Bunga-bunga Pikiran

Adik-adikku bertanya mengapa aku, sekarang, tergila-gila dengan bunga-bunga. Catat! “Sekarang”. Dan bukan cuma anak-anak sebenarnya tetapi orang-orang dewasa lain yang benar-benar mengenalku sejak beberapa tahun yang lalu juga pasti heran sejak kapan aku yang pemalas itu jadi suka bangun lebih awal kemudian mengambil air untuk menyirami bunga-bunga itu satu per satu saban pagi.

Sesungguhnya aku tidak tahu apa alasan persisnya dan kenapa aku memulainya tetapi yang jelas aku berlatih percaya bahwa aku menyukai bunga-bunga dan sebetulnya itu bukanlah hobi yang buruk, bukan. Mengingat ada sebagian kecil orang membentuk suatu komunitas pecinta lingkungan yang sudah dan masih sedang berusaha keras mengajak penduduk bumi ini menanam bunga sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap berkurangnya populasi lebah yang secara ilmiah terbukti sebagai hewan yang paling penting dalam penyerbukan. Di sosial media mereka sebarkan gambar-gambar yang bertuliskan “Jika lebah-lebah itu mati, maka kita juga akan mati.”

Namun yang menggenaskan bahkan menggunakan kata “mati” pun tidak jua membuat manusia segera berlari-lari menanam bunga-bunga. Berita tentang itu pun jauh tidak lebih penting ketimbang berita tentang ekonomi dan politik yang menghiasi media-media saban hari. Makanya ketika suatu kali di laman Facebook, entah ilham dari mana, aku menemukan video tentang seorang anak yang bernama Greta Thunberg yang berasal dari Swedia yang dengan tegas dan apa adanya mengkritik orang-orang dewasa soal ketidakpeduliannya terhadap lingkungan, aku merasa bahwa aku jua adalah salah satu orang dewasa yang dikatakannya itu.

Aku mengagumi sosok Greta Thunberg dan aku ingat beberapa tahun silam aku juga sempat memiliki kekaguman yang sama dengan Malalai Yousafzai, seorang aktivis muda dari Pakistan. Bukan cuma tentang apa yang mereka katakan memang masuk akal tetapi juga karena mereka masihlah anak-anak. Dan barangkali sejak itu juga aku mau dan mulai berusaha percaya bahwa tidak hanya mereka berdua yang bisa sehebat dan sekeren itu. Makanya perjalananku bersama anak-anak bermula dari situ.

Jika orang-orang melihatku sekarang, aku amat terikat dengan anak-anak. Itu sudah menjadi semacam identitas yang melekat. Namun sebenarnya perjalananku bersama mereka tidaklah berjalan singkat dan mulus seperti yang terlihat. Kuakui bahwa aku bukan bagian orang-orang yang secara natural menyukai anak-anak dan disukai anak-anak. Aku ingat dulu ketika mengajar di salah satu SMA, aku pernah dikritik oleh beberapa siswa dan hampir semua menyepakatinya, bahwa mereka tidak mengerti kata-kata yang kuucapkan kala aku mengajar di kelas—yang aku pun tidak menyadarinya sampai berita itu mampir cantik ke telingaku. Lalu beberapa tahun setelahnya Tuhan memberikanku semacam tantangan (lagi) untuk berinteraksi dengan anak-anak yang jauh lebih muda. Kali itu aku sadar betul bahwa aku harus berhati-hati memilih kata agar mereka bisa memahami sepenuhnya. Namun itu tidak pula segampang memetik daun. Aku ingat menghabiskan waktu yang panjang di sudut ruangan hanya memperhatikan mereka saja dan menunggu momen yang tepat untuk mengobrol. Dan ketika mengobrol pun tetap ada saja satu dua kata yang asing di telinga mereka dan itu sering kali dijadikan bahan bercanda mereka keesokan harinya.

Seperti aku yang berlatih percaya bahwa aku menyukai bunga-bunga, aku pada masa itu, juga berlatih percaya bahwa aku menyukai mereka hingga pada satu hari aku jadi benar-benar menyukai keduanya. Dari situ aku jadi belajar bahwa pikiran manusia itu tak ubahnya seperangkat komputer yang mudah diretas. Kita bisa memasukkan program-program apa saja di alam sadar dan bawah sadar secara berulang-ulang yang pada akhirnya itu akan membentuk siapa identitas diri kita.

Namun aku melupakan satu hal penting bahwa program-program yang kumasukkan dalam pikiran hanyalah upaya internal. Sementara ada banyak pengaruh eksternal yang bisa tiba-tiba menyusup sebagai virus dan berpotensi mengubah sedikit atau bahkan total perangkat pikiran kita. Aku pernah sangat meyakini bahwa hanya perasaan-perasaan yang murni yang muncul dari sosok anak-anak dan bunga-bunga yang rekah tidak pernah gagal indah—dan karena itu aku mengagumi mereka. Namun, siapa yang tahu jika bahkan anak-anak pun juga bisa menyakiti bahkan lebih dari yang bisa orang dewasa lakukan. Siapa yang bisa menyangka jika mawar-mawar yang cantik hari ini tetiba mati esok pagi. Dan siapa yang bisa mengira bahwa aku tidak punya keyakinan untuk hidup jangankan seribu tahun, sepuluh tahun pun tidak.(*)

bennyinstitutebennyinstitutewrittingclassyuhesti mora
Comments (0)
Add Comment