education.art.culture.book&media

RASISME & TERIAKAN ALLAHUAKBAR DI STASIUN

Kami pun kembali ke Bishofshofen setelah kereta tiba 60 menit kemudian, ya 60 menit kemudian, bukan 45 menit seperti yang terdengar di corong pengumuman stasiun Sletzhal tadi. Itu pun kami tidak langsung mendapatkan gerbong yang benar, sehingga kami harus warga-wiro di dalam dengan ransel dan koper yang tak bisa dibilang ringan. Sebagian penumpang memandang kami—yang muncul dengan air muka tergesa-gesa—dengan tatapan aneh. Tetapi, ah bodi amat! Beberapa petugas kereta yang kami temui tidak bisa menjawab sebab mereka hanyalah pelayan restoran kereta yang mengantar pesanan penumpang. Kereta yang kami tumpangi kali ini memiliki dua tipe tempat duduk. Yang pertama seperti kereta pada umumnya. Namun, khusus untuk bangku penumpang yang berhadap-hadapan, tersedia meja lipat kayu yang cukup besar dan multifungsi. Untuk menggelar makanan, mengerjakan tugas kuliah, merajut, melukis, hingga ada yang membuat semacam karya miniatur. Yang kedua, ini yang paling banyak, adalah tempat penumpang dalam ruangan kaca yang tertutup namun transparan. Ruangan kaca dengan tempat duduk untuk maksimal 6 orang ini mulanya saya pikir adalah ruangan VIP. Ternyata tidak. Ini bisa ditempati siapa saja yang sudah membeli tiket. Meskipun begitu, nampaknya penumpang mungkin saja membayar lebih—itu perkiraan saya—untuk ruang-ruang kaca yang sudah diberi nama karena sepertinya dipesan khusus.

Ethile memutuskan berjalan ke gerbong paling depan untuk menemukan petugas berwenang. Dia meminta saya tinggal di entah gerbong berapa, saya tak tahu. “No, I’ll be with you!” tegas saya dan langsung mengikutinya. Kali ini saya memutuskan menyeret koper saya sendiri.

Setelah perbincangan dalam bahasa Jerman yang rumit—dan tentu saja tak saya pahami—dengan petugas di gerbong depan (asumsi saya adalah semacam asisten masinis), Kami diperkarakan duduk di gerbong kedua dari depan. Tidak terlalu jauh. Kami mengambil tempat duduk biasa dekat jendela sekaligus mengisi ulang daya ponsel yang kritis.

Dua menit kemudian Ethile muncul dengan, seperti biasa, wajah tak bersalah. “Sorry tadi kamu batal ngetik, akhirnya,” katanya sesaat setelah mendaratkan pantatnya di kursi sebelah saya.

Saya menoleh sekilas. “Pulau, what’s next?” Saya pikir, tak ada manfaatnya marah. Energi saya sudah habis untuk turun-naik kereta yang salah tujuan.

“Saya sudah siapkan di sana,” dia menunjuk kursi kereta dengan meja di sebelah kanan. Sebuah laptop sudah terbuka di atasnya. “Aku harap kamu masih punya mood.”

“Thanks, Et.” Saya berdiri. Ethile keluar dari kursinya menuju meja yang telah ia siapkan. Semoga semuanya baik-baik saja, batin saya penuh harap.

“Coffee Latte?” tawarnya.

“Hot chocoa saja.” Saya sebenarnya ingin memesan coklat hangat, tapi di kereta sebelumnya, mereka tidak menyediakan minuman itu. Yang ada, yang rada mirip, adalah kokoa tadi. Not bad. Saya suka.

Satu jam kemudian Ethile memesankan hot cocoa yang kedua untuk saya. Lengkap dengan kentang goreng. “Menulis apa?”
tanyanya di kursi seberang seraya menghabiskan gigitan terakhir burgernya.

“Write (about) us!” jawab saya tanpa menoleh. Saya baru saja menyelesaikan sebuah catatan perjalanan yang menjengkelkan cum menyenangkan cum memuaskan.

Ethile tertawa.

“Thanks, Et!” Kali ini saya menoleh, memandangnya dengan tatap mata lebay. “Thank you so much, Ethile Maximilian!” Ekspresi saya makin dibuat-buat, seperti anak kecil memohon kepada ayahnya untuk dibelikan permen.

