IKHLAS DALAM DIAM
Karya: Sugiyarti
Tidak pernah terpikirkan oleh Lili sebelumnya bahwa ia akan menjadi yatim piatu di usianya yang ke-18 tahun—usia ketika ia baru saja mau memulai hidupnya sendiri. Yang lebih mengejutkan, ia harus kehilangan rumahnya yang penuh kenangan itu karena ayahnya tertipu investasi bodong. Ia pun terlilit utang di usianya yang masih tergolong belia dan belum mengenal dunia yang sesungguhnya.
Setelah kesehatannya pulih, Lili melakukan berbagai jenis pekerjaan agar utangnya segera lunas. Mulai dari manggung dari satu kafe ke kafe yang lain, menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran, bahkan menjadi host live pun ia lakukan. Untuk memikirkan masa depan saja rasanya tak sempat. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah satu: semua utang itu harus lunas, dan ia bisa pindah ke hunian baru yang lebih layak. Maklum saja, dengan uang yang pas-pasan, bahkan cenderung kurang, Lili terpaksa harus ngekos di daerah kumuh dan bau karena dipenuhi sampah di sekitarnya.
Berbeda dengan kehidupannya yang dulu. Meski tidak tergolong kaya, ia hidup sangat berkecukupan. Bahkan, kedua orang tuanya mampu memberi les vokal untuknya karena mereka tahu bahwa Lili bercita-cita menjadi penyanyi sejak kecil. Dengan les vokal, bakat menyanyinya semakin berkembang. Ia mengikuti berbagai perlombaan menyanyi dan sering mendapat peringkat tiga besar. Piala-piala dari ajang menyanyi pun berjejer penuh di lemari.
Berkat bakat menyanyinya itulah, ia mampu mencicil utangnya sedikit demi sedikit. Menyanyi menjadi sumber penghasilan utamanya saat ini. Namun, suatu hari setelah selesai manggung di Kafe Andara, ia merasa tidak enak badan. Tenggorokannya sakit dan suaranya parau. Ia pikir hanya flu biasa, namun sudah beberapa hari tidak sembuh. Justru semakin terasa sakitnya. Bahkan untuk berbicara pun terasa sakit. Ia memutuskan pergi ke rumah sakit karena tak kunjung sembuh juga.
***
“Kamu harus istirahat dari bernyanyi, kalau tak ingin suaramu hilang selamanya.”
Kalimat dingin dari dokter itu bagai petir di siang bolong. Menyambar dan menghancurkan dirinya. Membunuh mimpi yang telah lama dipelihara.
“Tapi bagaimana bisa, Dok? Apa karena saya terlalu sering menggunakan suara saya untuk bernyanyi?”
“Itu salah satu faktornya. Selain itu, kecelakaan yang menimpamu sebelumnya memiliki andil besar sebagai penyebabnya.”
“Merenggut kedua orang tuaku saja sudah sangat kejam! Sekarang Engkau harus merenggut satu-satunya keahlian yang kupunya? Merenggut sesuatu yang sudah menjadi jiwaku?” pikiran Lili kacau. Ia marah, tentu saja. Ingin rasanya ia berteriak dan mengumpat saat itu juga. Tapi tentu saja itu hal yang sia-sia.
***
Lili menghentikan langkahnya. Di depannya berdiri megah sebuah gedung pencakar langit yang sangat terkenal: Moon Entertainment. Teringat beberapa waktu lalu, salah seorang staf dari perusahaan hiburan terkenal tersebut menawarinya mengikuti audisi menjadi penyanyi. Sebuah tawaran yang sangat langka. Tawaran yang hanya ada di dalam mimpinya. Awalnya ia mengira inilah jalannya—awal mula dari takdir yang selama ini ditunggu. Ia sangat yakin akan berhasil, dan suatu saat akan berdiri di panggung besar, disorot cahaya, dan ribuan orang bertepuk tangan untuknya.
Namun, ia salah. Ia telah kalah bahkan sebelum berjuang.
