education.art.culture.book&media

DARINYA, KEMBALI PADANYA

Residency Story 27

______________________

Andrej tiba-tiba menepikan mobilnya. Saya dan laki-laki yang sedari tadi dipanggil Haji (bahkan saya dan Ethile sempat mengira namanya adalah Haji) yang sedang euforia merayakan pertemuan itu refleks menoleh ke arahnya. Sementara Ethile, seperti kebingungan, ke arah mana kepalanya harus menoleh; Andrej atau kami berdua. “Ada apa, Drej?” Akhirnya saya pecahkan keheranan itu.

“Hei, bagaimana semua ini terjadi?” teriak Andrej.

Kami hanya memandangnya. Kami masih belum mengerti apa maksud kata-kata pemilik BMW itu.

Ethile menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga tersenyum sendiri. “Bagaimana kalian berdua bisa saling kenal? Tidakkah ini sesuatu yang … ah!” Ethile seperti kesal dengan kebetulan ini.

Kami berdua tertawa.

“Sekarang lagakmu seperti orang cemburu, Eth!” olok Andrej, tentu saja dilanjutkan dengan tertawa.

“Dasar lu!” Ethile menggigit bibir bawahnya dan memukul bagian belakang jok kursi Andrej. “Benn, Andrej bela-belain menepikan mobilnya demi … ya anggaplah … demi merayakan reunian kalian di BMW ini!”

“Nah, kamu ternyata melow, Eth!” Andrej menjadi-jadi.

“Jadi, ceritakan saja bagaimana semua ini terjadi?” Kali ini Ethile memasang muka masam. “Bagaimana kalian bisa kenal. That simple!”

Tawa Andrej mereda. “Ethile benar, Benn,” katanya seraya mengangguk-angguk. Ia kemudian mengacungkan telunjuknya ke arah kami berdua.

“Jadi?”

Saya pun menceritakan semuanya. (Buat yang belum tahu bagian ini, sila baca Residency Story 1 https://web.facebook.com/search/top/…).

“Saya tak tahu seandainya tidak bertemu Faisal di bagian imigrasi Saudi Arabia,” imbuh saya kemudian.

Ethile dan Andrej geleng-geleng kepala.

“Bagaimanapun saya memiliki pengalaman yang tidak begitu menggembirakan dengan imigrasi di Jeddah, yaaah … seperti yang tadi saya ceritakan.”

“Jadi, namamu bukan Haji?” Ethile menoleh ke arah Faisal.

“No.” Faisal geleng-geleng kepala. “Faisal Hasan,” jawabnya jelas.

“Sorry,” kata Andre pada kami semua. “Aku refleks memanggilnya Haji sebab aku punya pengalaman terkait ini. Pamanku yang mualaf 10 tahun yang lalu, saban ketemu teman-temannya yang menurutku berwajah Arab semua, menyapa mereka dengan panggilan Haji. Aku sekarang baru ingat nama penumpang di sebelahku ini Haji. Karena kami tidak ngobrol di sepanjang perjalanan, aku pun lupan dan refleks menyebutnya Haji ketika kita membincarakan dirinya tadi. Sekali lagi sorry, Faisal.” Andre tersenyum ke arah Faisal yang segera membalas senyumnya.

“No worries, Dude. I could understand,” ujar Faisal kemudian. “Mobilmu ini membawa berkah. Aku bisa ketemu Benny dan kenalan baru seperti kalian di sini.”

Kali ini senyum Andrej lebih lepas, sebelum kemudian ia tiba-tiba meneriaki Ethile, “Come on, sadar diri, Eth. Time is theirs now!”

Saya tak mengerti apa yang Andrej maksudkan, tapi daya tangkap Ethile tampaknya lebih baik dalam hal ini. Fasilitator saya itu keluar dari mobil, menuju pintu depan yang Faisal duduki, membukanya dan menyilakan Faisal ke belakang. “Bernostalgialah.” Lalu ia tertawa.

Faisal juga tertawa. Ia pun melangkah keluar.

Begitu Faisal sudah duduk di samping saya, Andrej melajukan BMW-nya lebih cepat dari biasa.

“Benn, pertemuan kalian perlu dirayakan dengan …”

“Eth, jangan mulai …” potong saya.

“Kamu punya lagu melow, Drej?” Ethile memasang wajah siap tertawa.

