Oleh Rido Amilin
Pertunjukan Mendamba Lupa saduran teks cerpen Gulistan karya Beny Arnas ini adalah sebuah kesaksian di mana kecintaan sepasang suami istri terhadap buku, Laki laki atau yang di sebut suami adalah seorang pau baya dengan perawakan sederhana. Sedangan wanita berawak sedikit kecil.
Pertunjukan ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam setelah selesai pertunjukan, salah satunya ialah hal yang ingin di-ungkapkan sutradara Benny Arnas yang ingin menyajikan sebuah kejadian plat di pertunjukan satu babak. Hal flat yang ingin ia sampaikan bahwa buku saat ini serta pembacanya tidak dapat menjadi jendela dunia lagi sebab keseiringan kemajuan zaman buku hanya menjadi bahan tumpukan yang tak berkhasiat. Nah di sinilah menurut pengamat pertunjukan yang dipandang.
Benny Arnas melalui idenya dalam pertunjukan itu membuktikan bahwa judul yang ia berikan “Mendamba Lupa” adalah efek dari kecelakaan yang ditimpa oleh suami dan istri. Melalui seting gua yang dihadirkan cukup memberikan gagasan bahwa kedua suami istri dipertemukan kembali meski sudah beratus tahun terpisahkan. Hingga membuat mereka berdua jatu cinta kembali dan melakukan hal yang terlarang.
Di balik itu juga melalui perdebatan di dalam malam, suami dan istri yg tak mengenal satu sama lain ini malah disatukan oleh dialog buku-buku, sedangkan yang menjadi perumpama pada ending-nya terletak pada aktor seorang anak yang mengingatkan mereka akan hal hal dahulu serta perpustakanya.
Selain itu pula, di bidang keaktoran peran, istri sudah sangat pas dan maksimal diperankan oleh aktris, namun peran aktor laki-laki terlihat sangat over acting, yaitu bloking dan beberapa dialognya. Terlihat beberpa kali aktor tidak Menjadi tetapi hanya Jadi.
Terlepas dari itu juga ada beberapa hal terkait seting yang di gunakan tampak mati dan tak berfungsi. Padahal Seting yang mewah itu sangat menarik untuk di-explore, karena sutradara kurang memerhatikan hal ini jadinya seting itu hanya sebagai penunjuk ruang saja tidak ada gunya. Barangkali di lain waktu aktor dan seting dapat berhubungan sebagaimana dalam ilmu artistik: setIap artistik memiliki jiwa dan jiwa itu adalah aktor itu sendiri.
Terbebas dari hal-hal lain, pertunjukan dan kajian saduran Cerpen Gulistan Karya Benny Arnas ini sangat bagus untuk dibahas dengan landasan penyampain tentang buku dan generasi.
Sebagai penikmat malam itu, saya agak terganggu dengan para fotografi, dengan flasnya yang sangat menggangu. Kiranya panitia dapat lebih extra memerhatikan hal ini, sebab ini dapat memicu emosi aktor.
Ridho Amilin,
Alumni Institut Seni Bandung
Tinggal di Muratara