education.art.culture.book&media

SAYA INGIN PULANG KE INDONESIA, TITIK!

Residency Story 24

______________________________

Saya refleks memejamkan mata saking takutnya. Pun ketika seseorang itu membekap dari samping, saya pun makin memejamkan mata. Kalau saya akan diangkut orang tak dikenal ini ke sedan hitam itu pun saya pasrah. Saya sadar, melawan pun tak ada gunanya. Sejak pingsan di Praha, terlelap di Flixbus, dan kali ini terdampar di Brastislava, saya belum makan. Saya lapar dan lemah sekali. Saya pusing dan tak berdaya lagi.

“Benn, so sorry!”

Suara itu. Ya, suara itu.

“Why did you go out of the bus?”

Kini, saya tahu kalau itu bukan bekapan, itu pelukan.

“Open your eyes, everything’s fine!”

Ethile! Perlahan-lahan saya membuka mata.

“Aku ke WC bus sebentar tadi. Lalu mencari makanan di gerai terdekat sebab aku tahu kalau kamu pasti lapar. Aku masuk lewat pintu belakang karena pintu depan kadung tertutup dan aku hampir saja tertinggal bus. Dan … ketika sadar kalau kamu tak ada di tempat, aku masih harus bersitegang dengan sopirnya sempat ia keberatan menurunkanku dengan membawa kopermu. Sampai akhirnya aku memilih keluar dulu dan menyusulmu. Koper kuurus nanti.

Saya kini melihat kepala Ethile dengan jelas. Ia memeluk saya makin erat. Badan saya bergoyang-goyang karena dekapannya yang erat dan berulang-ulang. Saya berusaha merenggangkan pelukan, tapi Ethile tak mau melepaskan.

“Eth, saya sesak napas,” ujar saya seraya menarik kedua lengannya untuk menjauh.

“Forgive me, Benn.” Ethile masih belum melepaskan dekapan, masih belum menunjukkan wajahnya.

“Yes, Eth.” Suara saya agak tersendat. Saya benar-benar sesak napas oleh dekapan pemuda 21 tahun bertinggi badan 175 cm, dan berat badan 70 kilogram ini. “Tapi lepaskan dulu, saya benar-benar gak bisa bernapas.”

Ethile perlahan-lahan merenggangkan pelukan. Kini ia mendongak beberapa sentimeter dari wajah saya. Wajahnya yang putih kini memerah dengan matanya sedikit berair.

“Eth,” ujar saya pelan. “Saya lemah sekali.”

Ia mengangguk. Dan bermaksud ingin mendekap saya lagi, tapi saya tahan.

“Saya mau membeku di sini. Bawa saya masuk ke mobil dan saya ingin makan.” Ya, cuma itu yang saya butuhkan saat ini.

***

Revlisjak Apartmen.

Sebuah apartemen kecil di tepi danau yang bersisian dengan hviezdolavovo namestie, sebuah square yang memanjang dan tentu saja sepi—paling tidak karena hari menunjukkan pukul 1 malam. Saya menyelesaikan gigitan terakhir burger yang Ethila bawa tadi sebelum menutup jendela dan membiarkan gordennya terbuka. Sebagaimana biasa, udara malam sangat dingin. Ethile menyodorkan secangkir teh yang masih hangat.

“Saya menemukan teh dan kopi di kitchen set. Saya tahu, selain late, kamu tak suka kopi. Sementara kopi di dapur, saya sudah bisa menebak rasanya pasti asam dan …”

“Thanks, Eth,” ujar saya seraya menerima cangkir yang ia sodorkan. “Saya pikir, kamu tahu harus mulai dari mana.”

Ethile terdiam. Ia menunduk sebelum kemudian menyeruput tehnya.

“Mungkin kamu bisa membantuku, Benn.”

Saya mengangguk. “Bagaimana bisa aku pingsan di Praha?”

Ethile diam sejenak. Saya memeringatkannya untuk tidak mengarang cerita sebelum kemudian ia bercerita dengan lancar.

“Margareth terpaksa membiusmu dari belakang.”