Namun malah Andrej yang tertawa duluan melihat tingkah pemuda beralis tebal bermata elang itu mengolok-olok pertemuan saya dan Faisal.

“Atau … kalian di belakang sana justru lebih butuh irama hiphop atau dance sebagai soundtrack kegembiraan?” Ethile benar-benar memanfaatkan keadaan ini.

Andrej memutar tombol kuning pada tape sebelum kemudian beberapa kali suara kemerosok terdengar, seperti radio yang sedang mencari frekuensi yang tepat. “Jelang sore begini, biasanya radio nasional Nagykanisza autoplay lagu-lagu klasik yang megah dan keren!”

Apa? Klasik?

Lalu mengalunlah lagu-lagu seriosa dengan iringan orkestra yang kami semua tak tahu judulnya, tapi tampaknya sangat dinikmati oleh Andrej.

“Mengapa kamu tidur saja sepanjang perjalanan sebelum mobil ini melintir ke kanan tiba-tiba tadi?”

“Aku baru sampai di Bratislava malam tadi. Naik Flixbus dari Paris.”

“Dari Paris?” tanya saya tak percaya.

Faisal mengangguk.

“Kalian tahu berapa lama perjalanan darat Paris-Bratislava?” Saya sengaja mengeraskan volume agar Ethile dan Andrej bisa mendengarnya.

“Wah, saya belum pernah bepergian sejauh itu!” seru Andrej.

“Kalau tidak salah 14 atau 15 jam tanpa stop.”

“Kamu pernah melakukannya, Eth?” tanya Andrej sangsi.

Ethile mengangguk cepat. Saya menoleh ke arah Faisal yang mengangkat kedua bahunya.

“Kami bepergian nonstop ke Slovakia di musim panas hanya untuk menghindari orangtua dan guru kami yang bawel!” lanjut Ethile bangga.

“Kami bepergian?” Saya protes. “Orangtua dan guru yang bawel?” lanjut saya. “Kami siapa yang kami maksudmu? Apakah kita di mobil ini mengenal teman semobilmu ke Bratislava itu sehingga kami juga kenal siapa guru dan orangtua yang bawel itu?”

Andrej tertawa. “Aku setuju denganmu, Benn!”

“Kamu bepergian dengan teman sepermainanmu, Eth?” Faisal sudah berani nimbrung rupanya.

Ethile mengangguk cepat. Seraya tangan kanannya memutar tombol volume sehingga lagu klasik itu terdengar jauh, pemuda berdarah Austria-Kroasia itu menoleh ke arah kami bertiga berganti-gantian, demi memastikan kalau kami memerhatikan mimiknya. “Dengan seseorang yang spesial, tentu saja,”jawab Ethile cengengesan.

Saya mengangguk-angguk. “Seseorang yang akan kita temui di Zagreb nanti, Eth?”” Saya mulai menebak. “Aida?” Rupanya saya tak sabar menunggu jawaban.

Belum sempat Ethile menanggapi, Andrej menimpali, “Come on, siapa lagi itu Aida? Your girl friend, Eth? She must be really special, ya?”

Ethile diam. Seperti menyesali sesuatu.

Saya tahu kalau Ethile baru sadar bahwa sedari tadi ia sedang menggali lubang kesedihannya sendiri. “Dia menderita luka tembak, Drej.”

“Luka tembak? Kedengarannya serius?” Damn! Urat kepenasaran Andrej mulai keluar.

“Hei!” seru saya mencoba mengalihkan perhatian. “Saya tak ingin membicarakan apa pun, selain urusan saya dan Faisal yang tiba-tiba skip!”

“Hei, kamu sendiri yang meminta kita menjawab pertanyaanmu tentang lama perjalanan darat Paris-Bratislava!” Ethile tak terima dipersalahkan.

Yes, Ethile menyambut topik saya. Saya pun menggaruk-garuk kepala saya yang pura-pura gatal. “Jadi, bagaimana ceritanya kamu bepergian sejauh itu, Sal,” Kali ini saya kembali pada Faisal. “Dan … hari ini kamu akan melakukan perjalanan 4 jam ke Zagreb, tidakkah ini …” Saya sengaja menggantungkan kalimat. Saya tiba-tiba khawatir Faisal salah tangkap maksud pertanyaan saya.

