education.art.culture.book&media

KEBUN BINATANG BENNY ARNAS

Oleh Titan Sadewo

 

Judul                     : Hujan Turun dari Bawah
Penulis                  : Benny Arnas
Tebal                      : 75
Penerbit                : Gramedia Widiasarana Indonesia
ISBN                      : 9786020502113
Cetakan Pertama : Juli, 2018
Kata Pengantar    : Hasan Aspahani

 

Ada banyak binatang yang kehujanan. Tapi, bukan tengkujuh. Tak sampai pula menghantam hutan. Hujan tak lagi jadi tanda seru yang menusuk bumi. Hujan menyembur dari bawah, rahmat bagi segala. Tumbuhkan pohon riang dan buah-buah bahagia. Adapun semuanya menunggu saat itu. Saat di mana sang penyempurna akhlak akan datang.

Benny Arnas dalam Hujan Turun Dari Bawah memasukkan para binatang dalam puisi-puisinya yang utuh lagi panjang. Di sini, mereka jadi pembantu untuk memperkuat puisi. Hal yang menarik untuk kita bahas. Sebab, para binatang akan menjelma semiotik atau tanda-tanda di dalam buku ini.

Binatang yang ada dalam puisi-puisi Benny Arnas, seperti ular naga, gajah, kangguru, kutu, angsa, gagak, kupu-kupu, cacing tanah, belalang, ulat, ikan, jangkrik, anjing, kutilang, semut, kelelawar, kucing, zebra, nyamuk, lalat, kenari, onta, kunang-kunang, lebah, kijang, kuda, kumbang, angsa, rusa, dan ular sawah.

 

Kunang-kunang berhari raya.

Malam tumpah oleh berita. (Hal. 28)

Di sini kunang-kunang menjelma semiotik, bahwa idul fitri identik dengan segala yang terang dan harus berbahagia. Kunang-kunang sering kali datang ketika gelap menyergap. Maka, ia akan menerangi segala ruang.

Orang-orang datang membawa kain, buah tun, gunting, dan gelang banglai untuk melindungi bayi dari setan berwajah api bertanduk kijang dan siluman berwajah malaikat berjubah krem tembus perasaan. (Hal. 28)

Imaji visual. Di penggalan puisi ini, wujud setan diperkuat dengan adanya tanduk. Tanduk di sini bahkan tanduk kijang. Tanduk kijang seperti ranting-ranting pohon. Jika divisualkan lebih jauh, setan yang digambarkan dalam puisi ini, akan sangat menyeramkan.

Ada yang menangis karena kalah, kesal tak kunjung menemukan di mana api meskipun tanah yang bersatu dengan cacing dan jasad leluhur telah habis digali dengan ujung lidi enau, yang merimbun sekaligus melukai gegumpal harapan yang dilelehkan hujan. (Hal. 63)

Kematian. Walau ada di sekitar kita dan tak tampak wujudnya. Sekiranya, cacing akan mewakilkan wujud itu. Benny Arnas lembut sekali untuk memvisualkan kematian dengan wujud hewan yaitu cacing. Sangat lembut.

Ahda Imran dalam Rusa Berbulu Merah juga menggunakan binatang sebagi tokoh dalam puisi-puisinya. Berbeda dengan Benny Arnas, binatang di puisi Ahda tak lagi jadi penguat tapi menjelma tokoh yang akan membuat konflik dengan si “aku”.

 

Ular Tepi Air.

Seekor ular bergulung di tepi air, menunggu kapan mayatku dihanyutkan ke sungai untuk meminta kembali sebuah kata yang pernah kupinjam darinya. (Hal. 22, Rusa berbulu Merah)

Di sini jelas, bahwa konflik yang dihadirkan Ahda sekaligus membuat twist bagi puisinya. Pembaca akan bebas menginterpretasi apa sebab si “aku” meminjam kata dari ular tersebut.

Pun, Hasan Aspahani dalam Mahna Hauri membuat bagian khusus puisi-puisi fabel, para binatang jadi tokoh dan berinteraski dan membuat konflik yang lucu. Seperti dongeng dalam bentuk mini. Tapi, twistnya sangat jelas, padat, dan kompleks.

 

Fabel Gajah Bodoh dan Anjing Buta.

“SEBESAR apa sesungguhnya tubuhku?” tanya gajah bodoh kepada temannya, seekor anjing buta.

“SANGAT besar, kawan, hingga menutup matahari, dan aku kegelapan, tak bisa melihat sebesar apa persisnya.” (Hal. 42, Mahna Hauri)

Hasan telah memberikan sifat kepada tokoh-tokoh puisinya. Maka, ketika pembaca membaca judulnya. Mereka hanya tinggal menerka, apa yang akan Hasan lakukan kepada dua tokohnya tersebut, gajah bodoh dan anjing buta. Ternyata, konflik yang terjadi adalah percakapan konyol yang membikin bulan sabit di bibir para pembaca. Lagi-lagi Hasan membuat twist yang lucu!

Para binatang ini dikontrol oleh tangan penyair kita. Mereka menjelma apa saja. Mereka membantu para penyair kita untuk mendekorasi, menguatkan, dan mengokohkan puisi-puisi mereka. Maka, jadikanlah para binatang itu sirkus!

 

Medan, 23-01-2019

 

Tentang penulis:

Titan Sadewo. Lahir di Medan 2 Desember 1999. Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. Belajar menulis di FOKUS. Puisinya dimuat Riau Pos, Haluan Padang, Analisa, Obeliapublisher.com, Kibul.in. Puisinya juga termaktub dalam antologi Syair Maritim Nusantara (2017), Tugu, Anggrainim, dan Rindu (2018), Kunanti di Kampar Kiri (2018), Merdeka dari Pusaran Narkoba (2018), Puisi untuk Lombok & NTB (2018).

Comments
Loading...