education.art.culture.book&media

Dunia Selebar Daun Kelor di Slovenia

Tiba di Minehouse Apartmen pukul 2 siang, saya meminta Ethile mencari nasi atau kebab atau makanan Asia Selatan yang mungkin ia temukan—dan saya tidak terlalu yakin dengan itu. Stok rendang dan sambal tempe saya memang masih ada, tapi saya sedang ingin makan yang lain, meskipun tetap ada nasinya kalau bisa.

“I am not sure, Benn,” jawab Ethile seraya meletakkan laptop di atas meja. “Bagaimana kalau pasta?”

Saya mengangguk. “Plus mashed potato. Banyakin sausnya.”

Di luar jendela, pohon-pohon meranggas yang baru mulai berbunga membuat Ljubljana jadi kota yang cokelat. Berbeda jauh dengan bunga-bunga di pekarangan penduduk yang merekah sempurna. Di beberapa titik, tulip ungu mulai menguncup. Unik sekali, sebagian besar tulip yang tertangkap pandang berwarna ungu.

Di kamar, saya membuka kertas kerja. Ada delapan lembar gambar pemandangan dengan berbagai goresan, namun komposisi konten yang mirip—termasuk gambaran Daniel: Gunung, awan, burung, ladang di kanan kiri sungai dengan skets yang mirip gambar jalan yang membelah sungai dalam lanskap pemandangan versi Indonesia.

Saya membaca tiap garis, model objek yang digambar, intensitas garis sekaligus kecenderungan mengarsir, dan sejumlah komposisi baru yang tampak mencuat—seperti adanya bunga-bunga, sampan, hingga kereta api—meskipun jumlah dan pengaruhnya tidak cukup signifikan terhadap gambar pemandangan pada umumnya.

Selesai membuat analisis yang saya tuangkan dalam jurnal harian yang di-email ke Ethile, saya memutuskan untuk jalan-jalan. Seperti paham apa yang dibutuhkan, Ethile sudah menyiapkan taksi.

“Tidak bisa jalan kaki sajakah?”

“Bisa.”

“Trus?”

Ethile menunjukkan layar ponselnya pada saya. Google Map sedang bekerja. Jaraknya sama seperti Villach-Ljubljana. Mungkin tengah malam ini kita baru tiba di Bled.”

“Oke, Ethile. I see.”

Ethile tertawa menang.

“Laptop perlu dibawa?”

Saya menggeleng.

“Ada kafe keren di depan danaunya lho. Di utara gereja di pulau pun ada tempat bagus untuk melanjutkan novelmu. Bagaimana?”

“No, Et. Setengah jam sajalah kita ke sana.”

“Are you sure?”

“Not sure enough. Tapi saya cuma mau cari angin, bukan mau nulis. Bisa kita naik taksi sekarang. Harus ke mana dulu kita?”

“Fak Am Se.”

“What?” Namanya kedengaran kurang enak didengar.

“Yes. Lalu kita naik kereta ke Bled.”

Baru lima menit kami menumpangi taksi model sedan itu, sopir memundurkan kendaraan ke semacam pekarangan tanpa pagar di Fak Am Se dan … duaaarrr!!

Kap belakang mobil menabrak besi pembatas gereja dengan area stasiun.

Kami lekas keluar. Seorang perempuan tua gemuk menghampiri kami dan ngoceh-ngoceh dalam bahasa Jerman pada sopir kami yang tampaknya menyampaikan permintaan maaf berkali-kali.

“You may go now. I can handle this!” ujar sopir itu, seakan-akan tak nyaman kami menyaksikannya diomeli nenek-nenek tua.

***

Di Bled, saya kembali bertemu Daniel ketika sedang ‘memprospek’ calon responden, seorang gadis berkebangsaan Amerika. Ethile berusaha meyakinkan gadis itu agar mau menggambar alias membantu riset saya.

“Oke,” kata gadis itu akhirnya. Ia kemudian minta waktu sebentar untuk berbicara dengan seseorang. “Kenalkan,” katanya kemudian. “Ini Oma saya. Dia lama tinggal di Frankfurt. Kami juga nginap di Villach, dekat Fak Am Se, malah.”

Oh God, itu adalah perempuan tua penjaga gereja tadi. Saya lalu menceritakan peristiwa siang tadi.

Nenek itu tertawa. “It’s not church and I am not the security,” koreksinya dengan wajah semringah. “It’s the hotel we stay in.”

Saya tertawa kecil. “Lalu bagaimana dengan sopir taksi itu?” tanya saya kemudian.

“Everything’s fine. We have our own way to make it better.”

Lalu Erica Hopman, begitu perempuan itu menuliskan namanya di kertas gambar yang saya ajukan dan mulai menggambar.

Surprised!

Saya dan Daniel ngakak. Gambarnya mirip dengan gambar Daniel. Di mana-mana “pemandangan/lanscape” diterjemahkan mirip-mirip. Bule pun gak kreatif lho!

Sepuluh menit kemudian, Erica pamit dan Daniel menggamit tangannya.

“She’s the girl you told me in a train?”
bisik saya pada Daniel.

Daniel menggeleng. “I haven’t met her yet. So, i caught this fish first!” Lalu ia tertawa penuh kemenangan.

Di Slovenia, Dunia rupanya selebar daun kelor juga.😂

Praha, 21 April 2019 pukul 12.37 siang.

NB: foto berlatar Danau Bled, Slovenia

Comments
Loading...