education.art.culture.book&media

INI MIMPI, INI PASTI MIMPI!

Residency Story 22

______________________________

David dan Feo tersenyum di seberang. Saya refleks melangkah mundur sebelum kembali melongok ke lubang kecil di pintu untuk memastikan kalau saya sedang tidak berhalusinasi sebagaimana dituduhkan kedua resepsionis tadi. Benar saja, kedua polisi Kroasia yang mengantar saya dan Ethile ke Zagreb dari Plivitce itu tak ada lagi di sana. Namun pintu kembali diketuk. Dan saya kembali tak menemukan siapa pun dari lubang teropong tamu itu. Saya kini menyandarkan punggung ke pintu. Mengatur napas saya yang mendadak terengah-engah. Meskipun begitu, saya mencoba berpikir jernih. Beristighfar beberapa kali. Membaca Alfatihah dan beberapa surat pendek yang kerap saya baca ketika salat—dan anehnya tak satu surat pun berhasil saya selesaikan. Saya tak henti menyugesti diri kalau semuanya baik-baik saja, kalau kedua polisi itu tak pernah ada, kalau ini hanya mimpi, kalau …

“Tok tok tok!”

Saya terlonjak kaget seperti pengidap sakit jantung. Kali ini saya tak lagi meneropong. Saya langsung membuka pintu dan tak mendapati siapa pun di sana. Namun, baru saja saya akan menutupnya kembali, sebuah tangan menahan daun pintu sehingga pintu itu tak bisa ditutup sempurna. Tangan itu pun membuka paksa pintu itu, dan ….

Ethile!

Dia memandang saya dengan tatapan memohon kebijaksanaan. Saya tak mengerti. Saya kadung marah. Saya tak terima dipermainkan dan diperlakukan seperti kriminal. Dia boleh main-main, tapi bukan separah ini. Saya sudah siap-siap mengeluarkan makian ketika saya menyadari kalau sedari tadi kedua tangan Ethile disimpannya di belakang pinggang. Ethile mengerti. Fasilitator berkebangsaan Austria-Kroasia itu memutar badan, menunjukkan kedua tangannya yang sudah diborgol.

Belum lunas wajah saya mengeluarkan air ketakpercayaan, kedua polisi yang sangat saya kenal muncul dari sisi kiri dan kanan Ethile. David dan Feo!

Napas saya serasa berhenti. Saya seperti melihat sepasang drakula yang siap mengisap darah!

David mengeluarkan borgol dan saya mengerti maksudnya. Saya pun menyerahkan tangan ke depan. Terus terang, saya tak ingin diborgol di belakang pinggang, sementara saya merasa tak ada kesalahan apalagi kejahatan yang saya lakukan. Sebenarnya ingin sekali saya meneriakkan ketakbersalahan saya, tapi percuma. Memang percuma. Pasti kedua polisi itu meminta saya menjelaskan segalanya di kantor polisi, huh!

Kami tak diperkenankan membawa apa-apa selain paspor, dompet, dan ponsel yang berada di tangan mereka untuk sementara. Saya dan Ethile digiring ke mobil polisi dengan kedua tangan diborgol. Pengunjung hotel melihat kami dengan tatapan yang menyiratkan “Oh, ada penjahat di hotel ini tah?”. Meskipun melewati meja resepsionis, saya tak melihat Xing dan gadis Amerika tadi. Gadis Italia di sana memandang kami, seolah sedang tidak terjadi apa-apa.

Di dalam mobil, saya menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya saya nekat meminta mereka melepaskan borgol di tangan sebab kami bukan penjahat atau orang yang memiliki riwayat kejahatan.

“Sorry, tidak lama.” Feo buka suara.

“Praha-Zagreb itu memakan 7 jam lebih perjalanan darat, mungkin bisa 10 jam dengan mobil sialan kalian ini, dan katamu itu tidak lama?” Ethile protes. Berani sekali dia!

“Kaliam tidak akan bersaksi di Zagreb. Terlalu jauh. Tidak efektif. Kasihan kalian,” imbuh David dengan suara yang ditenang-tenangkan.

“Lalu di mana?” tanya saya tak sabaran, meski dengan suara yang gagal menyembunyikan getarannya. “Lebih cepat lebih baik.” Namun volume suara saya malah mengecil.

