education.art.culture.book&media

KETEGANGAN DI PLIVITCE

—Bagian 3

Di pintu masuk danau dengan 113 air terjun itu, beberapa mobil polisi berangsur meninggalkan lokasi. Saya dan Ethile bergegas menuju ke mobil yang tersisa. Untunglah, di dekat sana, ada Drevan. Dia menghampiri kami dan membantu meyakinkan polisi tentang keadaan kami.

“Di Zagreb di mananya?” Polisi itu mulai percaya. Rekan yang duduk di sebelahnya menyalakan Google Map di depan kemudi.

“Vlaska, Sir,” ujar saya cepat. “Dekat Katedral!” imbuh saya tak kalah cepat.

“Kami harus ke Britansi. Bagaimana?” Ia melihat layar LCD kemudi yang menampilkan peta Zagreb. “Itu dari ujung ke ujung.”

“It’s oke, Sir,” sambar Ethile. “Yang jelas kami sampai Zagreb dulu.”

Saya tak henti mengucap syukur dalam hati.

“Ayo naik, perjalanan masih panjang!” ujarnya seraya menunjuk pintu belakang.

Kami pun bergegas.

Baru saja mobil bergerak, rekan David yang duduk di sebelahnya mengeluarkan sebotol besar wine. “Ini mahal. Berkelas!” katanya seraya mengeluarkan beberapa gelas sangat kecil dari dashboard dan menyerahkannya kepada saya dan Ethile.

“Sauvignon!” Laki-laki itu mengangkat botol sedikit ke belakang agar kami bisa melihat dengan jelas merk wine-nya.

“Wah Sauvignon!” seru Ethile kegirangan

“Cabernet Sauvignon!” Laki-laki itu menuangkan wine ke gelas Ethile, tapi Ethile menahannya ketika hendak menuangkannya ke gelas saya.

“My brother’s muslim,” katanya dengan senyum tipis.

Laki-laki itu melirik saya sejenak sebelum beralih melirik rekannya yang menyetir. “David, kamu punya teman perjalanan rupanya,” lalu ia tertawa keras.

“Jadi David tidak minum juga?” ujar Ethile sok akrab.

“No, he drinks too!” Koreksi laki-laki itu cepat, “Karena sedang nyetir, dia harus libur nge-wine dulu!” Lalu tawa kemenangannya pun pecah lagi.

“Saya akan membalasmu, Feo!” ujar David tanpa menoleh.

Lalu laki-laki yang akhirnya kami ketahui bernama Feo itu tertawa lagi. Ia akan menuang sauvignon ke gelas Ethile lagi, tapi urung sebab Ethile bahkan belum menghabiskan minumannya.

“Jadi kamu juga tidak minum sebenarnya?” tanya Feo dengan nada kecewa. Perkiraannya bahwa akan memiliki teman minum di mobil ini, ternyata meleset.

Ethile kemudian menyerahkan gelasnya yang kosong kepada Feo yang menerimanya dengan ekspresi berat hati.

“Feo, boleh saya bertanya?” Ethile tampaknya sudah menemukan momentum yang pas.

“Ada seorang gadis yang menusuk beberapa gadis di bawah tadi,” ujar David seakan-akan sudah tahu pertanyaan apa yang akan Ethile lontarkan.

“Ada berapa orang korbannya? Motifnya? Pelaku sudah tertangkap?”

“Kamu wartawan atau polisi yang sedang menginterogasi?” David nyegir.

Feo mengisi ulang gelasnya, entah untuk yang keberapa kalinya.

“Sorry, David!” Ethile menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. “Pertanyaan itu sedari tadi menggantung di kepala.”

“No problem. I understand,” ujar David santai.

“Enam orang. Tapi tak ada korban jiwa. Semua luka-luka. Beberapa ada yang parah, tapi RS akan menanganinya dengan baik.”

Wah.

“Motifnya sedang diselidiki.”

“Pelakunya?”

“Sabar, Kawan!” sela David cepat. “Saya akan menjawabnya berurutan.”

Saya melirik Ethile yang untuk kali kedua merasa tak enak hati.

