education.art.culture.book&media

DI UJUNG MAUT, SAYA BAHKAN LUPA CARANYA BERDOA

Residency Story 23

——————————————————

Kepala saya pusing sekali. Berat sekali. Menyat-menyut. Wajah rasanya tebal sekali, pedas berdenyar-denyar seperti habis diolesi cabe giling. Lamat-lamat saya membuka mata dan mendapati Ethile sedang terlelap di samping saya. Meskipun begitu, kami tidak sedang terbaring di tempat tidur, tapi di kursi. Oh, tempat yang saya duduki ini bergoyang-goyang, seperti berjalan. Saya melihat sekeliling dan mendapati banyak orang sedang terlelap di kursinya masing-masing. Ruangan ini tidak besar tapi memanjang dengan dinding berwarna hijau muda. Di salah satu sisi ruangan mata saya menangkap tulisan dengan font tegas berwarna putih; mulanya kabur, tapi setelah saya kerenyitkan dahi, kini terbaca jelas.

Flixbus.

Oh jadi saat ini saya sedang berada dalam bus antarkota/negara? Perjalanan ke manakah ini?

Saya membangunkan Ethile yang duduk di dekat jalan penumpang. “Any drink?” pinta saya ketika ia masih berusaha mengumpulkan nyawa dengan mata yang berat sekali membuka. “Saya haus sekali, Eth.” Suara saya terdengar memohon. Saya memegang kerongkongan untuk menyempurnakan permohonan itu. Sungguh, saya haus sekali.

Menyadari keadaan, Ethile langsung bangkit dan mengambil sesuatu dari kabin di atas kami. Sepersekian detik kemudian ia sudah menyodorkan sebotol air mineral. “Kamu tadi pingsan, tapi waktu kita gak banyak. Kita ke Zagreb sekarang.”

“Eth?” Saya membuka tutup botol dan menenggaknya hingga tinggal setengah.

“Aku tahu kamu mungkin bingung, tapi misi utama sekarang adalah menyelamatkan Aida.”

“Eth?” Saya benar-benar tak mengerti. Saya bahkan kesulitan mengingat kejadian sebelum pingsan.

“Tapi bus ini berhenti di Velika. Paling naik taksi sekitar 30 menit, kita akan tiba di Zagreb. Aku sudah mengantongi alamat tempat Aida disembunyikan.”

Ingatan saya perlahan-lahan pulih. Saya mulai merangkai satu-dua hal.

“Bagusnya kita tidur lagi aja. Masih lama sampainya.” Ethile langsung memejamkan mata.

“Eth?” Saya meletakkan botol minum yang kosong di atas meja lipat. “Apa maksud dari interogasi tadi?” Ya, saya ingat sekarang.

“David dan Feo itu polisi amatir. Mereka menangani kasus ini serampangan sekali. Mereka tak pernah dipromosikan sehingga memanfaatkan ucapanmu di mobil mereka tempo hari untuk mendapatkan perhatian atasan. Zagreb tak pernah kekurangan saksi sehingga harus memburu kita!”

“Lalu?” Sungguh, sulit rasanya memercayai apa yang Ethile katakan. Atau … bisa saja … keadaan saya saat ini membuat saya belum siap mencernanya.

“Lalu apa?” Ethile masih memejamkan mata. Ah, tak sopan sekali.

“Bagaimana kita bisa bebas begini, Eth? Bukannya …?”

“Xing dan Margareth yang menyelamatkan kita di last minutes.” Lalu Ethile nyengir. “Mereka bukan orang biasa. Mereka terlatih. Mereka dulunya juara taekwondo ketika kuliah. Mereka …”

Xing? Margareth? Oh resepsionis itu. Jadi, gadis Amerika itu bernama Margareth? Apa hubungan mereka dengan semua ini? Ada apa ini sebenarnya? “Eth, saya tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa semuanya menjadi sekusut ini? Kenapa aku bisa terlibat sejauh ini?” Tepukan kecilku mendarat di atas meja lipat.

