education.art.culture.book&media

SIMSALABIM

Membelakangi Pulau Babi di Kaibobo

(Hari ke-10 di Seram Bagian Barat)

Negeri dengan riwayat religios-mistik. Cuma itu bayangan saya tentang Kaibobo.

Kaibobo, berdasarkan hikayat yang pernah dituturkan Pak Gasper, Asisten I Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Barat di hari kedua kehadiran saya dan tim pendamping dari Jakarta dan Ambon, dulunya banyak ditumbuhi rerumputan sehingga menjadi daerah pengembalaan kambing pada masanya. Namun ironisnya, hari ini, jangan bermimpi menemukan kambing di Kaibobo!

Kami memulai perjalanan pukul 10 pagi. Untuk mengantisipasi kesulitan mencari makan di jalan, saya mengusulkan agar kami membawa bekal. Namun Bang Remon bersikeras menolak. Nanti saja, katanya. Nggak sampe 50 kilometer kok, tegasnya kemudian.

Baiklah. Saya nurut saja. Namun, saya tetap membeli sebungkus roti kacang dan dua botol besar air mineral untuk jaga-jaga. Kabar tentang jalan utama Kaibobo yang membelah perbukitan, membuat saya senantiasa bersiaga. Mengharapkan toko makanan atau kedai berdiri di atas bukit, adalah kesia-siaan. Bang Reimon tampaknya mau protes ketika saya keluar dari toko dengan kresek di tangan, namun ketika saya menggantungkan belanjaan itu di cantelan tiang stang motor, laki-laki bermarga Manuputty itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Mungkin percuma, pikirnya. Toh sudah dibeli juga.

Hampir setengah jam berada di sepeda motor, kami bertemu kembali dengan gerbang piru. Menyadari hal itu, serta-merta saya bertanya, “Tidakkah ini arah yang sama dengan dengan perjalanan kita ke Hualoy?”

Bang Remon mengangguk. Walaupun berada di boncengan, saya bisa melihat gerakan kepalanya. “Tapi seperti beta bilang, Kaibobo ini dekat.”

Oh, saya mengerti. Meskipun begitu, tak urung, saya pun melanjutkan pertanyaan, “Bang Reimon pernah ke sana?”

“Belum.”

Lalu, bagaimana Abang bilang kalau tempatnya lebih dekat? Sebenarnya, saya ingin bertanya, “Bang Reimon punya keluarga atau teman atau kenalan di Kaibobo?”. Namun saya memilih untuk tidak melanjutkan. Tiba-tiba saya teringat kredo perjalanan saya di Pulau Seram ini: Cara menikmati perjalanan adalah dengan membiarkan matamu tertutup kain!

Plank yang menipu. Kaibobo masih jauh eui!

Tampaknya Bang Reimon benar. Kaibobo memang tidak sejauh Hualoy. Tak sampai satu jam kami sudah bertemu dengan sebuah papan bertuliskan “Kaibobo” disertai arah panah ke kanan. Alhamdulillah, batin saya, sampai juga akhirnya.

Sekitar lima puluh meter setelah berbelok, kami bertemu dengan sebuah gerbang. Saya meminta Bang Reimon berhenti karena saya tertarik dengan miniatur perkampungan yang mengingatkan siapa pun yang melihatnya dengan peristiwa kelahiran Yesus Kristus.

Miniatur gua tempat lahirnya Yesus Kristus di dekat gerbang kedatangan

Beberapa menit kemudian Bang Reimon harus membunyikan klakson karena beberapa anak perempuan setempat sedang bermain di tengah jalan. Hal itu mengingatkan saya dengan jalan provinsi di Tihulale yang begitu ramai. Dari Bang Reimon saya baru tahu kalau di negeri itu, penduduk setempat biasa bermain di tengah jalan. Bahkan, masih kata Bang Reimon, ia pernah hampir menabrak penduduk yang tidur-tiduran di jalan Trans Seram Tihulale. Tapi, tampaknya anak-anak tadi sekadar memanfaatkan kelengangan jalan, bukan menjadi kebiasaan yang mengganggu kepentingan umum.

