apabila Si Presiden menginginkan bangsa ini aman.

Video La Tudjuh mengkritik pemerintah

Saya duga, ada kekecewaan sekaligus harapan mendalam di relung sanubarinya sehingga ia serta-merta mengatakan hal itu. Dengan menampilkan rekaman berdurasi satu menit itu di jurnal ini, saya harap saya sudah memenuhi permintaannya agar apa yang menjadi kegelisahannya di bawa publik, syukur-syukur dilihat Pak Presiden.

Saya dan Bang Reimon berusaha selembut mungkin untuk menjelaskan posisi saya sekaligus tujuan kedatangan kami.

Bapak La Tudjuh berhenti sejenak. Ia menunduk lalu menatap saya.

La Tudjuh tak mau dibantah dan disel ceritanya

Saya tersenyum. Saya tak tahu, seperti apa ekspresi saya ketika sedang menyunggingkan bibir itu. Rasa khawatir dan berusaha-menghormati menyerang saya di waktu yang sama.

“Tidak bisa!” katanya tegas.

Bang Reimon lalu mengatakan betapa ‘mulianya’ tujuan saya.

“Bapak bayangkan,” saya mulai berani menimpali. Tentu saja, saya harus berani. Kalau sudah jauh-jauh ke sini, saya cuma dapat foto panorama Telaga Tenggelam yang indah tanpa cerita, hikayat, mitos, legenda atau lokalitas lain yang bisa saya tulis, buat apa?! “Bapak bayangkan kalau semua yang Bapak tahu itu hanya berdiam di dalam kepala Bapak, bagaimana orang-orang akan tahu dan terus melestarikan ceritanya atau bahkan memetik pelajaran darinya.” Ya, saya percaya, selalu ada nilai yang bersembunyi di balik cerita.

Suasana kembali hening.

“Beta adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara,” tiba-tiba ia bercerita.

Saya dan Bang Reimon menyimak.

“Saya lahir dengan tujuh tali pusat.”

What? Saya yang sedang merekam, tersentuh tombol “off” saking terkejutnya. Saya buru-buru mengaktifkan lagi rekaman ketika mengingati diri bahwa yang mahal dari perburuan hikayat adalah kejutan demi kejutan yang dihadiahinya.

“Jangan tanya dan jangan sela cerita Beta!” Ia seperti membaca bahasa tubuh saya yang meminta konfirmasi terkakit tujuh tali pusat tadi. Lalu dia terdiam lagi. Ada nanar di bola matanya. “Dulu, Bahaya Seram pernah menyerang seram. Semua permukiman di tepi laut dan dekat pantai disapu ombak yang datang dari perut laut. Bapak Beta saat itu sedang ada di telaga. Beta tak tahu untuk apa Bapak di sana. Apa untuk mencari ikan air tawar atau sekadar berjalan-jalan atau ada keperluan lain. Telaga itu juga disapu Bahaya Seram. Dan Bapak juga ikut serta. Tapi … jasad Bapak, katanya, masih bisa ditemukan. Kalau ke masjid besar di Telaga (Tenggelam) ini, tak jauh dari bangunannya kalian akan menemukan makam. Itu adalah makam bapak Beta. Awalnya makam itu bukan di sana. Tapi karena tanah tempat bapak Beta dimakamkan akan dibangun masjid, Beta meminta kepada orang-orang untuk memindahkan tulang-tulang Bapak ke tanah galian yang baru. Tak jauh dari masjid. Biar tidak terlalu sakit bapak Beta. Kalau terlalu jauh dipindahkan, pasti Bapak akan merasa sakit. Orang sakit saja sering mengeluh sakit kalau bergerak, apalagi orang mati!” terangnya panjang lebar.

Saya baru tahu kalau Bahaya Seram adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan air pasang yang naik jauh ke darat. Apakah ini bisa disebut semacam tsunami, saya tidak menanyakannya lebih jauh.

Jembatan yang menjadi semacam pemisah antara Telaga Tenggelam (kanan) dan Laut Seram (kiri)
Telaga Tenggelam yang indah
Panorama laut (dan rumah-rumahgantung di bantarannya) yang terletak di seberang Telaga Tenggelam

“Bahaya Seram sebenarnya bukan hanya ombak.” Bapak La Tudjuh seolah hendak mengoreksi tafsiran saya yang mengarah ke semacam tsunami tadi. “Pergantian angin barat dan timur juga akan berbahaya kalau kita tidak menyikapinya dengan baik.”

“Misalnya seperti apa, Bapak?”

“Merendahkan diri,” jawabnya cepat. Masih dengan artikulasi dan intonasi yang jelas. “Tiap bulan lima tua dan bulan dua belas tua, kami mengumpulkan sejumlah uang secara sukarela ke balai adat untuk dipergunakan oleh pemuka adat menyiapkan saji-sajian yang akan diletakkan di tepi jalan yang bersisian dengan laut. Lumayan panjang, dua kilometer.”

Bulan tua adalah sama pengertiannya dengan tanggal tua alias di atas tanggal dua puluh tiap bulannya.

“Tentu saja makanan itu mengadung barakah karena telah didoakan di masjid sebelumnya. Siapa pun boleh memakannya,” tegasnya.

Saya diam. Berpikir sejenak.

“Persembahan itu diharapkan bisa menghindarkan kami dari bala, celaka, musibah, bahkan penyakit yang kerap dibawa oleh pergantian angin laut.”

Ternyata, di Telaga Tenggelam, tradisi menyiapkan makanan atau sajian atau–dalam beberapa keadaan adalah menata semuanya di dalam–dulang sudah jamak dilakukan.

Tiap bulan Safar tua, biasanya di hari Rabu, masyarakat akan membawa dulang yang berisi makanan ke Telaga Tenggelam. Di sana, mereka mandi sebagai wujud membersihkan diri dari segala keburukan dan penyakit. Usai mandi, mereka berkumpul bersama dan berdoa berjemaah. Seperti biasa, makanan dalam dulang pun akan dimakan bersama-sama.

Tradisi di atas mengingatkan saya dengan balimau di Sumatra Barat. Orang-orang ramai mandi di sungai untuk membersihkan diri. Meskipun balimau tidak diikuti doa dan makan bersama, tujuan kedua prosesi ini sama-sama membersihkan diri. Yang berbeda adalah waktu dan objek yang dihormati.

Di Telaga Tenggelam, mandi bersama dilakukan di pengujung bulan Safar. Prosesi ini sebagai tanda kegembiraan mereka menyambut kedatangan Rabi’ul Awal yang merupakan bulan kelahiran Rasulullah Saw. Sedangkan balimau dilakukan (sebagian) masyarakat Sumatra Barat untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan.

Selanjutnya, cerita Bapak La Tudjuh memelipir ke cerita antardulan. Cerita ini pernah saya dengar dari Jan Sukouta, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Seram Bagian Barat, di hari ketiga saya berada di Piru. Namun Bapak La Tudjuh membuatnya lebih rinci.

Menurutnya, perayaan itu bukan sekadar lebaran ketujuh bagi muslim di Seram, namun ia juga bentuk perayaan khatam Quran. Di Telaga Tenggelam, biasanya akan ada 13 dulang. Tiap dulang mewakili 30-40 orang. Sebagaimana biasa, usai doa bersama di masjid, isi dulang juga akan dilahap bersama.

Masjid Negeri Tenggelam yang sedang dipugar. Tak jauh dari tempat ibadah ini makam ayah dari La Tudjuh.

Di akhir perbincangan, iseng-iseng saya menanyakan apakah Bapak La Tudjuh seorang veteran. Saya merasa perlu menanyakan itu sebab tiba-tiba ingatan saya melayang pada neknang, begitu orang-orang Musi di tempat saya menyebut kakek, seorang veteran yang lahir pada tahun 1928, lima tahun lebih tua dari Bapak La Tudjuh, dan masih hidup. Neknang adalah seorang veteran yang kerap menjadi inspirasi bagi karya-karya saya.

“Beta tentu pejuang. Tapi bukan veteran. Negara ini lucu, orang yang berjuang harus mengajukan diri untuk menyebut mereka pejuang untuk kemudian mendapatkan penghargaan dan semacamnya dari pemerintah. Pejuang sejati, sebagaimana generasi muda yang tahu diri, takkan melakukan itu! Beta tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat). Kami mengusir penjajah dengan bergerilya di hutan-hutan. Tapi yang dapat nama TNI!”

Saya lupa, bagaimana percakapan kami akhirnya berakhir. Yang terang, Bapak La Tudjuh dan istrinya tidak keberatan saya ajak berfoto bersama saya di depan rumahnya sebelum saya pamit.

Saya sebenarnya ingin sekali mengorek-ngorek lebih jauh tentang hikayat Telaga Tenggelam itu, namun sepertinya Bapak La Tudjuh memang tak ingin membuka cerita itu. Ia benar-benar lihai memperlakukan saya sebagai anak kecil. Ia berikan saya tiga jenis cerita terkait dulang (atau persembahan makanan di sejumlah perhelatan adat di daerah itu) sebagai permen pereda kekecewaan.

Tiba-tiba saya teringat ‘perjuangan’ saya membukukan cerita rakyat Bujang Kurap dan Silampari yang ditutur-tuliskan oleh Bapak Suwandi Syam dan baru purna untuk saya cetak empat tahun kemudian.*

Di akhir tulisan. Dikasih tulisan:

Piru, 18-23 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/la-tudjuh/feed/ 0
PASAR https://www.bennyinstitute.com/pasar/ https://www.bennyinstitute.com/pasar/#respond Thu, 19 Apr 2018 13:39:43 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1404
Boleh percaya atau tidak. Panorama ini adalah latar belakang pasar pantai.

(Hari ke-6 di Seram Bagian Barat)

Baru saja saya dikejutkan oleh seorang pengendara yang memarkir sepeda motor tak jauh dari tempat saya berdiri tanpa mencabut anak kuncinya di tiang stang, suara cempreng laki-laki dalam logat yang sangat tidak-Maluku mengejutkan saya. Refleks saya menoleh ke lapak sebelah sebelum menoleh ke arah yang berlawanan, tempat sepeda motor tadi diparkir.

