education.art.culture.book&media

APA YANG PERLU DAN TIDAK PERLU DALAM TEKS FIKSI DAN NONFIKSI

William Zinsser dalam On Writing Well menulis bahwa kekacauan bahasa adalah muara dari kerumitan tulisan. Dalam bab Simplicity, ia menulis, “Kekacauan bahasa adalah penyakit dalam dunia tulis-menulis. Kita adalah masyarakat yang terombang-ambing dalam kata-kata tak perlu, susunan kalimat melingkar-lingkar, slogan-slogan tak bermakna dan embel-embel sombong.”

Sebagai salah satu mastah dalam kepenulisan nonfiksi, pernyataannya kerap dicurigai khusus tulisan nonfiksi—dipengaruhi oleh keringkasan, keterbacaan, dan keringkasan (baik dalam menulis maupun membaca) yang menjadi sifat dasar berita, artikel, atau kolom yang mengulas isu-isu aktual. Tapi, saya percaya, ilmu pengetahuan memiliki sumbu yang menggerakkan prinsip kerjanya yang mirip satu sama lain. Tak terkecuali antara Fiksi dan Nonfiksi.

Apa yang dinyatakan Zinsser adalah sesuatu yang relevan dalam genre kepenulisan apa pun. Atas curahan ilmu pengetahuannya yang ringkas dan menukik dalam buku yang telah ia revisi berkali-kali itu, ia mengantarkan saya pada pemahaman tentang bagaimana teks-teks harus diketengahkan.

Atas kenyataan itu, On Writing Well adalah buku yang bagus. Salah satu parameter buku bagus adalah ketika buku tersebut merangsang pembacanya untuk membuka kran pengetahuan yang selama ini mampet. Ia memang mengucurkan air, tapi sedikit/sedikit dan itu sungguh kondisi yang memprihatikan bagi para pencari ilmu, tak terkecuali bagi penulis, tak terkecuali saya.

Ini adalah ladang pemahaman baru yang saya dapatkan usai membaca On Writing Well. Saya katakan “ladang pemahaman baru” sebab selain ladang itu tidak ada di lahan Zinsser yang luas yang bernama On Writing Well, ia adalah kepahaman yang sudah lama sekali ingin saya temukan jalan pintasnya: ringkas, terapan, dan mudah dipahami.

Kran ilmu yang terbuka itu adalah pendekatan terbaik bagi memaham-bedakan teks fiksi dan nonfiksi. Secara praktik, saya sudah mengamalkannya alias kran itu bisa saya buka sehingga airnya yang mengucur deras membuat ladang tulisan saya subur dan rimbun. Tapi, ladang pemahaman di sini saya bahasakan, selain berurusan dengan kecakapan saya mempraktikkannya, juga tentang efektivitas saya memberikan penjelasan kepada orang-orang ketika ada yang bertanya: mengapa ladang saya ini bernama nonfiksi, sementara ladang tetangga saya disebut fiksi.

Lha, kan nyata bedanya?

Ya, memang nyata bedanya.

Lalu ini dibahas lagi? Tidakkah ini terlalu dasar?

Baik, saya bertanya: apa yang perlu dan tidak perlu dalam teks nonfiksi maupun nonfiksi?

Pengalaman membuktikan: tak semua bisa menjawab. Kalaupun ada yang berusaha dan merasa bisa, muter-muternya minta ampun. Krannya mampet.

Mari kita buka kran yang mampet itu.

Umpamakan ada dua lahan tanpa tanaman. Anggaplah ia kertas kosong atau halaman Word yang belum diisi. Kita pun mulai mengisinya. Ladang nonfiksi dan fiksi ditanami tanaman sesuai dengan peminatan. Peladang fiksi menanaminya dengan elemen-elemen cerita—anggaplah begitu. Peladang nonfiksi menanaminya dengan rangkaian calon teks pidato atau ceramah atau artikel.

Mereka berdua sama-sama berharap masing-masing teks akan tumbuh sehat, berbunga dan berbuah secara menggembirakan, lalu memberikan hasil yang memuaskan begitu panen tiba.

Peladang fiksi dan nonfiksi itu telah melakukan sesuatu yang sudah seharusnya: memikirkan sedemikian rupa ladang itu akan seperti apa (Premis) dan menanami ladang dengan bibit-bibit teks yang mereka inginkan (Sinopsis). Tapi, mereka belum menyelesaikan draf pertama yang akan terus melahirkan draf kedua atau kelima atau hingga kesembilan puluh dua selama teks-teks di dalamnya belum berbunga dan siap panen dengan hasil yang memuaskan.

Kapan draf pertama lahir?

Ketika tiap tanaman (elemen teks) dalam kebun itu sudah kelihatan. Ketika anakan mangga di pojokan tumbuh kokoh, ketika rumput tapak kuda yang ditanam menghampar di tengah ladang sudah mengakar kuat meski belum menyebar sempurna, ketika labu mulai menjalar, ketika bayam hasil semaian memberikan daun pertamanya yang lebar; ketika … tanah kosong itu sudah layak disebut ladang.

Dalam proses penggarapan teks, dari draf ke draf, dari waktu ke waktu, peladang dituntut jeli melihat ulang ladangnya, memastikan kalau tidak ada hama yang menyusup. Biasanya hama ini hadir dalam bentuk teks-teks cacat logika dan mengandung kata-kata yang tidak tepat konteks. Lalu memeriksa, apakah ada gulma yang tumbuh tanpa disadari. Gulma kerap muncul dalam bentuk penggunaan kata sifat, kata keterangan, atau kata-kata yang selintas-lalu tidak mengganggu batang teks, tapi ketika dibuang, teks akan lebih nyaman dibaca karena mengantarkan pembacanya ke tujuan tanpa harus melalui kelokan yang tidak perlu.

