education.art.culture.book&media

ISTANA DI ATAS BUKIT

Memandang Petuanan Liang dan Laut Seram dari atas kapal feri Tanjung Koako

(Hari ke-1 di Seram Bagian Barat)

Dari keenam penulis yang dikirim Badan Bahasa dalam Program Pengiriman Sastrawan Berkarya ke Wilayah 3T, saya berangkat paling akhir ke lokasi residensi: Pulau Seram Bagian Barat. Saya dan tim pendamping–peneliti sastra (Sastri Sunarti) dan penyuluh bahasa (Martha Lena)–mendapat jadwal terbang ke Ambon pada tanggal 10 April 2018 pukul 23.45 WIB. Setelah transit tiga puluh menit di Bandara Sultan Hassanudin Makassar di Maros kami akhirnya tiba di Ambon pukul 06.50 WIT keesokan harinya.

Seturun dari tangga pesawat, udara dingin langsung menyergap. Belum tampak tanda-tanda Maluku yang menyengat sebagaimana yang disampaikan Zulfan Toelakan, pegawai Kantor Bahasa Maluku yang akan menemani saya beberapa hari di Maluku, via WhatsApp sebelum saya berangkat ke Jakarta.

Begitu memasuki gedung bandara, saya gegas mencari toilet. Saya mengosongkan kantung kemih setelah lebih 4 jam berada di dalam burung besi, sekaligus mengganti baju dengan kemeja yang lebih longgar dan celana joger semata kaki yang saya kenakan dari Jakarta dengan celana bahan katun selutut.

Selain perbukitan, gunung, dan dataran tinggi di salah satu sisi Bandara Pattimura, luas dan panjang landasan pacu serta pepohonan rimbun yang mengelilingi terminal pesawat terbang ini mengingatkan saya pada lanskap Bandara Silampari di Lubuklinggau yang setahun belakangan intens melakukan pembangunan. Setelah mendapatkan koper saya yang menjadi satu-satunya barang kami di bagasi, saya menuju pintu keluar yang riuh oleh suara tukang ojek dan taksi yang menawarkan jasa. “Sudah ada yang jemput,” ujar saya dengan senyum tipis ketika beberapa sopir mendekati dengan sangat bersemangat. Betul saja, Zulfan, sudah menunggu di pelataran bandara. Ternyata ia sendirian. Bu Marta dan Bu Sastri yang saya duga sudah keluar duluan, justru belum datang. Sembari menunggu mereka, saya kembali mencari toilet di pelataran bandara yang terletak persis di belakang gerai Bakso Solo (Oh betapa Indonesianya makanan yang satu ini!). Di toilet dalam bandara tadi, setelah buang air kecil saya hanya sempat berganti baju. Ramainya orang yang lalu-lalang buang hajat membuat saya tidak terlalu nyaman berganti celana. Taraaa … lima menit kemudian, saya merasa lega dan tidak lagi gerah.

Sekembali dari toilet, Bu Martha dan Bu Sastri sudah duduk di kursi tengah Xenia hitam. Dari arah belakang, punggung mereka tertangkap pandang sebab Zulfan belum menutup bagasi. Tiga koper kami tampak mengisi bagian belakang mobil itu.

Beberapa saat setelah keluar dari area bandara, Zulfan mengajak kami mencari sarapan. Sayangnya kami belum merasa lapar. Bu Martha memberikan Zulfan mi ayam dalam wadah bertutup aluminium foil. “Kamu pasti mengira kita bisa sarapan bareng,” kata perempuan paruh baya berdarah Medan itu sembari menyerahkan makanan yang dibagikan pramugari Garuda kepada Zulfan. Bagaimana kalau kita makan di kapal saja,” ujar Bu Sastri kemudian. Zulfan tidak banyak bicara. Ia mengangguk lalu berkonsentrasi di belakang kemudi.