“Aku yang bertanggungjawab, Benn.”

“Aku paham, tapi …” Kepalaku berdenyut lagi. Pusing dan nyeri sekali.

“Sudahlah. Istirahatlah dulu. Nanti kita bicarakan ketika keadaan sudah kondusif.”

Saya bergeming. Kepala saya sakit sekali. Benar kata Ethile, saya tak punya pilihan, selain harus memejamkan mata saat ini. Ya Allah, bantulah hamba. Bantulah hamba ya Allah.

….

Entah sudah berapa lama saya terlelap ketika terjaga dan mendapati sekeliling sudah gelap. Bus berhenti. Beberapa penumpang turun. Baru saja ingin bertanya pada yang lain, saya kadung menyadarai kalau Ethile tak ada lagi di bangkunya. Alamakjang, ke mana pula dia?!

Bus sepertinya akan berangkat ketika saya menyadari sesuatu. Ya Allah, ini sudah sampai! Saya melongok ke kabin dan mendapati ransel saya masih di sana. Gegas saya cangking dan melompat turun.

Flixbus berangkat.

Saya menghela napas beberapa kali.

Saya melihat sekeliling dan mendapati tulisan dengan bahasa yang cukup asing. Bisa Kroasia, bisa Jerman, bisa Slovenia. Saya melihat beberapa penumpang yang turun berjalan ke selatan. Di sana ternyata banyak taksi sedang ngetem. Saya teringat kata Ethile. Setelah turun di Velika, saya harus naik taksi ke Zagreb. Saya lekas menghampiri taksi yang paling dekat.

“Ke mana kita, Pak?” tanya sopirnya begitu saya masuk.

“Ke utara,” jawab saya yakin. Saya sempat membaca Google Map. Saya yakin Zagreb berada di utara Velika.

“Tujuan?”

Baru saja saya akan menjawab, sopir taksi itu menawarkan jawaban. “Ibu kota?”

“Yap!” Dalam keadaan seperti ini, otak memang dituntut berpikir cepat. Ibukota yang dimaksud sopir ini tentu saja Zagreb.

Oh Ethile, hentikan permainan konyol ini! Mengapa engkau malah meninggalkanku yang sedang pemulihan seperti ini. Dasar orang gila!

Saya lupa berapa lama dalam perjalanan, taksi pun akhirnya menepi. Sopir menagih 60 euro begitu saya turun. Tentu saja saya terkejut dengan tagihan itu.

“Satu setengah jam lho, Pak,” dalihnya ketika saya protes dengan jumlah tagihan yang apabila dikonversikan hampir senilai 1 juta rupiah.

“Bagaimana bisa selama itu?” tanya saya cepat. “Bukannya biasanya cuma 30 menit?”

“Anda sudah pernah naik taksi ke sini dari tempat tadi?” Dia balik bertanya. “Lagi pula, kalau Anda pikir saya jalan, tentu Anda bisa mengarahkan atau memberhentikan saya di tengah jalan kok,” lanjutnya agak kesal.

“Sebentar,” saya merogoh dompet. Ah Ethile, kata-katamu gak ada yang bisa dipegang! Ya, saya ingat, kata Ethile, lama perjalanan Verlica-Zagreb hanya 30 menit dengan taksi. Huh, mana tagihan dalam euro pula! “Maaf,” kata saya kemudian ketika menyadari saya hanya punya 15 euro di dompet sebab hampir semua euro yang saya miliki sudah saya tukarkan dengan krona dan kuna ketika berada di Ceko dan Kroasia. “Apakah tidak bisa saya bayar dengan mata uang lokal?” Saya menawarkan solusi.

“Mata uang lokal?” Sopir bertanya balik dengan air muka yang juga tak bisa saya mengerti—campuran antara kebingungan dan ejekan. “Memangnya mata uang apa yang digunakan di sini?”

