education.art.culture.book&media

KETEGANGAN DI PLIVITCE

—Bagian 2

Beberapa orang berteriak kesetanan di tanjakan bawah area Danau Plivitce. Kami yang berada di bagian atas bisa dengan jelas melihat apa pun di bawah karena salah situs warisan dunia—sebagaimana yang ditetapkan UNESCO pada 1979—ini berupa undakan di tebing yang tinggi. Bahasa yang mereka gunakan tampaknya bukan hanya bahasa Inggris, jadi saya benar-benar kesulitan memahami maksud kata-kata mereka, tak terkecuali kata-kata perempuan tua di dekat saya. Saya hanya bisa bilang “sorry” seraya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala padanya.

Tak sampai 10 menit, tiga orang wanita yang tadi berteriak sudah ada di dekat kami. Nenek yang tadi bicara pada saya segera menyambut salah satu dari mereka dengan pelukan. Oh, saya baru mengerti sekarang. Maafkanlah saya, Nek, batin saya. Bukan tidak mau membantu, tapi keadaan dan kendala bahasa membuat segalanya tak mudah ….

Saya taksir gadis itu berusia 20 tahun. Ia menunjukkan luka di pinggang kanannya. Tampaknya bekas goresan luka. Dua orang berseragam keamanan menghampiri mereka dan mengajak mereka ke semacam kamp di belakang restoran di dekat pintu masuk tadi.

“Pelakunya juga wanita, saya melihatnya.”

Saya menoleh dan mendapati seorang pemuda berambut gimbal bermata cokelat sedang bicara sendiri—walaupun mungkin maksudnya adalah bicara pada saya.

“Has the girl you meant arrested?”

Dia menggeleng. “Tampaknya dia lari di antara kerumunan orang di balik gua di bawah,” jawabnya sebelum berlalu ke bawah.

Tak lama kemudian, terdengar maklumat di pelantang suara di area atas Plivitce. Maklumat itu disampaikan dalam dua bahasa: Kroasia dan Inggris. Pihak Plivitce meminta siapa pun tenang sebagai keadaan sudah mulai terkendali.

“I think not!” Kali ini seorang perempuan paroh baya yang mengenakan topi bundar mengembang merutuk sendiri seraya berjalan ke arah pintu masuk tadi. Di sana ia tampak berdebat dengan pihak pengelola tempat itu. Ia ngotot ingin keluar sementara, sebagaimana yang tertera di peta, pintu keluar masih jauh, lebih 5 kilometer, itu pun bila mengambil jalan pintas, bukan mengikuti jalan setapak untuk mengeksplorasi Plivitce. Tak lama kemudian, banyak yang bergabung dengan ibu itu sehingga akhirnya pintu masuk pun dibuka untuk mereka yang ingin keluar.

Saking luasnya area taman nasional Kroasia itu, pelantang suara di bagian atas tidak akan bisa menjangkau semua area sehingga, tentu saja, banyak yang tidak tahu tentang kejadian barusan.

Saya masih gamang, antara meneruskan perjalanan atau tidak. Saya memutuskan menelepon Ethile. Tidak aktif. Saya putuskan mengirim pesan WhatsApp. Tidak terkirim. Hanya centang satu.

Saya akhirnya memutuskan turun. Di kejauhan, dekat air terjun utama, orang-orang asyik bermain air dan foto-foto. Seraya berjalan menuruni tanjakan, perasaan saya tak tenang. Hingga saya melupakan satu hal, yaitu harus berjalan di jalan setapak yang dilapisi kayu dengan rambu jalan bertuliskan huruf B.

Saya berjalan saja, mengambil foto, dan meminta bantuan beberapa turis untuk mengambil foto saya, dan baru sadar kalau saya berada di jalur yang salah ketika saya bertemu dengan jalan yang ditutup semacam garis polisi dengan keterangan “Sedang Perbaikan”. Saya tiba-tiba merasa cemas.

Saya lihat ke belakang. Beberapa orang banyak yang mengambil jalan ini dan akhirnya memilih balik arah ketika mendapati garis-perbaikan itu membentang.

