education.art.culture.book&media

Sore Bersama Sinema: Nonton Bareng & Bincang Santai di Kafe Say Story Tutup Tahun dengan Inspirasi Perfilman Lokal

Bagian dari Lubuklinggau Students Short Movie Festival (LSSMF) ke-5 Tahun 2025

Lubuklinggau, 31 Desember 2024 — Menjelang detik-detik pergantian tahun, aroma kopi berpadu dengan semangat muda memenuhi udara di Kafe Say Story, Lubuklinggau. Malam itu, ruang yang biasanya diisi dengan obrolan ringan berubah menjadi tempat diskusi hangat dan penuh ide. Para pelajar, sineas muda, dan penikmat film berkumpul dalam acara “Nonton Bareng & Workshop Film”, salah satu rangkaian kegiatan Lubuklinggau Students Short Movie Festival (LSSMF) 2025 yang digelar oleh Komunitas Majelis Lingkaran dengan dukungan Dana Indonesiana dan LPDP.

Lubuklinggau Students Short Movie Festival (LSSMF) telah memasuki tahun kelimanya sebagai festival film pelajar pertama dan satu-satunya di Sumatera Selatan yang berfokus pada karya siswa SMA/SMK. Festival ini tidak hanya menampilkan kompetisi film, tetapi juga mengadakan kegiatan edukatif seperti Nonton Bareng, Bedah Film, dan Workshop Proses Kreatif di berbagai sekolah dan ruang publik.

Berbeda dari acara film pada umumnya, sesi kali ini dikemas dalam nuansa santai khas kafe, namun tetap sarat makna. Lampu temaram, aroma kopi hangat, dan layar kecil di pojok ruangan menjadi saksi lahirnya percakapan mendalam tentang dunia sinema lokal dan proses kreatif di balik layar.

Acara dimulai pukul 19.00 WIB dengan suasana hangat penuh keakraban. Setelah menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan sambutan pembuka oleh Melani selaku MC, acara berlanjut dengan pesan dari Sri Rahayu, Ketua Komunitas Lingkaran, yang menekankan pentingnya ruang kreatif bagi generasi muda Lubuklinggau untuk mengekspresikan gagasan mereka lewat film.

Pukul 19.15 WIB, layar utama mulai menampilkan dua film pendek karya sineas muda lokal:
🎬 “Rani dan Kak Rani” karya Cinemapartner, dan
🎬 “Dayang Torek: BTS” produksi BTS by Cinemapartner.

Kedua film ini menyoroti realitas sosial dan nilai-nilai kemanusiaan dari sudut pandang anak muda. “Rani dan Kak Rani” menghadirkan dinamika relasi keluarga dengan visual yang sederhana namun menyentuh, sedangkan “Dayang Torek” memadukan mitos lokal dengan gaya dokumenter ringan yang segar.

Diskusi seusai pemutaran dipandu langsung oleh Eric Rahman, penulis dan pengamat film, bersama tiga narasumber inspiratif:

  • Dede Yonas SaputraProduser dan Sutradara muda yang dikenal lewat karya-karya film indie berkarakter kuat.

  • Fuji LestariContent Creator dan Influencer yang berbagi pandangan tentang pentingnya film sebagai medium komunikasi lintas platform.

  • Yudha PermanaSutradara The Ikhwan Production, rumah produksi yang aktif menggarap film edukatif dan sosial.

Dalam sesi bedah film, Eric Rahman menyoroti bahwa film lokal memiliki kekuatan tersendiri ketika berangkat dari keresahan sosial di sekitar pembuatnya.

“Cerita yang lahir dari tanah sendiri selalu punya napas yang berbeda. Kejujuran itulah yang membuat penonton merasa dekat,” ujarnya.

Fuji Lestari menambahkan bahwa generasi digital hari ini punya peluang besar menjembatani film dengan media sosial.

“Film bisa hidup lebih lama kalau punya jejak digital yang kuat. Tugas kita bukan hanya membuat karya, tapi juga menyalakan percakapan,” katanya dengan penuh semangat.

Pukul 20.45 WIB, suasana semakin hidup saat sesi Diskusi Proses Kreatif dimulai. Dipandu secara interaktif, Dede Yonas Saputra dan Yudha Permana berbagi pengalaman tentang bagaimana ide sederhana bisa berkembang menjadi film yang berdampak.

Dede bercerita tentang perjalanan kreatifnya sebagai produser dan sutradara yang memulai karier dari komunitas kecil.

“Film pendek adalah laboratorium ide. Dari film seperti inilah lahir keberanian, ketekunan, dan disiplin yang akhirnya membentuk sineas sejati,” ungkapnya.

Sementara itu, Yudha Permana menekankan pentingnya kolaborasi dalam setiap proses produksi.

“Tidak ada film yang besar tanpa kerja tim yang solid. Cinematographer, penulis, hingga aktor — semuanya adalah satu napas yang sama,” tegasnya.

Diskusi yang berlangsung hingga hampir pukul 23.00 WIB ini berjalan hangat dan penuh tawa. Peserta antusias bertanya tentang ide cerita, strategi pendanaan, hingga tips memasarkan film di platform digital.

Menjelang tengah malam, acara ditutup dengan foto bersama dan refleksi kecil tentang peran generasi muda dalam dunia sinema. Meski sederhana, kegiatan ini meninggalkan kesan mendalam bagi setiap peserta.

Bagi sebagian besar yang hadir, ini bukan sekadar acara nonton film, melainkan malam pembuktian bahwa mimpi tentang dunia perfilman bisa dimulai dari ruang sekecil kafe, selama ada semangat dan keberanian untuk berkarya.

“Film lokal bukan soal keterbatasan alat, tapi tentang kemauan untuk bercerita. Dari Lubuklinggau, cerita kita bisa didengar dunia,” tutur Eric Rahman menutup diskusi dengan penuh haru.

Dengan tema besar “Film dari Sekolah untuk Dunia”, LSSMF 2025 berkomitmen menumbuhkan semangat sinema pelajar sebagai bagian dari gerakan literasi visual dan budaya di wilayah Lubuklinggau, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara.

Comments
Loading...