education.art.culture.book&media

LITERASI YANG MENGERIKAN DI PUNGGUNG PICASSO

Beberapa waktu yang lalu saya mengampu kelas untuk calon pengampu kelas menulis di komunitas tempat mereka ditugaskan. Ini kelas tidak main-main. Bukan hanya untuk mereka yang mau jadi penulis, tapi untuk penulis yang akan mengajarkan menulis. Fasilitator Kreatif, begitu gelar yang akan disandang para alumni kelas ini nantinya.

Lebih dari 200 calon fasilitator kreatif lulus seleksi untuk mengikuti kelas itu. Namun hari pertama, saya diberi kesempatan untuk memberikan materi bagi 500-an calon mahasiswa penggerak lintas peminatan: sastra, videografi, seni pertunjukan, jurnalistik, dan desain grafis.

Bekal utama apa yang selayaknya dimilliki mereka yang mengikuti rangkaian pembelajaran itu, menjadi titik tolak saya dalam merumuskan materi. Setelah memikirkannya dengan saksama, saya memutuskan memberikan materi tentang Bagaimana Kelas Memberimu Kecakapan (dalam versi khusus, lengkapnya kepenulisan bisa dibaca di sini (AGAR KELAS MENULIS MEMBUATMU BISA MENULIS).

Yang ditekankan dalam materi itu adalah kerelaan para pembelajar untuk belajar dengan sabar dan taat aturan. Salah satunya indikatornya adalah mengerjakan tugas sesuai metode yang diberikan oleh narasumber atau mentor. Ini saya tekankan terus-menerus selama pembelajaran agar benar-benar dipahami, agar benar-benar ditaati, agar benar-benar sadar tugas sebagai murid.

Saya juga berulang kali meminta mereka melihat imbauan itu bukan sebagai upaya menjadikan mereka “kerbau yang dicocok hidungnya” dalam kelas. Bukan. Ini adalah upaya untuk memastikan mereka memperoleh bekal-bekal dasar dalam memperoleh kecakapan. Semua pelajaran dan pengajaran tersebut, kalau diikuti dengan saksama, seharusnya menjadi kuda-kuda untuk mengerahkan atau bahkan membuat jurus baru yang ampuh dan efektif dalam melumpuhkan semua masalah yang timbul dalam dunia kreatif, tak terkecuali literasi.

Tapi, ternyata itu pun tidak bekerja dengan baik.

Antusiasme para pembelajar mengerjakan tugas ternyata tidak diiringi kerendah-hatian untuk membuat tugas sebagaimana metode yang diajarkan. Ya, hampir semua mengerjakan, tapi dengan caranya sendiri-sendiri.

Salah? Saya tidak ingin menjawab “tidak” sebenarnya. Tapi, dalam urusan kelas, itu jelas pangkal masalah.

Ini bukan tentang mengekang kebebasan bereskpresi atau tidak menghargai cara masing-masing dalam memecahkan masalah. Ini adalah tentang Learn the Rules. Ini adalah tentang belajar dengan rendah hati. Ini adalah tentang menghargai kelas. Ini adalah tentang menghormati proses.

Tentang Learn the Rules, berkali-kali disampaikan agar mereka tahu bahwa bagi para pembelajar, adalah perkara serius. Gagal Learn the Rules, gagal membangun rumah dan gagal memanen buah. Learn the Rules adalah fondasi untuk kemudian menyilakan elemen lain menutupinya, “menenggelamkannya”, dan membuatnya seperti “tak terperhatikan”. Learn the Rules adalah akar sebuah tanaman buah. Ia harus ada dan sehat. Tanpanya, takkan ada daun yang sehat, bunga yang merekah, dan buah yang manis.

Tapi, pengalaman saya mengampu kelas demi kelas, sedikit sekali yang mau serius Learn the Rules. Mereka tahu kalau fondasi itu, meski kokoh dan jadi dasar bangunan, tidak diperhatikan sebagaimana pilar yang gagah atau dinding penuh relief atau atap dengan warna yang mentereng. Mereka tahu kalau akar itu tidak akan pernah dipuji karena letaknya di bawah tanah, semua mendambakan jadi daun, bunga, putih, atau … tentu saja buah yang manis!

Masalah pembelajar hari ini ternyata bukan tidak tahu dan tidak sadar tentang status ilmu pengetahuan dalam proses menghasilkan karya. Bukan. Bukan itu masalahnya. Mereka tahu, paham, dan sadar. Yang terjadi adalah fenomena yang mengerikan dan mengenaskan:

Mereka menidakkan kesadaran. Mereka menolak kebenaran. Dan sibuk berkubang dengan ilusi-ilusi kreativitas yang mengambang dan mengawang-awang, seakan-akan mereka haqqul yakin bahwa keajaiban akan menimpa mereka. Bahwa mereka adalah bagian dari anomali dalam semesta penguasaan ilmu dan kecakapan yang berdarah-darah dan penuh air mata.

Sungguh benci sebenarnya saya menyadari bahwa lagi, lagi, dan lagi tesis itu terbukti bahwa mereka yang mengikuti kelas kreatif, kelas literasi, atau kelas menulis, dan sejenisnya adalah para pragmatis yang selalu ingin cari jalan pintas, ingin disuapi Indomie (instan) proses kreatif, dan tidak peduli bahwa ada cara pertama dan kedua yang sudah terbukti untuk meraih segala: banyak membaca dan banyak menulis; atau banyak berlatih dan banyak pentas; atau banyak riset dan banyak bekreasi, titik!

Mereka, tidak sabar ingin melanggar aturan untuk menghasilkan karya dan beroleh pengakuan, seakan-akan tidak mau mendengar atau pura-pura tak tahu nasihat Picasso bahwa hanya yang mempelajari aturan (Learn the Rules) dengan sungguh-sungguhlah (Like A Professional) yang diperkenankan melanggar aturan itu sendiri (Break Them) sebagaimana yang kerap dilakukan seorang seniman (Like an Artist)!

Kalau sudah begini, saya tak bisa membayangkan apa yang akan diberi para calon pengampu kelas peminatan ini di komunitas tempatnya bertugas nanti. Literasi yang gaungnya memekakkan telinga dan sibuk dengan slogan-slogan yang mengerikan pun menghantam-hantam kepala saya.*

Lubuklinggau, 10 Februari 2021

Comments
Loading...