education.art.culture.book&media

KAMU SALAH MILIH TEMAN CURHAT, ETH!

Residency Story 19

—————————-

Tidak seperti biasa, kali ini Ethile membeli tiket bus Regio untuk kami. Padahal Filxbus yang sering kami gunakan untuk transport antar kota/negara pun menurutku sudah sangat nyaman. Tidak dingin, tidak juga panas, bahkan cenderung hangat untuk Eropa yang relatif dingin. Yang paling saya suka dari bus dan kereta lintas kota di Eropa adalah toilet yang bersih, fasilitas WiFi, dan ketersediaan port listrik di masing-masing tempat duduk sehingga kita gak harus bergantian (baca: berebutan) kalau mau mengisi ulang daya ponsel.

“Kita akan bepergian 7 jam ke Praha. Lihat saja, ini Eropa kok. Bukan kaleng-kaleng!”

Huahaa. Saya refleks tertawa. Dia sepertinya keberatan diprotes.

Ethile benar. Kelas Regio memang berada di atas Flixbus. Bus ini memiliki pramugara—kata Ethile kami sedang apes sebab biasanya yang melayani adalah pramugari, hhahhaa—dengan seragam putih hitam yang rapi, layanan makan-minum, meja lipat, layar 12 inci yang dapat memutar film atau serial TV dengan jaringan internet, dan port listrik pribadi dan jaringan WiFi yang kencang. Oh ya, tentu saja dengan toilet yang wangi, meski saya akan selalu membawa botol air minum tiap kali hendak buang air sebab toilet di Eropa hanya menyediakan tisu sebagai pembersih.

Benar kata Ethile. Ini Eropa, Benn. Bukan kaleng-kaleng.

“Jadi, apa kesimpulanmu atas semua kegilaan ini?” tanyaku ketika bus kami memasuki Herchegalom, sekitar 30 menit dari tempat Regio bertolak. Di kiri-kanan kami hanya melihat ladang pertanian yang ditumbuhi tanaman yang baru berdaun.

“Sejujurnya aku pun tak mengerti, Benn. Aku benar-benar bingung.”

Aku menunggu.

“Aku melacak beritanya di Internet atau koran setempat, juga tak ada. Artinya ini bukan kejahatan yang mencuri perhatian siapa pun. Polisi berhasil meredamnya.”

“Oh jadi tindakan kita tidak menghubungi kepolisian Zagreb itu menurutmu benar?”

“Aku pikir begitu, Benn.” Ethile mengambil apel dari dalam tas punggung kecil yang saya letakkan di antara kami berdua, tapi ia tak langsung menggigitnya, melainkan meletakkannya di atas meja lipat yang baru dibukanya. “Aku khawatir kalau kita menelepon Zagreb, malah membuat semuanya kacau sehingga perjalananmu akan stag.”

Saya mengangguk. Saya paham, Zagreb yang ia maksud adalah pihak kepolisian di sana. Terima kasih atas kebaikanmu, Eth.

“Anyway, kenapa kamu bisa ‘takluk’ pada salju sehingga tanpa pikir panjang menerima tawaran Dody ke Asotthalom?”

Saya tertawa. “Saya belum pernah memegangnya, Eth.”

Ethile ikut tertawa. “Ingatkan aku tentang ini, Benn.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Menurutku Asotthalom bukan tempat ideal untuk melihat salju di musim semi begini.”

“Menyentuh, memegang, merasakan … bukan sekadar melihat, Eth.”

“Ya, kamu tahulah maksudku.”

“Sebentar.” Aku ingin mengembalikan topik percakapan. “Apa maksudmu untuk mengingatkanmu lagi nanti? Tentang apa?”

Ethile berpikir sebentar sebelum menjawab, “Ya, tentang salju itu.”

“Trus?”

“Kalau memang kamu ingin merasakan salju di bulan April sekaligus melihat bagaimana manusia yang hidup di zaman Sebelum Masehi sudah menggunakannya untuk pengawetan dan perlindungan makanan, jejak-jejaknya bisa kamu lihat di Valencia.”

“Oh ya?”

“Ya.”

“So, kita akan ke Spanyol?”

“Pasti.”

“Kapan?”

Ethile mengangkat bahunya. “Nantilah dipikirkan kapannya, tapi menurutku setelah Belanda.”

“Pakai bus atau kereta?”

Ethile tertawa. “Eh, nggak usah mikirin itu. Bukan wilayahmu.” Lalu ia tertawa lagi. “Tapi menurutku, kita akan naik pesawat ke sana.”

