education.art.culture.book&media

Tidak Ada “Kejutan” di Silence Apartment

Bakda ashar waktu setempat, kereta yang akan membawa kami ke Villach tiba. Ya, ke Villach, bukan Ljubljana sebagaimana rencana semula. Keputusan ini harus kami ambil karena, kata Ethile, kami tak punya punya pilihan lain. “Kita menginap di Villach, esoknya baru lanjut ke Slovenia. Cuma 1,5 jam kereta kita akan ke Ljubljana.”

“Baiklah,” jawab saya cepat. “Ambil saja bus siang ke Slovenia. Saya ingin menulis dulu di apartemen.”

“Beres!” Ethile menjawab semringah. “Semuanya sudah diurus.”

Semoga saja, batin saya sebelum lanjut ngetik di atas meja lipat kereta.

Perjalanan tiga jam kami tempuh dengan lancar tanpa informasi salah kereta untuk yang ketiga kalinya. Saya berkali-kali menanamkan diri untuk berprasangka baik, tak terkecuali terkait kejutan-kejutan yang disiapkan-Nya. Kereta kami berhenti di stasiun Obertraun yang ‘berdampingan’ dengan padang rumput dan pegunungbersalju tipis.

Satu jam.

Saya tak ingin puyeng lagi. Saya putus untuk melanjutkan ketikan.

Tepat pukul 9 malam waktu setempat, akhirnya kami tiba di Villach. Silence Apartment. Sesuai namanya, Diana, resepsionis merangkap pemiliknya, menyambut kami dengan telunjuk yang disalipkan di bibir ketika saya dan Ethile berbincang—yang menurut pendengarannya—terdengar cukup keras. “Respect my guests, please,” pinta perempuan paroh baya itu dengan suara berbisik.

Malam itu, bakda menunaikan isya, saya langsung melempar diri ke kasur setelah meminta Ethile menyalakan heater kamar. Saya sempat terjaga, entah pukul berapa, dan mendapati Ethile merokok di meja makan. Samar-samar saya mendapati TV menayangkan berita terbakarnya gereja katedral Notre Dame sebelum saya melanjutkan mimpi yang gagal saya sambungkan.

Paginya, setelah sarapan dan minum teh rosella tanpa gula, saya berdecak kagum ketika Ethile membuka tirai jendela yang membelakangi kepala dipan. Dari kamar lantai tiga itu, pemandangan gunung bersalju tipis dan pemandangan kota Villach yang didominasi warna hijau -kuning tua sebab pohon dan bunga-bunga mulai tumbuh di musim semi, memanjakan mata. Ah selingan yang indah untuk peristiwa-peristiwa yang mencemaskan selama perjalanan kemarin.

Tumben, pagi itu, tidak ada ‘kejutan’ apa pun yang Ethile ‘persembahkan’, atau … ini baru pemanasannya? Ah, saya menyenyumi prasangka sendiri.

“Saya mau jalan, Et. Kamu ikut?”

“Sudah ngetiknya, Benn?”

“Sudah. Dapat banyak. 30 halaman. Saya terjaga pukul 4. Bakda subuh sampai pukul 8 pagi, saya ngetik. Tentu saja setelah membereskan puntung rokokmu yang berserakan di meja.”

Ethile cengengesan seraya menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.

“Sekarang saya butuh refreshing.”

“Refreshing itu selingan lho, Benn. Bukannya tulisanmu sudah selesai?”

“Saya bukan butuh refreshing dari menulis, tapi … dari rasisme di Sletzhal kemarin. Saya masiih syok, sejujurnya. Saya harus menguatkan diri. Saya gak mau parno.”

Ethile tertawa. “Love your way, Benn!” Lalu ia bertepuk tangan dua kali. “Kamu cepat move on, dan berusaha menyugesti diri bahwa tak semua nonmuslim di sini rasis.”

Saya tersenyum kecil. Semoga memang begitu.

“Jadi kamu mau ikut saya menikmati desa ini?”

“Tunggu saya di bawah, Benn. Satu batang rokok, please!”

Hadeuh. Saya bergegas turun. “Satu batang saja, ingat!” teriak saya begitu menuruni tangga.

Di bawah, Diana menyambut saya dengan senyum dan kata-kata, “Be quite, please! Beberapa tamu saya masih tidur.”***

Szekezfeherfar,
19 April 2019 pukul 05.07 subuh

NB: foto-foto suasana Villach di pagi menjelang siang

Comments
Loading...