education.art.culture.book&media

DETIK-DETIK MENEGANGKAN DI STASIUN KERETA HAUPTBAHNHOF

Di Kuala Lumpur, saya bertemu Indra, pemuda kelahiran Putusibau, Kalimantan Barat, yang ternyata akan bepergian ke Austria. Kami berbincang cukup panjang tentang bucket-list dalam bepergian. “Mau ikut saya ke Blaichah?” tanyanya tiba-tiba. “Saya punya teman di sana. Orang Jerman. Dia pernah tinggal 2 tahun di Putusibau sebelumnya. Dia mengundang saya ke rumahnya. Jadi sebelum ke Salzburg saya akan ke Jerman dulu. Kita naik kereta cepat. Pasti menyenangkan!” lanjutnya panjang lebar, seakan-akan saya sudah pasti akan jadi teman seperjanannya. “Jadwalmu, ‘kan, katamu tadi, bisa kamu komunikasikan dengan fasiltatormu, ‘kan?” Kali ini Indra benar-benar menembak di atas kuda.

Saya (ter)diam. Mengirim pesan WA pada fasilitator dan …. tanpa beban ia membalas, “Feel free. Take it. Selama kamu bisa menjaga diri. Kita janjian saja di Munchen Sentral Bus Station esok paginya.” Jujur, jawaban itu justru membuat saya makin cemas, saya buta tentang Eropa, tapi … tak
urung saya menerima tawaran Indra.

Maka, menjelajalah kami. Saya lupa menanyakan apakah Indra sudah sering ke Jerman atau paling tidak bepergian ke mana-mana, sebelum kemudian, ketika kami berada di stasiun kereta cepat dalam perjalanan dari Munich Train Central Station ke Hauptbahnhof Train Central Station, Indra bilang, “Saya gak pernah ke Eropa, Bang. Baru kali ini jalan jauh!” Alamakjang. Saya menepuk jidat!

Di dalam kereta, kami salah memilih tempat duduk, kami ‘terperangkap’ dalam kerumunan penonton bola yang mabuk. Salah satu dari mereka sempat menempelkan staples seukuran telapak tangan ke jidat Indra sebelum kemudian ia kembali menceracau dalam kerumunan. Saat itu saya mulai berpikir, tidak ada yang bisa menolong kami kecuali kewaspadaan dan doa. Tiba-tiba saya kangen anak-bini. Aeuuhhcc!

Di Stasiun Kereta Hauptbahnhof, urusan tak juga mudah. Tak satu petugas pun yang bisa memberitahu kami bagaimana mendapatkan tiket ke Blaichah. Di Information Centre, barulah kami mendapatkan sedikit titik terang. “Wait the train at 28. You just have 19 minutes left before the train leaving.”

Kami mengurus tiket di mesin tiket yang terdapat di semacam pangkal rel untuk kemudian bergegas ke tempat perbenhetian kereta nomor 28. Kami menghabiskan waktu 9 menit di depan mesin tiket karena mesin tak mampu mendeteksi Blaichah, melainkan Kempten, itu pun setelah menelepon teman Indra di Blaichah hingga ia memandu kami mengisi borang elektronik di mesin tiket via telepon.

Sepuluh menit tersisa kami pergunakan untuk berlari ke perbehentian bus nomor 28. Setibanya di sana, kami terdiam dalam kebingungan. Oh God. Perhentian itu memiliki kereta dengan arah yang berlawanan di kiri-kanannya yang siap berangkat! Kalau kami salah naik, matilah sudah. Kami memutuskan masuk ke kereta di sisi kanan. Begitu bertemu penumpang lain, kami gegas bertanya. Begitu kami mengkonfirmasi apakah ini kereta menuju Kempten, tak satu pun bisa menjawab. Sebagian besar malah bilang, “No!” atau “No English!” dengan air muka merasa terganggu.

Kami angkat kaki dan menuju kereta di sisi kiri. Kami melompat karena pengumuman dalam bahasa Jerman mulai terdengar. Kami tak tahu artinya apa, tapi suara di pelantang suara statisun itu berhasil membuat kecemasan kami makin meningkat. Di dalam kereta, orang-orang yang kami temui juga memberikan jawaban yang sama dengan mereka yang ada di kereta sebelah. Ya Allah. Kami keluar lagi. Kami berada di zona tunggu kereta dengan perasaan bingung yang tak mampu kami ungkapkan. Mau nangis, tapi malu. Mau teriak, ntar ditangkap petugas keamanan.

Ketika sedang dalam keadaan nyaris putus asa, kami melihat seorang perempuan tua kesulitan memasukkan dua koper yang berukuran jumbo ke pintu masuk kereta, sementara sirine mulai berbunyi, meskipun kereta belum menunjukkan tanda-tanda mulai bergerak. Kami gegas mendekatinya dan membantunya memasukkan koper-kopernya. “Kempten?” Indra masih menanam harapan pada perempuan tua itu. “Yeaa. Kempten!” jawabnya sebelum mengucapkan “danke” karena kami sudah membantunya.

Begitu kami memastikan semua barang sudah berada di atas, kereta bergerak. Saya dan Indra berpandangan. Ada lega dan syukur yang meriap di mata kami.

Di dalam kereta kami bertemu Suzanne—seorang relawan di pusat rehabilitasi bagi manula yang mengalami gangguan mental—yang tampak antusias ketika tahu kami berasal dari Indonesia. Dia sangat terkejut ketika mengetahui kami baru berkenalan di Kuala Lumpur sebelum memutuskan bepergian ke Blaichah.

Dua setengah jam kemudian, Blaichah nyaris membekukan kami dengan suhu 1,5 derajat celciusnya. Di rumahnya yang dibangun dari batu dan semua funiturnya berbahan kayu, Morris—begitu teman Indra itu akhinya saya tahu ketahui namanya—memasakkan Indomie porsi jumbo untuk kami berdua, ditemani air putih yang ditambahkan sanbitter yang juicy di lidah.

Pukul 5 subuh, Morris membawa kami ke Munchen Sentral Bus Station. Dan dalam bus yang akan membawa kami ke Salzburg, saya merenungi ulang makna perjalanan.

Ia bukan sekadar mengunjungi tempat-tempat baru, lebih dari itu: perjalanan adalah tentang kerelaan membiarkan peristiwa dan kejutan menemukan dirimu.***

On the Flix Bus,
14 April 2019,
Pukul 8.53 pagi waktu Jerman.

Ceritanya belum berakhir. Tapi akan saya ceritakan di kesempatan yang lain.

Comments
Loading...