education.art.culture.book&media

BRATISLAVA, BLABLACAR, ISLAMIC CENTER, & PUASA 18 JAM

Residency Story 25

———————————-

Setelah menikmati keindahan danau dari jendela yang membelakangi dipan saya, saya ke kamar Ethile yang tampaknya baru saja terjaga. Hebat! Kalau sedang tak ada jadwal, Ethile memang konsisten. Termasuk perkara bangun pagi. Konsisten bangun pukul 10!

Dari jendela kamarnya yang berlawanan arah dengan danau, saya jadi tahu kalau Revlisjak Apartemen tidak terletak di pinggiran Bratislava sebagaimana tebakan saya malam tadi. Ternyata salah satu sisi tempat kami menginap ini berdampingan dengan square yang memanjang. Pukul 10 pagi ini, meja dan kursi dikeluarkan dari gedung-gedung tua berarsitektur Abad Pertengahan yang megah itu. Ternyata di sepanjang square ini, terhampar kafe-kafe. Beberapa pengunjung mulai memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Memesan kopi, bir, jus, beserta kue kering atau kacang.

Dari Ethile, saya jadi tahu kalau kawasan Hviezdolavovo adalah bagian dari kota tua Bratislava yang banyak dikunjungi wisatawan. “Meskipun mungkin tidak sesesak Charles de Bridge di siang hari, tapi sebentar lagi semua bangku kafe akan terisi.” Ethile membandingkannya dengan landmark kota Praha itu. “Kamu pasti penasaran, ‘kan?” Ia melirikku seraya membuka jendela. “O ya,” katanya kemudian. “Aku sengaja tidak membuatkan teh sebab …”

“No worry, Eth,” potongku cepat. Lagian, kamu juga baru bangun pukul segini, ujarku dalam hati. “Saya sudah menjerang air di ketel, saya …”

“No, Benn!” Kali ini gantian ia memotong kalimat saya. “Selain Paris, old town Bratislava ini merupakan tempat paling cozy untuk ngopi ditemani …”

“Croissant!” sambung saya cepat.

“Ini bukan Paris,” sanggahnya. “Aku sarankan kamu mencoba Ultimate Brownies-nya, meskipun entah mengapa aku sangat ingin menikmati wafel siang ini.”

Saya menurut saja. Ethile minta waktu 7 menit untuk mandi dan siap-siap. Soal bangun pagi, ia memang selalu kalah dengan saya (wong dia nonmuslim dan tak pernah salat subuh, bagaimana bisa mengalahkan saya!), tapi soal kecekatan mandi dan berpakaian, ia membuat skor kami jadi imbang.

Tiga puluh menit kemudian kami turun. Hari sudah menunjukkan pukul 11. Kami kesulitan mencari kursi. Harapan satu-satunya adalah Starbucks, ujar Ethile. “Di sini,” katanya meyakinkan, “Starbucks justru kalah pamor dengan kafe-kafe setempat.”

Ethile benar. Turis-turis sudah memenuhi kursi yang baru satu jam yang lalu saya lihat sedang ditata pelayan atau pemilik kafenya. Tapi … apa benar Starbucks kurang peminatnya? Saya tentu saja penasaran.

Lagi. Ethile benar. Di Starbucks kami menemukan lebih dari empat kursi kosong, termasuk di bagian luar. Ethile mengajak ngopi di bawah siraman matahari langsung. Awalnya saya menolak, tapi Ethile kadung membawa kopi dan kue pesanan kami ke luar. “Coba dulu. Kamu ntar tahu kalau ngopi di tempat terbuka tengah hari itu bukan sekadar gaya-gayaan.”

“Buat kalian orang Eropa, gak masalah kali, Eth.”

“Jangan ngotak-ngotakin ah, rasis juga lho lama-lama.”

“Puih! Kamu ngarangnya lompat materi!”

“Sebagai warga dunia, kita kudu lentur. Paling nggak, coba merasakan perbedaan kultur dengan menjadi bagian di dalamnya.”

“Termasuk kebiasaan?”