“Pesawat?”

“Nanti, setiba di negara ke berapa, kamu sudah akan bosan dengan Eropa, Benn,” ujarnya yakin. “Gedung-gedung tua menjulang gagah di mana-mana …”

“Seperti di Kroasia dan Hungaria …”

“Exactly!” Ethile balas memotong. “Di Belanda atau Belgia semuanya akan berulang.”

“Tapi aku sudah mulai bosan dari Hungaria kemarin. Tidak harus menunggu Amsterdam.” Saya tersenyum tipis. Sudah lama saya tak mencandai Ethile.

“Jangan sok tahu. Aku kapten di sini.”

“Eh?”

“Maaf, aku fasilitatormu di Eropa.”

“Sampai Maroko.”

“Sampai Maroko, Benn.” Ethile nyengir.

“Jadi?”

“Ya, ikuti sajalah.”

Aku mengangguk.

….

Lima menit berlalu. Bisu.

Seorang pramugara menawarkan minuman. Kami memilih late. Seperti biasa, Ethile dengan gula, aku tanpa gula. Kami sama-sama memilih croissant sebagai teman ngopi.

“Eh Eth, kenapa kita harus ke Valencia?”

“Tentu saja …”

“‘Maksudku selain urusan salju.”

“Lihat di luar, Benn!” Leher Ethile mendadak memanjang mendekati jendela. “Kota yang cantik, bukan?” lanjutnya.

Aku refleks menoleh ke jendela. Lampu menyala di mana-mana. Tak terlalu banyak bangunan tinggi. Daun-daun maple yang mencokelat kekuningan tampak memancarkan gradasi pelangi diterpa penerangan dari bangunan sekitar.

“Kita baru saja memasuki Bratislava.”

“Slovakia?”

“Ya.”

“Oh.”

“Mau ke sini?”

Saya menoleh ke arahnya sebelum sadar kalau semua itineary mungkin saja berubah di tangan kami, di tangan Ethile.

“Bagaimana kotanya?” Saya terpancing. “Seperti Bled?”

Ethile menggeleng. “Biasa saja.”

“Lalu kenapa menawariku ke sini?”

“Supaya mengalihkan percakapan tentang Valencia.” Ethile ngakak lagi. Penumpang di depan kami mengubah posisi tidurnya beberapa kali. Ia tampaknya terganggu oleh kebisingan di belakangnya.

Aku menyelesaikan gigitan croissant terakhirku ketika Ethile memamerkan pengetahuannya tentang penggunaan salju di zaman dahulu. Namun yang menarik adalah ia ingin menghadiahiku fotokopian cetakan usang—dia tidak menyebutnya cetakan pertama—karya Juan de Carbajal yang pertama kali dirilis di Sevilla pada tahun 1611 berjudul Uses of Snow Found in Good Medicine. “Kita juga akan ke Granada.” Ethile lompat topik lagi.

“Oh ya?”

“Fotokopian buku tua itu ada di sana. Di rumah temanku. Dekat kompleks Al Hambra. Semoga dia ada di tempat ketika kita nanti ke sana.”

“Semoga dia masih menyimpan buku tua itu, Eth.”

“Kalau itu aku yakin, Benn. Dia seorang pustakawan.”

“Di Perpustakaan Daerah Granada.”

“Bukan. Di Sevilla. Dia bolak-balik Sevilla-Granada untuk bekerja. Tapi buku yang tadi kusebutkan adalah koleksi pribadi. Koleksi pribadi kami, tepatnya, sebab sudah kutitipkan di sana.”

Aku tersenyum. Thanks, Eth. You’re so kind. Tiba-tiba saya merasa ngantuk sekali.

“Benn.”

Aku mulai memejamkan mata.

“Aku dan Aida, semasa SMA dulu pernah ke Valencia. Ke tempat penyimpanan es yang ingin kutunjukkan itu.”

Saya tak tahu, apakah itu suara Ethile atau suara yang lain.

“Tapi kemudian aku mengajaknya ke Sierra de Mariola. Provinsi Alicante. Di sana, di dalam salju yang memenuhi gua, aku menciumnya untuk kali pertama sebab dia juga ternyata menyukaiku.”

Lalu aku tak ingat apa-apa. Mungkin juga karena, di telingaku, cerita Ethile terdengar “lebai”. Ethile salah memilih rekan bercerita untuk kisah SMA-nya yang picis itu.

Eth, aku sudah beranak tiga!😂 ***

Di atas langit Paris,
2 Mei 2019 pukul 22.30

Comments
Loading...