“Jangan dipikirkan motor itu. Aman. Tidak ada pencuri di sini,” ujar seorang bapak di lapak sebelahnya setelah ia melayani perempuan muda yang membeli suami dan beberapa bola sagu. Ia seolah bisa membaca apa yang sedang bergeliat di kepala saya.

Bola-bola sagu

Saya baru tahu kalau sagu-sagu untuk membuat papeda, salah satu makanan pokok khas Indonesia Timur, dijual dalam bentuk bola-bola sagu basah. Unik dan artistik sekali!

“Beli rebung patong-nya, Kakak,” kali ini suara perempuan tua di lapak sebelahnya lagi mengetuk gendang telinga. Oh, warna putih bersih rebung yang diolah dari anakan bambu khas Maluku itu sungguh enak dipandang mata. Beberapa kilan dari rebung itu, mata saya menangkap lemon cina yang dijual dalam piring plastik kecil.

Rebung patong

Oh suara cempreng itu masih mengusik saya. Merasa terganggu, saya kembali menoleh.

Ternyata laki-laki bermata sipit itu belum selesai melakukan tawar-menawar harga daun kasbi yang dibuat dalam bentuk bola, sebagaimana sagu tadi. Si penjual bertahan dengan harga 3000 per bola, sementara laki-laki itu ngotot menawar separuh dari harga itu.

“Kakak boleh tanya ke tempat jual mana saja di pasar pantai ini, harga tidak akan beda,” perempuan paruh baya dengan bedak dingin di wajahnya itu berbicara dengan logat Maluku.

Mama-mama penjual ikan memakai bedak dingin di wajahnya

Tiap mendengar kata “Kakak, Mama, Ibu, Beta ….” diucapkan orang-orang Timur (baca: Maluku), ada sensasi ketenangan yang menyusup ke dalam perasaan saya. Di lidah mereka, kata-kata sapaan itu berayun sedemikian rupa. Di telinga saya, ‘ayunan’ itu menjelma penghargaan dan rasa persaudaraan yang tulus dari penuturnya. Maka, ketika laki-laki itu bersikeras menawar, saya geleng-geleng kepala. Takkah ia merasakan apa yang saya rasakan ketika mendapati diri kita dipanggil “Kakak” (dengan bunyi “k” paling akhir nyaris tak terdengar)? Atau saya saja yang terlampau perasa atau bahkan melankolik? Ah sudahlah. Yang jelas, dari tampilan kami yang mirip, sama-sama mengenakan celana selutut-t shirt-dan sepatu kets, saya menduga kami memiliki status yang sama di sini: Pendatang.

Kawan, dikau pasti baru pertama kali berbelanja di pasar ini, tebak saya percaya diri, sehingga kepekaanmu belum terasah untuk menangkap kedalaman makna di balik bunyi sapaan itu. Tidak harus menjadi sastrawan untuk mengasah kepekaan, Kawan!

“Enam ribu tiga, oke?” Suara laki-laki pendatang itu benar-benar merusak konsentrasi saya yang sedang memotret tumpukan bola sagu di lapak sebelahnya.

Sebagaimana dugaan saya, Si Mama menolak menurunkan harga.

Tak urung saya pun menoleh lagi ke lapak itu. Saya sebenarnya berharap laki-laki itu menyadari tindakan saya sehingga akan menerbitkan perasaan tak enak hati atau malu pada dirinya, tapi tidak. Ia terlampau bersemangat menawar.

Kini, saya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Bola-bola daun kasbi (kanan) dan compokan pinang muda (kiri)

Alangkah teganya Si Sipit menawar satu bola daun singkong dengan harga sangat murah kepada pedagang lokal, bertik hati kecil saya. Setahu saya, harga satu bola daun singkong–yang oleh penduduk setempat disebut daun kasbi–memang bisa lebih murah, tapi itu kalau membeli lebih dari satu bola. Saya pernah iseng menanyakannya dan si penjual menjawab cepat, “Tiga ribu satu. Dua lima ribu.” Ya, potongan harga itu berasal dari si penjual, bukan si pembeli.

Di mana-mana, keberadaan penjual dan pembeli dalam suatu tempat bernama pasar, bukan hanya meniscayakan aktivitas jual-beli, tapi juga tawar-menawar yang mengawalinya. Namun, sepengalaman saya di Pasar Piru, entah saya yang tidak pandai menawar atau memang karakter pasar di sini yang anomalik, penjual cenderung tidak mengamini tawaran pembeli.

Durian dijual per compok. Per compok berisi 4-5 durian.

Beberapa kali membeli durian, saya mendapatkan harga 20.000 untuk 4 buah. Pernah saya mendapatkan 5 buah dengan harga yang sama, tapi itu bukan merupakan hasil penawaran saya, melainkan memang ketentuan penjualnya.

“Ada dua buah yang agak kecil, makanya Beta kasih Kakak lima dua puluh (ribu),” ujarnya waktu itu.

(Sebenarnya, harga durian ini agak tidak cocok untuk dijadikan sampel. Bagi saya, dengan daging buahnya yang superlezat, harga durian di Piru sudah megasuperdupermurah!)

Manggis dan langsat yang dijual per piring

Ketidakberlakuan proses tawar menawar seperti asumsi saya di atas juga berlaku ketika saya membeli sepiring manggis isi enam seharga 5000. Ketika saya mencoba menawar, Si Mama hanya tersenyum. Jujur, saat itu, perasaan tak enak hati dan malu beradu dalam dada dan pikiran saya.

Senyum Si Mama, bagi saya, adalah semacam majas ironi untuk narasi tentang pasar dan saya menjadi objek ceritanya. Ah! Senyumnya seakan-akan menghamburkan kata-kata yang menyusun sendiri kalimatnya:

“Kulitmu pernah terpanggang matahari karena memelihara tanaman buah? Atau pernahkah daging kakimu darahnya diisap pacat, digigit kalajengking, atau menjadi makanan empuk bagi nyamuk-nyamuk karena kau terlalu asyik membuang tanaman parasit yang melilit di batang tanaman buah?”

Pengalaman dan ‘perasaan terhina’ itu membuat saya berhenti menawar. Lebih tepatnya, tidak berani menawar. Entah bagaimana, sebagai lelaki (yang biasanya malas berurusan dengan aktivitas tawar-menawar di pasar tradisional), keadaan itu saya anggap berkah dan menguntungkan. Saya akhirnya menaruh prasangka baik di dalam diri, bahwa para penjual di pasar kota (begitu saya menyebut pasar tradisional yang digelar di pinggir jalan kota) dan pasar pantai (ini adalah sebutan masyarakat setempat untuk Pasar Tradisional Pelabuhan Kota Piru) mematok harga dagangannya sudah sebagaimana mestinya alias tidak melebih-lebihkan.

Perasaan itu, sebagaimana yang saya katakan di atas, sungguh melegakan dan menggembirakan. Itu artinya, saya bisa berbelanja dengan tenang tanpa disusupi prasangka bahwa harga sayur atau buah di-mark-up berlebihan hanya karena penampilan saya yang “sangat tidak Timur” atau “terlihat sebagai pendatang”.

Beberapa kali saya membeli manggis untuk sarapan (di Lubuklinggau, saya memang biasa mengawali pagi dengan makan buah, bukan dengan teh manis atau penganan mengandung karbo lainnya). Saat sore dan malam biasanya saya berjalan-jalan dan selalu saja ‘iman’ saya berhasil digoda untuk membeli.

Pesta durian tiap malam

Buah yang paling sering saya beli adalah durian. Bahkan sejak hari ke-4, saya mengganti nasi dengan dua hingga empat buah durian sebagai menu makan malam. Biasanya saya meminta Si Mama langsung membukanya di tempat sebagaimana saya akan ‘membereskannya’ saat itu juga. Sebagai penikmat durian yang khusyuk, saya makan daging durian lamat-lamat. Ya iyalah, di mana lagi bisa melahap durian lezat supermurah seperti di Piru–meskipun kabarnya di sekitar Kairatu durian bisa dibanderol seribu rupiah per buah! Sekali ketemu, saya ingin menikmatinya dengan tenang. Pelan-pelan. Lagi pula, saya tak punya rekan bertanding makan durian di sini. Dalam keadaan semendukung ini, tidak ada cara makan durian yang lebih indah, selain menghayatinya! Ya, saya makan durian hingga bijinya bersih dari kulit arinya yang supertipis.

Saya bersyukur, para penjual durian yang kebanyakan perempuan (bahkan sepengalamanan saya, tak ada penjual durian dari kalangan laki-laki!) suka menemani saya ngobrol tentang apa pun. Mereka (ya, penjual satu lapak durian biasanya terdiri dari setidaknya dua perempuan) akan duduk menggelepor di pinggir jalan bersama saya. Biasanya saya menjadikan sandal sebagai alas, sementara mereka yang terlalu sibuk memikirkan caranya pulang ke negeri masing-masing malam itu juga dengan keranjang kosong tentu tak ingin buang-buang energi untuk memeriksa sebersih apa tanah atau semen tempat pantat mereka dijatuhkan.

Yang dari menyenangkan makan durian ditemani Si Mama adalah, mereka melayani percakapan saya dengan mata yang sigap. Tangannya akan bergerak cepat mengayun parang, membuka buah yang baru ketika durian yang saya lahap hampir tandas isinya.

Entah bagaimana, semua Mama Penjual Durian yang saya beli duriannya adalah perempuan-perempuan dari Taniwel.
Ketika saya bertanya, apakah kecamatan itu terkenal sebagai lumbung durian, mereka mengangguk cepat. “Tapi daerah lain juga banyak yang duriannya berbuah, termasuk Piru,” terangnya. Lalu percakapan kami pun memelipir ke mana-mana. Termasuk kepenasaran saya dengan salak merah, buah endemik Seram Bagian Barat yang hanya tumbuh di Ringring, sebuah pedalaman di dataran tinggi Taniwel.

“Lebih baik pesan saja salak itu dengan sopir mobil di pangkalan. Datangi saja nanti Beta di sini. Beta temani Kakak datangi sopirnya. Kapan perlunya?” jawabnya cepat sekaligus menawarkan bantuan tanpa basa-basi. Tak lupa ia menyisipkan prmosi bahwa salak merah adalah salak paling manis dari jenis salak yang ada. Tentu saja saya makin bersemangat.