Oh ya, saya ingat sekarang. Ada tangan yang muncul dari belakang dengan sesuatu—semacam kain atau saputangan basah—yang dipegangnya. Oh ….

“Ketika Xing mencuri perhatian tukang pukul itu, saya berinisiatif membopongmu. Oh, kalau bukan karena keadaan terjepit, mungkin adegan itu takkan bisa saya ulang.” Ethile tertawa—

Tapi saya tidak.
Saya memilih menunggu ceritanya hingga selesai.

“Kami mengunci pintu dari luar setelah Xing mengambil kunci manual dari cantelan kunci. Micela sudah …”

“Micela?”

“Italian Girl.”

“Gadis Italia?”

“Rekannya Xing dan Margareth.”

Saya mulai nyambung.

“Resepsionis Meridia Se.”

“Yes, saya sudah ingat sekarang. Trus?”

“Untuk menyamarkan pelarian kita, menumpangi kendaraan umum adalah pilihan paling tepat. Kendaraan ketiga gadis itu, ah, mudah sekali dilacak GPS-nya.”

“Jadi sekarang status kita berdua buronan?”

“Tidak persis begitu, Benn.”

“Tapi kita melarikan diri dari polisi, Eth.”

“Dari David dan Feo.”

“Apa bedanya, Eth?”

“Jelas beda!”

“Apa?”

“Mana ada polisi menyewa tukang pukul untuk mendapatkan informasi dan pengakuan.”

“Bukannya biasa polisi melakukan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan?” Jujur, film-film Indonesia dan India yang menayangkan adegan-adegan sejenis itu cukup membekas di kepalaku.

Ethile mendongak. Semacam protes. “Ya, mungkin saja. Tapi mereka melakukannya sendiri, bukan menyewa orang..”

“Tapi kita bertemu David dan Feo di Plivitce,” bantahku lagi. “Hmm, mereka menggunakan mobil polisi dan bersama para polisi lainnya. Kamu paham maksudku?”

Ethile bergeming.

“Lagi pula … mengapa kita tidak ikut saja maunya mereka apa. Tah kita tidak melakukan kesalahan apa pun dan mereka juga hanya menjalankan tugasnya.”

“Tapi mereka menembak Aida, Benn!”

“Kamu melihatnya?”

“Ya.”

Ethile mengambil ponselnya dan menunjukkan kiriman WhatsApp David. Seorang wanita yang terbaring di ranjang dengan kaki kanan penuh balutan.

“Kamu yakin itu luka tembak?”

“Bagaimana kalau orang yang kaucintai mengalami hal seperti ini dan saya mengajukan pertanyaan yang sama: ‘Apa kamu yakin kalau dia sedang tidak berpura-pura sakit?’ Bagaimana, hah? Bagaimana?’”

“Eth?”

“Pasti kamu bilang aku salah paham lagi, ‘kan?”

“Tidak!” jawab saya cepat. “Saya selalu kelimpungan berdebat denganmu ketika kamu sudah membawa-bawa perasaan. Perasaanmu yang kamu minta dan paksa orang lain merasakan sebagaimana kamu merasakannya. Kamu …?”

“Kamu, Benn?” Ethile menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu tak punya empati.”

“Saya tidak akan pernah jadi penulis kalau tak mempunyainya.”

Ethile terdiam.

“Eth, dengarkan saya sebentar saja.”

Ethile malah membuang muka.

“Mungkin saya terlalu merepotkanmu, ya?”

Kali ini Ethile melihat saya. Memandang saya. Cukup lama … dan berubah menjadi tatapan.

“Bagaimana kalau kita akhiri semua ini?” gertak saya.

“Maksudmu?”

“Jadwal ulang saja semuanya. Kirim balik saya ke Indonesia.”

“Benn, kamu …”

“Saya lelah, Eth.”

“Tapi, Benn?”

“Saya mau pulang ke Indonesia, titik!”

“Ini belum selesai, Benn. Kita belum ke Maroko. Saya janji …”

“Saya sudah tak peduli berapa negara yang harusnya saya kunjungi lagi. Slovakia adalah negara kedelapan atau kesembilan atau …. Ah, saya pikir cukup!”