“Gadis itu sedang dalam pengejaran.” Kali ini Feo buka suara, meski kami tak cukup yakin apakah ia dalam keadaan sadar atau tidak saat mengucapkannya.

“Tapi tak akan lama. Polisi pasti menemukannya,” imbuh David meyakinkan.

“Oh oke,” Ethile merasa mendapatkan sedikit gambaran tentang hal yang sedari tadi membingungkannya.

“Kalian tidak ada di tempat saat kejadian?”

Ethile menggeleng.

“Kejadiannya di undakan dua pintu masuk satu.”

“Harusnya kamu tahu, Benn,” Ethile melihat saya dengan sedikit melotot.

Sekarang saya baru nyambung, kenapa Ethile sedikit terkejut ketika saya mengatakan tidak tahu yang terjadi.

“Kamu melihatnya?” Meskipun tidak menoleh ke belakang, saya tahu pertanyaan David itu diperuntukkan untuk saya.

“Hmm, tidak begitu yakin sebenarnya.”

“Tak apa, ceritakan saja.” Meski menenggak wine cukup banyak, telinga Feo masih awas rupanya.

“Di bawah, beberapa orang berlarian. Dua atau tiga orang jatuh ke danau, tapi mereka bisa berenang ke tepi. Tak lama kemudian saya melihat ada gadis berwajah Kroasia muncul di atas dengan luka di bagian pinggang. Ia dipeluk ibu atau neneknya yang menangis.”

“Ya ya ya, dia salah satu korbannya,” ujar David setengah berteriak. “Tadi saya sempat menenangkannya agar bisa bercerita dengan lancar.”

“Rekan saya ini tidak harus dibawa ke kantor polisi sebagai saksi atas apa yang ia katakan barusan kan, Dave?” tanya Ethile serius.

Degub jantung saya mendadak kencang.

“Oh tampaknya tak perlu,” timpal Feo. “Sudah ada beberapa yang bersaksi. Tapi kalau kamu menolong, tidak apa.”

Ethile pun menceritakan tentang apa yan kami lakukan di Kroasia. Termasuk nama dan pekerjaan saya pun, ia ceritakan.

“Ohhh penulis Indonesia!” seru Feo.

“Maaf kalau Plivitce memberimu kejutan terlalu dini.” David tertawa kecil.

“Oh no, Dave!” balas Ethile. “Justru ini yang sebenarnya dibutuhkan seorang penulis!”

“Fardon me?” Feo menoleh ke arah kami. Jidatnya berlipat tiga.

“Hmm, dengan begini ada yang saya tulis.”

“Oh yeah?”

“Tapi … bukan berarti saya akan menulis Kroasia sebagai negara tidak aman hanya karena Plivitce ini.”

“What do you think about Kroasia, Benn?” tanya Feo serius.

“Saya suka!”

“Jangan basa-basilah,” serobot David.

“Buah di Zagreb murah-murah. Kroasia juga tidak dingin. Dan … kafe tanpa live musik itu menurut saya keren!”

“Oh ya?”

“Ya, di Lubuklinggau, tongkrongannya Perpustakaan!” suara Ethile meninggi. “Di kafe sana ribut dan sering diusir!” Ethile tertawa, menang banyak.

Namun tiba-tiba tawa kami redam oleh suara polisi di jaringan telekomunikasi internal di mobil itu.

“Pelakunya berlari ke arah Vlaska, Dave!” Feo melihat ke arah David dengan muka tegang.

“Oke, Eth dan Benn!” teriak David lebih keras dari biasa. “Kita akan ke Vlaska. Tapi mari bersenang-senang dulu dengan mengejar pelakunya. Anggap saja itu bayaran atas tumpangan gratis ini!”

“Go ahead, man!” balas Ethile kegirangan. “Benn, ayo kita pasang sabuk pengaman sekarang!”

Saya bergegas memasang sabuk sebelum kemudian badan saya nyaris terlempar ke arah Ethile. Mobil menikung dengan kecepatan tinggi. Makian untuk Ethile meriap-riap dalam kepala.***

Barcelona, 25 April 2019 pukul 12.09 PM

 

Comments
Loading...