Ya, Anda benar! Sebagaimana ladang yang membutuhkan perhatian setelah penanaman tanaman di dalamnya, membaca ulang teks yang sudah jadi (draf pertama) adalah keniscayaan. Menulis sekali lalu menyebutnya tulisan yang bagus sama dengan menanami lahan lalu tak pernah membersihkannya, tapi berharap semuanya berbuah manis dan lebat.

Anda juga benar! Sebagaimana ladang yang harus rajin dibersihkan, dipupuk, disiangi, atau dilakukan pemangkasan terhadap ranting yang tidak produktif atau daun-daun rimbun yang membuat ukuran buah kurang maksimal, teks juga harus disunting dengan saksama. Kalau perlu berkali-kali. Memang bisa seorang peladang membayar orang untuk memelihara ladangnya sampai panen tiba, tapi tidak ada yang tahu kalau rumpun serai yang terlalu gemuk di tengah ladang harusnya dirampingkan agar tanaman apotik yang sedang bersembunyi di bawah tanah sekitarnya mendapatkan cahaya matahari lebih baik. Karena itu adalah ladang Anda, tidak ada yang lebih mengerti mau jadi apa ianya, selain Anda sendiri. Penyunting terbaik atas tulisan Anda yaaa Anda sendiri. Sehingga … kalaupun Anda membutuhkan tukang ladang tambahan atau bayaran, ia dipastikan hanya membereskan rumput atau gulma yang mengganggu pemandangan saja. Kalaupun tetap ada editor luar, ia membereskan saltik atau kekeliruan tanda baca yang terlewat oleh Anda.

Dalam nonfiksi, prinsip tulisan tepat sasaran adalah menanami ladang dengan prinsip kebermanfaatan seorang tukang kebun. Peladang jenis ini biasanya tidak akan membiarkan rumput menghampar indah di tengah ladang karena ia, selain tidak menghasilkan buah atau bisa dimasak sebagai sayuran, juga sejatinya bernama gulma!

Sedangkan dalam ladang fiksi, peladangnya berpikir bahwa ladang yang baik, selain tanaman di dalamnya menghasilkan, juga bisa menjelma menjadi tempat menenangkan pikiran atau munculnya ide-ide baru. Hamparan rumput di tengah ladang akan memberikan perasaan sejuk dan damai, baik kepadanya maupun orang-orang yang bertandang ke ladangnya. Ia menginginkan orang-orang dapat memetik dan makan mangga di atas tikar piknik yang dibentang di atas rumput di bawah rimbunnya pohon ketapang—yang bagi peladang nonfiksi tidak penting karena pohon ini tidak berbuah. Tapi, untuk sampai pada keindahan sedemikian rupa, ia harus teliti menyingkirkan rumput yang bukan jenis tapak kuda, memungut daun-daun ketapang menguning yang menyeraki hamparan rumput, dan tentu saja tetap memastikan mangga yang manis berbuah lebat, serai merumpun sehat, atau bayam-bayam berdaun lebar dan mulus tanpa geretan hama.

Dan … selalu saja ada peladang fiksi yang membiarkan saja rumput liar tumbuh semaunya atau serakan daun-daun ketapang mengotori pemandangan dan tidak tergerak menyemproti bayam-bayam yang mulai digregeti ulat itu dengan cairan pengusir hama atas dasar menghormati kealamiahan dan sebagainya dan sebagainya—yang rentan membuat peladang nonfiksi pingsan atau kesurupan kalau mendengarnya. Dengar ini: kalau ia ingin melakukan itu, ia tidak perlu membuka ladang. Ia cukup mengembara dari hutan ke hutan. Kalau ada penulis fiksi yang menyodorkan argumentasi sedemikian rupa, Anda sekarang tahu kalau ia sedang tidak menawarkan kesegaran atau estetika baru atau istilah lainnya yang justru bikin Zinsser naik pitam, melainkan sedang menciptakan dalih yang lemah nan rapuh untuk menutupi kemalasannya yang akut.

Hal di atas, kalau juga dilakukan peladang nonfiksi, kekacauan yang dihasilkannya bakal tidak jauh berbeda!

Ladang yang malas diurus tidak akan memberi tuannya apa-apa selain kebun buah yang gagal panen sehingga ladang menyerupai hutan yang aneh karena pohon-pohonnnya yang tidak sehat dan semak-semak yang rimbunnya tanggung. Tulisannya tidak akan menjadi makalah atau novel yang baik sebab ratusan halaman hanya berisi kata-kata yang kacau, yang tak terurus, yang bersitumpuk, yang menjalar ke mana-mana.

Dan hari ini, fenomena orang-orang yang ingin punya ladang, tapi malas mengurusinya, alias banyak sekali yang ingin menulis buku, tapi malas memeriksa tulisannya dengan ilmu dan pemahaman yang mumpuni, sungguh berserakan di mana-mana!

Lubuklinggau, 5 Januari 2021

NB: Bacalah buku-buku bagus agar Anda bisa memiliki pandangan dan tulisan bagus tanpa sedikit pun memplagiat bacaan Anda. Percayalah, On Writing Well hanya satu dari sekian buku bagus di muka Bumi.

#kelasmenulisbennyarnas

Comments
Loading...