“Itu bagian dari kebudayaan, Benn.”

Saya nyengir. Bagaimanapun, agak keberatan saya “diceramahi” anak 21 tahun tentang antrolopologi yang justru sedang saya telaah dengan sejumlah narasumber dalam perjalanan ini.

Layar ponsel saya menyala.
Ada email.
Dari Daniel.
Kening saya berkerut sebelum kemudian saya berhasil mengingat sesuatu.

“I’ve got mail, Eth. From Daniel.”

“Daniel?”

Saya mengangguk. “Responden yang saya temui dalam perjalanan dari Austria-Slovenia. Ingat?”

“Yang mengencani gadis Amerika itu?”

Saya tertawa. Ethile masih ingat rupanya. “Saya gak enak hati nih, Eth. Dia masih ingat saya, sementara saya yang punya gawean justru nyaris lupa dengan janji itu.”

“Apa katanya?” Ethile menyeruput latenya.

Saya membuka email tersebut dan membacanya. Ya Allah, bagaimana ini bisa terjadi.

“Ada apa, Benn?” Ethile menangkap ekspresi keterkejutan saya.

Saya masih diam.

Ethile mengambil ponsel saya.

Saya diam. Menantikan reaksinya.

“Ini tidak mungkin, Benn.”

“Aku tak mengerti, Eth.”

Ethile terdiam juga.

Daniel menulis kalau Erica Hopman, gadis Amerika yang ia kencani di Slovenia, ternyata menjadi salah satu korban penusukan di Plivitce. Saat ini Daniel sedang bersamanya di Zagreb.

“Jadi dia tahu kalau kita diburu polisi?”

Saya menggeleng. “Sepertinya tidak. Daniel cuma ingin memastikan apakah saya baik-baik saja sebab saya sempat cerita di kereta, kalau saya juga akan ke Plivitce.”

“Apakah dia juga menemani Erica di Plivitce?”

“Saya nggak tahu itu, Eth. Dia tidak memberitahu tentang itu. Penting kutanyakan?”

Ethile berpikir.

“Rasanya tidak, ‘kan?” Saya keburu menjawab pertanyaan sendiri. “Jadi bagaimana selanjutnya ini, Eth?”

“Mari kita kembali ke apartemen. Berkemas. Dan segera ke Zagreb!” Ethile bangkit.

Saya buru-buru menghabiskan late dan ultimate brownnies di meja. “Kamu sudah pesan tiket bus, Eth?”

“Kita naik mobil.” Ethile bergegas. “Numpang mobil keren!”

“Maksudmu?” susul saya

“Aku mengakses Blablacar.”

Saya manggut-manggut. Meski belum pernah mencobanya, tapi Blablacar populer di Eropa sebagai pintasan transportasi alternatif yang berkelas. Ya, Blablacar adalah situs yang menyajikan informasi keberangkatan antar negara/kota dengan armada pribadi. Jadi kita bisa menumpang untuk tujuan yang sama dengan membayar sesuai besaran yang ditetapkan oleh si pengendara. Pemilik mobil akan menetapkan tempat penjemputan—biasanya searah jalur keberangkatannya. Biasanya ia akan memberikan informasi detail terkait waktu penjemputan (ia akan wanti-wanti agar calon penumpang sudah berada di tempat sebelum waktu yang tertera di web), kemampuan berbahasa Inggrisnya, jumlah penumpang yang ia terima, kebersediaannya menerima bagasi besar atau tidak, menerima atau menolak permintaan berhenti di rest area, hingga model pembayaran yang ia inginkan: tunai atau kartu kredit. Meskipun begitu, Blablacar bisa survive karena eksistensi sopir maupun penumpang dalam web tersebut berbasis review. Ya, sopir akan mereview perangai penumpang, pun sebaliknya. Daftar review inilah yang jadi pegangan sopir dan pelanggan dalam memilih sopir/kendaraan sekaligus pelanggan.