“Menurut kalian di mana bagusnya?” David ingin bermain-main. Namun di telingaku, candaannya terekam menakutkan. Seperti teror penyembah setan pada korbannya. Aduh, kenapa malam tadi aku menonton Exorcist di Regio.

“Viena?” tebak Ethile. “Atau masih dalam Ceko?” Suaranya meninggi, kesal. “Atau Brno yang masih sama-sama
Ceko?” Ethile masih belum selesai rupanya. “Setahuku memang ada kantor perwakilan kepolisian Ceko di kota yang memakan waktu 2 jam ke sana. So?”

“Kita tidak pindah kota,” Feo buka suara. “Apalagi ke basisnya Babis.”

“Hei apa pedulimu orang-orang Brno lebih memilih Andrej Babis daripada Milos Zeman yang lebih …”

“Kenapa kalian malah bicara politik Praha, kita sedang mengurusi Plivitce!” bentak David yang tampaknya lebih diarahkan pada Feo yang memulai topik politik.

Saya sendiri tidak terlalu ngeh. Dalam bayanganku Babis dan Zeman itu seperti Jokowi dan Prabowo di Indonesia saat ini. Hadeuh, demam politik Ceko bahkan menular ke Kroasia. Parah juga fanatisme Eropa ini—lintasnegara cui!

“Jadi?” Ethile cepat kembali ke topik semula. “Kita ke mana?”

“Kreslice.”

“Kreslice?” Ethile mengulangi kata yang baru disebutkan David dalam intonasi yang berbeda.

“Cuma 18 menit dari sini.” David memasang gaya kalem yang aneh.

Meskipun begitu saya masih bersyukur. Jujur, saya sudah parno duluan membayangkan 7 jam dalam mobil sedan polisi dengan tangan terborgol hanya untuk memberikan keterangan—yang rasanya bisa kutuntaskan kurang dari 10 menit—di Zagreb nanti.

“Berterimakasihlah pada rekanmu yang keras kepala itu, Benn!” ujar David seraya melirikku. “Dia berdebat dengan kami seperti menghadapi masyarakat sipil tangan kosong, sementara ia memegang bazoka. Dasar!” Kali ini ia nyengir pada Ethile.

Ethile memasang wajah masam.

“Kedua gadis penerima tamu itu sudah kamu apakan sampai-sampai hendak mengusir kami seakan-akan kami ini kecoak paling menjijikkan!” Kali ini Feo menambah keluhan pada Ethile.

Ethile bergeming.

Tapi, batinku lagi, kenapa kedua gadis itu mengatakan kalau tak ada pihak polisi Kroasia yang mendatangi hotel itu. Kenapa mereka harus berbohong. Pasti ada yang tak beres. Drama apalagi ini, Ethile …. Aggrhhh!!!

Dua puluh menit kemudian kami tiba di depan sebuah bangunan tua bergaya gothik. Beton-beton berwarna alam dengan relief khas Abad Kegelapan menyambut kami di pintu masuk.

Kusempatkan mendongak ke langit. Mungkin saat ini pukul 2 atau 2.30. Panas sekali. Terik sekali. Entah kalau perasaan itu berkait erat dengan statusku saat ini.

Karena sedang sepi—dan tampaknya David dan Feo menunggu keadaan demikian sebelum mengeluarkan kami berdua dari mobil, dapat kupastikan tak ada yang melihat kami masuk bangunan dengan dua pohon maple yang baru menumbuhkan daun-daunnya di musim semi ini.

Kami digiring ke sebuah ruang kedap suara berukuran 3 x 3 meter. Sebuah meja, sebuah bangku panjang dari besi dan sebuah sofa, lebih dulu mengisi petak pengap itu. David dan Feo meninggalkan kami seraya menunjuk ke semua sudut ruangan dan dinding. CCTV dan kamera dengan tripod yang tampaknya sudah dipersiapkan sebelumnya telah terpasang dengan baik. “Kami akan mengamati kami dari luar,” kata David, masih dengan gaya kalem yang aneh. Mungkin maksudnya mereka akan menonton proses interogasi dari LCD di luar ruangan itu, tebakku. Lho, siapa memangnya yang akan menginterogasi?