Lelah, kecewa, marah—semuanya terlukis di wajah cantiknya. Memikirkan akan melakukan pekerjaan apa lagi semakin membuatnya pusing. Ia bisa saja menulis lirik, menciptakan lagu, dan musiknya sendiri. Namun, ia tahu, untuk pemula sepertinya semuanya butuh proses yang lama. Sedangkan ia harus segera melunasi utangnya. Di sekeliling kepalanya banyak peri-peri kecil yang berisik memberi saran ini itu. Saking berisiknya, ia bahkan sempat berteriak. Untung saja ia hanya sendirian di halte bus malam itu.
Setelah berhasil mengusir peri-peri itu, Lili pun beranjak pergi. Namun, baru selangkah, ia terhenti. Di halte itu tertempel selembar brosur lowongan kerja sebagai juru bahasa isyarat untuk pendamping penyiar berita di televisi. Ia pun mengambil brosur itu dan membawanya pulang.
***
“Bahasa isyaratmu sangat bagus. Sepertinya kamu biasa menggunakan bahasa itu sehari-hari. Apakah saya benar?” tanya salah seorang juri yang sepertinya bisa membaca wajah orang lain itu.
“Benar, Pak. Karena ibu saya adalah tunarungu sekaligus tunawicara, maka saya terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat kepada ibu saya.”
Juri itu hanya mengangguk-angguk seolah puas dengan jawaban Lili. Lili sempat yakin akan berhasil, tapi setelah wawancara itu ia menjadi sedikit khawatir karena para pesaingnya juga tak kalah jago darinya.
Selang beberapa hari kemudian, ada WhatsApp masuk di HP-nya.
“Selamat, Anda telah lulus wawancara dan diterima menjadi juru bahasa isyarat di ABC News. Mohon untuk datang ke kantor besok untuk pembicaraan kontrak lebih lanjut.”
Lili lompat kegirangan sampai orang-orang di sekitarnya melihatnya. Ia tak peduli lagi, ia sangat senang dan terharu. Ia pikir tak akan lolos karena tak kunjung ada kabar setelah wawancara itu. Sejenak kemudian ia teringat orang tuanya. Ia pun pergi mengunjungi makam kedua orang tuanya.
***
Di atas batu nisan ibunya, ia menceritakan perjalanan hidupnya setelah ibu dan ayahnya meninggal. Ia juga menceritakan tentang dirinya yang segera menjadi juru bahasa isyarat dan bakal tampil di TV.
“Bu, bahasa isyarat yang dulu sangat aku benci justru kini menjadi penyelamatku. Maafkan aku yang dulu sangat egois ini, Bu. Aku hanya ingin berbicara dengan Ibu. Mendengar suara indah Ibu dan bernyanyi bersama. Namun aku tahu itu tak mungkin terjadi. Maafkan sikap kekanak-kanakanku dulu, Bu.”
***
Tiga tahun kemudian, kehidupan Lili sudah cukup membaik. Utang-utangnya sudah dilunasi. Ia pun sudah pindah ke apartemen. Meskipun apartemen murah, setidaknya lebih nyaman dari tempat kos kumuhnya dulu.
Kerusakan pita suaranya pun kini jauh lebih membaik, namun ia masih belum bisa bernyanyi dengan leluasa. Ia masih harus menjaga suaranya agar lekas sembuh seperti sedia kala. Mimpinya untuk menjadi penyanyi pun ia relakan sementara waktu, sampai semuanya benar-benar membaik.
Di usianya yang kini menginjak 21 tahun, Lili telah belajar banyak hal. Terutama tentang keikhlasan melepas sesuatu yang sangat dicintainya seperti bagian dari jiwanya sendiri. Ia sadar, sesuatu yang menurutnya baik belum tentu baik untuknya. Sebaliknya, sesuatu yang dinilainya buruk, yang dibencinya, justru itu yang terbaik untuknya. Skenario Sang Pencipta memang tak pernah salah.