education.art.culture.book&media

BERHARAP TERJAGA DI BUDAPEST

Residency Story – 14

Kepala saya pusing tak karuan. Setelah hampir dua jam menjadi penumpang mobil polisi yang dikemudikan dengan kecepatan 80-90 km/jam, David menurunkan kami di depan apartemen.

“What’s up?” Ethile menepuk pundak David.

“Kami belum mendapatkan kontak lanjutan terkait keberadaan pelaku, Eth. Jadi, saya putuskan mengantar kalian saja. Maaf sudah membuat kalian terlibat jauh,” jawab David sopan.

“Oh no, Dave,” sambarku cepat. “Kamilah yang harusnya berterima kasih banyak pada kalian berdua.”

Kami keluar dan kedua polisi itu pun ternyata membuka pintu. Kami berpelukan. “Have a good night!” Feo menepuk-nepuk punggung saya.

Saya dan Ethile berpandangan cukup lama setelah melambaikan tangan pada David dan Feo yang baru saja hilang di persimpangan.

“Thank you, Eth.” Saya tersenyum.

“Senyummu tulus?”

“Let my smile talks, Eth.” Tentu saja saya masih tersenyum.

Ia tertawa.

“So?” Bahkan saya sendiri tak paham maksud pertanyaan itu.

“Saya sudah memesan tiket bus.”

“Malam ini? Ke mana?”

“Jangan terlalu menggebu-gebu, Indonesia!” Ethile mengusal-ngusal rambut saya. “Istirahat dulu. Besok pagi kita mulai perjalanan baru.”

“Oukay!” Saya nyengir. “Ke mana?”

“Menurutmu ke mana?” Ia memberikan gulungan peta ketika kami sudah sampai di dalam kamar apartemen.

“Bagaimana kalau ini?” Saya menunjuk sembarang.

“Klop! Sesuai tiket yang saya pesan. Kita memang soulmate nih!”

Saya tertawa sebelum melempar tubuh ke dipan. Saya lelah sekali sebelum Ethile nyeletuk, “Hei, kamu belum salat seharian ini, Benn!”

Astaga! Saya lekas ke kamar mandi.

Usai salat, saya berharap tidur lebih lelap dan terjaga di negara tujuan berikutnya—Hungaria!***

Madrid, 26 April 2019

Comments
Loading...