education.art.culture.book&media

Makian-Makian Positif seperti yang Yazir Tuturkan (Lingkaran KOPDAR #3)

Oleh: Yuhesti Mora

Bicara tentang maki memaki, saya punya pengalaman yang menarik. Ibu dan Ayah saya berasal dari daerah Musi Rawas (sekarang Muratara) namun saya lahir dan dibesarkan di kota Lubuklinggau. Semasa saya kecil dulu, saya diajak pulang ke kampung halaman ibu saya di daerah Danau Raya, Kawasan Muara Rupit, tak jauh dengan tempat perkampungan suku Kubu tinggal. Saya teramat terkejut ketika di pagi pertama saya tinggal di sana seorang laki-laki mengacungkan parangnya kepada kami sambil berteriak “Pukinduk e kawan, mulo dak mampir.”

Pukinduk itu adalah bahasa makian yang sepadan dengan jancuk kalau di jawa atau makian “kebun binatang”. Kalau keseluruhan kalimatnya diterjemahkan barangkali akan begini padanannya “Anjing kamu, kenapa tidak mampir (ke rumah).”

Karena kalimatnya sendiri sudah mengandung kata makian, jadi ketika yang berbicara, intonasinya meninggi dengan ekspresi yang menakutkan apalagi sambil mengacungkan parang ke arah kami, terang saja saya yang masih berusia kelas lima sekolah dasar saat itu merasa takut. Karena sepanjang pengalaman saya di kota, jika ada yang begitu maka itu artinya orang tersebut sangat berbahaya dan harus sesegera mungkin di hindari. Oleh karena itu, saya auto bersembunyi di balik punggung ibu saya sambil mengajak ibu untuk lekas pergi. Namun ibu hanya santai saja menanggapinya, ia pun tidak menghiraukan jemari tangan saya yang menarik-narik ujung bajunya. Ibu dan laki-laki itu yang ternyata masih punya hubungan darah dengan kami itu pun malah terus saja mengobrol. Dan saya masih saja bersembunyi di balik punggung ibu selama itu berlangsung.

Sejalan dengan pertambahan usia, saya juga mengalami beberapa hal yang lain seperti ketika masih di Bandung dulu ketika saya baru saja pulang dari kampus, saya melihat sekumpulan anak-anak berkata “anjing” pada temannya sendiri. Lalu mereka tertawa-tawa bersama-sama dan kembali mengatakan makian yang serupa. Bagi mereka kata “anjing” itu adalah bahasa yang intim namun bagi saya yang adalah orang asing, kata “anjing” itu terasa tidak pantas diucapkan mereka. Sama seperti yang diucapkan oleh laki-laki yang ibu saya suruh saya memanggilnya mamang itu, bagi ia dan ibu saya kalimat kasar yang diucapkannya dengan berteriak sambil mengacungkan parang itu adalah bahasa yang intim atau akrab. Namun bagi saya itu tetap tidak bisa diterima di akal sehat saya.

Jadi apa yang membuat perbedaan antara saya dan mereka? kenapa saya tidak dapat menerima kata-kata makian tersebut sebagai bahasa yang intim seperti yang mereka lakukan?

Saya tinggal lama di kota Lubuklinggau dan selama bergaul dan bersosialisasi saya tidak bergaul dengan cara yang sama dengan cara yang mereka lakukan—memaki positif seperti yang Yazir katakan sebab lingkungan tempat saya tinggal tidak membudayakan hal tersebut. Ada peribahasa yang tepat untuk ini yaitu “Kau adalah buku-buku apa yang kau baca, dengan siapa kau berteman dan di mana kau tinggal.” Oleh karena itu saya adalah apa yang lingkungan saya bentuk. Maka wajar saja jika di alam bawah sadar otomatis sudah ternanam bahwa saya tidak membudayakan kata-kata makian sebagai bahasa yang intim.

Lalu di beberapa tahun terakhir ketika bekerja di sebuah instansi saya sempat bergaul dengan seorang teman yang ia pun ternyata suka menggunakan kata-kata makian dalam bahasa Inggris seperti “shit” dan sebagainya. Namun entah bagaimana kata-kata makian tersebut jadi terdengar intim di telinga saya. Saya tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Barangkali itu dikarenakan saat itu saya sudah lebih dewasa menyikapi sesuatu dan hubungan pertemanan saya dengannya memang sudah sedemikian akrab sehingga yang saya tangkap darinya bukan lagi konten kata-kata kasar atau intonasinya namun lebih kepada apa maksud perkataannya tersebut. Saya tahu bahwa ia mengatakan tersebut bukan dalam arti secara harfiah namun lebih dengan maksud bercanda atau bercengkrama dan keberanian untuk bercanda atau bercengkrama dengan cara yang demikian juga berarti menunjukkan seberapa dalamnya hubungan pertemanan kami tersebut. Jadi, ketika tidak ada perasaan terluka satu sama lain saat saling maki memaki itu jadi pertanda sebuah bentuk keharmonisan dan kekompakan suatu hubungan.(*)

Comments
Loading...