Saya pernah juga membeli langsat dan kecapi, namun hanya sekali, bahkan tampaknya menjadi yang terakhir. Kedua jenis buah itu tidak terlalu cocok dengan selera saya, baik dalam hal rasa maupun cara makannya. Langsat kalah jauh manisnya dengan duku Sumatra (Hola, Benn! Ya jelas bedalah, wong memang dua buah yang berbeda!), sementara kecapi, cara makannya sungguh merepotkan!

Kali pertama saya menemukan dan makan buah kecapi memang di Piru ini. Ukurannya yang mirip buah manggis dengan warna kulit yang lebih menyala dari duku atau langsat berhasil menggoda ‘iman’ saya ketika pertama kali melihat compokan buah liar itu di gelaran kakilima di seberang hotel. Sejak saat itu pula saya melihat buah yang hanya kerap saya dengar namanya itu untuk pertama kalinya!

Telanjur lihat, kita coba sekalian!

Awalnya saya sangat bersemangat (lagi pula harganya sangat murah: lima ribu secompok!). Saya ingin membeli dua compok, namun tiba-tiba terbetik di dalam hati: mengapa saya tidak mencobanya dahulu. Saya meminta Si Mama membuka sebuah. Saya sudah berniat, kalaupun rasanya tak bersahabat di lidah, saya akan tetap membeli secompok kecapi yang telah saya ambil sebuah untuk dicicipi.

Si Mama mengempaskan kecapi ke lantai semen kaki lima dengan cukup keras. Saya sedikit terkejut. Saya pikir, tindakan itu agak tidak selaras dengan prinsip makanan yang harusnya disyukuri. “Diam kau, Benn! Tahu apa kau tentang kecapi!” Alamakjang, suara tanpa volume itu memukul-mukul kepala saya.

Rupanya Si Mama ingin membuat kecapi lebih mudah dibuka. Ya ya ya, apakah harus begitukah, Ma? Kecapinya belum masak, mungkin. Spekulasi sok tahu meriap-riap di kepala saya.

Memang benar, ketika kulitnya agak remuk, kecapi menjadi lebih mudah dibuka dengan tangan. Namun itu tidak serta-merta menyelesaikan urusan, sebab ketika kulitnya yang cukup tebal itu sudah menganga, daging buah bersatu dengan bagian dalam kulit yang bertekstur mirip kapas basah, sehingga kita harus melepaskan bagian dalam kulit yang berwarna putih susu itu dari daging buah. Dan itu tidak mudah! Ketika menyadari kalau daging kecapi sangat tipis dan lembek, saya pikir pemisahan itu memang tidak perlu dilakukan sebab hanya akan merusak tekstur dagingnya. Ya, memang tidak mudah! Jadi? Ya, nikmati saja sensasi daging tipis, lembek, dengan rasa masam-manis yang beradu dengan bagian dalam kulit yang tebal dan lembut. Pisahkan saja ia di dalam mulut ketika memakanannya, perintah nalar saya. Oh, pemirsah, Anda bisa membayangkan repotnya makan buah ini, ‘kan?

Makan kecapi, repooot!

Selintas lalu, susunan biji tempat daging buah kecapi melekat mirip sekali dengan susunan isi buah manggis. Namun daging buah kecapi yang menerbitkan rasa masam dan manis yang tarik-menarik, biji yang lebih besar dan keras, serta tampaknya akan sangat pahit kalau tergigit, membuat citra buah itu di mata saya langsung jatuh terperosok bila dibandingkan manggis!

O ya, saya juga pernah membeli rambutan beberapa kali. Buahan yang saat ini sedang musim di Piru itu juga dijual dalam compok-compokan kecil. Tebakan saya, berat per compok sekitar setengah kilo. Dibandingkan buah-buah yang sedang musim lainnya, harga rambutan paling mahal. Satu compok dihargai 10.000. Saya pernah mengajak Bang Reimon membeli beberapa compok dengan harapan akan mendapatkan potongan harga karena yang membeli adalah orang lokal. Tapi saya salah, lagi-lagi salah. Saya tetap mengeluarkan tiga lembar pecahan 10.000 untuk tiga compoknya.

Kata Bang Reimon, meskipun sedang musim, tidak semua pohon rambutan di Seram Bagian Barat berbuah lebat. Saya mengangguk-angguk sebelum mengatakan bahwa di Lubuklinggau harga rambutan bisa 5.000 per kilogram kalau sedang musim.

“Kakak, beli apa jadinya, Kakak?” Suara perempuan penjual daun kasbi itu membuyarkan lamunan saya. Bedak dingin di wajahnya mulai luntur. Oh, selama apakah saya menikmati atmosfer pasar dengan latar belakang laut yang tenang nan indah dan pemandangan pulau-pulau membiru di kejauhan serta awan-awan yang mengapung di atasnya. Ada tiga bola daun kasbi lagi di dalam bokor dagangan Si Mama.

“Itu apa?” Saya menunjuk dua tumpukan sayuran yang sudah diiris kecil-kecil.

Jantung pisang yang sudah diiris selalu dijual dengan potongan daun pepaya di atasnya. Kata Si Mama, potongan daun pepaya selalu ada dalam sayur atau gulai jantung pisang.

“Ini pakis!” tunjuknya pada tumpukan irisan daun hijau yang sedikit keriting. “Itu jantung (pisang),” tunjuknya pada tumpukan irisan warna ungu pudar yang menyerupai mi.”

Oh, saya menghela napas. “Alangkah niatnya orang-orang Piru ini berjualan,” gumam saya.

Cara penjual mengemas dagangannya di pasar tradisional mereka seperti menerakan perkara dengan cetak tebal yang tembus di sebalik kertas, bahwa kejujuran adalah ajian paling sakti untuk mendapatkan kepercayaan. Tak terkecuali dalam menjalankan transaksi jual-beli. Bagaimana mereka menjual daun kasbi dan sagu dalam bentuk bola, menjual rambutan dan kecapi dalam compokan, manggis serta lemon cina dalam piring plastik kecil, serta pakis dan jantung pisang yang diiris terlebih dahulu, adalah lebih dari cukup untuk memaklumatkan semangat bekerja keras dengan tetap memegang prinsip kejujuran.

Tidakkah kejujuran adalah angka paling menyala dalam kehidupan? Ya, bila sudah begitu, satuan dagangan ditetapkan oleh nurani yang sudah menjadi lakon, bukan oleh angka di alat timbangan!

Maka adalah mafhum bila, untuk untuk dagangan di atas, satuan jualnya adalah bola, compokan, atau bahkan piring!

Gelaran dagangan di pasar pantai

Dalam keadaan seperti di atas, menawar di pasar tradisional memang layak mereka senyumi saja. Ah, tiba-tiba saya teringat senyum Si Mama ketika pertama kalinya saya menawar harga manggis di pasar kota. Baru saja saya hendak beranjak, seorang pemuda berkulit gelap berambut keriting  memikul dua karung sayur datang dari semacam lorong pasar tepat di hadapan saya. Ia mengempaskan karung-karung itu di atas sepeda motor yang terparkir di tengah keramaian pasar pantai, sekitar tiga meter dari tempat saya bediri.

“Oh sepeda motor itu!” teriak saya dalam hati. Kedua mata saya membelalak sempurna. Sepeda motor itu! Ya, sepeda motor itu adalah sepeda motor yang sedari tadi kuncinya tidak dicabut! Dan si pengendara, setelah hampir satu jam berbelanja ke dalam pasar, kini kembali dapat diliputi kecemasan karena kunci kendaraan lupa dibawa. Subhanallah ….

“Saya ambil semua bola daun kasbinya!” seru saya serta-merta. Saya tak tahu mengapa saya ingin membeli daun singkong. Mungkin saya akan menyedekahkannya saja, entah kepada siapa, ujar saya dalam diam.

Suasana pasar pantai

Si Mama sigap memasukkan bola-bola berwarna hijau tua itu ke dalam kresek.
Saya menukarnya dengan selembar sepuluh ribu. Baru saja saya hendak mengatakan agar ia mengambil saja kembaliannya yang hanya seribu rupiah itu, Si Mama sudah menyerahkan selembar uang pecahan lima ribu.

“Mama …”

Belum selesai saya berkata, Si Mama nyeletuk, “Tidak apa, Kakak. Buat Kakak. Ini penghabisan. Sebentar lagi Beta pulang.”

Ini kali kedua saya dapat potongan harga setelah membeli durian tempo hari. Ini prestasi! Oh, tiba-tiba saya ingin cepat pulang ke hotel dan salat dengan khusyuk. Sayangnya, tiba-tiba perasaan menjadi orang yang dungu menyerang saya, sebab hari baru menunjukkan pukul 11 WIT.

Duha sudah lewat, zuhur belum buka pintu.*

Piru, 19 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/pasar/feed/ 0
MASAHATU (2) https://www.bennyinstitute.com/masahatu-2/ https://www.bennyinstitute.com/masahatu-2/#respond Tue, 17 Apr 2018 14:57:09 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1370 (Catatan kedua dari dua bagian)

Masjid Lawataka tempo doeloe

(Catatan Hari ke-4 di Seram Bagian Barat)

Matahari perlahan condong ke barat.

Arloji di pergelangan tangan kiri saya menunjukkan pukul 15.05 WIT ketika Bang Reimon menyampaikan kabar gembira itu.

Kami sudah tiba di Hualoy.

Lima jam sudah kami habiskan di perjalanan demi menjejakkan kaki di salah satu negeri muslim di Seram Bagian Barat ini. Sementara naik bukit untuk melihat bentengnya pun belum, saya malah langsung membayangkan perjalanan pulang. Terbayang oleh saya jalan berkelok dan menanjak-menurun menjelang gerbang kedatangan Kota Piru. Sudah tentu hari sudah gelap ketika sepeda motor kami melaju di sana nanti. Pengendaranya haruslah dalam kondisi prima. Ketiadaan penerangan di sebagian besar jalan Trans Seram juga membuat pikiran saya makin mumet. Semoga kami senantiasa di bawah lindungan-Nya, amin.

“Hei, Benn, makanan sudah terhidang, mengapa malah memikirkan ihwal buang hajat! Penuhi lambung, kosongkan kemudian!” suara itu menjelma kunang-kunang yang berputar-putar di kepala.