Anak-anak perempuan bermain di tengah jalan

Sepuluh manit kemudian, saya baru sadar kalau perjalanan ini sepertinya tidak mudah. Kami kerap berhadapan dengan jalan koral yang turunan, tanjakan, dan kelokan yang sangat Ekstrem. Beberapa kali saya mohon izin turun dan memilih berjalan kaki ketika kami bertemu dengan jalan menurun yang belum diaspal. Saya tak mau ambil risiko, keringnya permukaan jalan berpotensi mengolengkan kendaraan. Tidak awas sedikit, sepeda motor kami pasti terbalik.

Ketika memasuki jalan tanah, di dekat kali kecil di tengah hutan, saya melihat pemadangan tak lazim. Penduduk setempat menjemur pakaian dengan cara membentangkannya di atas rerumputan.

Di siang yang terik, jalan koral yang gembur sangat membahayakan bagi kendaraan roda dua

Hingga setengah jam perjalanan, pemandangan di kiri-kanan jalan hanya berupa hutan sagu yang diselingi pohon-pohon tak bernama yangbrimbun. Ketika melewati sebuah tanjakan, mata saya menangkap hamparan pohon kayu putih di sisi kanan. Saya baru ingat, meskipun kerap saya lihat, saya belum pernah memetik daun yang ekstraknya dijadikan minyak yang berkhasiat menghangatkan, menyegarkan, atau bahkan memulihkan keadaan badan yang tidak fit. Seakan ingin menunjukkan “cara efektif” mendapatkan aroma kayu putih yang kuat, di hadapan saya Bang Reimon meraut seranting kecil daun dengan tangan kanannya lalu langsung meremasnya. Saya pun menirunya. Ketika remasan daun itu saya dekatkan ke hidung, aroma minyak kayu putih yang keras mengisi relung indera penciuman saya.

Pohon minyak kayu putih yang menyerupai semak-semak

Mungkin tidak banyak yang tahu, kalau tidak semua pohon kayu putih itu tinggi-tinggi sebagaimana pohon pada umumnya, sebagaimana bayangan saya sebelumnya. Di seberang Gedung Nunusaku dan di dekat Istana di Atas Bukit (demikian saya menyebut gedung DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat yang terdapat di dataran tinggi Piru, pohon kayu putih tumbuh menyerupai semak-semak berbatang kecil, seperti pohon bunga sedap malam atau bahkan semak bunga melati. Di dekat Gedung Nunusaku, bahkan saya pernah melihat orang-orang memetik daun kayu putih seperti serombongan pemetik teh, saking rendahnya pohon itu.

“Kaibobo sepi sekali ya, Bang?” celetuk saya ketika hampir satu jam sejak belokan dari jalan Trans Seram tadi tapi saya belum juga menemukan permukiman.

“Kita memang belum tiba di Kaibobo,” jawab Bang Reimon santai.

“Beneran, Bang?!” Nada suara saya meninggi.

“Lalu gerbang di awal tadi?”

“Itu Dokyar!”

Dokyar? Ah sudahlah. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. “Wah jauh juga ya, Bang?” celetuk saya kemudian.

“Iya nih,” Bang Reimon ikut-ikutan mengeluh. “Kok nggak ada tanda-tanda kehidupan, ya?”

“Lho kok Bang Reimon balik nanya?” Saya mulai sewot.

“Kan memang beta belum pernah ke sini.”

Saya diam.

Bang Reimon menghentikan laju sepeda motor. “Lihat itu!” Ia menunjuk tanjakan yang sangat tinggi. “Apa kita mau lanjut?”