Ethile memutuskan bangkit dan pergi ke gerbong depan. Saya tertawa kecil dan merasa menang banyak.

Satu jam berikutnya, kereta kami sudah kembali ke Bischofshofen. Pengunungan Alpen memamerkan saljunya di puncaknya di kejauhan. Saya memutuskan salat di ruang tunggu tertutup yang lengang. Sudah masuk
waktu ashar.

Ethile memutuskan menunggu di luar. Perkiraan saya, setengah bungkus rokok akan ia habiskan. Ia memang akan memanfaatkan “me-time”-nya sebaik mungkin sebab bersama saya ia, sebagaimana kesepakatan, tidak diperkenankan menyalakan rokok.

Di rakaat ketiga, sesaat setelah mendengar suara pintu ruang tunggu tertutup itu dibuka—tentu saja saya mengira itu Ethile, saya tersentak oleh teriakan “Allahu Akbar!” bersamaan dengan dilemparkannya sebuah botol minuman yang masih bersegel ke dalam
ruangan itu—adegan itu persis lemparan bom ke dalam sebuah ruangan. Saya bergegas keluar karena panik kalau-kalau “bom itu akan meledak”. Ethile benar-benar keterlaluan, maki saya dalam hati.

Di luar, saya melihat Ethile sedang berlari, seperti sedang mengejar seseorang di bagian timur stasiun ini. Saya menyusul dengan ransel di punggung dan koper diseret. Saya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Di ujung stasiun, saya tak menemukan (sia)apa pun, sebelum beberapa menit kemudian Ethile muncul dengan napas terengah-engah.

“Ada apa, Et?” tanya saya setelah setengah berlari menghampirinya.

“Sorry, Benn. Saya hampir menangkap remaja rasis itu kalau saja penduduk setempat tidak mengingatkan saya agar jangan membuat masalah di tempat orang.”

Oh, jadi bukan Ethile pelakunya.

“Sekarang, kembalilah ke ruang tunggu.”

“Et?”

“Maaf, Benn, tadi saya ke toilet sebentar. Saya mendengar teriakan sarkas itu, makanya saya pun keluar dan melihat ia berlari setelah tampaknya baru saja melemparkan sesuatu ke dalam ruang tunggu. “Hanya botol air mineral, ‘kan?”

Saya mengangguk. “How could you know?”

“Saat tadi kita berbincang dalam bahasa Inggris, anak itu tampaknya mencuri dengar. Jiwa rasisnya menyala begitu tahu kamu mau salat. Dia memang bolak-balik dengan botol air mineralnya dari tadi. Karena dia tidak membawa tas atau barang lain yang ditenteng, aku yakin saja kalau yang dia lemparkan adalah benda itu. Dia pintar sekali memanfaatkan keadaan, menunggu aku lengah. And it just happened!”

Saya menghela napas, nggak habis pikir dengan apa yang barusan terjadi.

“Berapa lama lagi kereta kita akan tiba?” tanya saya tiba-tiba, seakan-akan mengabaikan ceritanya barusan.

“Sekitar 15 menit.”

Saya berbalik.

“Saya tidak akan meninggalkan ruang tunggu lagi, Benn.”

Saya bergeming.

Entah, saya merasa salat saya tak terlalu khusyuk petang itu.

Di kejauhan, deru kereta tengah mengerem kecepatannya, sayup-sayup terdengar.

Kalian tahu, di mana-mana, tak terkecuali di country side dari sebuah negara—yang katanya damai sekalipun, kau tak
bisa sepenuhnya merasa lega apalagi beruntung apalagi bangga tak terkira karena sudah menginjakkan kaki di Eropa.

Detik itu, saya menjadi lebih waspada. Bukan hanya pada ketakamanan Eropa bagi Muslim, juga kepada dia. Kepada Ethile.

Mungkin saya akan menelepon sponsor saya. Membicarakan ini baik-baik. Perjalanan ini masih panjang. Saya tak ingin semua gugur, bahkan sebelum semuanya berbunga …. ****

Zagreb, 18 April 2019 pukul 7.39 pagi

NB: Foto di Salzburg, Austria, satu hari sebelum berangkat ke Ljubljana

Comments
Loading...