education.art.culture.book&media

JAM 25

Karya: Eric Rahman

Jam 25 adalah jam yang tak tertulis di kalender atau jam dinding mana pun. Ia datang diam-diam, di sela tarikan napas yang terlalu panjang, di antara detik-detik yang tidak sempat dicatat oleh siapa pun. Di kota ini, Arga hidup seperti hantu yang belum resmi mati. Ia menatap dunia dari balik jendela bus, menonton hidup orang lain dengan tatapan kosong seperti layar film bisu.

Elara Arga Nahara. Nama itu hanya disebut lengkap oleh dirinya sendiri, saat berbicara pada bayangannya di cermin atau menulis catatan kecil yang tak pernah dikirimkan ke mana pun. Semua orang memanggilnya Arga. Ia terbiasa menjadi penonton, bukan pemain. Suaranya tenggelam dalam percakapan ramai, dan keberadaannya seringkali hanya terasa saat ia tidak ada. Kesepian bukan lagi tamu. Ia adalah teman sekamar.

“Kenapa aku nggak bisa kayak mereka, ya?” gumamnya suatu malam di balkon rumah, ditemani secangkir kopi dingin dan langit kota yang menolak gelap total. Jawabannya datang bukan dalam bentuk kalimat, tapi dalam bentuk rasa. Rasa kehilangan terhadap sesuatu yang belum pernah dimiliki: koneksi.

Pada suatu malam yang ganjil, di antara dua bangunan tua yang sudah lama tak berpenghuni, Arga menemukan pintu. Bukan pintu biasa, tapi satu yang seolah bernapas. Terbuat dari kayu kelam dengan guratan seperti urat nadi, dan di tengahnya, sebuah mata kucing bundar yang tidak memantulkan bayangan dirinya. Di bawah cahaya lampu jalan yang sekarat, Arga mengetuk.

“Selamat datang kembali, Elara Arga Nahara,” suara dari balik pintu terdengar seperti bisikan yang langsung muncul di benaknya, bukan di telinganya.

“Kembali? Aku pernah ke sini?” bisiknya. Tapi pintu sudah terbuka.

Ia masuk. Udara di dalam toko itu wangi seperti hujan pertama yang jatuh ke tanah kering. Rak-rak tinggi menyimpan bukan barang, tapi perasaan. Labelnya bukan harga, tapi kebutuhan batin: “Kehangatan Tanpa Pertanyaan,” “Tawa yang Tidak Menghakimi,” “Teman yang Tahu Kapan Harus Diam.”

Seorang penjaga toko, berwajah netral seperti mimpi yang setengah lupa, menatapnya sambil tersenyum samar. “Apa yang kau cari hari ini, Tuan Arga?”

“Teman,” jawab Arga, suaranya nyaris tidak terdengar. “Yang… menyukai senyap.”

“Bagus pilihanmu. Senyap sering lebih jujur dari kata-kata.”

Dan Kian muncul. Tak datang. Tak dijelaskan. Ia hanya ada. Mata tenangnya tak pernah mendesak, tak pernah memaksa. Mereka berjalan di taman, membaca di atap parkiran, duduk diam-diam di halte saat malam menipis. Untuk pertama kalinya, Arga merasa ia bukan hanya latar belakang.

“Kamu nggak nanya apa-apa,” kata Arga pada Kian suatu malam. “Orang biasanya pengen tahu.”

“Kadang jawaban muncul kalau kau diam cukup lama,” jawab Kian, sambil melempar kerikil ke sungai.

Hari-hari bersama Kian seperti jam 25 itu sendiri. Diam, rahasia, tak nyata. Tapi nyata.

Sampai suatu pagi, Kian tidak datang. Arga menunggu di titik biasa, lalu di tempat-tempat lain yang pernah mereka datangi. Tidak ada. Ia kembali ke toko. Tapi gang sempit itu sudah berubah menjadi dinding batu. Tak ada pintu. Tak ada toko. Tak ada mata kucing bundar.

“Tunggu… aku belum selesai…” desis Arga, menatap dinding itu dengan napas tercekat.

Yang tersisa hanyalah keheningan yang terlalu keras.

Dan Arga menangis, bukan karena Kian pergi, tapi karena ia tidak tahu apakah Kian pernah benar-benar ada. Tapi kemudian ia sadar, mungkin arti teman sejati bukan soal siapa yang tinggal selamanya, tapi siapa yang membuatmu merasa hidup, meski hanya sebentar.

Karena ternyata, rasa sakit ditinggalkan bisa lebih jujur daripada rasa nyaman yang dibeli.

Beberapa hari setelahnya, saat duduk di halte yang sama, Arga melihat seorang pria asing duduk di sebelahnya. Pria itu membaca buku yang sama yang pernah dibaca Kian.

“Kamu tahu, buku itu bagus dibaca pas hujan,” kata Arga, tanpa sadar.

Pria itu menoleh. Tersenyum. “Iya. Dan malam. Atau saat kamu nunggu seseorang yang mungkin nggak akan datang.”

Dan di sela hari ke-26 yang biasa itu, di antara deru bus dan bayangan orang-orang asing, Arga tersenyum kecil. Bukan pada siapa-siapa. Tapi pada dirinya sendiri. Ia masih sendiri. Tapi tidak lagi merasa sendirian.

Mungkin kali ini, ia siap jadi pemain, bukan sekadar penonton.

Comments
Loading...