“Hei, siapa Aida itu?” samar-samar saya mendengar Andrej bertanya pada Ethile.

“Rekanku yang pernah melakukan perjalanan itu bilang kalau pemandangan Jerman dan Austria sepanjang perjalanan akan sangat memanjakan mata. Aku lupa kalau aku belum pernah melakukan perjalanan darat sejauh itu,” terang Faisal.

Ohhh.

“Ayolah, kenapa kamu diam?” Rupanya Andrej masih memburu Ethile.

Saya lekas melambai-lambaikan tangan pada Andrej. Saya melakukan itu karena posisi duduk saya tepat di belakang kursi Ethile sehingga bahasa tubuh saya takkan bisa dilihatnya—kecuali ia melihat ke kaca spion. Saya mengeluarkan kalimat “Please, dont ask him again about Aida !” dengan artikulasi yang jelas tanpa suara, sebelum kemudian memutar jempol di kedua tangan di dekat mata dengan ekspresi murung. Saya senang dengan respons Andrej yang melihat ke arah saya selintas lalu sehingga Ethile tak curiga. Tak berapa lama, Andrej kemudian mengganti topik percakapan.

“Nah sekarang kenapa kamu malah ke Zagreb?” Saya kembali fokus pada Faisal.

Faisal menghela napas dan memegang jambang serta janggutnya beberapa kali.“Itulah, Benn.”

“Itulah kenapa?” kejar saya.

“Kamu dan Benny sudah lama kenal?”

Alhamdulillah. Andrej menawarkan pertanyaan yang ringan pada Ethile.

“Saya kurang teliti. Kami, para relawan yang mengajar berislam di eropa Timur ini di bawah Liga Islam Timur Tengah. Nah penempatan kami diatur oleh lembaga. Yang bertugas di Bratislava adalah Faisal S. Hasan bin Muhammad Ibrahim, sedangkan nama saya tanpa ‘S’ di antara Faisal dan Hasan. O ya, nama ayah kami juga mirip. Saya bin Ahmad Ibrahim.”

Sayup-sayup saya mendengar Ethile menceritakan perihal penugasannya mendampingi saya menjalani residensi. “Benny asyik, kami sering berantem, dan itu sehat untuk menguji secocok apa kami.” Ah, jawaban yang keren, Ehile.

“Apa kepanjangan ‘S’ di antara dua kata namanya itu?” Ingatan saya melipir ke Bratislava Islamic Center.

Faisal menggeleng. “Bisa Syam. Atau …”
“Atau Samy?” sambung saya tak sabaran. Mata saya berbinar-binar menunggu jawaban Faisal.

“Ya, Samy,” jawab Faisal dengan tatapan tak mengerti mengapa saya girang sekali.

“Samy Ibrahim!”

“Hmm, mungkin saja begitu. Kenapa?”

“Saya bertemu dengannya di Islamic Center Bratislava dan sempat berbincang sebentar.”
“Aku bahkan belum ketemu, Benn,” ujar Faisal datar.

Tiba-tiba Ethile memberikan ponsel kepada saya.

“Siapa?” tanya saya refleks tanpa menerima ponsel yang terus berdering itu.

Ethile menggeleng. “Aku temukan di sela-sela tempat minum ini.” Ethile menunjuk tempat menyimpan barang-barang kecil yang terletak di tengah agak ke bangku belakang, Saya ingat sekarang kalau sedari tadi hape saya tidak ada di dalam saku atau ransel. Thanks, Ethile!

Saya melihat ke layar ponsel dan mendapati nomor tak dikenal menelepon. “Halo?”

Tiga puluh detik kemudian saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya di pelantang suara ponsel. “Saya sedang dalam perjalanan, mungkin sekitar dua jam lagi saya akan tiba. Kirimkan lokasi kalian via pesan WhatsApp!”

“Ada yang meninggal?” tanya Faisal cepat. “Atau tertimpa musibah?” Tentu saja ia paham sekali bahasa Arab yang saya bunyikan barusan. Yang berasal dari-Nya, akan kembali pada-Nya.

Ethile memutar kepala ke arah kami, “Siapa, Benn?”

“Telepon dari Daniel,” kata saya cepat. “Erica baru saja meninggal dunia di Zagreb.***

Nagykanizsa, 2019

Comments
Loading...