Saya mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha keras keluar dari alam pikiran yang menyedot saya cukup dalam.

Kami menuju rumah baparaja yang berada di kelokan pertama jalan utama perkampungan itu. Hasyim Tubaka, begitu nama lengkap laki-laki berperawakan sedang berkulit sawo matang itu. Ia sedang duduk membelakangi kami di ruang tamunya ketika Bang Reimon mengucapkan salam. Saya sedikit terkejut dan refleks menoleh ke arah laki-laki bertampang gahar-tapi-bersuara-lembut itu. Bang Reimon itu mengucapkan salam umat Islam. Baparaja bangkit dari duduknya seraya menjawab salam itu. Sepertinya mereka memang sudah saling kenal. Tidak pernah ada kesalahpahaman atau keributan yang lahir dari salam agama yang satu diucapkan oleh agama yang lain. Ah, bagaimana bisa pikiran tidak penting itu melintas di tempat dan waktu yang yang tidak tepat seperti ini?!

Kami menyalami baparaja yang langsung menyilakan kami duduk. Beberapa saat Bang Reimon dan laki-laki bermarga Tubaka itu berbicara dalam bahasa Maluku yang tidak saya pahami, sebelum kemudian saya berinisiatif memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud. Baparaja terdiam sejenak lalu bangkit dari tempat duduknya. Saya sedikit terkejut namun di waktu yang nyaris bersamaan saya juga refleks berdiri. Ternyata Bang Reimon juga melakukan hal yang sama.

“Saya ganti celana trening dulu.” Baparaja melangkah masuk ke kamarnya yang terletak di sisi kiri ruang tamu. Saat kami datang ia memang sedang mengenakan celana kain. “Kalian sudah bawa minum, ‘kan? Nanti haus di atas.”

Kami tidak sempat menjawab sebab laki-laki bermarga Tubaka–marga muslim di Hualoy–itu sudah hilang ditelan gorden kamarnya. Kami memang sudah membawa masing-masing sebotol air mineral ukuran 600 ml. Saya dan Bang Reimon menuju pintu keluar. Memasang sepatu. Sembari menunggu baparaja keluar, saya terpaku oleh apa yang barusan terjadi.

Kepercayaan adalah landasan segala urusan. Baparaja tidak merasa perlu ‘menginterogasi’ saya terkait penugasan saya di Seram Bagian Barat. Ia tidak merasa perlu menanyakan surat tugas, mengapa memilih Hualoy, dan lain-lain, dan lain-lain. Penduduk Hualoy (anggaplah baparaja sebagai sampelnya) seperti memiliki insting untuk mengendus niat seseorang. Meskipun saya sempat berpikir, kehadiran Bang Reimon yang cukup familier bagi orang-orang sekitar, membuat baparaja, tanpa banyak menimbang ini dan itu, bukan hanya mengizinkan kami ke bukit, tapi juga mendampingi kami menemukan apa yang kami cari di sana. Padahal, kedatangan kami yang tidak diawali pemberitahuan sebelumnya sangat berisiko menimbulkan kerepotan bagi tuan rumah. Bagaimana kalau kami tiba ketika baparaja sedang memiliki kesibukan yang harus ia selesaikan sore itu, misalnya. Entah karena ia memang sedang santai atau bahkan rela menunda pekerjaannya yang lain demi kami, semesta sedang bersama kami sore itu. Ah, beruntung sekali saya. Terima kasih ya Allah.

Ketika kami berjalan menuju lereng bukit, beberapa warga setempat sempat bertanya hendak ke mana dan apa yang akan dilakukan baparaja dengan kedua tamunya. Ya, kamera DSLR yang dikalungkan di leher dan parang di tangan kanan Si Baparaja, tentulah menarik perhatian. Baparaja biasanya menjawab dalam bahasa setempat seraya mengarahkan parangnya ke arah bukit. Di jalan masuk ke bukit, kami bertemu seorang pemuda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Ia ditawari baparaja untuk menemaninya. Pemuda itu langsung bergabung.

Masjid Lawataka tempo doeloe

Ternyata sudah ada tangga semen tua untuk mendaki bukit. Wah, ini akan menjadi lebih mudah, pikir saya kegirangan. Namun, saya ternyata keliru. Tangga itu panjangnya hanya sekitar 50 meter. Setelah itu kami bertemu dengan undakan tanah yang ditopang potongan-potongan bambu. Ah, tidak masalah. Yang jelas, jalan sudah terbuka.

Tangga semen yang sudah tua menjadi jalan pembuka ke Masahatu

Bang Reimon yang awalnya berada di depan saya, beberapa kali hampir terjatuh, baik karena terpeleset atau karena kakinya terganjal oleh semak atau sulur tumbuhan liar. Ya, lima jam di atas sepeda motor dengan rehat seperlunya ketika saya harus mengambil foto-foto perjalanan, tentulah memengaruhi kebugaran dan konsentrasi. Dalam hati, saya berdoa semoga ia masih kuat.

“Kamu duluan saja, Benn. Ikuti Komar di depan! Saya biar sama Baparaja di belakang,” Bang Reimon menunjuk pemuda yang baru bergabung yang sudah berada jauh di atas.

Setelah minum beberapa teguk dari botol air mineral di dalam tas sandang, saya langsung mengambil langkah lebar-lebar. Saya mencoba menyembunyikan engah napas saya. Lumayan capek pula, batin saya. Dua menit kemudian saya sudah berada beberapa langkah di belakang Komar. Kali ini tidak ada lagi tangga atau undakan. Kami berjalan menerabas semak dan rumput liar.

“Ke sini, Bang!” Komar meminta saya untuk mengikutinya. Ia merunduk, menghindari sebatang buluh patong melintang jalan. Buluh patong adalah sejenis bambu yang banyak tumbuh di Maluku dengan diameter batang yang lebih besar dari bambu umumnya. Lima menit kemudian Komar berhenti.

“Kita sudah sampai?” tanya saya seraya membuka tutup botol air mineral dan menenggak isinya hingga tinggal separuh.

“Iya, Bang!” katanya. “Itu!” Dia menunjuk ke atas. “Kita tunggu Baparaja dan Bang Reimon dulu,” katanya kemudian.

Saya tidak melihat apa-apa di atas, selain semak dan pohon-pohon. Meskipun begitu, tak pelak senyum saya pun mengembang.

Ternyata, “sudah sampai” dalam versi Komar sama dengan “sudah dekat” atau “sebentar lagi” versi orang-orang di kampung-kampung di Musirawas atau, tanah kelahiran saya, Lubuklinggau. “Sudah sampai” versi Komar adalah sudah sampai di atas, bukan sudah tiba di lokasi yang dituju. Kami masih harus menyusuri hutan bambu yang lumayan rimbun, berbelok ke sana-kemari, menurun dan menanjak lagi.

Bersama Baparaja (baju hitam) dan Komarudin Tubaka (baju kuning) di area utama Masahatu

Ketika kemeja putih saya sudah basah oleh air asin tubuh, sebuah makam seperti menyala di tengah hutan. Makam yang relatif besar dengan bentuk menyerupai kubus itu ditutupi oleh kerikil berwarna putih dan cokelat muda dengan sebuah batu berukuran yang agak besar tepat di tengah-tengahnya.

“Ini makam …”

Belum selesai kalimat saya, baparaja langsung nyeletuk, “Syeikh Zainal Abidin!”

Makam Syeikh Zainal Abidin

Saya terdiam. Memikirkan nama itu sejenak. Apakah saya pernah mendengarnya dalam sebuah kesempatan atau membacanya di salah satu buku. Tapi saya pikir, meskipun namanya terdengar relatif umum di telinga, saya tidak tahu hubungan nama itu dengan Maluku, Seram Bagian Barat, apalagi Negeri Hualoy ini.

“Ia adalah pembawa syiar agama Islam di sini,” terangnya kemudian.

“Pembawa Islam di Hualoy?” Saya memastikan. “Atau di Seram?”

Pondasi masjid di Masahatu yang terbuat dari batu-batu pantai

Baparaja mengangguk. Sebelum kemudian ia mengajak kami melihat puing-puing bangunan, semacam pondasi bangunan yang menyerupai adukan semen yang tampaknya telanjur kering sebelum ditata sedemikian rupa. “Semasa hidupnya Syeikh membangun dan berdiam di masjid di sini.” Ia menunjuk sisa pondasi yang jaraknya cuma dua meter dari makam.

Awalnya saya kesulitan mengidentifikasi keberadaan pondasi itu karena ia sudah tertutup rumput dan semak-semak. Namun setelah saya bersihkan dan melihatnya lebih dekat, tampaklah semacam adukan semen yang tidak selesai tersusun memanjang.

Pohon Merah di area utama Masahatu

Ternyata, satu meter dari pondasi masjid atau dua meter dari makam, tumbuh sebuah pohon yang tinggi menjulang. Seperti memahami air muka saya yang bendak bertanya, Baparaja dan Zul secara bergantian memberitahu bahwa orang-orang Hualoy percaya kalau di mana ada makam orang saleh atau ulama atau tokoh masyarakat yang selama hayatnya memberikan banyak maslahat bagi orang banyak, pohon merah selalu tumbuh tak jauh dari makam mereka. Saya mengangguk-angguk. Saya baru tahu kalau nama pohon itu pohon merah.

Batu lempeng tempat anak laki-laki Masahatu dikhitan

Ternyata di salah satu sisi akar pohon yang diklaim baparaja dan Komar berusia ratusan tahun itu, terdapat sebuah batu berbentuk lempeng. Ketika baparaja membersihkannya dari rerumputan, baru sadarlah saya kalau tampaknya batu itu bukan sembarang batu.

“Ketika Syeikh masih hidup, anak laki-laki Hualoy semua dikhitan di sini.”

Alamakjang! Dikhitan di atas bukit?

Kata-kata baparaja barusan sedikit-banyak membuat saya terenyak. Saya masih sulit membayangkan anak laki-laki yang kemaluannya baru disunat itu harus menuruni bukit ketika pulang. Namun, kesangsian itu sirna ketika baparaja dan Komar mengguraikan sebuah hikayat.