Bersama tim pendamping di Gerbang Piru

Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Ulimual, Piru, kami ditawari pemandangan yang eksotik. Bagian kanan jalan adalah hamparan Laut Banda dengan bukit dan dataran tinggi di kejauhan, sementara hutan kecil di bagian kiri. Memang kami temui rumah-rumah penduduk, tapi di mata saya, keberadaannya seperti angslup oleh panorama alam yang biru dan hijau tadi. Meskipun begitu, saya tidak (atau belum?) menemukan jejak bahwa kepulauan Maluku diperebutkan oleh Spanyol, Portugis, untuk kemudian dikuasai Belanda pada abad XVII, karena daya tarik cengkehnya. Mungkin di Seram nanti saya akan menemukannya, batin saya. Saat kami tiba, rupanya musim durian, rambutan, dan langsat bertandang di waktu bersamaan. Kami juga kerap menyaksikan para penduduk menggelar dagangan tiga buah tadi di atas meja kayu. “Yes, but not now!” ujar Bu Sastri menanggapi celetukan saya untuk mencicipi durian.

Kapal Feri Tanjung Koaka

Tiga puluh menit kemudian kami sudah berada di Petuanan Liang. Petuanan adalah semacam wilayah untuk menyebut dusun, walaupun tidak pula dapat dikatakan persis begitu. Di petuanan inilah Pelabuhan Ulimual menyambut kami dengan laut biru yang jernih dan kapal feri tua bertuliskan Tanjung Koako. Xenia yang kami tumpangi harus memberi jalan kepada sebuah bus tua yang berisi penuh penumpang untuk masuk terlebih dahulu ke kapal. Sementara Zulfan memasukkan mobil dengan cara mundur, Bu Sastri dan Bu Martha naik ke lantai dua. Saya memilih keluar, memotret kapal feri dari kejauhan dan merekam keriuhan para penjual yang berlomba-lomba menawari jagung rebus, rambutan, manggis, keripik sukun, pisang goreng, dan durian sudah dibuang kulitnya. Logat Timur yang khas, aroma laut, dan sepoi angin yang mengibaskan anak rambut, seperti memberi tahu kalau saya sudah berada jauh sekali dari kampung halaman. Tapi sedikit pun saya tidak merasa jadi orang asing. Saya menikmatinya. Tentu saja bukan karena tak ada pilihan, melainkan karena saya mensyukuri hidup di tanah air yang kaya-raya.

Keriuhan lantai dasar kapal feri

Meskipun Zulfan membelikan kami karcis VIP, saya lebih tertarik berjalan-jalan di dalam kapal. Ya, alasan lainnya–saya sebenarnya malu mengatakannya: ini kali pertama saya bepergian dengan kapal feri sehingga saya harus menikmati debut ini. Peringatan istri agar saya menenggak Antimo sebelum berlayar saya abaikan begitu melihat suasana kapal yang cukup menyenangkan. Bus tua yang tadi saya lihat di bawah, ibu-ibu yang berjualan, dan keadaan dalam kapal yang dapat dikatakan jauh dari mewah-namun-cukup-nyaman, membuat semuanya berjalan mundur. Saya seperti berada di tahun 1990-an. Saya menyukai hal-hal yang terendus sebagai masa lalu, mungkin salah satu alasannya, karena kenangan adalah salah satu bahan cerita paling mustajab bagi seorang pengarang (wahh, saya melipir terlalu jauh, rupanya!).

Para penumpang di bagian paling belakang

Kapal ini terdiri dari 4 lantai. Lantai pertama adalah area parkir aneka kendaraan. Lantai 2 adalah tempat penumpang yang disekat tiga. Paling depan khusus penumpang karcis VIP. Bagian tengah dan belakang adalah penumpang berkarcis ekonomi. Kemungkinan besar yang duduk di bagian paling belakang adalah mereka yang membeli karcis paling murah sebab mereka ditempatkan di semacam tempat tidur tanpa kasur dua tingkat yang luas. Di sana, ketika saya mengambil gambar beberapa saat sebelum kapal merapat, banyak sekali penumpang yang tertidur di atas ‘ranjang dua tingkat’ itu. Sementara lantai 3 adalah geladak yang menjadi spot berfoto terbaik karena sebagiannya tak beratap dan tak berdinding (melainkan hanya berpembatas semacam rantai kapal) sehingga kita bisa memandang laut dan pulau di kejauhan dengan leluasa. Lantai 4 tak bisa saya naiki karena pintu menuju ke atas tertutup (tampaknya ini hanya untuk awak kapal).