Saya berusaha santai meskipun tubuh ini menggigil hebat karena cemas dan kedingingan. Tebakan saya, suhu Zagreb saat ini dibawah 10 derajat. “Saya punya kuna. Bagaimana?”

“Kuna?”

“Ya. Kroasia memakai kuna, ‘kan?” Saya agak kesal juga dibuatnya.

“What the ….” Sopir itu batal menjadikan kata-katanya sebagai kalimat makian. “How could you say this is Croatia?”

Saya melihat sekeliling. “Ini ibukota, ‘kan?”

“Yes, it is,” jawabnya cepat. “Saya juga mengantar Anda dari ibukota?”

“Dari ibukota kembali ke ibukota?” Saya geleng-geleng kepala. “Hei, lelucon apaan ini?”

Sopir itu mengangkat kedua bahunya, namun kepalanya justru mengangguk.

“Kamu mempermainkan saya? Kamu menipu? Kamu …”

“Hei, calm down.” Sopir itu mengangkat kedua tangannya dan mengarahkannya kepada saya sebagai tanda agar saya tenang. “Sepertinya ada yang salah, Pak.”

“Apanya yang salah? Kamu yang salah? Kamu mutar-mutar saja untuk tujuan yang bisa ditempuh dalam 30 menit! Kamu mengambil keuntungan ilegal. Kamu memanfaatkan saya yang sedang linglung di pinggir jalan tadi, ‘kan?”

“Hei, Anda gila!” Sopir itu menunjuk-nunjuk wajah saya.

“Anda jangan main api!” Suara saya meninggi seraya mondar-mandir. Saya butuh menghangatkan badan. “Kamu yang meneba tujuan saya adalah ibukota justru ketika kita sudan berada di ibukota! Mengapa tidak dar awal kamu mengatakan kalau kita sebenarnya sudah di Zagreb. Kenapa kamu mengajak saya mutar-mutar satu setengah jam hanya untuk kembali ke Zagreb lagi? Kamu yang gila! Kamu yang kriminil!” Kali ini giliran saya yang menunjuk-nunjuk wajahnya.

Hebatnya sopir itu malah nyengir. “Hei India, ke mana tujuan Anda sebenarnya?”

Kurang ajar! Rasis! “Saya bukan India. Anda tidak sopan. Saya akan laporkan!”

“Terserah, Anda!” Ia masih nyengir. “Oukay, Asia!” Kali ini ia mengganti India dengan Asia. Ia masih rasis. Makin rasis! “Ke mana sebenarnya tujuan Anda, Asia?” lanjutnya seperti bernyanyi. Keparat!

“Zagreb!”

“Zagreb?”

“Jangan berlagak tolol. Anda juga tahu kalau dari tadi dan ini adalah Zagreb! Sungguh, tidak lucu! Jangan mempermaikan saya!”

“Zagreb?” Sopir itu mundur selangkah. “Zag … reb?” Ia mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala.

Saya tak menjawab. Pandangan saya menyapu kota.

“Zagreb masih 4 jam lagi.”

“Apa?”

“Makanya saya bilang Anda gila?”

“Jadi kita di mana?” Saya mulai panik. “Bukannya Zagreb itu ibukota?” Saya meneguk liur. Kecemasan saya memuncak.

“Tadi Flixbus Anda transit sebentar di Viena.”

“Viena?” Saya terperangah. “Austria, maksudmu.”

Dia mengangguk. Jalur Flixbus Ceko-Kroasia, kan memang melewati atau transit sebentar sejenak di Viena. Anda tidak mengecek jalur sebelum naik? Makanya saya bilang kalau tadi saya membawa Anda dari ibukota ke ibukota!”

“Viena ke Viena?”

“Tentu saja, bukan?”

“Lalu?”

“Viena ke Bratislava!”

“Jadi ini ibukota …”

“Ya, ini ibukota. Ibukotanya Slovakia!”

Tubuh saya serasa dihantam godam. Angslup dalam tanah hingga dasarnya.