*

DI BUKIT ITU, sebelum abad VIII, berdirilah sebuah peradaban bernama Masahatu.

Negeri Masahatu memiliki keunikan tersendiri, terutama dari bebatuan yang banyak terdapat di di dalamnya.

Semua bangunan berpondasikan batu pantai. Batu-batu pantai itu dibawa oleh para penduduk yang berasal dari 99 negeri. Mereka mengangkut batu-batu pantai itu dengan melakukan masohi. Apa itu masohi? Masohi ialah budaya gotong-royong. Penduduk dari 99 negeri itu berbaris dari bibir pantai hingga puncak bukit untuk kemudian menyusun batu-batu pantai itu sedemikian rupa.

Nama “Masahatu” sendiri tidak memiliki pengertian yang tunggal.

tepi pantai Hualoy tempo doeloe yang menjadi titik nol pengangkutan batu pantai ke Masahatu

Pengertian yang paling popular adalah: Masa berarti zaman, sedangkan Hatu berarti Batu. Ada pula pendapat lain yang mengartikan Masa sebagai musyawarah, dan Hatu berarti kuat. Jadi, Masahatu memiliki dua arti: Zaman Batu atau Musyawarah yang Kuat. Tampaknya perbedaan arti ini tidak harus dipertentangkan sebab keduanya berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Masahatu diartikan Zaman Batu apabila Si Pemberi Pengertian melihat Masahatu sebagai negeri yang dibangun oleh batu-batu (pantai). Sedangkan Musyawarah yang Kuat berangkat dari nilai-nilai sosial yang melekat pada masyarakat Masahatu, seperti masohi dan bermusyawarah untuk memecahkan masalah

Selain ciri fisik berupa bebatuan pantai yang nyaris memenuhi bukit hingga batu itu pun menjadi batu utama negeri itu, secara budaya, Masahatu kerap mengadakan upacara dan ritual. Meskipun demikian, sejumlah perhelatan adat itu cenderung tidak mengarah pada pengertian Masahatu sebagai Zaman Batu. Tarian yang disinyalir sudah ada sejak peradaban Masahatu adalah Make Putih. Tarian yang kadang kala disebut Kusu Putih ini ditarikan oleh penari yang mengenakan pakaian dengan kombinasi warna merah-putih. Tari ini menggambarkan sejarah Nunusaku. Dewasa ini, tarian ini juga menggambarkan perjuangan penduduk Seram mengusir penjajah.

Tari Make Putih atau Kusu Putih

Seiring waktu, penghuni Masahatu mulai mengenal kepercayaan atau keyakinan. Hindu adalah keyakinan yang cukup diterima pada mulanya.

(Sayang sekali, saya abai bertanya, bagaimana Hindu bisa masuk ke sana. Sejauh yang saya cari dan ketahui, saya tidak (atau belum) menemukan literarur yang menyebutkan hal itu. Pengetahuan saya terkait Hindu di Maluku yang sepertinya tidak beririsan dengan Masahatu adalah, saat ini Suku Naulu di Maluku Tengah adalah satu-satunya kelompok masyarakat di Pulau Seram yang masih memeluk keyakinan itu. Saya berjanji pada diri sendiri, saya akan mencari tahu hal itu. Baiklah, kita tandai dan tunda bagian ini).

Pada abad VIII, Syeikh Zainal Abidin membawa ajaran Islam ke Seram lewat Teluk Sahulahu. Ndilala, pemuka agama itu pun singgah ke Masahatu.

Pembawaanya yang ramah, gemar membantu, dan kerap memecahkan masalah dengan pendapat-pendapatnya yang brilian, membuat laki-laki yang selalu mengenakan jubah itu cepat termasyhur. Karena keberterimaan para penduduk, Syeikh Zainal Abidin merasa betah berada di Masahatu.

Banyak pemeluk agama Hindu bersimpati kepadanya. Syeikh Zainal Abidin membangun masjid di atas bukit itu. Meskipun hari ini, masjid ini hanya menyisakan pondasi dari batu pantai, namun keberadaan tempat wudu dari cangkang siput raksasa yang oleh bahasa setempat disebut bia membuat hal itu tidak sekadar berstatus “katanya”. Karena tak jauh di belakang bia, terdapat tebing, keberadaan mata air yang mengalir ke bia hingga hari ini masih menyisakan misteri.

Cangkang siput raksasa (bia) yang digunakan untuk menampung curahan air wudu

Keberadaan masjid di Negeri Masahatu membuat aktivitas terkait syiar agama Islam di Masahatu makin terpusat. Syeikh Zainal Abidin seperti memiliki tempat ibadah sekaligus rumah yang dapat dikunjungi siapa saja. Lambat laun, dari waktu ke waktu, pengikut Syeikh pun terus bertambah hingga jumlah muslim di Masahatu mengalahkan populasi pemeluk Agama Hindu.

Untuk menandai wilayah berdasarkan keyakinannya, didirikanlah benteng di atas bukit dari batu-batu pantai yang banyak terdapat di negeri itu. Masahatu pun terbagi menjadi dua. Meskipun begitu, mereka tetap hidup rukun. Penduduk Hindu tanpa ragu masuk ke wilayah muslim apabila mereka hendak bertemu Syeikh untuk menanyakan hal-hal yang masih mereka ragui. Pun dengan penduduk muslim, mereka biasanya menyelenggarakan rapat adat di wilayah Hindu sebab dua batu lempeng yang biasa digunakan untuk bermusyawarah terdapat di sana, dan pemeluk Agama Hindu tidak menjadikannya sebagai pemantik keributan.

Keragamaan itu akhirnya terus melebur. Disadari atau tidak, sebagaimana di daerah di Maluku lainnya, perbedaan yang ada di antara mereka tidak cukup berdaya untuk memancing keributan. Tanpa disadari, pemeluk agama islam meningkat tajam. Hari ini orang-orang mengenal negeri muslim di Seram Bagian Barat itu dengan nama Hualoy.

Masjid Lawataka hari ini

Penduduk namaHualoy sendiri saat ini memilih tinggal di darat yang lebih dekat dengan pantai. Mungkin kepraktisan dan kemudahan bersosialisasi menjadi pertimbangan mereka. Di tengah-tengah Negeri Hualoy didirikanlah sebuah masjid yang hingga hari ini masih berdiri. Masjid Lawataka. Secara fisik, tempat ibadah umat Islam yang didirikan pada 1824 ini adalah–salah satu–masjid tertua–yang masih berdiri–di Hualoy.

Daerah utama Masahatu dari atas

*

“HINGGA HARI INI, warga Hualoy yang hendak menunaikan ibadah haji selalu membersihkan daerah sekitar makam Syeikh Zainal Abidin, pondasi masjid, dan pohon merah beserta lempeng batu khitanan di bawahnya, karena mereka akan mengundang penduduk setempat untuk membaca yasin bersama-sama. Biasanya, hajatan itu diakhiri dengan doa bersama, memohon kebaikan untuk mereka yang akan menunaikan ibadah ke Tanah Suci.

Penduduk Hualoy mengelilingi makam Syeikh Zainal Abidin, membaca yasin bersama-sama untuk mendoakan warga Hualoy yang hendak berangkat haji agar ibadahnya mabrur

“Kami percaya pada karomah ulama besar seperti Syeikh Zainal Abidin,” jawab baparaja ketika saya bertanya alasan diselenggarakannya pembacaan yasin berjemaah itu.

Dirasa cukup, baparaja mengajak kami turun. O o o, teringatlah jalan naik yang lumayan melelahkan itu harus kami lalui lagi. Namun, syukurlah, baparaja mengajak kami turun melalui jalan yang lain.

“Yang ini jaraknya lebih dekat dan lebih cepat sampai, Bang,” ujar Komar seakan-akan dapat membaca kekhawatiran di mata saya.

Saya nyengir kuda.

Sepanjang jalan turun, kami memungut buah langsat yang banyak berjatuhan. Seperti yang saya tulis di jurnal-jurnal sebelumnya, saat ini Seram sedang musim buah, salah satunya adalah musim langsat. Berbeda dengan langsat masam yang satu-dua kali kerap disusupkan penjual duku yang culas ke dalam kresek duku yang kami beli, langsat Hualoy manis. Yang membedakan langsat Hualoy dengan duku adalah tekstur dagingnya yang relatif lebih tipis dan berair dibanding duku.

Benar! Sebagaimana kata Komar tadi, jalan turun yang dipilih mereka adalah jalan pintas. Kami tiba lebih cepat dari pada perjalanan mendaki tadi. Hal ini tentu bukan sekadar perasaan. Ya, pada umumnya orang-orang yang bepergian akan merasa perjalanan pulang lebih singkat daripada pergi meskipun jarak yang ditempuh tidak berubah.

“Karena kita pernah melaluinya,” begitu jawaban Bu Martha ketika saya mengutarakan perasaan serupa di tengah jalan pulang dari air terjun Lumoli.

“Karena kita digantung oleh harapan!” itu adalah suara yang mengapung dalam kepala ketika saya memikirkan perihal perjalanan pergi yang terasa sangat lama.

Seturun dari Masahatu, H. Syukur (kanan) bergabung untuk menuju rumah baparaja

Dalam perjalanan menuju rumah baparaja, beberapa tetua kampung sudah berada di beranda rumah mereka. Mereka langsung bergabung bersama kami yang baru turun dari Masahatu untuk bersama-sama ke rumah kepala negeri. Sepertinya baparaja sudah memberitahu mereka ketika kami berjalan melewati rumah-rumah mereka dalam perjalanan pergi tadi. Saya yang abai sebab semua percakapan mereka tadi berlangsung dalam bahasa daerah.

Memang, dalam sejumlah percakapan dengan orang-orang setempat, mereka mengakui kalau bahasa daerah di Seram Bagian Barat memang lebih lestari di negeri-negeri berpenduduk muslim seperti Latu, Luhu, dan negeri-negeri lainnya, termasuk Hualoy ini. Sementara hal sebaliknya terjadi di negeri-negeri berpenduduk kristen.

“Pusat peradaban seperti yang barusan Ananda lihat di atas tadi, juga bisa ditemukan di negeri-negeri muslim lain seperti Amahusu, Hukurila, dan Laha.”

