education.art.culture.book&media

DUA “BENDA” JAHANAM LAYAK-BUANG

Residency Story 30

____________________________________

Saya dan Ethile saling pandang.

“Are you okay?” Kali ini mata sopir mercy tertuju ke Ethile yang sedang menunduk, meremas-remas rambutnya sendiri.

Ethile mendongak. Matanya merah. Pipinya basah, dan juga merah.

“He’s just fade very emotional moment.” Saya memberanikan diri mengambil alih suara Ethile. “We’re okay. He’s okay. He just needs a little bit process to be back as normal.”

Sopir menatap saya penuh kesangsian.

“Saya akan bertanggungjawab kalau terjadi apa-apa, Pak.” Intonasi suara saya berubah menjadi sedikit memohon. “Antarkan saja ke alamat sesuai yang tertera di Bolt.” Saya menunjuk tab yang menampilkan petunjuk arah. Bolt adalah aplikasi taksi online yang populer di Eropa. “Setelah itu, semuanya selesai. Yah, semuanya beres!” Saya mencoba tersenyum, meski saya sadar, siapa pun yang melihat wajah saya saat ini mengira saya sedang menyeringai.

“Okay.” Sopir taksi itu akhirnya mengalah. Ia kembali memegang kemudi dan memasukkan gigi. “I’ll hold your words, Man. Perjalanan ini akan memakan waktu normal 35 menit. Mohon kerjasamanya,” ujarnya dingin.

Saya hanya mengangguk. Saya memang mengucapkan kata “thank you”, tapi saya tak yakin ia bisa mendengarnya dengan jelas.

Hingga sepuluh menit mobil berjalan, kami bertiga menjelma orang asing yang dipaksa-satumobilkan. Saya dan Ethile seperti kompak memandang keluar lewat jendela masing-masing. Malam itu, mercy itu benar-benar tidak terasa mercy. Sopir yang dingin. Tape dan radio yang tidak menyala. Bisu. Hanya deru AC yang mengisi kekosongan yang absurd.

Di luar, Zagreb yang kedinginan malas bergerak. Benar-benar tak ada kesibukan untuk standard ibukota. Dalam urusan keriuhan, Jakarta tampaknya menang jauh. Menang banyak. Tempat dan jalur yang masih berdenyut adalah beberapa toserba dua puluh empat jam dan jalur metro—kedua-duanya terdapat di bawah tanah. Satu-satunya jalur di atas tanah yang masih bergerak adalah sepasang rel yang memuluskan gerbong panjang Trauma Logika sampai tujuan—tapi tentu saja tak terlalu meriapkan suasana sebab orang-orang dikurung kotak kaca yang memanjang dan meliuk. Di trotoar, hanya terdapat segelintir orang yang berjalan dengan mantel tebal, syal bulu, dan penutup kepala berbahan wol. Sebagaimana biasa, beberapa tampak memegang tali anjing yang berjalan bersama mereka. Anjing-anjing itu menjulur-julurkan lidahnya. Meskipun hewan peliharaan itu juga mengenakan mantel sebagaimana majikannya, saya pikir itu tidak cukup membantu; bahwa anjing itu bisa menghangatkan dirinya sendiri atau … dengan sebagian besar kepala terbuka dan kaki telanjang, mantel itu masih tetap membuatnya menggigil.

Keadaan yang sepi membuat para pengendara dan pejalan kaki tidak lagi terlalu mematuhi lampu lalu lintas. Hal yang cukup berbeda dengan yang teramati di Salzburg dan Munich.

Iseng saya melirik penunjuk suhu digital yang terdapat di layar pemutar musik: 8 derajat celcius!

“Mungkin ada barang jahanam lain, selain sapu tangan, yang masih kamu simpan?” tanyaku seperti bergumam. Saya masih memandangi Zagreb malam hari dari kaca jendela. “Ada baiknya, mungkin besok, kita ke museum itu lagi, agar tuntas semuanya.” Lalu saya berdehem dua kali. Saya harap Ethile mengerti maksudku.

Tak lama kemudian, dari arah samping saya, terdengar bunyi badan yang berubah posisi. Namun … Ethile tak juga mengeluarkan suara.