Saya memutuskan membuka Google Map, membuka peta digital Plivitce Lakes, dan mencari area Ulaz, bahasa Kroasia untuk pintu masuk. Saya putuskan kembali ke titik temu tadi lewat pintu masuk saja. Karena kalau untuk mengikuti petunjuk peta, saya bingung. Tak terbayang repot dan capainya saya menaiki tangga tebing, itu pun belum tentu saya akan tiba di pintu keluar untuk kemudian naik shuttle bus yang akan membawa saya ke titik temu tadi. Ah ribet!

Keringat sebesar biji jagung berebutan tumbuh dari pori-pori. Ponsel saya bergetar sebentar. Saya berharap itu pesan WhatsApp dari Ethile. Oh God. Baterai hape saya drop. Saya mengambil power bank di tas sandang, tapi baru saja saya akan mencolok kabel arus ke buntut ponsel, beberapa orang yang berlarian menikung saya membuat power bank itu jatuh ke danau.

Saya memaki dalam hati. Saya tak mungkin menyelam dan mengambil benda yang sangat saya butuhkan itu. Saya tak tahu sedalam apa danau itu. Apalagi saya tak tahu persis di mana power bank itu jatuh sebab di air danau yang bening itu pun saya tak melihat apa-apa selain warna hijau yang kali ini tampak sungguh menakutkan, mengerikan.

Orang-orang di kejauhan tampaknya tidak lagi berjalan, tapi berlarian. Beberapa ada yang tersungkur, dan ohhhh … beberapa juga ada yang terpeleset dari tebing karena ditabrak mereka yang berlari kesetanan dari belakang, seakan-akan hendak menyelamatkan diri dari kejaran sesuatu. “Ada apa ini?” batin saya tak tenang.

Ponsel saya berdering. Ethile! Alhamdulillah.

“Kamu di mana? Cepat ke pintu masuk!” Suaranya terdengar sangat cemas.

“Kenapa, Eth?”

“Bagaimana kamu tidak tahu. Saya juga sedang menuju pintu masuk satu dari tempat saya saat ini. Saya masih di area dua. Saya bahkan barusan turun dari boat. Kamu memangnya di mana sekarang, Benn?”

“Saya tak tahu, Eth. Tapi saya akan naik sekarang. Orang-orang juga banyak yang berlarian ke atas.”

“Oke, Benn. Selama kamu berjalan di jalan setapak yang dilapisi kayu, kamu aman. Ikuti saja itu.”

“Tapi, Eth. Saya tadi keluar jalur dan ….” Ponsel saya mati. “Halo, Eth. Halo!”

Saya benar-benar ketakutan saat ini. Saya lekas ke atas. Mendaki tebing yang tinggi sekali. Saya mendongak. Oh alangkah tingginya. Ke mana pihak keamanan atau pengelola tempat ini? Di bagian danau dan air terjun yang lain, orang-orang—termasuk anak-anak—masih asyik bermain air dan foto-foto karena tak tahu menahu kalau ada yang tidak beres.

Saya mendaki dan mendaki seraya tak henti berzikir.

Hampir satu setengah jam kemudian saya sudah tiba di atas, tapi bukan di pintu masuk tadi. Saya berusaha mencari port listrik dan tak menemukan apa pun selain pohon-pohon meranggas yang baru akan menumbuhkan daun-daun.

“What do you do here?” Seseorang berpakaian sekuriti mengejutkan saya.

“I am getting lost, Sir.”

“Oke, ikut saya.”

“Saya janjian dengan teman di pintu masuk tapi saya tak tahu bagaimana jalan ke sana?”

“Ikuti saja saya!” Ia berjalan di depan saya. “Ini bukan saat yang tepat untuk mengutarakan banyak permintaan.”

Saya diam. Nyali saya kecut. Saya mengikutinya.

“Telpon dulu temanmu,” katanya tanpa menghentikan langkah. “Bilang kalau kamu aman dengan sekuriti di sini.”

“Batre hape saya drop, Sir,” jawab salah lemah.