Informasi yang keluar dari mulut H. Abdul Syukur Hehanusa (75) menyadarkan saya dari lamunan sesaat. Saya sampai abai kalau kami sudah berada di ruang tamu baparaja. Selain Si Kepala Negeri, juga ada Bang Reimon, Komar, dan dua tetua negeri itu: Pak Rais Hehanusa (70) dan Pak Syukur yang barusan bicara tadi, sudah duduk di kursi tamu. Peci yang dipakai kedua tetua negeri itu seperti menegaskan kalau saya berada di negeri muslim.

(ki-ka): Komarudin Tubaka, Rais Hehanusa, H. Abdul Syukur Hehanusa, Hasyim Tubaka, S. H. (baparaja) di ruang tamu baparaja

“Makam-makam ulama di pusat-pusat peradaban itu, termasuk makam Syeikh Zainal Abidin di atas tadi, pun begitu. Coba ingat-ingat tadi, pasti untuk memfoto objek lain, harus membersihkannya dari rumput atau semak. Bagaimana dengan makam Syeikh?”

Saya mengingat sejenak sebelum kemudian mata saya berbinar. “Bapak benar!” Refleks saya menjentikkan jemari. “Makam itu adalah objek  (paling) bersih di antara yang lain,” kata saya kemudian. Bahkan sebagaimana yang kesan saya ketika memasuki daerah utama Masahatu itu, makam Syeikh Zainal Abidin langsung tertangkap mata saya, seperti menyala di tengah hutan. Ya ya ya, saya baru menyadarinya.

“Sudah sempat melihat tempat wudu di dekat sana?” Pak Rais melempar tanya.

Bia?” Saya memastikan, lalu mengangguk mengangguk. “Tapi tadi tidak ada air yang mengalirinya.” Ada protes dalam kalimat saya barusan.

“Memang begitu,” Kata laki-laki berkulit putih dan kumis penuh uban itu dengan santainya. “Kan memang tidak lagi dipakai.”

“Lho …?” Saya ragu melanjutkan.

“Airnya akan muncul kalau kami menggelar perhelatan yang penting,” jawabnya, masih dengan nada santai.

“Pada tahun 2008, ketika di sini diadakan pertemuan pemuka adat Eti, Tala, dan Sapalewa, tiba-tiba saja air itu muncul dan mengalir dengan derasnya ke bia dan terus mengalir hingga ke aliran di bawahnya.” Kali ini Komar mengambil alih. Kemudian pemuda yang juga bermarga Tubaka itu mengembangkan ceritanya untuk dikaitkan dengan konteks masa kini. Dari ceritanya pula, saya akhirnya tahu kalau ia adalah seorang sarjana.

Saya hanya bisa menyimak dan mencatat cerita langka itu di buku saku. Saya biasanya langsung mencatat di aplikasi note di ponsel, namun petang itu baterai ponsel saya hampir habis karena digunakan untuk mengambil cukup banyak foto selama perjalanan dan di bukit tadi. Memang, kadang kala banyak lokalitas yang sulit sekali dinalar.

Di tengah perbincangan kami, bergabunglah Bakri Tubaka, penduduk setempat yang tampaknya tertarik dengan percakapan kami tentang kampung halamannya. Sesekali laki-laki berjambang itu menimpali atau menjelaskan ulang apa-apa yang Pak Syukur dan Pak Rais ceritakan dengan bahasa yang lebih mudah saya pahami. Ah, baik-baik sekali orang di negeri ini ya ….

“Sudah mengambil foto-foto di atas tadi?” Pak Syukur tiba-tiba bertanya.

Saya menoleh lalu mengangguk.

“Coba kamu periksa lagi,” katanya. Ada senyum tipis di wajahnya.

Perasaan saya tiba-tiba tak enak. Lalu gugup menyerang. Saya mengambil ponsel di dalam tas sandang.

“Beberapa orang yang mengambil gambar peninggalan Masahatu harus mendapatkan kenyataan semua foto itu hilang ketika mereka sudah turun,” lanjut Pak Syukur.

Saya menyimak seraya mencari folder foto di ponsel. Konsentrasi saya mendadak buyar.

“Yaaa … itu karena mereka memiliki niat yang tidak baik dengan foto-foto itu.”

Deg! Jantung saya berdegup lebih kencang dari biasa. Saya merasa, mata orang-orang di ruang tamu ini menuju saya.

“Bagaimana? Ada foto-fotonya?”

Suara Pak Syukur terdengar mengintimidasi.

Saya tak menjawab. Jemari saya sibuk menggeser-geser layar ponsel. Keringat mulai berebutan tumbuh dari pori-pori kening saya.

Folder foto itu pun ditemukan. Bismillah. Saya sentuh folder itu di layar ponsel. Lalu semuanya terpampang nyata.

“Bisa kamu tunjukkan apa-apa yang kamu foto tadi?” kejar Pak Rais.

Anak-anak Hualoy mandi di tepian Laut Seram di negeri mereka

Hari menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit. Suara orang mengaji tak lama lagi akan mengalun dari pelantang suara Masjid Lawataka.

Sebentar lagi senja jatuh di Hualoy.*

Telaga Tenggelam, 17 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/masahatu-2/feed/ 0
MASAHATU https://www.bennyinstitute.com/masahatu/ https://www.bennyinstitute.com/masahatu/#respond Sun, 15 Apr 2018 12:00:14 +0000 http://www.bennyinstitute.com/?p=1349
Di tepi Laut Seram, di Negeri Hutasua, di tepi Jalan Trans Seram.

(Hari ke-4 di Seram Bagian Barat)

Hari keempat belas di Bulan April.

Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi. Kalimat itu, di sepanjang perjalanan, kerap saya gumamkan nantinya.

Bang Reimon membawa saya meninggalkan hotel dengan sepeda motor sewaan kami pada pukul 10 WIT. Pendamping saya yang bekerja sebagai staf di Bagian Humas Pemda SBB itu tidak memberi banyak clue terkait lokasi yang kami tuju hari ini, kecuali menyebut “benteng” sebagai daya tarik utamanya. Saya memang sempat memintanya mengantar saya ke benteng peninggalan kolonial di SBB beberap hari yang lalu.

“Benteng ini didirikan oleh Portugis, Spanyol, atau Belanda, Bang?” tanya saya memastikan. Sebenarnya pertanyaan saya itu sangat retoris. Sebab, (negara) penjajah mana pun yang mendirikannya, tidak akan menyurutkan niat saya untuk mengunjunginya.

Bang Reimon tidak menjawab. Saya sebenarnya tidak tahu persis arti diamnya itu. Namun, saya mencoba mengambil prasangka yang paling aman: mungkin dia susah membedakan identitas peninggalan di antara ketiga negara itu. Mungkin.

Alfred Russel Wallace

Bagi saya, dalam konteks Indonesia, terlebih Pulau Seram yang pernah disinggahi Alfred Russel Wallace, menyusuri jejak kolonialisme di dalamnya, tentu akan menjadi pengalaman yang menarik. Terlebih, entah yang keberapa kali saya mengutarakan ini, referensi tentang Seram Bagian Barat di internet sangatlah terbatas.

Di mana-mana, sisa-sisa kekejaman dari kolonialisme, imprealisme, fasisme, atau bahkan genosida, selalu memantik perhatian. Menjadi memori kolektif. Mejadi nostalgia yang oksimoron. Menjadi kelaziman yang menginjak masa lalu.

Di sanalah, sebenarnya kekuatan cerita nyata-nyata bekerja. Apalah guna bangunan tua dan atau puing-puingnya apabila tidak ada kisah yang menguar darinya, apabila tidak ada luka di setiap debu yang melekat padanya.

Manusia gemar sekali menari di atas kengerian masa lalu, di tengah-tengah darah yang kering oleh edaran matahari. Mungkin, apabila kunjungan demi kunjungan pada artefak memori itu untuk menghimpun catatan-catatan yang terserak atau cerita-cerita yang takterungkap atau mencari tafsir baru atas kemapanan sebuah hikayat, tentu saja ia lebih dari sekadar diperkenankan. Namun apabila peninggalan itu diperlakukan dengan gairah turisme, kunjungan demi kunjungan itu memang sebaiknya dilarang saja. Sebab, membiarkan orang-orang asing berfoto dan mengambil video untuk eksistensi di era gawai semata, adalah pengaminan yang dungu, adalah kegilaan nomor tiga tujuh!

Maka, saya pun menolak menjadi bagian dari ketololan itu; narsis tanpa mengeruk cerita. Catat: tanpa mengeruk cerita. Kalau narsisnya, tentu ia sudah built-in dalam jiwa-raga beta. Namun, percayalah, Anda tidak tahu bagaimana bekerja kerasnya saya demi materi kekaryaan. Di media sosial, takkan terlalu suka bila saya publikasikan. Oleh karenanya, saya posting semua yang bekerlipan saja di Instagram. Nikmatilah indahnya SBB lewat foto dan video. Keringat dan luka residensi ini, biar aku saja. Hadeuh!

Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi.

“Berapa lama kita akan tiba di benteng, Bang?” tanya saya ketika Bang Reimon menyalakan mesin motor di depan hotel.

“Jauh tempatnya ….”

“Iya. Nggak papa, Bang. Kalau dekat, ngapain kita pake motor segala,” saya menyunggingkan senyum.

“Dua jam perjalanan,” katanya kemudian.

“Dua jam?” Saya sudah berada di boncengan. Menurut saya itu bukan waktu yang (terlalu) lama alias jaraknya tidak terlalu jauh. Masih masuk akallah. Seharusnya pula, saya mengenakan celana panjang. Tapi saya sudah malas kembali ke kamar.

“Hmm satu setengah jam,” ralatnya agak ragu.

Saya tidak menjawab. Satu setengah atau dua jam ditemani panorama alam SBB yang indah, tentu bukan masalah. “Oke, Bang! Let’s go!” Saya menepuk punggung Bang Reimon.