“Saya sendiri tidak ngotot memintamu melakukannya, Eth.” Saya sadar, saya harus lebih hati-hati menata kata. “Hmm, you knowlah. Saya muslim. Tidak percaya pada hal-hal begituan. Sama seperti tak tergodanya saya dengan alkohol atau wanita cantik Eropa Timur.” Saya tertawa kecil seraya menunggu tawa Ethile yang khas itu juga pecah.

Tapi tidak.

Ethile tidak terpancing.

Ethile bergeming.

Saya mengubah posisi duduk, kali ini persis menghadap punggung Ethile yang masih memandang ke luar. Ia melepas hawa ke jendela, lalu menggambar objek dengan bentuk tak terlalu jelas, menghapusnya kembali, mengembunkan kembali kaca itu dengan hawa dari mulutnya, begitu seterusnya. Tampaknya, dari tadi ia sudah melakukannya berulang-ulang. Ah, kekacauan pikiran dan perasaan kerap membuat seseorang kembali ke masa kanak ….

Namun, untuk Ethile, tidakkah semua ini jadi mafhum? Ia sedang tidak menostalgiai masa-masa kecilnya yang (tidak) indah. Ia justru sedang memaksa Tuhan mengembalikannya ke masa itu agar tangan bayinya bisa menahan lengan orangtua kandungnya untuk meninggalkannya begitu saja di rumah bersalin. Oh, sejak SMA, tak terbilang usahanya mencari siapa ayah dan ibu kandungnya. Semua rumah bersalin di Duvronik sudah ia datangi, tapi tak satu pun memberi apa yang ia cari. Semua petunjuk pun seperti menjauh darinya. Hingga perusahaan jasa perjalanan dunia, TCS World Travel, yang berbasis di Argentina menyukai tulisan petualangannya bersama Aida di Valencia dan Bratislava, sehingga mereka menawarinya pekerjaan sebagai guide Eurotrip.

Ethile bersemangat sekali, tapi tidak dengan Aida. Ethile tak punya pilihan. Ia meninggalkan Aida untuk kembali. Memantaskan dirinya sebagai lelaki, sekaligus mengobati luka-luka yang menganga karena perlakuan orangtua tiri yang menyayanginya sekejap untuk kemudian menghilangkannya dari daftar kasih sayang, begitu mereka memiliki pasangan hidup masing-masing—yang mereka pikir bisa memberi anak dari sperma atau rahim sendiri. Ethile menceritakannya dengan tuntas dalam perjalanan darat dari Zagreb ke Praha seminggu yang lalu.

“Aku pikir, aku akan ditinggalkan begitu mereka memiliki keturunan, tapi aku ternyata diasuh oleh dua orang yang tak setia, dua orang brengsek!” Ethile memukul jok kursinya.

“Dan perjalananan akan menyembuhkan, harapmu,” gumamku.

“Aku tahu, ia tidak akan mampu. Tidak akan mampu.”

Aku ingin sekali Ethile balik badan dan melihat bagaimana mataku saat ini sedang menguar simpati yang tak pernah kuberikan pada siapa pun.

“Setiap kali istrimu menelepon, ingin sekali kubilang; Stop, Benn. Stop!”

Oh, maafkan aku, Eth.

“Tidak, aku bukan iri dengan keluarga bahagiamu.” Suara Ethile mulai serak. “Aku lihat ketiga anakmu menyapaku dengan antusias di video call terakhirmu di Bratislava. Alangkah beruntungnya mereka memiliki kau dan … siapa …”

“Desy.”

“Ya, memiliki kau dan Desy. Kau tahu …” Ethile mengambil sapu tangan dari sakunya untuk menampung embusan cairan dari hidungnya. Saya tahu, saat ini bibirnya pasti terasa asin. Air mata sudah tumpah hingga ke sana.

“I am so sorry, Eth.”

Ethile menggeleng-gelengkan kepala. “Kau tahu … aku … aku … ingin sekali menjadi seperti anak-anakmu itu! Bahagia seperti mereka!” Lalu tangisnya benar-benar pecah. Ethile menyandarkan matanya yang basah ke jendela hingga embun yang tadi menyelimuti kaca itu pun bersih serta-merta.

“Eth.” Saya menggamit punggungnya, mengajaknya berbalik. Namun Ethile bergeming. Tubuhnya mengeras.