Penampakan Pulau Seram dari jendela kapal feri

O ya, di dalam kapal saya berkenalan dengan Yus yang bekerja di sebuah perusahaan finance di Ambon dan Hendrik yang masih berstatus mahasiswa di Univeristas Pattimura. Saya sedang makan pisang goreng sembari menikmati panorama Pulau Seram yang biru di kejauhan ketika menyadari ada dua orang dengan wajah Timur ternyata sedari tadi juga menghadap ke arah yang sama. Dari mereka saya merasakan Indonesia yang hangat–bahwa jarak yang membentang, perbedaan warna kulit dan suku bangsa bukan alasan untuk tidak menjalin pertemanan. Mereka menyambut tawaran berkenalan tanpa tatapan curiga dan bahasa tubuh tidak nyaman sedikit pun. Saya juga tidak menengendus aroma basa-basi dari sikap terbuka yang mereka tunjukkan. Meskipun sama-sama akan ke Pulau Seram, kami memiliki tujuan yang berbeda. Bersama dengan keluarga besarnya, Yus dan Hendrik hendak melayat anggota keluarga yang meninggal di Seram Bagian Utara. Saya tidak menangkap raut sedih di wajah mereka, sehingga saya tidak perlu mengadaptasi dialog basi yang kerap muncul berulang di sinetron atau FTV–“Maaf, saya tidak bermaksud ….” atau “Oooh, saya turut berbelasungkawa”. Tidak! Mereka tidak membutuhkannya. Akan lucu dan terdengar janggal apabila saya melakukannya kepada ‘orang asing’. Ya, memang janggal. Hanya sinetron dan FTV yang membuatnya jadi lazim!

Mengobrol dengan Yus (kiri) dan Hendrik (tengah) di geladak kapal

Benar dugaan saya! Orang Timur tidak menyukai basa-basi dan drama. Yang sudah pergi, sudah. Itu juga berlaku untuk kematian–dan jelas ini tidak ada hubungannya dengan seberapa besar rasa cinta dan sayang mereka kepada orang yang sudah Tuhan peluk duluan ke surga. Mereka dengan tandas menceritakan karakteristik masyarakat Timur, khususnya Maluku (dan tebakan saya benar!) yang suka berteman, kultur kerajaan yang masih lestari di beberapa negeri (begitu mereka menyebut “desa”), betapa luasnya wilayah Seram Bagian Barat itu, dan mengajurkan saya untuk menikmati suami (ampas ubi kayu yang dikukus) dengan ikan bakar ketika mengunjungi Pulau Osi. Pulau itu adalah satu-satunya referensi gambar yang saya temukan di Google dengan kata kunci Seram Bagian Barat. Kami menutup percakapan dengan bertukar kontak WhatsApp.

Dua jam kemudian, kapal kami merapat ke Pelabuhan Waypirit yang terletak di Kecamatan Kairatu. Yus mengirim pesan selamat jalan dengan menyebut saya “Masbro” ketika saya sudah berada di mobil. Pesan pendeknya menyadarkan saya bahwa seharusnya saya mencari mereka berdua sebelum melanjutkan perjalanan. Saya mengetik balasan dengan memanggilnya “Bang” dan menambahkan kalimat “Semoga kita jumpa lagi!”. Ah kedengarannya basa-basi sekali.

*

Hotel Amboina tempat kami menginap

Perjalanan menuju hotel kami tempuh juga dalam 30 menit. Banyak sekali kami temukan gereja yang megah dan indah, dan papan salib yang ditempeli lampu di kiri-kanan jalan (saya sudah membayangkan salib-salib itu akan menyala ketika malam tiba), dan melewati sembilan jembatan kecil. Sebagaimana di Ambon, di kiri-kanan badan jalan, para penjual buah musiman banyak menggelar dagangannya.