Jalan Trans Seram yang mulus

Sekitar 45 menit kemudian kami sudah tiba di gapura Piru yang megah. Zulfan Toelkan, pegawai Kantor Bahasa Maluku yang membersamai saya hingga hari ketiga di Piru, pernah membidik saya bersama Bu Sastri dan Bu Martha dengan kamera ponsel. Selanjutnya, jalan yang kami lalui penuh kelokan serta menurun dan menanjak. Bang Remon tampak hati-hati mempermainkan gigi sepeda motor. “Beta sudah lama tidak naik motor begini. Sudah terbiasa dengan motor matic!” ujarnya seolah meminta pemakluman saya atas kerepotannya mengolah gigi kendaraan sewaan itu.

Rute Trans Seram yang ekstrem ini mengingatkan saya dengan jalan Lintas Sumatra Lubuklinggau-Bengkulu. Bila tak hapal jalan, tak awas dan tak berhati-hati, apalagi memaksakan berkendara dalam keadaan tidak fit, peluang terjadinya kecelakaan dan musibah di jalan prosentasenya sangat besar. Bang Reimon tampaknya paham sekali risiko itu. Ia beberapa kali menolak keinginan saya menepi dengan alasan keselamatan.

“Nanti kita akan bertemu pemandangan yang lebih indah,” katanya seakan memahami keinginan saya untuk merekam keindahan SBB dari ketinggian jalan provinsi ini.

Tentu saja saya tak bisa berbuat banyak. Saya sepenuhnya percaya pada laki-laki bermarga Manuputty itu. Dia tak pernah menolak apa pun ajakan saya saking baiknya. Ketika ia melakukan hal yang sebaliknya, tentu ia sudah memikirkan yang terbaik bagi orang yang menjadi tanggungjawabnya. Bang Reimon sejatinya hanya satu dari tiga pendamping lokal yang direncanakan memfasilitasi saya di SBB. Namun, melihat bagaimana ayah dari tiga anak ini menawarkan bahasa tubuh persahabatan dan penghargaan pada orang baru sekaligus asing seperti saya, saya pun lupa dengan keberadaan pendamping lain.

Pekarangan rumah penduduk SBB yang luas dan teduh

Lepas dari jalur penuh kelok, turunan, dan tanjakan itu, kami memasuki Negeri Waisarisa. Di sini, saya membuktikan kata-kata Zulfan bahwa pekarangan rumah penduduk di SBB luas-luas dan rimbun oleh pepohonan.

Negeri Kamal yang sejuk meski di siang yang terik

Setengah jam kemudian kami memasuki Negeri Kamal. Menjelang jembatan yang menyalib Sungai Kamal, mural ucapan selamat paskah di kanan jalan tertangkap pandang. Sebagaimana desa-desa kristen lainnya, papan salib bertebaran di kiri-kanan jalan. Awalnya saya pikir, itu adalah identitas desa kristen di SBB, ternyata tebakan saya tidak sepenuhnya benar. Papan salib itu adalah sisa perayaan paskah yang baru berlalu. “Paling bulan depan, papan-papan itu sudah tidak ada lagi, Bang.” Saya ingat kata-kata Zulfan itu ketika pertama kali saya menanyakannya.

Nyiur yang menjulang dan melambai-lambai di tepi jalan Negeri Waisamu

Matahari sudah tegak lurus dengan kepala ketika kami tiba di Negeri Waisamu. Teriknya hari sedikit pun tidak masuk dalam daftar keluhan saya, sebab kiri-kanan jalan yang hijau oleh pohon kayu putih dan deretan nyiur yang menjulang lebih memantik perhatian saya. Di daerah yang dikenal sebagai negeri adat ini, kami bermaksud mencari rumah adat Seram. Namun seorang penduduk asli yang kami temui malah menyarankan kami untuk ke negeri sebelah karena kami tidak akan menemukan yang kami cari di Waisamu.

“Kenapa, Bapak?” refleks saya menunjukkan keingintahuan. Saya baru saja mengambil foto kebun kelapa yang luas dan terawat yang terletak persis di seberang jalan rumahnya.

Perkebunan kelapa di Waisamu

“Ini adalah negeri baru. Tua-tua kami di negeri lama tidak merestui kami pindah ke sini, meskipun ini didaulat sebagai negeri adat.”

Laki-laki paruh baya yang sedang duduk di bawah semacam pondokan beratapkan daun sagu itu lebih tertarik menyelesaikan jawabannya ketimbang memberitahu saya di mana sebenarnya negeri lama itu.

“…. Kami sudah dikutuk tetua sehingga tidak satu pun rumah adat berdiri di sini! Kalau mau rumah adat, bukan di sini! Cari tempat lain!” Kalau saja saya tidak terbiasa dengan gaya bicara orang Seram, pasti saya pikir dia sedang mengusir kami. Namun syukurnya saya sudah cukup Timur soal itu. Bapak itu mengungkapkan kekesalan sekaligus menjawab pertanyaan saya.

“Dia tidak marah. Kamu pasti paham, ‘kan?” kata Bang Reimon ketika kami akan melanjutkan perjalanan.

Saya mengangguk meskipun saya tahu laki-laki plontos itu tidak bisa melihatnya. “Lanjuuut, Bang!” seru saya sebelum kemudian mengangkat tangan dan tersenyum pada bapak yang masih melihat kami dengan tatapan tajam.

Sepertinya SBB ini kaya sekali dengan sungai. Tiap negeri pasti punya sungai, tebak saya. Saya bahkan menghapal jumlah negeri dengan menghitung jumlah jembatan yang kami lewati. Tapi, sayang sekali, sebagaimana Sungai Eti yang kering dan dangkal, semua sungai di SBB ini juga bernasib demikian. Sepertinya pengerukan pasir dan pengambilan batu kali cukup sering dilakukan sebelumnya, meskipun sejauh ini saya tidak pernah melihat aktivitas itu. Mungkin juga disebabkan oleh hal lain yang saya tidak tahu.

“Nanti kita cari negeri adat itu. Tenang saja,” Bang Reimon mencoba menghibur saya.

Saya tertawa kecil. “Itu selingan saja, Bang. “Besok-besok kita akan alokasikan waktu khusus untuk mencari rumah adat itu. Sekarang kita cari benteng dulu!” Saya coba mengembalikan fokus. Sebenarnya secara tidak langsung saya ingin bilang, “Hei, Bang! Kita sudah menghabiskan dua jam perjalanan. Apakah masih jauh?” Tapi saya urung mengutarakannya. Saya justru khawatir dengan jawaban “Masih jauh” atau jawaban “sebentar lagi” yang akan mengingatkan saya pada tabiat orang-orang di kampung pedalaman yang tak lain tak bukan artinya sama saja, sama-sama “masih jauh”!

Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi. Itu yang kembali saya gumamkan ketika Bang Reimon berkata sebentar lagi kami akan memasuki daerah laut–ketika melewati Negeri Tihulale dan hampir satu jam kami menyusuri jalan meliak-liuk dengan pemandangan hutan di sisi kiri dan kanan.

“Jadi kita sudah dekat, Bang?” tanya saya penuh harapan.

“Wah masih jauhlah!”

Alamakjang! Gaya Bang Reimon menjawabnya seolah-olah ia tidak pernah menyebut satu setengah atau dua jam sebagai waktu tempuh yang ia perkirakan. Oh, baiklah.

“Tapi nanti kita bisa liat laut lebih dekat. Sepuluh menit lagi kita akan masuk Kairatu,” lanjutnya.

Saya tidak menjawab. Saya tidak tahu harus berkata apa. Tapi saya ingat. Kairatu adalah nama kecamatan di SBB, tempat di mana kapal feri megantar-jemput penumpang. Benar saja, tidak sampai satu menit setelah Bang Reimon mengatakan itu, di sisi kanan jalan, di antara celah ranting pepohonan, pemandangan laut biru dan pulau-pulau yang ikut membiru seperti bergerak mendekati kami.

“Stop!” teriak saya ketika sebuah surga, di luar dugaan, terbentang lepas di kanan jalan.

Bang Reimon menepi dan seperti paham keinginan saya, ia mematikan mesin sepeda motor. “Ini namanya Negeri Hutasua,” ujarnya seraya mencabut kunci motor.

Baik. Hutasua atau pun Husamuda, saya tidak terlalu peduli. Panorama ‘Eropa’ ini harus diabadikan. Cekrek!

Negeri Hutasua, di tepi Jalan Trans Seram

Hari sudah menunjukkan pukul 13.00 WIT yang artinya sudah tiga jam kami berada di atas sepeda motor. Perut saya sudah menuntut haknya. “Kita cari makan dulu, Bang!” seru saya ketika kami kembali melaju.

Tak jauh dari Puskesmas Kairatu, kami berhenti di depan sebuah kedai nasi. Warung Lia, demikian terbaca di papan namanya. Kami memilih menu ikan laut kecap sebab siang itu saya dan Bang Reimon sama-sama sedang tidak ingin makan telur. Hanya dua lauk itu yang tersisa siang itu.

Ternyata kami disilakan mengambil sendiri nasi dan lauknya. Saya mencedok daun daun kasbi (daun ubi) kuah santan, sambal goreng, dan kokohu untuk menambah selera. Awalnya saya mengira menu yang terakhir itu adalah urap, makanan serupa-tapi-tak sama yang kerap saya temukan di Sumatra, ternyata bukan. Mungkin karena komposisi kelapa parut dan taugenya yang terlalu banyak. Mungkin pula karena kelapa parut di kokohu tidak disangrai terlalu lama sebagaimana kelapa parut pada urap yang berwarna kecoklatan. Ah, gaya saya seperti ahli kuliner saja! Tapi memang rasanya berbeda. Ketika ibu pemilik warung yang berdarah Saparua menyebutnya kokohu, saya mengangguk-angguk. Ternyata itu memang dua menu yang berbeda. Atau itu istilah yang digunakan orang Saparua untuk menyebut urap? Auk ah gelap!

Sepiring kokohu

Setelah minum es teh manis yang datang ketika nasi, lauk, dan sayur sudah berpindah ke lambung, saya menuju minimarket yang terletak tak jauh dari Warung Lia. Saya membeli air mineral dan roti isi selai kacang untuk kami berdua. Mumpung ketemu minimarket, pikir saya. Ya, sepanjang perjalanan ini adalah minimarket pertama yang saya lihat.

Kami melanjutkan perjalanan dan saya tidak berani bertanya seberapa lama waktu tempuh kami ke tempat tujuan.

