education.art.culture.book&media

DI PRAHA, SAYA TAKUT, TAKUT SEKALI!

Residency Story 20

————————————

Saya refleks terjaga ketika alarm ponsel berdering. Pukul 5 subuh waktu Ceko. Sepertinya kami mulai memasuki area perkotaan. Berbeda dengan bangunan—termasuk gereja dan gedung parlemen—di Kroasia dan Hungaria yang banyak menghadirkan onion tower—sebutan untuk pucuk menara yang berbentuk seperti bawang alias mirip sekali dengan kubah masjid, di sini, pucuk menaranya justru lancip-lancip. Di kiri-kanan bus, lampu-lampu bangunan masih menyala meski langit mulai menunjukkan warna. Di Eropa Timur, sebagian besar tempat publik membuka layanan pukul 10 pagi, termasuk minimarket dan sejenisnya.

Beberapa saat setelah salat di Regio, bus menepi di semacam terminal yang cukup besar. Ethile terjaga seraya membenarkan topi kupluk yang semalaman menutupi mata—tampaknya ia terbiasa tidur dalam gelap, dalam keadaan lampu dimatikan. “Sudah sampai, Benn.”

“Praha?”

“Bukan. Lubuklinggau kok!” Ethile bangkit, mengambil ranselnya yang ditaruh di kabin di atas kami.

Saya cuma nyengir lalu memastikan tidak ada barang yang ketinggalan sebelum mengejar Ethile di bawah. Rupanya ia telah mengeluarkan koper saya dari boks bagasi di bagian bawah bus. Ethile menggeret koper saya ke Starbucks yang berdiri 50 meter dari tempat bus kami berhenti.

Oh ternyata Starbucks di sini buka subuh. Atau … karena kedai kopi terkenal ini terletak di terminal bus sehingga buka lebih awal, saya tak tahu dan tak terlalu ingin tahu.

“Dua late!” pinta Ethile pada pelayan sebelum kemudian menoleh ke arah saya dan menunjuk meja di sudut kanan. Di sana koper saya sudah bersandar di salah satu kursi dan kursi yang lain ditempati ranselnya. Saya paham maksud Ethile. Tak lama, saya sudah mengamankan meja kami sementara Ethile menunggu pesanan tiba.

Tidak seperti biasa, pagi itu Ethile memesan wafel dan pancake saus raspberry sebagai teman ngopi. “Croissant-nya dingin dan keras!” lapornya tanpa ditanya.

Baru saja saya menyeruput late-tanpa-gula, ponsel Ethile berdering. Ketika Ethile menjawab telepon di tempat, saya memberi kode hendak keluar sebentar. Kami sudah saling memahami. Ada bahasa tubuh tak terdefinisikan yang membuat orang yang sedang berbicara di telepon membutuhkan privasi. Biasanya memang si penelepon yang mengasingkan diri sejenak, tapi saat itu posisi Ethile yang berdempetan dengan antrean yang mengular tak memberinya ruang cukup untuk bergerak. Sayalah yang mengalah. Apalagi dari balik kaca kedai kopi ini saya melihat ada konter penukaran uang di sisi kiri terminal. Saya bermaksud menukar 50 euro dengan krona. Sebenarnya, di Kroasia dan Hungaria kemarin, 50 euro yang saya tukarkan masih menyisakan 300 kuna dan 1300 klorin, tapi saya tak berniat menukarkannya lagi dengan euro atau mata uang setempat. Mengoleksi mata uang negara-negara yang pernah dikunjungi sepertinya patut dipikirkan sebagai bentuk kesenangan sendiri.

Sepuluh menit kemudian, ketika kembali memasuki Starbucks, Ethile masih belum selesai dengan teleponnya. Ah, tar kopinya keburu dingin, batin saya seraya melangkah mendekat. Lagipula sangat mungkin itu adalah panggilan yang baru. Saya pun kembali duduk. Tampaknya Ethile sedang terlibat dalam percakapan sengit dengan seseorang di seberang. Ethile berbicara dalam bahasa yang asing di telinga, meskipun saya pikir saya pernah mendengarnya. Bukan bahasa Prancis, Spanyol, apalagi Inggris!

