education.art.culture.book&media

Sekelumit tentang Rasa Takut dan Kawan-kawannya (Kopdar #18)

(Sebuah Review Diskusi Majelis Lingkaran Kopdar ke-18)

 Oleh: Yuhesti Mora

“Manusia macam apa yang tidak pernah merasa takut?” Pertanyaan itulah yang mampir di pikiran segera setelah sadar bahwa pemuda di dalam cerita pendek yang berjudul “Semacam Pengantar Kecil Perihal Kronik Rasa Takut di Sunda Kelapa” memiliki karakter sebagai petarung yang kuat dan tanpa rasa takut.

Berdasarkan pengalaman kita, mustahil kita tidak memiliki rasa takut. Dan meskipun rasa takut ini sering sekali ingin kita buang jauh-jauh namun ternyata dari rasa takut inilah kekuatan dapat lahir. Rasa takut membuat kita menjadi lebih awas,  dan kewaspadaan itu akan membuat diri kita mempersiapkan diri kita dalam segala kemungkinan dan dalam prosesnya membuat kita memaksimalkan semua potensi yang kita miliki.

Namun berbeda dengan itu,  pemuda itu telah memperoleh kekuatannya sendiri tanpa rasa takut. Katakanlah ia telah memperolehnya sejak ia diciptakan. “Ia bukan pemuda biasa namun merupakan penduduk langit,”  jelas Bang Benny.

Pemuda dalam cerita yang dituliskan Bang Benny ini kemudian amat penasaran dengan rasa takut tersebut karena ketiadaan rasa takut itu justru tidaklah membuatnya bangga. Malah ia ingin merasakannya.  Ia ingin mengalami kejadian-kejadian mendebarkan yang membuat jarak antar degub jantung makin rapat,  keringat berebutan memenuhi pori-pori,  nafas yang kewalahan mengatur ritme,  atau pita suara yang memproduksi teriakan yang tak pernah terpikirkan oleh yang bersangkutan.

Rasa penasaran pemuda itu juga menggelitik saya untuk bertanya-tanya soal kenapa ia merasa perlu sekali untuk merasa takut. Di dalam cerita pendek lima lembarnya Bang Benny tidak memberi penjelasan apapun mengenai hal tersebut. Walaupun sebenarnya tidak pula semua hal harus digambarkan terlalu jelas sebab jika terlalu detail, cerita berpotensi kehilangan pesonanya. Namun tak salah juga jika Bang Benny bersedia menyisipkan motif tersebut secantik dan sebaik mungkin dalam kadar yang tepat agar ceritanya tidak terlalu dirasa mulai dengan terburu-buru atau terkesan menggantung.

Saya sepakat ketika Bang Benny berkata bahwa di dalam cerpen ini ia ingin mengemukakan sebuah cerita yang ia sebut sebagai “invers”. Orang-orang yang pada mulanya takut lalu berakhir bahagia bukanlah cerita yang menarik. Sebuah pencarian akan rasa takut tersebut sudah unik dan asyik disimak sejak dalam pikiran. Terlebih ia sebenarnya juga adalah perasaan yang akrab juga bagi kita semua. Sadar atau tidak kita selalu merindukan atau bahkan mengejar sesuatu yang tidak kita miliki.

Maka karakter yang dituliskan Bang Benny ini selanjutnya mencari tahu tentang apa saja kejadian atau peristiwa yang berpotensi memunculkan rasa takutnya. Ia tak segan-segan menjajalnya baik itu keonaran,  pertikaian,  keributan,  atau bahkan peperangan–sebagaimana yang ia dengar dari orang-orang tentang apa saja yang memberi rasa takut. Namun pengalaman rasa takut ternyata hanya memberi pemuda itu pengetahuan bukanlah perasaan. Dan rasa laparnya akan rasa takut menjadi lebih akut dari sebelumnya.

Suatu hari–masih dalam perjalanan menemukan rasa takutnya–ia sadar bahwa sikap orang-orang terhadapnya mulai berubah seiring makin tersohornya ia ke seluruh penjuru akan keberaniannya menumpas berbagai jenis kejahatan. Orang-orang berbicara padanya dengan nada yang menyiratkan rasa takut justru membuatnya merasa iri alih-alih berempati atau iba.