Kami baru saja menjatuhkan pantat di bangku panjang yang dingin sebelum pintu ruangan ditendang seseorang dengan brewok memenuhi rahang, ber-tshirt ketat dengan bawahan jins yang sudah belel. Meskipun perutnya gendut, pria bertinggi badan 180-an sentimeter ini memiliki otot bisep yang besar. Siapa pun yang melihatnya di tempat seperti ini pasti mengasosiasikannya dengan profesi tukang pukul!

Dia mengunci pintu dan melepaskan borgol kami berdua. Ia kemudian mendorong meja sehingga tepat berada selangkah di depan kami, sebelum kemudian ia mengarahkan sofanya ke ke seberang kami. Kini, kami berhadap-hadapan, hanya dipisahkan oleh sebuah meja.

“Now you are free to move.”

Ya Allah … suara itu berat dan meneror sekali, persis gumaman Sylvester Stallone ketika sedang geram dalam penjara dengan sistem pengamanan superketat dalam film Escape Plan.

“But still under arrested,” lanjutnya seraya menyapu pandangan ke arah kami bergantian.

“We know,” jawab Ethile dengan mata yang marah. “What’s your point?” Wah, berani sekali fasilitator ini. Jujur, saya takjub.

“You!”

Saya tersedak. Mendadak menelan liur. Laki-laki itu menunjuk saya serta-merta.

“I won’t ask you further.” Kali ini suaranya bukan hanya berat, tapi juga serak. Dan itu sungguh mengerikan.

Saya melirik Ethile yang langsung mengangguk pelan. Baiklah, batin saya.

Saya pun menceritakan apa yang saya lihat. Semuanya. Seingat saya. Tanpa ada yang ditambah atau dikurangi. Mungkin saya hanya menghabiskan waktu 8 menit.

“Kamu masih ingat wajah pelakunya?”

Saya menggeleng. “Saya tidak yakin.”

Lalu ia mengeluarkan dua lembar foto dari saku kanan jinsnya.

“Ini!” Ia menunjukkan foto pertama.

Saya menggeleng. Saya benar-benar tak kenal dan tak tahu dengan wajah perempuan itu. Asing sekali.

“Bagaimana dengan ini?” Foto kedua diangsurkan.

Saya tercengang. “Bukan dia!” saya refleks berteriak.

Ethile membelalak ke arah saya, ingin tahu foto siapa yang saya teriaki. “Siapa, Benn?”

“Hei!” Laki-laki itu membentak Ethile. “Ini bukan giliranmu!” Lalu ia kembali pada saya.

“Bagaimana kamu langsung bisa bilang ‘ini bukan orangnya’ kalau kamu sendiri tidak yakin?”

Saya mengerutkan kening. Ah, rasanya tak mungkin.

“Kamu masih ingat, perempuan ini memakai baju dan bawahan apa hari itu?”

Saya mengangguk. “Tshirt putih ketat, jaket hangat motif army, bawahan jins berwarna putih pias.”

“Dan itulah pakaian buronan yang sedang kami cari, yang berhasil kami tembak kaki kirinya, dan baru melarikan diri dari RS dua hari yang lalu.”

Ohhhh.

“Bagaimana kamu bilang bukan dia pelakunya, hah?” Kali ini laki-laki itu menggebrak meja dan saya refleks memejamkan mata karena ketakutan.

“Aida tak mungkin melakukannya. Tak mungkin!” Akhirnya Ethile tahu siapa gadis yang dituduh tukang pukul itu. “Kalian yang menembaknya nanti akan menyesal!” Oh Ethile, ini bukan saat yang tepat untuk memainkan drama heroik, batin saya kesal.

Laki-laki itu mendekati Ethile dan melancarkan bogem ke pipi kanannya. Ethile terjatuh dari kursinya. Bisa saya lihat, bibirnya berdarah. Lantai ruangan pengap itu berdarah.

Kaki saya gemetaran. Lutut saya lemas. Kini laki-laki itu kembali pada saya. Matanya seperti mengandung api yang meriap-riap. Ya Allah, ini mimpi, ini mimpi, harap saya dalam hati. Lalu saya memejamkan mata dan berzikir khusyuk sekali.***

Praha, 2019

Comments
Loading...