Saya menyeruput kopi dan menikmati pancake—sebab tampilan wafel di atas meja sudah gumpil di beberapa bagian—seraya sesekali mencuri-pandang ekspresi Ethile yang serius dan sedikit tegang.

“Dari siapa, Eth?” tanya saya begitu ia meletakkan begitu saya ponselnya di atas meja.

Ethile menyeruput kopinya. “No problem …” Ia menggantungkan kalimatnya.

“No problem, but …?” Saya memberi tanda hubung kontradiktif untuk ia lengkapi.

“Kita akan ganti hotel, Benn.”

“Kenapa?”

“Tar kuceritakan, tapi bukan hal serius kok.”

“Beneran tidak serius ya?”

Ethile mengangguk tanpa melihat ke arahku. Ia memotong-motong wafel tanpa memakannya. Saya makin yakin kalau ada yang tak beres. “Ya, trust me lah,” katanya lagi.

Namun saya masih penasaran. Saya makin curiga.

“Mungkin aku akan meninggalkanmu sebentar begitu kita tiba di hotel yang baru nanti.”

“Wah, bagaimana mungkin kamu bilang ini bukan masalah serius?”

“Ya, tidak serius. Aku hanya butuh me-time sebentar saja. Kamu keberatan?”

Aku diam, masih tak terlalu yakin. “Kamu pulang petang atau kita janjian bertemu di mana gitu. Di Charles Bridge atau Astronomical Clock atau …?”

“Kamu janjian sama Pavel Fo kapan?”

“Besok sih sekitar pukul 5 sore.”

“Oh masih besok.”

Saya mengangguk cepat dan menghabiskan potongan terakhir pancake raspberry. Legit, manis dan sedikit asam. Membuat late terasa lebih segar di lidah.

“Di mana janjiannya?” tanya Ethile lagi.

“Karena kami mau membicarakan Kafka, tentu ketemuannya …”

“Oh di Museum of Kafka. Saya tahu. Besok kita jumpa di sana. Saya usahakan sebelum pukul 7 sore besok sudah di sana.”

“Kamu dengar dulu, baru nyolot.” Saya tertawa kecil seraya menunjuk wajah Ethile dengan pisau kue.

Ethile mendongak.

“Besok di Kafka Head. Bukan Musemum Kafka. Tepat di kafe di sebelah karya David Cerny itu.”

Ethile tertawa kecil. “Oukay, Benn. Ayo kita cari hotel dulu.”

“Yakin ganti hotel?”

Ethile tak menjawab. Ia mengambil ranselnya dan berjalan keluar.

Ketika menyelesaikan seruputan terakhir late saya, ponsel Ethile berdering di atas meja. Hadeuh. Kebiasaan—saya geleng-geleng kepala. Saya mencangkingnya dan melihat nomor kantor berkode Kroasia menelepon. Tiba-tiba saya langsung teringat Plivitce.

Di luar, Ethile menerima ponselnya dan berjalan menjauh.

“Dari Zagreb, Eth?” tanya saya cepat ketika Ethile mendekat.

“Bukan. Dari Duvronik. Teman lama. Mau ngajak ketemuan. Mungkin dia menyusul ke Praha.”

“Tapi katamu kamu mau keluar?”

“Belum pasti juga sekarang.”

“Oke, Eth,” suara saya terdengar agak meninggi. Agak kesal juga dengan keplin-planannya. “Hari makin tinggi nih, ayo kita bergegas.”

Kami pun tiba di Al Midas Street. Sebuah hotel tua dengan desain abad pertengahan. Al Midas memiliki enam lantai dengan batu-batu besar yang membangun dinding dan jalannya. Atapnya yang gelap pekat yang menegaskan kalau kami berada di Eropa Timur. Ethile memesan kamar di lantai paling tinggi. Setelah menyerahkan paspor di resepsionis, sebagaimana biasa, saya mengisi form tamu. “Saya sudah, Benn. Jadi ntar kamu langsung ke atas saja. Kamar 622,” ujarnya tergesa-gesa seraya menyeret koper dan mencangking tas ransel yang saya letakkan di sisi kanan meja penerimaan tamu itu.