Desain luar Hotel Amboina tempat kami menginap cukup mengesankan. Dinding bagian depan yang dibangun oleh tiang-tiang beton persegi panjang, dinding batubata yang dicat putih, dan tiga buah cermin dalam ukuran besar yang dipasang di dinding lobi, memberi aroma Portugis dan atau Spanyol yang menyengat. Apakah ini ada hubungannya dengan (maraknya) kedatangan Bangsa Eropa–terutama Spanyol dan Portugis–pada abad XVI? Saya tidak ingin merepotkan diri dengan pertanyaan retoris itu. Kehadiran kursi jati di lobi membuat aroma “kolonialisme” itu sedikit “ternodai”.

Karena perut sudah menyanyikan intro lagu keroncong, kami memutuskan mencari makan siang. Zulfan mengajak kami ke kedai Arema yang dikelola oleh beberapa laki-laki bersuku Jawa. “Di sini para transmigran banyak yang berjualan,” imbuhnya. Oh oke, batin saya, ternyata pulau ini pun tak lepas dari tujuan program transmigrasi era Soeharto meskipun presiden kedua RI itu tak sekalipun menjejakkan kaki di Pulau Seram selama memerintah.

Berbeda dengan ketiga rekan saya yang memilih soto ayam dan ayam goreng yang disajikan dengan sambal giling dan lalapan, saya memilih menu ikan laut. Tidak seperti harapan bahwa saya akan mudah menemukan ikan laut segar yang bisa kami minta untuk dimasak atau dibakar sebagaimana di daerah laut lainnya, etalase menu kedai ini hanya menampilkan tumpukan potongan kecil ikan tongkol goreng polos. Entah memang susah menemukan menu khas laut itu di Piru atau kami keliru memilih tempat makan, saat lapar bukanlah keadaan yang pas untuk memikirkan hal itu.

“Biasanya kami sajikan dengan ini,” salah satu dari penjual itu menunjukkan sayur kangkung yang ditumis dengan bunga pepaya. Mungkin ia menangkap air muka saya yang tampak terkejut dengan ikan laut goreng polos yang dipotong kecil-kecil itu.

Oh oke, ujar saya dalam hati. “Sayurnya pedas?” Saya mencoba memastikan kalau ikan tongkol goreng tadi memiliki teman dengan rasa yang sepadan ketika diinderai oleh lidah.

Ia menggeleng. “Ini tumis biasa,” jawabnya santai. “Nanti kita kasih ini!” Ia menunjuk semangkuk besar sambel goreng yang cukup berair.

Saya menyerah.

“Bagaimana kalau ditambah itu!” Zulfan menunjuk tumpukan telur dadar di dalam piring di etalase bagian atas. Ah, ia paham sekali keadaan saya.

Untuk meramaikan piring dan atau mungkin memperkaya rasa ikan tongkol goreng polos, ide Zulfan tentu saja tidak buruk. Bahkan saya meminta mereka menyajikan potongan-potongan terong panjang yang sedang saya lihat sedang digoreng di belanga di muka kedai.

Rasanya lumayan bersahabat di lidah. Meski kalah jauh dengan ikan tongkol pedas buatan istri di rumah. Hei Benn, ini Piru, bukan Lubuklinggau. Lagi pula, kalau rasanya sama dengan masakan istrimu, buat apa kamu jauh-jauh ke Timur?

Pemandangan di depan kantor DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat

Untunglah, usai makan siang Zulfan mengajak kami berjalan ke dataran tinggi tempat dibangunnya Kantor DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat. Kami terpukau dengan panorama yang membentang di hadapan gedung perwakilan rakyat yang menyerupai vila di puncak gunung dan jauh dari jangkauan penduduk. Laut Seram, dataran tinggi sabana, dan hutan-hutan yang dirimbuni pepohonan, adalah limpahan nikmat yang Tuhan karuniakan kepada penduduk Seram, wabilkhusus kepada para anggota DPRD Seram Bagian Barat. Tiba-tiba sepucuk tanya mencuat dalam kepala saya, “Apabila kantor DPRD-nya menyerupai istana di atas gunung, alangkah susahnya rakyat hendak mengadu?”.

Ah, mungkin saya terlalu lelah.*

Piru, 11 April 2018

Comments
Loading...