“O ya, Benn, terbukti, ‘kan?” ujar Ethile tiba-tiba tanpa menghentikan langkah cepatnya. “Ngopi di bawah siraman matahari langsung tidak membuat tubuhmu terbakar, ‘kan?”

Ah, Ethile! Sempat-sempatnya ia menunjukkan kemenangannya saat hectic seperti ini. Tapi Ethile memang benar. Siang hari tak terasa membakar sebab angin yang berembus sangat dingin dan kencang. “Gimana? Dapat mobilnya?” Saya tak ingin membiarkan Ethile larut dalam kemenangan kecilnya.

“Sabar, Benn.” Ethile tersenyum. “Cepat kok. Aku sedang mencari yang tercepat saat ini!” Ethile berjalan dengan pandangan yang tak teralihkan dari gawainya.

“Oke. Semoga dapat!” Saya mempercepat langkah.

Lima menit kemudian kami sudah tiba di apartemen dan setengah berteriak Ethile memberi informasi kalau sebuah BMW menerima permintaannya. “Tapi sudah ada satu penumpang lain. Kamu oke?”

“Artinya isi mobil itu cuma 1 sopir tiga penumpang, ‘kan?”

Ethile mengangguk. “Sopirnya menulis: perjalananan akan cepat sebab saya tak akan berhenti di rest area mana pun. Pastikan Anda membawa minuman dan snack yang cukup. Saya hanya menenggang penumpang yang ingin buang air kecil. Begitu tulisannya. Gimana, Benn? Ambil, Benn!”

Saya tak menjawab. Ethile juga sudah tahu harus melakukan apa. Saya membuka pintu apartemen, memastikan tak ada yang tertinggal, menurunkan koper, dan berjalan 10 menit ke selatan, tempat yang menjadi titik penjemputan.

“Ke mana kita menunggunya?” tanya saya seraya membenarkan topi pet yang miring.

“Islamic Center.”

Saya refleks menoleh. “Di Bratislava ada Islamic Center? Di mana?”

“Ya Allah, lagakmu berlebihan sekali. Ini kita akan ke sana. You’ll see-lah!” Ethile mulai kesal.

Makin dekat ke titik penjemputan, saya makin tak sabar melihat langsung keberadaan Islamic Center yang kata Ethile merangkap sebagai tempat badah itu.

Sesampai di lokasi penjemputan, saya melihat plank bertuliskan Islamic Center dekat sebuah lorong dalam jarak 50 meter ke arah barat. Wah, ini termasuk pusat kota, batin saya. Refleks saya minta izin pada Ethile untuk masuk ke dalam sebentar.

“Ingat jadwal, jangan lama!” Ethile mengingatkan.

“Please call me when BMW comes!” Saya nyengir seraya berlari ke Islamic Center. Sungguh, saya seperti menemukan oase.

Karena salam saya tak mendapat jawaban meskipun pintu semacam satu kavling gedung itu terbuka, saya memutuskan langsung masuk setelah melepaskan sepatu. Saya memandang sekeliling dan mendapati beberapa orang sedang mengaji. Sepengamatan saya, Islamic Center ini memang tak terlalu luas, namun cukup untuk menampung lebih 40 orang jemaah sehingga salat Jumat bisa diselenggarakan di sini. Meski diapit berbagai klab dan restoran, tampaknya aktivitas keagamaan sama sekali tidak terganggu.

Di salah satu ruangan yang agak menyudut, saya melihat orang-orang berkumpul. Sepertinya sedang ada kajian, feeling saya. Saya pun mendekat. Setelah membungkukukan badan di pintu masuk dan seorang berwajah Timur Tengah sedang memberikan materi menjulurkan tangannya sebagai isyarat mempersilakan, saya pun mengambil tempat duduk di bagian belakang. Saya pun bergabung dengan jemaah lain yang jumlahnya sekitar 20 laki-laki dan 10 perempuan itu. Beberapa jemaah sempat melihat ke arah saya dan itu membuat saya sedikit grogi, namun itu hanya sebentar, sebab semua khusyuk mendengar materi kajian yang disampaikan dalam bahasa Inggris itu. Saya juga mencuri-curi pandang untuk memastikan wajah para jemaah ini—kira-kira dari mana mereka berasal. Tampaknya sebagian besar berwajah Eropa. Bulu kuduk saya merinding.