Saya pikir, saya akan bertemu orang Ceko dengan garis wajah yang lain, tapi tidak. Di balik meja resepsionis itu ada 3 gadis. Ketiga-tiganya tampaknya berbeda ras. Sementara menunggu pencetakan nomer seri gelang tamu, kami berbincang-bincang. Mereka berasal dari Amerika, Italia, dan Prancis. Saya agak terkecoh dengan yang ketiga—saya pikir gadis bermata sipit itu beradsal dari Asia Timur atau Vietnam.

Sesampai di kamar, saya tak menemukan Ethile. Mungkin dia sedang turun merokok, batin saya. Tapi … mana koper dan tas saya? Saya tak melihatnya.

“Sudah kuamankan. Tunggu di sana. Be back soon!” ujar Ethile di telepon.

Dari balik jendela lantai 6 ini, di kejauhan, karya instalasi yang berbentuk seperti pita besi yang teranyam menjadi semacam bola raksasa sedang memancarkan cahaya keperakan diterpa matahari pagi dari timur. Saya menoleh ke peta yang terbuka di tangan kanan dan mendapati bangunan itu sebagai Dancing House, salah satu ikon kota Praha modern. Dari tinjauan Google Map, hotel kami dengan plank bertuliskan Meridia Se di pintu masuknya ini dekat sekali dengan pusat keramaian Praha, termasuk Kafka Head yang tampaknya bisa dicapai hanya dengan sepuluh menit berjalan kaki.

“Gedubrak!”

Saya refleks menoleh ke pintu kamar.

“Ethile?” teriak saya seraya bergegas membuka pintu. Tak ada siapa-siapa. Saya memeriksa kamar mandi dan kitchen set, juga tak menemukan fasilitator itu.

Oh tidak, keributan itu selertinya di lantai 5. Di tangga darurat tanpa pintu penutup yang terhubung ke tiap lantai.

Baru saja saya hendak turun, ponsel berdentang.

Sebuah pesan suara dari Ethile.

—Dont go dwnstr. I m fixing a lit problm. Open bunker under th bed near of wndow, jmp down, then shut it bck well. Out whn you wont have heard any noise on our room’s floor. Now, Benn!”

Apa-apaan Ethile ini! Saya tak terima. Saya tak mau patuh. Saya mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Saya gegas turun. Namun baru lima anak tangga dituruni, saya mendengar Ethile berkoar-koar dalam bahasa yang kini saya yakin adalah bahasa Kroasia. Ethile tampaknya bersitegang dengan orang-orang yang dihadapinya sepertinya tak mau mengalah. Dengan orang-orang Kroasia. Oh Kroasia? Plivitce? Kepolisian? Ada apa? Adu mulut mereka benar-benar memekakkan telinga. Saya pikir, tamu lain pasti sangat terganggu.

Beberapa saat kemudian, suara derap sepatu boot (atau sepatu tentara atau sepatu polisi) yang sedang menaiki tangga darurat dengan tergesa-gesa terdengar sangat meneror.

Lutut saya bergetar ketika melihat sekitar enam orang dalam seragam kepolisian Kroasia di bawah tangga. Dan saya tiba-tiba ingat pesan Ethile.

Saya gegas naik lagi, memastikan pintu kamar kami terkunci, dan langsung menyingkap permadani di bawah dipan dekat jendela. Garis bujur sangkar berukuran 1 x 1 meter tampak jelas terukir di atas lantai papan. Saya masukkan tangan di sisi berlawanan sehingga penutup bunker itu terbuka. Di bawah gelap sekali, meski samar-samar saya melihat koper dan ransel saya di sana. Oh, apa maksud semua ini.

Saya masih berpikir, lompat tidak—lompat tidak, ketika suara bising derap kaki dan teriakan dalam bahasa Kroasia makin mendekati kamar hotel. Tiba-tiba saya merasa pusing.

Pintu kamar diketuk terburu-buru.

Badan saya makin gemetaran dan lemas. Saya seperti tak mampu melakukan apa-apa lagi.

Suara di luar makin ribut. Mungkin sebentar lagi, pintu kamar kami akan didobrak. Tiba-tiba saya takut sekali. Takut sekali.***

Praha, 2019

Comments
Loading...