education.art.culture.book&media

Profil

CREATIVE’S NEVER JOBLESS

(Mengubah Pola Pikir a la bennyinstitute)


Keberadaan bennyinstitute di tengah-tengah keramaian lalu lintas dan aktivitas perdagangan, tidak sedikit pun membuat saya dan istri untuk memindahkan pusat kreativitas seumur hidup itu, begitu kami menyebut lembaga pendidikan dan kebudayaan yang kami dirikan pada 2007 itu. Dalam sejumlah obrolan lepas, kami dan para relawan memikirkan cara terbaik untuk membuat lembaga kami berdaya, menjalankan fungsi secara efektif dan efisien. Karena kami semua saat itu adalah pengurus dan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Lubuklinggau dengan kecakapan bahasa Inggris yang mumpuni ditambah fashion mengajar yang sudah tumbuh-rimbun dalam semangat, kami tidak hanya menyelenggarakan pertemuan rutin terkait kepenulisan, tapi merilis program kursus bahasa Inggris. Kami membagi kelas dalam 4 tingkat, khusus tingkat pertama kami tidak memungut bayaran, meskipun tetap kami berikan sertifikat. Bahkan, sebagian besar bersedia melanjutkan pembelajaran yang level-level berikutnya yang berbayar. Dari testimoni mereka, salah satu yang menarik minat mereka adalah karena kami berhasil merumuskan dan mengaplikasikan pola belajar bahasa Inggris berbasis “Story alias Cerita” yang menyenangkan. Kami memadukan “Story-Sharing” dan “Story Writing” sehingga, tanpa kami sadari, peserta didik kami bukan hanya dibekali kecakapan bahasa Inggris, melainkan juga kematangan dalam mengungkapkan gagasan, diskusi, debat, hingga menuangkan ide dan uneg-uneg ke dalam sebuah tulisan untuk dibahas bersama. Hingga kini, kursus bahasa Inggris ini telah meluluskan 1000 peserta didik dari masing-masing level.

Tahun 2008, di bawah payung FLP, anak-anak kelas bahasa Inggris  bennyinstitute justru menerbitkan buku kumpulan cerpen. Ini sungguh lompatan yang tak pernah kami bayangkan. Atas dasar itulah, kami pun membuka kelas menulis. Antusiasme pun tak bisa kami bendung. Para peserta berasal dari pelbagai usia dan latar belakang pekerjaan. Tahun 2012 kami memutuskan mendirikan penerbit yang konsen pada konten lokal. Pada 2013, mengingat kapasitas yang kami miliki tidak mampu menampung peminat kelas menulis, kami bekerjasama dengan Dinas Perpustkaan dan Arsip Daerah Kota Lubuklinggau. Kami pun mencoba memberdayakan potensi relawan dan alumni kelas-kelas yang sudah kami selenggarakan. Alhasil, pada 2013, kami dipercaya untuk menyelenggarakan konser puisi yang dipadati hampir 1000 penonton di Gedung Kesenian Kota Lubuklinggau. Pada 2014 kami membuat film pendek kebudayaan yang pada mulanya ditujukan untuk mematangkan kecakapan peserta dalam menulis skenario sekaligus melatih para relawan dan alumni yang memiliki minat dalam produksi film. Film bertajuk Majasenja itu ternyata mendapatkan penghargaan sebagai Film Favorit Sumsel Art Festival 2014. Di tahun yang sama, kami dipercaya pemda Lubuklinggau untuk sepenuhnya mengelola majalah Bisa yang didanai oleh APBD.

Hingga kini, bennyinstitute telah menyelenggarakan banyak kelas kreatif secara rutin di antaranya:

  1. Story Sharing (khusus bahasa Inggris)
  2. Story Writing (khusus bahasa Inggris)
  3. Bennyinstitute Writing Class
  4. Bennyinstitute Acting Class
  5. Public Speaking for Company

Kami juga memiliki sejumlah lini kreatif yang digerakkan oleh relawan dan alumni yang mumpuni;

  1. Sinematography Team
  2. Penerbitan bennyinstitute
  3. Penelitian dan Pengembangan Sejarah dan Budaya
  4. Tim Penyunting Naskah Lokal
  5. Tim Seni Pertunjukan
  6. Public Speaking Class
  7. Creative Class to School
  8. Workshop dan diskusi

Sejumlah kelas dan lini kreatif itu kami buka dan gerakkan sembari menanamkan visi kepada semua peserta, bahwa gambaran masa depan harus mereka skets mulai hari ini. Yang menentukan akan menjadi apa mereka kemudian sangat ditentukan oleh kecakapan-kecakapan yang mendarah-daging dalam diri mereka. Dan kelas-kelas yang kami selenggarakan tidak pernah secara spesifik bertujuan membangun mereka dengan skill tertentu, lebih dari itu: untuk merangsang mereka bisa berpikir kreatif, cepat beradaptasi dengan perubahan, dan yang paling penting adalah memiliki kepekaan sosial. Dan hingga hari ini, kami telah membuktikan itu, lewat serangkaian kegiatan yang kami selenggarakan (kompilasi kegiatan terlampir), kami mencoba untuk terus kreatif. Implikasinya, relawan dan alumni yang telah merasa memiliki cukup bekal untuk berdikari, pamit untuk tidak bisa aktif karena telah memiliki amanah di tempat yang baru—bekerja atau pindah daerah, dan bagi kami itu adalah dinamika biasa, karena itu adalah wujud keberhasilan kami dalam membangun kreativitas mereka. Apalagi, keadaan membuktikan kalau selalu saja datang mereka—baik alumni kelas maupun bukan—yang ingin mengambil bagian dari kegiatan-kegiatan kami.(*)