education.art.culture.book&media

PEMUDA ITU MENGUNTIT SAYA HINGGA KE PARIS

Beberapa saat setelah mendarat di Jeddah, saya mendapati dompet seorang pemuda Arab yang berjalan di depan saya tercecer di lantai. Saya cerkas mengambil dompet itu dan setengah berlari menghampirinya. Pemuda dengan tshirt ketat dan wajah mirip artis (ah saya lupa mirip artis yang mana) mengucapkan “syukran” dengan intonasi antusias seraya memeluk saya cukup lama dan erat.

Ia menunjuk sebuah tempat di sudut bandara, tempat kafe berjejer, tapi sayang sekali saya tak bisa memenuhi tawaran ngopinya. Saya harus masuk ke antrean bagian imigrasi. Ia kembali mengucapkan “syukran”, menanyakan nama, dan kembali memeluk saya. Ah saya ketawa sendiri melihat kehangatan pemuda yang baru saya kenal itu. Saya sedikit menyesal karena tak sempat menanyakan namanya.

Dalam antrean, saya sempat mencari-carinya. Siapa tahu, kami masih bisa bertemu. Saya senang bertemu orang baru sebab perkenalan itu, sebagaimana silaturahim, manjur memancing datangnya keberkahan. Nanti akan saya ceritakan perkenalan saya dengan laki-laki Aceh paroh baya yang membantu saya menemukan kereta cepat yang akan membawa saya ke pintu keluar tempat saya dan fasilitator residensi membuat janji.

Tiba giliran saya di bagian imigrasi, petugasnya mengarahkan saya ke ruangan khusus. Oh sh*t! Penyebabnya, seperti yang saya duga cum khawatirkan, foto saya di paspor dan visa semuanya menampilkan wajah saya dengan brewok. Sementara H-1 sebelum terbang ke Kuala Lumpur, demi memenuhi permintaan istri tercinta Desy Arisandi, saya memotong pendek rambut dan mencukur jambang saya. Impian saya untuk gondrong tahun ini pupus lagi—dan lagi ….

Terkait imigrasi, saya memang punya pengalaman tak mengenakkan ketika umroh pada 2015. Saat itu, rombongan kami, termasuk saya dan istri, cukup lama tertahan di depan frontdesk keimigrasian. Khusus saya, lama. Lamaaa banget. Dan menjadi orang terakhir dalam rombongan yang pemeriksaan imigrasinya dibereskan. Dan kini … dalam perjalanan ke ruangan khusus itu, pengalaman buruk itu membayangi saya.

“Eh Benny? What’s up?”
Saya terkesiap mendapati suara yang tampaknya saya kenal. Saya melongok terperangah ketika mendapati pemuda yang tadi saya selamatkan dompetnya refleks berdiri dari tempat duduknya ketika melihat saya digelandang ke ruangannya.

Saya tak kuasa berkata-kata ketika teman-teman pemuda itu mendadak menyalami saya dengan air muka ramah seakan-akan teman pemuda itu adalah orang-orang yang semestinya diperlakukan dengan layak. Saya tak mendapat pemeriksaan apa pun lagi. Saya disilakan keluar dan pemuda itu kembali memeluk saya. Kali ini saya berhasil menangkap namanya di pakaian seragam berwarna gelap yang membuatnya tampil jauh lebih gagah: Faisal Hasan. Tentu sangat norak kalau saya minta foto bersama …. Dia menanyakan jadwal penerbangan saya ke Paris.

“I have three hours free before take off.”

Dia diam sejenak sebelum, dengan wajah dan intonasi menyesal, mengatakan kalau ia akan menghampiri saya ke ruang tunggu kalau memungkinkan. “But I can’t promise, Benn,” katanya kemudian. Saya paham dan maklum saja kalau dia masih bertugas hingga tiga jam ke depan. Mendapatinya lancar bahasa Inggris saja adalah sebuah hal yang menggembirakan (hingga akhirnya kami bisa ngobrol hangat)—sebab sepengalamanan dan cerita yang beredar, petugas bandara Arab lebih suka berbahasa Arab daripada bahasa Inggris.

Pagi ini, semendarat di Paris, seseorang memanggil saya dengan bahasa Prancis dalam nada tergesa-gesa. Ia menyerahkan dompet saya yang tercecer dari kantong belakang celana karet yang saya kenakan. Tuhan, baru saja mengirim Faisal Hasan ke Paris Charles de Gaulle pagi ini.

Paris, 13 April 2019, 2 PM

Comments
Loading...