“Anda punya Genius atau kartu kredit yang bisa dibaca …”

“No, i dont have credit card at all.” Saya benar-benar bingung. Satu-dua butir keringat menyeruak dari pori-pori kening saya. Oh, berkeringat di tengah udara yang bisa membuat beku … Ini pasti delusi!

“Baiklah, Anda bayar saja dengan mata uang yang Anda punya.” Sopir itu mencoba mengambil jalan tengah. Mungkin dia sudah lelah menghadapi penumpang yang tersesat ini.

Saya menyerahkan padanya dompet saya dan ia mengambil berlembar-lembar krona dan kuna setelah beberapa kali ia mengkonversinya menggunakan mesin penggesek kartu kredit di tangan kanannya—yang mulanya ia siapkan kalau-kalau saya ingin membayar dengan kartu kredit.

“Maaf saya tak bisa banyak membantu Anda,” katanya santai, tak peduli. “Saran saya kalau dalam ransel Anda ada coat atau baju hangat lainnya, kenakanlah sekarang. Makin malam, cuaca makin gila di Bratislava ini dan …”

Saya menunggu kelanjutan kalimat yang sengaja ia ambangkan.

“Mungkin saja ada drakula atau penjahat” Lalu ia tertawa ngajak seray membuka pintu mobil dan meninggalkan saya dengan suara gas yang sengaja ia main-bunyikan sedemikian rupa.

Sungguh, laki-laki berambut pirang agak ikal, gendut, kulit merah, dan berhidung besar itu, baru saja menjelma babi busuk di dalam sedan.

Oh, saya teringat koper yang masih di bagasi Flixbus dan sebuah syal dan beberapa buku yang menghuni ransel saya. Babi busuk itu benar, seiring waktu berjalan, suhu makin menggila di sini.

Saya teringat sesuatu. Benda yang harusnya saya gunakan sedari awal. Ponsel! Ah bodohnya saya. Saya mengambilnya dari ransel dan mendapati 15 panggilan tak terjawab dari Ethile!

Saya mencoba membuat panggilan balik, namun baterai hape saya tinggal 1 persen. Suhu yang dingin memang membuat ponsel lebih cepat kehabisan daya, tapi … mengapa harus di saat seperti ponse saya menyerah pada dinginnya malam. Saya benar-benar geram.

Benar saja. Belum juga Ethile menyambut panggilan saya, ponsel saya tak bernyawa lagi. Dalam keadaan kesal dan ketakutan, pandangan saya tertumbuk pada kursi panjang kayu di pinggir jalan di bawah pohon magnolia yang sedang digelayuti bunga-bunganya yang mekar sempurna. Menghabiskan malam di atas kursi itu mungkin akan jadi pilihan saya. Semoga saja saya bisa bertahan sampai pagi. Pelataran sejumlah gedung tua di sini tampaknya tak bisa diharapkan, sebab kurangnya penerangan dan keadaan yang sangat sunyi membuatnya jauh lebih layak menjadi tempat hantu-hantu gentayangan.

Seraya berjalan, saya mengeluarkan syal dan melilitkannya di leher. Oh, anggaplah saya tahan sampai pagi di sini, lalu apa? Saya mulai lapar. Saya merasa pusing lagi. Saya melangkah tertatih-tatih ke bangku panjang itu. Namun beberapa langkah lagi saya menjangkaunya, sebuah mobil sedan hitam—yang tampaknya dikemudikan dalam kecepatan tinggi—mengerem mendadak di jalan, tepat di samping saya. Saya pun berhenti. Mendadak mematung. Saya tak berani menoleh.

Ya Tuhan, apa lagi ini. Apakah saya akan berakhir di tangan penculik atau penjahat Eropa Timur. Saya pasrah. Tampaknya seeorang keluar dari sedan itu dan berlari ke arah saya. Saya masih tak berani menoleh. Ya Allah, saya bahkan lupa caranya berdoa.***

Zagreb, 2019

Comments
Loading...