education.art.culture.book&media

Museum Patah Hati 

—Perihal “Melupakan Tanpa Membuang”

Setiba di Zagreb dari Slovenia, baru beberapa menit usai menaruh koper di apartemen, Ethile bersemangat sekali (untuk tidak menyebutnya “memaksa”) mengajak saya ke Museum Patah Hati.

“Kenapa? Kamu pernah patah hati?” tanya saya cengengesan.

“Berkali-kali,” katanya serius tapi tak ketus.

“Oke, Et. What to do?” saya mulai penasaran.

“Be there first then you’ll know,” jawabnya tanpa ekspresi.

Di Museum of Broken Relationships, Ethile menyerahkan sebuah sapu tangan lusuh berwarna cokelat kepada resepsionis. Wajahnya umpama daun layu ketika itu sebelum kemudian menjelma bunga tulip yang menguncup indah beberapa saat setelah meninggalkan museum.

***

Museum Patah Hati didirikan seorang Kroasia yang tak bisa melupakan kisah-kisah indah dengan seseorang yang tak mampu lagi ia rengkuh. Ia baru merasa tenang ketika meninggalkan rumah dengan meletakkan semua barang-barang penuh kenangan sekaligus menyebabkannya patah hati di sana. Ingin mengajak lebih banyak orang untuk bergabung dalam gerakan “melupakan tanpa membuang”, ia menjadikan rumahnya sebagai museum. Siapa pun, dari negara mana pun, bisa meninggalkan barang yang menyebabkan kesedihan berlarut-larut di museum itu untuk kemudian melupakannya jauh-jauh, dalam-dalam.

Ethile meninggalkan sapu tangan yang telah menyebabkan hatinya tak henti berair sejak Natal tahun lalu.

Tahun 2018 adalah natal pertamanya setelah orangtuanya bercerai setahun sebelumnya. Tradisi keluarga mereka adalah, sebagai anak tunggal yang tinggal di Salzburg untuk bersekolah, Ethile akan dikunjungi saban 25 Desember dan dihadiahi kado atau benda apa pun dari orangtuanya yang tinggal di Vienna. Namun tahun lalu, tak seorang pun dari keduanya yang menyambanginya. Ia juga baru tahu kalau, seperti janjian tak mau kalah, ayah-ibunya sudah memiliki istri dan suami yang baru plus anak-anak yang baru pula—masing-masing dengan keluarga baru.

Tanpa Ethile sadari, sapu tangan merahnya telah menjadi teman seperjuangan dalam mengatasi kesenduan yang mencabik-cabik di hari raya yang seharusnya penuh kegembiraan itu.

“Mau bertanya apa lagi?” tanyanya pongah ketika kami ngopi di kafe di pusat kota Zagreb sekembali dari museum itu. Ah, ia gagal menyimpan kerapuhannya. Ia tak terlalu pandai bermain seni peran. Ia mencoba kuat tapi malah terlihat ringkih.

“Kini saya merasa lebih lega, Benn, setelah meninggalkan sapu tangan jahanam itu di sana.”

Saya mengangguk, mencoba bersimpati. Saya susah bermain seni peran dalam keadaan seperti ini.

“ … dan menjadi orang pertama dari negara dunia ketiga yang melubangi peta di foye museum itu.”

Ya, di foye tempat itu terdapat peta bahan plastik khusus yang denan lampu neon di bagian dalamnya sehingga tampilan petanya tampak sangat artistik. Siapa yang meninggalkan barang-patah-hati di sana, diperkenankan melubangi negara/daerah tempatnya berasal, dan Ethile melubangi melubangi gambar yang membuat saya terenyak: Indonesia.

“Hei kenapa negara saya?” cepat protes saat itu.

“Jujurlah, Benn,” katanya santai. “Tinggalkan sesuatu di museum ini agar semua masa lalu yang mengandung cerita merah muda bisa kautempatkan di tempat yang layak mulai saat ini, tempat ia bertemu dengan barang-barang senasib-sepenanggungannya.”

Saya memikirkan sesuatu ketika saya merogoh notes-kecil berisi puisi-puisi yang pernah saya tulis di Selandia Baru tiga tahun lalu untuk kemudian menyerahkannya pada resepsionis.

“Ceritakan padaku tentang notes itu, Benn ….”
Ethile mulai penasaran seraya memotong wafel yang baru saja ia olesi dengan nutela.

Saya menggeleng, kemudian menjawab, “Oke, Et, but not this time.”

“When?”

“The stories will find themselves with their own ways, Et.”

Kopi kami masih panas. Tapi saya menenggaknya sampai habis.

“Kamu mau menulis di pantai, Benn?” Ethile mengalihkan topik percakapan. Ia tak suka dipermainkan kata-kata.

Saya menggeleng. Saya tak suka pantai. Itu alasannya, walaupun banyak yang bilang kalau pantai-pantai di Kroasia itu sangat indah. “Saya mau mengetik di taman bunga depan Mozart House seperti waktu itu.” Saya pura-pura memasang wajah serius.

“Kamu gila!” teriak Ethile seraya menyeringai. “Kita sudah di Kroasia, kenapa kembali ke Austria!”

Saya tertawa. “Saya mau ngetik di apartemen saja. Besok bawalah saya ke Plivitce.”

Ethile menjetikkan jemarinya ke arah saya. “Siap capek ya?”

Itu adalah alasan mengapa kamu ada, Ethile—batin saya bersuka cita.***

Paris, 22 April pukul 01.07 pagi

Comments
Loading...