education.art.culture.book&media

Menggunakan Nama Pena, Benny Arnas Juarai Lomba Novel

Nama besar bukanlah segala-galanya, karya yang membuktikan keberhasilan. Ini dibuktikan penulis asal Lubuklinggau, Sumatera Selatan (Sumsel) saat mengikuti Lomba Menulis Novel tentang Kanjeng Nabi Muhammad SAW 2021 yang diselenggarakan sebuah penerbitan buku.

Novelnya berjudul “Kayu Lapuk Membuat Kapal” keluar sebagai pemenang dari lomba yang berhadiah Rp 45 juta ditambah paket buku dan kontrak penerbitan novel.

Menurut Benny Arnas, untuk ikut pada lomba menulis novel tentang Kanjeng Nabi Muhammad SAW dirinya menggunakan nama pena “Dany Georgetown” dengan domisili di USA. Namun Benny memplesetkannya menjadi “Ulak Surung Asli.”

Benny Arnas beralasan memilih nama pena Dany Georgetown karena juri tunggal dalam lomba tersebut adalah penulis Yetti A.KA yang dikenalnya dan kenal dengan nama “Benny Arnas.”

“Ketika Lomba Novel tentang Kanjeng Muhammad SAW 2021 dirilis, saya tiba-tiba melihat itu adalah jodoh Kayu Lapuk Membuat Kapal. Tapi, saya belum pernah menulis novel bertema ini, dan ada kedekatan saya dengan juri tunggal Yetti A KA di media sosial. Akhirnya saya putuskan menulis dan mengirimkan naskah menggunakan nama Dany Georgetown,” kata penulis kelahiran 8 Mei 1983.

Ternyata naskah novel “Kayu Lapuk Membuat Kapal” yang ditulisnya dalam waktu sepekan menjadi salah satu pemenang. Niat hati ingin menyembunyikan identitas asli namun akhirnya terungkap juga.

Benny Arnas untuk menerima hadiah sebagai pemenang menggunakan identitas dan nomer rekening relawan Benny Institute di Jakarta. “Namun saya salut dan takjub dengan kinerja Yetti A.KA sebagai juri. Ia membaca naskah dengan seksama tanpa peduli kalau nama pena itu sungguh bukan siapa-siapa. Ini bukti bahwa nama besar bukan segala-galanya.

Menurut Benny Arnas, juri Yetti A.KA ternyata terus mengejar, mencari identitas asli pemilik nama pena Dany Georgetown. Yetti A.KA berkirim ke email Dany Georgetown yang isinya ingin berbicara via WA atau telepon tentang identitas asli penulisnya karena terkait kontrak dengan penerbit.

“Akhirnya, kami berbicara via telepon dan Yetti A.KA bercerita bahwa ia bekerja dengan keras dan ia tak ingin diperdaya oleh karya bagus tapi plagiarisme, sebagaimana yang menimpa sejumlah ajang lomba. Dari situ saya takjub caranya bekerja. Sungguh, ia adalah juri sebenar juri. Ia melacak identitas asli penulis bermodalkan alamat dan nomer rekening yang saya kirimkan. She got it!,” kata penulis yang telah menerbitkan 26 judul novel.

Novel ini akan menjadi novel ke-27 setelah penerbit Diva Press akan menerbitkannya menjadi buku. “Edi Mulyono dari Diva Press meminta naskah tersebut diterbitkan dengan menggunakan nama asli, saya tidak keberatan,” ujar Benny.

Menggunakan nama pena terhadap karya sastranya bukan pertama kali dilakukan Benny Arnas. Menurutnya, ketika cerpen-cerpennya deras dimuat secara intensif di media massa, dirinya pernah meragukan kualitas tulisan-tulisannya sendiri.

“Saya gelisah. Apakah benar redaktur menilai cerpen saya atau sedikit-banyak dipengaruhi nama dan kedekatan kami karena ada beberapa redaktur yang sudah menjalin komunikasi pribadi. Karena saya sulit—untuk tidak mengatakannya “tidak bisa”—mengubah gaya menulis, saya menyusun siasat,” kata penulis yang juga mengasuh lembaga kepenulisan Benny Institute.

Pada 2016 Benny Arnas mencoba mengirim cerpennya berjudul “Musiklehrer” ke sebuah koran terbesar di Jawa Timur dengan menggunakan nama pena Sahasra Sahasika. Hanya menunggu dua pekan, cerpen itu dimuat.

“Saya kenal redakturnya Mas Arief Sentosa. Tapi waktu mengirim naskah saya tidak menggunakan identitas Benny Arnas. Saya boleh bangga bilang, meski kepada diri sendiri, kalau media massa memuat tulisan saya karena kualitas, bukan faktor nama ataupun kedekatan,” kenang Benny Arnas.

Comments
Loading...