Singkat cerita ia kemudian diminta menjadi pemimpin mereka. Sebagai “upah” kepemimpinannya ia akan dipersembahkan rasa takut–sesuatu yang ia cari-cari selama ini. Lalu setahun kemudian,  ia menghilang. Pada malam sebelum menghilangnya ia, rerimbunan Pohutukawa di tepi sungai ciliwung menjadi saksi bagaimana rasa takut telah berhasil ia kuasai. Dan cerita pun selesai sampai di situ.

Selain tentang yang telah di jelaskan di atas,  diskusi juga mengarah kepada kenapa tokoh cerpen ini adalah pemuda dan bukannya pemudi,  kenapa settingnya Sunda Kelapa,  kenapa judulnya diawali dengan “Pengantar Kecil”, apa yang melatarbelakangi pembuatan cerpen ini, kenapa harus kursi kepemimpinanlah yang pada akhirnya memberinya rasa takut,  apa yang hendak penulis sampaikan melalui cerpen ini, apakah ada hubungannya cerpen ini dengan tokoh-tokoh politik tertentu, jika tokoh pemuda ini spesial (turun dari langit) lantas kenapa ia akhirnya diperlakukan penulis seperti manusia biasa dari mulai tengah hingga akhir cerita dan kenapa di akhir cerita sang pemuda justru menghilang. Bang Benny menjelaskannya dengan runut yang akhirnya membuat saya mendapatkan beberapa pesan moral ini dari cerpen beliau.

Pertama, bahwa hidup itu adalah sebuah proses mencari yang dalam konteks cerita adalah rasa takut. Dan kita punya kecenderungan untuk mencari apa yang tidak kita miliki.  Semakin sulit ia kita dapatkan,  semakin tinggi rasa penasaran kita. Sering kali proses pencarian tersebut adalah melalui jalan yang panjang dan berliku. Dan tidak peduli betapa melelahkannya proses itu,  ketika kita menemukannya pun ia tidak akan menjamin bahwa kita akan merasa menemukan sesuatu. Hilangnya pemuda itu di akhir cerita boleh jadi adalah sebagai metafor bahwa setelah proses itu selesai, yang tersisa adalah kehampaan.

Kedua, rasa takut yang luar biasa hebat datang dari harapan yang dititipkan padanya. Ketika pemuda itu bertarung di manapun,  ia hanya sedang memenuhi harapannya seorang. Harapan yang datang dari dalam menjadi bensin bagi motor-motor tubuhnya untuk berpacu.  Sementara ketika ia menjadi pemimpin,  yang harus ia penuhi bukan lagi harapan ia seorang,  namun ada sejumlah harapan lain pada berjuta-juta kepala. Harapan-harapan tersebut bukan cuma memberikannya bensin tetapi juga pemantik yang akhirnya membakar habis bahkan juga dirinya sendiri. Dapat dibayangkan bukan betapa tidak bahagianya kehidupan semacam itu. Cerpen ini mengajak kita untuk mengikuti psikologi pemuda itu dari awal hingga akhir dan kemudian memberi kita sedikit gambaran bagaimana perasaan yang diderita seorang pemimpin yang saking tidak membahagiakannya malah terkesan “jangan jadi pemimpin,  hidup kamu bakal susah.” Namun yang mengherankan tetap saja kursi kepemimpinan tersebut menjadi rebutan pelbagai pihak. Dan dari sisi rakyat,  kita sebenarnya malah merindukan pemimpin yang dapat merasakan perasaan semacam itu tidak peduli kerusakan mental macam apa yang ia akan derita (karena itu harus–begitulah kiranya harapan berjuta-juta kepala yang dipimpinnya).

Terlepas dari dua hal itu barangkali masih ada mutiara-mutiara lain yang tersembunyi dalam tulisan Bang Benny ini namun sebagai penulis yang bijak yang menyerahkan hak sepenuhnya kepada pembaca untuk menemukan sendiri mutiara-mutiara itu, semoga cukup puas jika saya sebagai pembaca yang-tidak-baik-tetapi-tidak-buruk ini hanya menemukan dua hal itu saja. Sedikit yang semoga saja berkualitas.(*)

*Foto diambil oleh Adji Prahmana Putra

Comments
Loading...