“Ziarah Tanah Beselang” Menyalakan Budaya dari Muratara
Lubuklinggau, 27 Juli 2025 — Di tengah sunyi yang akrab di wilayah-wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), sebuah suara lantang lahir, bukan lewat orasi, namun lewat puisi. Muratara, sebuah kabupaten yang jarang disebut dalam peta sastra nasional, tiba-tiba hadir dengan cahaya baru: buku puisi Ziarah Tanah Beselang karya Tampu Bolon Suvardi telah diluncurkan dalam sebuah perhelatan literer yang sederhana namun menyentuh.
Bertempat di Resto Hotel Amazing Riverside, tempat yang nyaman di tepi sungai berubah menjadi titik temu antara rasa, bahasa, dan identitas lokal. Para pecinta sastra dari Lubuklinggau, Musi Rawas, hingga Muratara berkumpul dalam sebuah senja yang penuh makna, menyambut hadirnya karya yang tak sekadar bicara tentang tanah, tapi juga tentang keberanian mencintainya.
Puisi-puisi karya Tampu Bolon Suvardi berhasil menjelma sebagai saksi dari tanah yang sering terlupakan. Tak hanya itu, buku ini juga merekam jejak batin seorang anak daerah yang sedang memahat wajah Muratara yang tersembunyi dari lensa arus utama. Tanpa statistik atau jargon pembangunan, buku ini membawa pembaca menyelami Muratara dari sisi terdalam: kerinduan, luka, kenangan, dan keteguhan.
“Saya hanya ingin menulis dengan jujur. Dan yang paling jujur bagi saya adalah tanah tempat saya lahir. Dan, ini bukan sekadar buku, tapi merupakan tonggak baru untuk Muratara,” ujar Suvardi dalam pembukaan acara, suaranya nyaris setenang puisinya.
Karya ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan peneliti sastra, Bunda Dr. Rusmana Dewi, yang hadir sebagai pembahas utama. Dalam ulasannya, ia menekankan bahwa Ziarah Tanah Beselang menjadi contoh konkret bahwa karya sastra bisa menjadi media pengarsipan kultural paling autentik.
“Jika ingin mengenal Muratara, bacalah puisi-puisi dalam buku ini. Di sana ada semesta kecil yang hidup. Ia tidak hanya bicara tentang tempat, tapi juga tentang nyawa-nyawa yang ada di Muratara,” tuturnya.
Yang membuat acara ini semakin istimewa bukan hanya bukunya, tetapi juga merupakan acara rutin hasil kerja bersama dari berbagai komunitas dan institusi lokal: Benny Institute, Rumah Kreatif Bernas, Wahid 21, Layang-Layang Organizer, Majelis Lingkaran, dan Filosofi Motret.
“Melalui buku dan kegiatan ini kami ingin dunia melihat bahwa Muratara punya kisahnya sendiri dan layak didengar,” ujar Juli Yandika yang saat itu memoderatori acara bincang buku tersebut dengan sangat santai dan hangat.
Acara di penghujung senja itu ditutup dengan pembacaan puisi dari penulis dan pembahas, yang membuat beberapa peserta larut dalam keharuan. Acara ini, tak hanya sekadar bincang buku, namun juga sebagai penanda bahwa Muratara telah melangkah ke panggung yang lebih luas. Lewat puisi, daerah ini tak lagi sekadar titik kecil di peta Indonesia, tapi telah menjelma menjadi narasi, menjadi suara, dan menjadi bagian dari kebudayaan nasional yang lebih utuh. (Dka)