“Aku tak perlu dikasihani, Benn. Tidak perlu.”

Saya menghela napas beberapa kali. Tak henti kutatap punggungnya yang naik-turun menahan tangin dan dadanya yang sedang bergejolak. Bisa saja, belum pernah ia “setelanjang” ini di hadapan siapa pun. Ini pasti sangat berat baginya.

“Oh, ya?” Akhirnya Ethile balik badan. Namun ia tidak menoleh dengan wajah sendu, meskipun mata, wajah, dan bibirnya basah oleh air asin yang tak kuasa ia kendalikan. Sinar matanya menjelma pedang panjang yang tajam, menatapku. Tajam seperti hendak melumatku. Jujur, saya tak sanggup lama-lama menatapnya.

Ethile sangat marahkah?

“Oh ya, Benn, tolong ulangi pertanyaaanmu tentang benda jahanam yang harusnya kubuang di Museum of Broken Relationships itu. Tolong ulangi.”

“Eth, tenang. Mari berpikir jernih.” Ah, saranku buruk sekali. Bagaimana mungkin pemuda 21 tahun yang sedang “hancur” itu bisa mendengarkan ceramahku saat ini.

“Ulangi. Benn! Ulangi sekarang!” Ethile benar-benar berteriak dengan kepala yang maju hingga wajahnya berada tiga jari di depan wajahku yang memucat.

“Ba—ba—ik, Eth,” jawabku seraya menarik wajah darinya.

Ethile masih melotot.

“Apakah kau masih punya benda jahanam yang harusnya kau buang ke Museum Patah Hati?”
“Iya, tentu saja.” Suara Ethile terdengar lebih garang, seakan-akan bukan ia yang sedang berbicara.

“Ada berapa?”

“Dua!” Ethile meliak-liukkan wajahnya di depan wajahku, umpama drakula yang tengah mencari titik paling hangat untuk mengisap darah di leherku. Saya benar-benar merinding.

“A—apa saja itu?”

“Pertama: Silic Jlaovic. Kedua: Maria McFarde.”

Aku mengangguk-angguk.

“Kamu tahu siapa kedua benda itu?”

Saya mengangguk seraya meneguk liur.

Mereka—sepasang manusia yang ia sebut benda layak buang itu—adalah kedua orangtua tirinya yang saat ini sudah memiliki pasangan masing-masing.

“Sorry, Sir, kita sudah sampai,” suara sopir mercy benar-benar mengeluarkanku dari kengerian barusan.

Saya menghela napas beberapa kali sebelum kembali menoleh ke arah Ethile. Di bangkunya, ia terlelap. Tampaknya sedari tadi, ia lelah dengan kejamnya nasib yang memeluknya.

Ah, penulis, jangan terlalu keras berimajinasi, nasihatku pada diri sendiri. Ethile tidak marah, Ethile tidak menjadi drakula. Sedari tadi Ethile melempar dirinya ke alam mimpi yang mungkin bisa membahagiakannya—meskipun hanya sekejap—di atas jok mercy yang nyaman.

“Sorry,” ujar saya pada Pak Sopir. Seandainya anda berputar lagi untuk kemudian kita tiba lagi di sini, berapa saya harus bayar?”

Si sopir memandang saya tak percaya.

“Ini adalah hari yang keras baginya.” Saya menoleh Ethile. Saya ingin memberinya hadiah tidur yang nyenyak. Walau cuma setengah jam lagi.”

“Baik,” kata sopir itu kemudian. “Dua ratus kuna. Sebagaimana bayaran taksi dalam putaran pertama ini yang sudah kalian bereskan lewat Bolt. Kamu tak ingin menggunakan Bolt lagi?” tawarnya lagi.

“Saya tak punya kartu kredit, tapi saya bisa membayar Anda denga uang tunai. Bagaimana?”

Sopir itu menengadahkan tangan kirinya ke arahku.

Oh, dia minta dibayar di muka.

Saya merogoh dompet dan menyerahkan 250 kuna dalam pecahan kertas.

Mesin mobil kembali menyala. Satu putaran lagi, Eth. Tidurlah. Tidurlah. Begitu terjaga, Aida sudah mengelus kepalamu.***

(Zagreb, 2019)

Comments
Loading...