Ethile masih menatap saya.
Saya balas menatapnya.
Ada permohonan di matanya.
Tapi saya … ah .sejujurnya keinginan pulang saya pun hanya gertak sambal. Saya … saya hanya ingin Ethile tidak kelewatan begini. Mengapa saya harus terlibat dalam urusannya sehingga saya kehilangan banyak waktu dan kesempatan yang sudah saya susun sebelumnya? Dan esok, bagaimana mungkin saya harus bilang pada narasumber saya di Praha, Pavel Fo, kalau pertemuan di Kafka Head terpaksa dibatalkan karena saya harus menemani Ethile ke Zagreb untuk menemui Aida. Agrrhhh, parahhhh!

“Bagaimana kalau kita istirahat dulu, Benn. Besok baru kamu putuskan segalanya. Kita bicarakan baik-baik.”

Saya masih menatapnya. Datar. Kosong.

“Jadwalmu dengan Pavel Fo masih bisa kita kejar kalau kamu mau. Kalau Flixbus membuatmu trauma, kita sewa mobil saja. Mercy, BMW, Peugeot?”

Saya tertawa kecil.

“Saya serius, Benn.”

“Saya juga serius, Eth.”

….

“Saya ingin memutuskannya malam ini juga, agar besok kita bisa mulai semuanya dari awal.” Saya benar-benar ingin memegang kendali malam ini.

“Benn, please forgive me!” Ethile mendekat. Matanya memelas sekali.

Saya menyeruput teh. Dua kali. “Ah, nikmat sekali farewell tea-mu ini, Eth.” Sungguh, saya tertawa dalam hati.

“Benn? I am serious.” Kali ini Ethile jongkok di hadapan saya yang berdiri membelakangi jendela.

“Serious what? Kamu mengapa bersimpuh begitu? Kamu mau mengeluarkan cincin dan melamar saya?” Saya menahan tawa.

“Saya akan berubah, Benn.” Ethile memegang kaki kanan saya.

“Eth, jangan berlebihan.” Saya menarik kaki kanan menjauh darinya. Namun Ethile tak mau melepaskan. Pegangannya makin kuat. “Eth, saya akan tumpahkan teh yang masih panas ini ke punggungmu kalau kamu tak melepaskan saya.”

“Bagaimana saya akan melaporkan ini ke perusahaan, Benn? Saya hanya ditugaskan memfasilitasimu. Dan … karena kupikir kamu menyukai petualangan, kulibatkan kamu dalam semua urusanku. Kupikir …”

“No, Eth,” jawabku cepat. “I dont mind. Saya oke-oke saja kok, tapi saya sudah buat keputusan.” Saya tak melepaskan sedetik pun bahasa tubuh bersalahnya. Saya benar-benar menikmatinya.

“Tapi kamu seperti membunuhku pelan-pelan, Benn.”

“Hei, kamu ngomong apa? Sejak kapan kamu puitis begini?” Saya berlagak marah.

“Saya janji, Benn…”

Kamu bahkan belum tahu keputusanku apa?”

Ethile mendongak. “Kamu minta pulang ke Indonesia, ‘kan? It was clear!”

Saya menggeleng.

“Lalu?”

“Mulai besok pagi, kita harus cepat ke terminal Flixbus di Velika, sebab koperku masih di sana.”

“Trus?” Wajah Ethile menegang. Saya senang sekali.

“Trus naik taksi 30 menit ke ibukota. Ke Zagreb,” jawab saya ringan.

“Then?”

“Ya menemukan Aida-lah! Katamu sudah mengantongi alamatnya. Gimana seeehhh???!!!”

Ethile refleks bangkit, memeluk saya lebih erat daripada sebelumnya, dan mencium kepala dan kening saya bertubi-tubi.

“Saya belum pernah menang banyak seperti malam ini, Eth!” teriak saya seraya mendorongnya menjauh.

Ethile berteriak kencang di tempat tidurnya, seperti merayakan ketegangan yang baru saja menggelayutinya.

Emangnya kamu saja yang bisa mempermainkan saya!

Thanks, Bratislava!***

Brussel, Mei 2019

Comments
Loading...