Turunan-tanjakan seperti ini menjadi ‘santapan’ sepanjang perjalanan

Saya masih diam. Kalau kami berputar balik, perjalanan ini akan sia-sia. Kepenasaran saya pada rupa negeri muslim yang hari ini sudah menjadi negeri kristen itu takkan terbayarkan. Memang, harus saya akui, dibandingkan ke Hualoy atau Telaga Tenggelam, medan ke Kaibobo memang lebih melelahkan dan ‘membahayakan’. Seharusnya kami melalui medan ini dengan mobil, batin saya sedikit menyesal.

“Bagaimana?” Bang Reimon menoleh ke belakang.

“Saya tak punya ide, Bang.”

Baru saja Bang Reimon hendak memutar balik stang sepeda motornya, saya memberanikan diri menceletuk, “Bagaimana kalau di balik tanjakan itu ternyata ada permukiman,” suara saya seperti bergumam.

“Jangan banyak gerak, ya!” instruksi Bang Reimon,m cepat, bersamaan dengan gas yang ditariknya maksimal.

Motor kami melaju naik.

“Kalem-kalem, Bang!” Saya menepuk pundaknya.

“Iya, kalem-kalem,” jawabnya tenang. Kosakata “kalem-kalem” yang berarti “pelan-pelan” memang pertama kali saya dengar darinya.

Saya memekik tertahan. Saya bertakbir atas apa yang terbentang di hadapan. Tidak, kami memang tidak menemukan opermukiman. Tapi kami menemukan yang sejatinya kami cari.

Kami menemukan surga kesekian di Seram Bagian Barat. Hamparan perbukitan, laut dan langit yang biru, dan sebuah pulau di tengah-tengahnya membuat saya matikata. Tiba-tiba saya teringat dengan kata-kata Bu Nani Si Pemilik Amadeus dalam sebuah percakapan. “Nanti pertama kali masuk Kaibobo kalian akan disambut Pulau Babi atau Pulau Kasa yang indah!” Oh, bagaimana saya baru mengingatnya saat ini.

“Bagaimana, Bang?” tanya saya seraya merekam keindahan Kaibobo dari ketinggian dengan ponsel.

“Lanjuuut!”

Benarlah! Setelah dua kelokan dan tiga tanjakan-turunan kami mendapati ‘surga’ itu makin nyata di depan mata. Dari atas rusbang bambu di ketinggian Kaibobo, sebuah pohon pandan huta pada mulanya mengganggu pemandangan. Namun saya keliru. Ternyata pohon itu justru seperti membagi lautan di hadapan kami menjadi dua. Menjadi laut kembar. Menyempurnakan panorama yang menyegarkan mata itu.

Panorama Kaibobo

“Mengapa tidak ada kambing-kambing di Kaibobo?” Tepat pukul satu siang, ingatan saya melenting pada pertanyaan yang saya ajukan pada Pak Gasper sembilan hari yang lalu itu.

“Karena satu dan lain hal,” jawabnya diplomatis.

“Lebih spesifik, Pak?” Saya ingat sekali, betapa bersemangatnya saya mendesak beliau.

“Karena sihir!” jawabnya cepat. “Hingga hari ini, penduduk Kaibobo seperti makan kutukan atas ‘sihir’ itu,” lanjutnya. “Orang-orang Kaibobo asli selalu gagal memelihara kambing. Ada-ada saja hal!yang akan membuat kambing peliharaan mereka. Misalnya kambing itu terkena penyakit atau lain sebagainya. Hal sebaliknya terjadi pada babi. Di negeri itu, babi-babi itu tidak memerlukan pemeliharaan khusus. Hewan-hewan itu sehat dan beranak-pinak dengan sendirinya.”

Kamu, iya kamu, rela membiarkan saya sendirian saja di rusbang bambu ini?

Saya sebenarnya ingin bertanya bagaimana itu bisa terjadi. Namun kata “Sihir” yang kadung melekat di kepala membuat saya membatalkan niat itu. Ah, seharusnya saya tidak lupa menanyakan satu hal padanya.

“Apakah keindahan alam di Kaibobo juga buah dari sihir?”*

Kamariang, 20 April 2018

Comments
Loading...