“Ini!” Ia berhenti, berbalik arah, dan menyerahkan ponselnya pada saya.

Ya Allah saya bahkan tak ingat nomor ponsel/WhatsApp Ethile. Suara saya bergetar ketika mengatakannya.

Dia menatap saya sebelum kemudian bertanya negara asal saya.

“Kamu punya emailnya?” tanyanya tanpa memedulikan jawaban saya atas pertanyaannya barusan.

Nah itu saya ingat.

Saya mengambil ponselnya dan mengetik email untuk Ethile.

“Cantumkan nomor hape saya di email itu. Minta dia menghubungi saya sekarang.”

Tentu saja saran itu saya ikuti.

***

Satu jam kemudian, setelah berbicara dengan Ethile di ponsel, kami pun bertemu di area tengah, area shuttle bus Plivitce. Ethile rupanya juga tersesat. Kami berpelukan cukup lama. Kentara sekali wajah Ethile digelayuti perasaan bersalah. Kami mengucapkan terima kasih banyak pada Drevan Zunich, begitu petugas keamanan itu menyebut dirinya. “Tunggu di sini, saya akan mengantar kalian di pintu masuk tadi,” katanya seraya menuju sebuah rumah kayu yang cukup besar. Tampaknya itu adalah salah satu base-camp petugas keamanan di sini.

Saya melihat arloji. Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 petang. Melihat warna langit, matahari baru saja jatuh. Magrib baru saja tiba.

“Mana Aida?” tanya saya, seakan-akan baru sadar kalau sopir mercy itu sudah tak lagi bersama Ethile.

Ethile menggeleng. “Entah bagaimana, saya juga kehilangan dia, Benn. Saya juga belum sempat meminta nomor kontaknya.”

Ohhh.

Sebuah mobil pikap besar mendekat. Saya dan Ethile membuka pintu depan. Tempat duduknya cukup lebar sehingga bisa kami tempati berdua, lagipula di belakang hanya kap kosong. Ethile menunjukkan arlojinya pada saya. Di sana tertera keterangan suhu. Dua belas derajat celius. Saya merapatkan jaket. Ethile yang hanya mengenakan cardigan tipis untuk melapisi tshirtnya tampak merapatkan posisi duduknya ke arah saya.

“Semoga Aida sudah ada di pintu masuk, menunggu kita.” Kedua telapak tangan Ethile saling gosok untuk mendapatkan efek hangat.

Saya mengaminkan dalam hati. Ingin sekali saya menanyakan apa yang terjadi. Tapi keadaan tampaknya tidak pas. Drevan pun tampaknya juga belum mendapatkan informasi yang memadai.

Lima belas menit kemudian, kami mendapati banyak mobil polisi di pintu masuk utama. Drevan menurunkan kami tepat di depan restoran yang tadi sangat ramai tapi sekarang lengang karena sudah tutup.

“Mana yang lain?” batin saya cemas. “Apa semua sudah pulang.”

Setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Drevan, kami menuju area parkir.

“Mobil Aida tidak ada!” seru Ethile. Suaranya bergetar. Ada intonasi kepanikan dalam kata-katanya.

“Mobil Aida dicuri?”

Ethile mengangkat bahu. “Mungkin dia menunggu kita terlalu lama sehingga akhirnya memutuskan kembali, walaupun …”

“Walaupun apa?” sambar saya cepat.

“Kalau merujuk pada kedekatan kami sebelum ia menghilang tadi, rasanya tak mungkin dia meninggalkan kita begini.”

“So?” Saya meminta Ethile langsung membicarakan pemecahan masalah.

“Kita kembali ke pintu masuk. Kita ceritakan keadaan kita pada polisi. Kalau tidak ada yang bisa mengantar, paling tidak ada yang bisa menelepon taksi untuk datang.”

“Oke, Eth.”

“Semalam ini, tak ada taksi yang mau ke sini kecuali pihak berwenang yang menghubungi. Kamu tahu, Plivitce ini bukan Zagreb. Bukan kota. Ini hutan!”***

—Bersambung lagi

Groningen, 23 April 2019 pukul 9 PM

Comments
Loading...