education.art.culture.book&media

IZINKAN AKU, SEKALI SAJA!

Karya: Yaumil Azmi

 

Tidak ada yang mau terlahir dengan serba kekurangan, kalaulah orang-tuaku mampu, mana mungkin aku memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi,” ucap Amil menggerutu.

Amil, seorang gadis, tinggal di pelosok kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota, yang kabupatennya saja masih termasuk wilayah tertinggal. Dia tidak punya kesamaan dengan teman-temannya untuk hal pendidikan. Mengenyam bangku sekolah sampai tingkat menengah atas saja sudah keberhasilan yang harus banyak disyukuri bagi ia dan keluarga, walaupun di hati kecilnya tetap punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang sarjana.

***

Amil memilih pulang ke rumah dan meninggalkan perkumpulan teman-temannya itu. Hati dan pikirannya masih berkecamuk tak karuan sesampainya di rumah. Ucapan dari teman-temannya mengenai dirinya yang tidak melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi itu membuat ia merasa tidak nyaman dan merasa terintimidasi. Namun di balik itu semua, ia merasa harus membuktikan sesuatu kepada teman-temannya. Ia mencoba memberanikan diri membuka website-website  yang berisikan beasiswa pendidikan sarjana.

Dari satu website ke website yang lain, mencari tahu juga dari media sosial lainnya seperti instagram. Hari demi hari terus dilewati dalam berburu beasiswa, hingga pada waktunya ia menemukan beasiswa yang sangat mendukung kondisinya pada saat ini, yaitu beasiswa pendidikan jalur afirmasi. Dengan penuh semangat dan penuh keyakinan akan menjadi salah satu kandidat terpilih untuk menerima beasiswa tersebut, tanpa pikir panjang ia memberanikan diri untuk mendaftar. Ternyata prosesnya tidaklah mudah, tidak dengan sekali daftar bisa langsung lulus dan terpilih menjadi penerima beasiswa tersebut.

Di tahun pertama ia gagal, dan mencoba di tahun kedua tetap gagal. Sempat ingin menyudahi keinginan itu, ditambah kedua orang tua yang tidak memberi izin penuh untuk berkuliah di ibukota, dan hidup sendiri jauh dari keluarga. Tapi ia mencoba menyadarkan dirinya kalau nanti akan sangat bangga bisa berkuliah di kampus bergengsi yang ia impikan dari dulu dan juga bisa membuktikan kepada teman-temannya kalau ia bisa berpendidikan tinggi hingga sarjana dengan jerih payah yang ia usahakan sendiri selama ini.

Namun tidak menutup kemungkinan, ia masih terpikirkan tentang izin orang tua jika memang ia lulus dan terpilih menjadi penerima beasiswa tersebut. Ia akan sangat bertentangan dengan kedua orang-tuanya. Satu sisi restu orang tua ini sangatlah penting untuk kemudahan-kemudahan dalam hidupnya. Tapi di sisi lain, berkuliah di kampus tujuan yang ia impikan dari dulu itu adalah keinginan yang tak bisa ditawarkan dengan apapun. Ditambah lagi, ada pembuktian besar yang ingin ia tunjukan kepada teman-temannya. Beberapa permasalahan itu mengakar di kepalanya, membuat ia menjadi rentan sakit dan mengeluh sering sakit kepala setiap memikirkan hal-hal yang berat.

Dengan berat hati, tahun ketiga, ia kembali mendaftarkan diri dengan kesiapan yang jauh lebih matang dari tahun-tahun sebelumnya. Dan… benar ia jauh lebih siap melewati beberapa seleksi awal, hingga sampai pada seleksi final sesuai pada apa yang ia harapkan. Sembari menunggu jadwal seleksi final, kedua orang-tuanya kembali bertanya hal yang sama.

“Kamu betul mau kuliah? Kalau beneran lulus gimana? Kita tidak punya cukup uang untuk mendukung keberangkatanmu nanti,” Ibu berusaha memberi pengertian.

“Ibu gak perlu khawatir tentang biayanya gimana, Bu. Beasiswa ini dibiayai sepenuhnya, Bu. Bahkan, biaya hidupku di sana juga ditanggung,” tutur Amil.

“Tapi kamu perempuan, Nak. Hidup sendiri di ibukota jauh dari keluarga itu gak mudah,” sekarang giliran Bapak memberi pemahaman.

Amil terdiam tanpa sepatah kata pun, tapi hati kecilnya sangat tidak terima ada di keadaan ini. Ia merasa, kenapa sesulit itu untuk menggapai apa yang diimpikan dari dulu. Padahal mimpi itu sudah ada di depan mata, selangkah lagi mimpi itu bisa ia raih dengan rasa bangga. Namun, ia tidak punya kekuatan lebih untuk bisa meyakinkan kedua orang-tuanya, bahkan amarah itu ia pendam dan menjadi tidak sehat untuk mental dan pikirannya. Sejak saat itu, ia sering terlihat murung, selalu mengeluh sakit kepala dan parahnya, ia tidak bisa mengontrol emosi dengan baik.

Hingga tibalah jadwal seleksi final yang seharusnya ia tunggu-tunggu itu, harusnya ia mempersiapkan diri dengan baik untuk mengikuti tes wawancara yang menjadi penentu dari semua rangkaian seleksi tersebut. 

Pada hari itu emosinya sangat tidak stabil, ia merasa ketakutan dan beranggapan orang-orang akan men-judge apa saja. Semua orang tak pernah mendukung mimpinya! Tangannya gemetar, mukanya mulai memerah, giginya gemeretak, ia menatap tombol merah di sudut kanan atas ponselnya dengan tatapan marah dan kecewa. Dengan sangat cepat, jarinya menyentuh tombol merah itu, ia memilih meninggalkan zoom saat wawancara sedang berlangsung. Sudah sangat jelas di peraturan seleksi, ketika meninggalkan Zoom saat seleksi itu artinya semua berakhir. Ia terdiskualifikasi. Semua berakhir di hari itu juga. Apa yang ia mulai, ia akhiri, bukan karena kemauannya, tapi karena semesta tak pernah ada di pihaknya!

Comments
Loading...