Jalanan di sekitar pelabuhan agak lebih ramai dibanding jalanan di negeri-negeri yang kami lalui tadi. Bus antar kota dan angkot lalu lalang membawa penumpang dan hasil bumi. Biasanya bagian atas kendaraan digunakan untuk mengangkut sayuran dan buah-buahan. Tepat di tengah jalan simpang tiga, sebuah pemandangan tak lazim membetot perhatian saya. Sebuah bus dan angkot berhenti di tengah jalan. Anda tahu kenapa? Karena sopir bus membawa barang titipan untuk sopir angkot. Saya meminta Bang Reimon melambatkan laju sepeda motor karena saya tertarik untuk mengabadikan momen langka itu. Oh, tidakkah mereka bisa menyepakati sisi jalan bagian mana untuk menepikan kendaraan, batin saya. Ternyata itu belum selesai, sodara-sodara! Kedua sopir itu terlibat dalam percakapan yang diselingi tawa sekitar lima menitan. Beberapa mobil di belakang yang lajunya tampak terhalangi seperti sudah memaklumi keadaan itu. Sopirnya memutar kemudi untuk mengambil badan jalan kosong untuk melanjutkan perjalanan.

Gereja megah banyak ditemukan di sepanjang jalan negeri yang didominasi penduduk beragama kristen

Sebagaimana di negeri-negeri kristen lainnya, gereja-gereja yang megah mudah sekali ditemukan di sekitar Kairatu. Di dekat pelabuhan tadi sepertinya saya sempat melihat sebuah masjid di tepi jalan, tapi saya abai mendokumentasikannya. Sekeluar dari jalanan kiri-kanannya ramai oleh permukiman, kami kembali bertemu hamparan laut di kanan jalan.

Bang Reimon menepi. Saya pikir ia sengaja melakukannya untuk memberi kesempatan saya mengambil satu-dua petik foto laut yang indah ini, ternyata tidak. Ia menyapa seseorang untuk bertanya seputar negeri yang kami tuju. Oh, semoga tidak lama lagi, batin saya seraya mengarahkan kamera ponsel ke pemandangan yang baru pertama kali saya lihat: beberapa pohon tumbuh di dalam laut. Saya tahu, panorama itu adalah efek abrasi yang menyerang pantai. Namun, efek abrasi di pantai SBB justru memberikan keindahan yang anomalik. Negeri Kamarian, demikian tempat yang indah ini diberi nama.

Negeri Kamarian di siang yang terik

“Masih jauh, Bang?” akhirnya saya bertanya juga setelah menjatuhkan pantat di atas jok belakang.

“Tinggal melewati satu-dua negeri lagi,” jawabnya santai.

“Kenapa Abang tadi bertanya tentang tempat tujuan kita ya? Abang pernah ke sana, ‘kan?” Bang Reimon pasti mengendus aroma kecemasan dalam dua pertanyaan beruntun barusan.

“Bang Reimon tertawa. Baru minggu kemarin beta pulang dari benteng. Ini memastikan saja. Beta bawa utusan negara seperti kamu. Beta harus hati-hati,” jawabnya dengan logat Timur yang kental.

Saya mengucap hamdalah. Memang seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi. Entah untuk yang keberapa kali saya menggumamkan kalimat itu.

“Oh oh oh. Nikmati saja segalanya, Benn!” suara hari kecil saya yang lain ketika melihat arloji yang menunjukkan pukul dua siang. Mantap! Empat jam di jalan! Mantap nian! Gigi-gigi saya beradu-dentam. Bergemerutukan. Salah apa, Hamba, ya Allah, sampai harus diombang-ambing perjalanan di negeri orang macam begini!

Kami pun memasuki negeri lain. Saya lupa apa namanya. Kelelahan membuat keinginan sekaligus daya mengingat saya melemah. Saya tiba-tiba mencemaskan perjalanan ini. Kini, saya percaya bagaimana orang-orang bisa mati karena terjebak macet superpanjang. Stress bisa membuat metabolisme tubuh tidak bekerja sebagaimana mestinya.

“Hei, Benn! Wake up! Lupakan satu setengah jam yang jadi patokanmu di awal! Rock the trip, Man!”

Teriakan itu menggedor-gedor kepala saya! Entah suara dari mana itu. Saya merasa sangat tersindir. Kamu tidak usah membanggakan residensimu di New Zealand, Abu Dhabi, Australia, dan negeri-negeri lainnya itu, kalau yang begini saja sudah mewek! Kamu harusnya malu sama Norman Erikson Pasaribu yang menunggu pesawat ke Luwuk yang tak jelas jadwal terbangnya untuk kemudian melalui delapan jam pelayaran menuju Banggai Kepulauan!!!

Jger! Saya mati kata. Baiklah. Saya binar-binarkan mata. Baiklah. Baiklah.

Pala yang dijemur di pinggir jalan

“Apakah Abang punya saudara atau banyak kenalan di daerah benteng nanti?” tanya saya ketika kami memasuki daerah yang di kiri-kanan jalannya banyak ditemui pala yang sudah dikupas kulitnya sedang dijemur di atas gelaran terpal. Bukan apa-apa. Kalau tibanya sudah sore, riskan sekali kami akan melakukan perjalanan pulang sebab petualangan di benteng plus wawancara dengan masyarakat setempat tidak akan bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Jadi menginap di rumah saudara atau teman adalah pilihan paling masuk akal. Saya tidak yakin di negeri tujuan nanti akan ada penginapan, apalagi hotel.

Syukurnya jawaban Bang Reimon cukup melegakan. “Tenang saja, semua orang kenal saya. Baparajanya juga.”

“Baparaja?” Saya mengerutkan kening.

“Pak Pejabat.”

“Pak Pejabat?” Saya makin tak mengerti.

“Kepala negeri.”

“Oh seperti kepala desa gitu, Bang?”

Bang Reimon mengangguk.

Sekitar empat puluh menit kemudian, Bang Reimon kembali menepi di sebuah pondok. Seorang laki-laki bertelanjang dada sedang membelah kelapa yang sudah dikupas kulitnya. Oh, begini rupanya kopra dibuat, bertik saya dalam hati.

Membuat kopra

“Tidak jauh. Sebelah negeri ini!” kata Bapak itu ketika, entah untuk keberapa kali, Bang Reimon bertanya tentang seberapa jauh lagi kami tiba di negeri tujuan.

Saya lumayan terhibur dengan jawaban itu, sebenarnya. Tapi … apakah sama “tidak jauh” di lidahnya dengan yang ada di kepala seseorang yang kelelahan seperti saya? Saya tak ingin memperpanjangnya.

Kami melanjutkan perjalanan. Kami lebih banyak diam. Benar. Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi.

Bang Reimon kembali menepi ke semacam pos ronda. Ia berbicara dengan seorang laki-laki berkopiah. Kopiah? Tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Ini negeri muslimkah? Masjid, mana masjid?

Bang Reimon sedang bertanya dengan penduduk muslim setempat

“Kita di mana, Bang?” tanya saya ketika Bang Reimon sudah kembali memegang stir.

“Kita sudah sampai!” serunya.

Ya Allah. Mendengar itu, kerongkongan saya seperti dialiri air dingin setelah melintasi daerah tandus. Akhirnya ….

Bang Reimon mengarahkan motor ke kanan. Sebuah gapura kayu yang sudah tua manyambut kami. Kami memasuki jalan yang lumayan lebar untuk ukuran perkampungan. “Gapura itu pertanda kalau ada masjid di dalam kampung ini,” kata Bang Reimon seolah mengoreksi tebakan saya.

Gapura masjid tua

“Jadi bentengnya di dalam perkampungan, Bang?” tanya saya tak sabaran. Bagaimana mungkin ada benteng di tengah permukiman, batin saya tak percaya.

“Di seberang jalan di belakang kita ini bentengnya,” jawab Bang Remon santai.

Saya menoleh ke belakang dan … sebuah bukit mengonggok di sana. “Kita naik bukit, Bang?!” Saya benar-benar terkejut.

“Bukan bukit, cuma tanah tinggi.”

Baiklah. Terserah apa namanya. Saya menelan ludah. “Lalu mengapa kita malah ke arah berlawanan?” tanya saya cepat.

“Kita ketemu Baparaja dulu.”

Oh tiba-tiba saya malu sendiri dengan ketidaksabaran saya. Kami memasuki negeri yang jauh. Tak ada hal yang lebih layak dilakukan ‘tamu’ pertama kalinya selain memperkenalkan diri, mengutarakan maksud, lalu izin menyusuri lokasi tujuan. Ah, terimakasih, Bang Reimon, sudah memberi pelajaran ini.

Kini, saya memandangi pakaian yang saya kenakan. Celana selutut dan kemeja putih lengan panjang. Bukan! Saya bukan sedang menimbang kelayakan tampilan saya untuk bertemu Baparaja. Itu sudah telanjur! Mau bilang apa, saya tak bawa pakaian ganti. Semoga yang bersangkutan memaklumi, harap saya. Tapi ada hal yang lebih menganggu pikiran saya dengan tampilan ini: Naik bukit dengan celana pendek dan baju kemeja lengan panjang–warna putih pula!–membuat saya merasa lebih pas jadi pelawak ketimbang turis!

“Kenapa Bang Reimon tidak bilang kalau bentengnya ada di atas bukit?” tanya saya sedikit menggerutu.

“Tidak tinggi itu. Kakimu paling cuma digigit nyamuk. Baju putihmu juga buat kamu bagus kalau difoto.” Oh oh oh, ini bukan waktu yang tepat untuk melempar lelucon, Bang. Walaupun, ya walaupun, dari air mukanya tak tampak kalau beliau sedang bercanda. Ya, dia ada benarnya. Di dalam hutan nanti, kemeja putih ini akan membuat saya ‘lebih menyala’ ketika difoto. Oke, fine! Mari menghibur diri sendiri!

Hualoy dari ketinggian.

Tepat ketika kami akan memasuki halaman rumah baparaja, tiba-tiba saya menanyakan sesuatu yang seharusnya sejak awal saya dapatkan jawabannya. “Negeri ini apa namanya, Bang?”

“Hualoy!”*

Piru, 14-15 April 2018

]]>
https://www.bennyinstitute.com/masahatu/feed/ 0