Baru beberapa menit menyimak kajian, saya langsung ngeh kalau materi yang disampaikan adalah seputar persiapan menghadapi Ramadan. Sayangnya, majelis kadung berakhir. Usia bersalaman dengan jemaah lain, saya memanfaatkan kesempatan itu untuk mengobrol dengan si pemateri yang tak beranjak dari tempat duduknya.

“Di sini, jemaah asal Indonesia, Bosnia, dan Arab Saudi, menjadi pengajar membaca Alquran bagi para muallaf yang sebagian besar berkewarganegaraan Slovakia, Rusia, dan Finlandia. Mereeka juga kadang merangkap sebagai pemberi materi kajian dan khotib salat Jumat. O ya, mualaf di sini belajar mengaji dengan metode Iqro,” ujar Sammy Ibrahim, laki-laki paroh baya asal Saudi Arabia yang tadi memberikan kajian. “Kajian praRamadan ini penting sebab muslim di sini, apalagi Muallaf, harus tahu kalau durasi puasa di Slovakia adalah 18 jam. Secara psikis, mereka harus siap agar tidak menganggap puasa itu sangat melelahkan apalagi menyiksa.”

“Wah 18 jam ya?” Saya refleks terperangah.

“Ya, subuh pukul 4, buka puasa pukul 10 malam.”

Saya geleng-geleng kepala.

“Saya sekaligus menyampaikan manajemen buka dan sahur terbaik, sesuai pengalaman.”

“Maksudnya?” Saya jadi benar-benar ingin tahu.

“Disarankan, usai berbuka, jangan langsung makan berat. Makan berat di sarankan tengah malam usai tarawih dan tadarusan. Ini dimaksudkan agar status makan malam merangkap sebagai makan sahur. Jadi, tak perlu repot-repot untuk mempersiapkan makanan dua kali. Selain alasan kepraktisan, juga hemat. Di Eropa, kalau managemen keuangan lemah, kita akan keteteran,” beber Sammy dengan wajah semringah.

Saya mengangguk-angguk.

“Tapi itu sekadar saran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan. Kalau ada yang ngotot memisahkan makan malam dan sahur dengan alasan sahur terbaik adalah sahur yang diakhirkan, tentu saja kami tak ingin membenturkannya dengan saran kami di atas. Silakan saja. Asal sanggup dan niatnya kuat, insya Allah akan terasa mudah.” Pengajar asal Mekkah itu menepuk-nepuk bahu saya dengan penuh rasa persaudaraan. Ya, penuh persaudaraan. Saya bisa merasakan itu.

Baru saja saya hendak mengorek lebih jauh tentang Islam di Brastislava, ponsel saya berdering. Ethile missedcall. Saya tahu maksudnya. Saya pun pamit. Saya dan Sammy berpelukan. Ia mendoakan agar saya bisa melakukan perjalanan dengan lancar dan berulang kali mengingatkan saya untuk tidak meninggalkan salat lima waktu, di mana dan kapan pun. Tentu saja saya sangat berterimakasih.

Di luar, saya melihat Ethile sedang memasukkan koper saya di kap belakang BMW berwarna hitam mengilap. Setengah berlari saya menuju titik penjemputan itu.

Di dalam mobil, saya menyesal sekali karena tak sempat menunaikan salat sunah. Tiba-tiba mata saya hangat. Ramadan tak lama lagi. Saya rindu suasana puasa di kampung. Saya rindu rumah. Rindu keluarga.

“Benn,” Ethile menepuk bahu saya. “Apa yang kamu temui di dalam lorong sana? Kamu dikasih minum apa? Kenapa kamu diam begini? Kamu sehat? Hallo? Benn?!”

Ah, tak mungkin saya bilang kalau saya kangen rumah saat ini.***

Bratislava, 2019

Comments
Loading...