education.art.culture.book&media

Feminisme Tersembunyi dalam Kronik Prahara

Pola tidur selama Ramadan masih terbawa setelah bulan yang paling ditunggu muslim sedunia itu berlalu. Azan awal Mang Wawan berkumandang membersamai istri yang tengah memasak mie instan. Saya memang memintanya untuk membuat mie pada jam yang tengah kantuk-kantuknya. Setelah istri menyilakan makan, lalu kembali tidur bersama anak-anak, saya baru membuka arsip pdf kumpulan cerpen “Kronik Prahara” karya Wahyuni Septi.  Arsip tersebut dikirimkan Beny Arnas via whatsapp, pada tanggal 20 Juni 2019, pukul 22.16 WIB.

Saya tidak mendengar keluh kesah dari istri karena disuruh memasak mie pada dini hari. Ia barangkali, salah seorang perempuan yang (sengaja atau tidak) kerap ditaruh sebagai objek. Seperti perempuan-perempuan lain yang dikisahkan Septi Wahyuni yang hampir semua tokohnya menderita. Apakah perempuan-perempuan tersebut hanya sekadar pemuas lelaki semata? Barangkali justru sebaliknya, bahwa mereka merupakan makhluk yang paling kuat secara lahir dan batin.

Pada judul pertama “Prahara Rasa”, saya semacam membaca memoar atau catatan harian tentang dinamika cinta segitiga. Sebentar, meskipun seperti sederhana, penulis telah memainkan teknik sejak awal. Meminjam istilah Hermawan Aksan, yaitu teras. Ya, soal teras ini sangat penting untuk menarik perhatian pembaca.

Paragraf pertama sangat berpengaruh besar terhadap pembaca agar ia larut kepada paragraf-paragraf berikutnya. William Zinsser (2015, hlm. 76) mengatakan bahwa kalimat terpenting dalam tulisan adalah kalimat pertama. Jika tidak mendorong pembaca meneruskan ke kalimat kedua, tulisan Anda dapat disebut “tamat”. Dan jika kalimat kedua tidak mendorong pembaca melanjutkan ke kalimat ketiga, dia juga “tewas”. Di antara kemajuan kalimat-kalimat tersebut, yang masing-masing melecut pembaca untuk membaca lebih lanjut hingga tersentak, seorang penulis harus membangun sebaik mungkin unit penentu nasib tersebut, yaitu “pembuka” (lead).

Inilah teras yang ditulis Wahyuni Septi:

Suamiku merapatkan kaki dan merapikan kepala adikku. Ia juga mendekapkan tangan adikku layaknya orang salat. Mungkinkah rasa yang sempat berlabuh masih menyeruak di hati?

Kesederhanaan cerita tentang cinta segitiga tersebut dibumbui kreativitas oleh sang penulis. Biasanya, cinta segitiga berlaku pada hubungan dua perempuan [yang berteman baik] jatuh cinta pada satu lelaki. Atau sebaliknya, dua lelaki jatuh hati pada perempuan yang sama. Saya teringat Joni Ariadinata yang mengatakan bahwa semua cerita tentang cinta, sosial, sejarah dan lainnya telah diceritakan oleh para penulis terdahulu. Namun, semua itu akan tetap terasa segar ketika para penulis yang lahir kemudian, memberi sentuhan kreativitas.

Irwan Bajang dengan kawan-kawannya dalam Menemukan Jurus-jurus Menulis Belajar dari Penulis Dunia (Path! Zine Vol.1, tanpa tahun), mengatakan bahwa sang penerima penghargaan Nobel, Ernest Hemingway, mendapatkan penghargaan karena karya-karyanya berpengaruh. Keberpengaruhan karyanya bukan karena apa-apa, tapi justru karena kesederhanaannya dalam membuat kisah. Pada paragraf pertama yang ditulis Bajang tentang Tips Menulis Fiksi Ernest Hemingway, yakni dalam satu tahun, hanya ada satu orang yang akan mendapatkan penghargaan Nobel. Pada tahun 1954, manusia itu bernama Ernest Miller Hemingway (1899 – 1961). Atas kehebatan dan mutu karya-karyanya, Erza Pound menjulukinya sebagai ‘Penulis prosa dengan gaya terbaik di dunia’. Secara khusus, Hemingway adalah peletak standar fiksi Amerika, dan secara umum sukses meninggalkan pengaruh luar biasa bagi fiksi dunia. Apa rahasia di balik pencapaian sukses Hemingway? Jawabnya, kesederhanaan!

….

Bersambung dalam BookTalk and Launch “Kronik Prahara” Sebuah Kumpulan Cerpen dari Septi Wahyuni. Bertempat di Meeting Room Bandiklat Kota Lubuk Linggau, 9 Juli 2019, pukul 10.30 – 12.00 WIB.

Comments
Loading...