education.art.culture.book&media

Siklus “Lokalitas-Story-Kreativitas”

Sebagaimana para pengarang yang kerap tak dapat membedakan tenggat (dateline) dan ujung-tenggat (deadline) atau penyair yang semaunya saja menerakan kata “sayang” atau “kasih” karena menurutnya “cinta” terlalu umum digunakan—seakan-akan kata-kata itu adalah tiga saudara kembar yang tak memiliki keistimewaan masing-masing, ketika membincangkan kreativitas berbasis potensi daerah, hal yang sama pun kerap terjadi: kita bisa kapan saja mengatakan “lokalitas” dan menggantinya dengan “kearifan lokal” dua menit kemudian dan merevisinya lagi dengan “local genuines” beberapa detik ke depan—demi kepentingan variasi bunyi semata!

Lokalitas adalah sesuatu yang terus diproduksi suatu daerah dalam jangka waktu tertentu hingga lahirnya sebuah tatanan hidup. Lokalitas hadir dan menyaru dalam banyak sendi kehidupan: dongeng, cara makan, bentuk rumah, pertanian dan perkebunan, watak masyarakat, mata pencaharian, kuliner, istilah, dan lain-lain. Cerita tentang dewi-dewi yang bersemayam di Gua Napalicin, rumah panggung yang pernah lestari, sebagian masyarakat yang  rutin menyadap karet tiap permulaan waktu Duha, atau gulai tempoyak yang lebih jamak disebut gulai jeghuk, dan lain sebagainya, adalah lokalitas yang masih ada di Muratara, sebuah kabupaten di Sumatera Selatan. Lokalitas itu bisa saja bertambah daftarnya ketika ada yang mencari tahu atau bahkan meneliti dan menemukan bahwa perempuan lintas-usia di desa-desa gemar berbaris di tangga rumahpanggung tiap petang karena saling mencari kutu adalah pengisi waktu luang favorit menunggu Magrib tiba, kaum laki-laki biasa ngopi di kedai-kedai menjelang zuhur karena di atas pukul 1 siang adalah waktu yang mustajab untuk tidur siang dan melewatkannya adalah sebuah kerugian, atau ditemukan banyaknya perkumpulan anak muda yang suka sekali menulis dan menyenandungkan syair dala, bahasa setempat dengan iringan gitar tunggal berirama batanghari sembilan di bantaran Sungai Rawas, dan seterusnya dan seterusnya.

Lalu apakah hal-hal di atas, hal-hal yang hidup dan lestari di tengah masyarakat Muratara itu, mengandung faedah yang bisa membuat masyarakatnya hidup sejahtera dan bahagia? Tentu saja jawabannya tidak serta-merta tersedia. Ini bukan tentang urusan perspektif, tapi lebih pada seperti apa kita memberdayakannya untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh dan berkembangnya proses kreatif sesuai dengan kepentingan—pun misalkan kepentingan itu bernama Kesejahteraan dan Kebahagiaan.

Yang pertama-tama harus dipetakan adalah bahwa semua yang ada di muka bumi ini pada mulanya adalah ladang terbuka bebas nilai. Di masa prasejarah, manusia bisa hidup hanya dengan makan dan minum apa pun yang ditemui di perjalanan seraya terus mengasah sensitivitas tentang baik-buruknya rasa dan manfaat hewan buruan dan tumbuhan yang dimakan dengan mengenali ciri fisik melalui indra-indra biologis. Di masa ini, budaya hidup nomaden pun lahir dan berkembang. Maka, kehidupan nomaden dengan segala hal yang melekat padanya—telanjang seharian, menggunakan teriakan dengan volume dan langgam tertentu untuk berkomunikasi, saban hari membawa tombak dan batu, makan rusa atau babi yang dibakar dalam api unggun, dll. pun menjadi lokalitas yang melekat padanya. Namun, ketika manusia mulai begitu sangat menyukai sesuatu (baca: hewan dan tumbuhan tertentu) dan merasa sangat rugi apabila berpisah dengannya, lahirlah Revolusi Pertanian yang membuat gandum, padi, ubi jalar, kentang, anggur, pisang, ayam, babi, bebek, sapi, anjing, dan kucing, terdomestikasi alias mendapat perhatian dan perlakuan khusus untuk dipelihara sedemikian rupa, baik atas tujuan dikonsumsi, jadi pengusir hama, atau sekadar untuk disayang-sayangi. Keadaan ini membuat “ladang terbuka” itu tak lagi bebas nilai. Hidup nomaden pun mulai ditinggalkan. Manusia mulai mengenal rumah, kebun, ladang, hewan ternak, tanaman hias, dan sejenisnya dan sejenisnya. Kehidupan tanpa sekat itu pun menghasilkan terminologi baru: kehidupan berkelompok, bukan bersama. Maka, banyaknya pohon pinang yang menjulang di petak lahan tertentu, populasi sapi dan ayam yang lebih banyak daripada hewan yang tak terdomestikasi, kebiasaan penduduk membangun rumah yang beratapkan rumbia, atau kebiasaan makan nasi dengan gulai umbut kelapa (karena kelapa banyak ditanam), atau masyarakat yang gemar berladang dan pulang ketika matahari tak memberi manusia bayangan di tengah hari, pun menjadi lokalitas kala itu.

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Lokalitas, kerap kali dipandang sesuatu yang khas atau genuine atau yang hanya dimiliki oleh suatu daerah, padahal lokalitas adalah hal-hal yang membumi di suatu daerah, lintasbidang, lintasurusan. Artinya, lokalitas tak berkait-singgung dengan apa pun yang hanya terdapat di daerah tersebut. Ia memang bisa saja sesuatu yang hanya terdapat di daerah itu, misalnya budaya tabot di Bengkulu atau seruit di Lampung atau Silampari di Limatara atau perkebunan khusus belimbing di daerah Merasi atau peternakan domba di Matamata, tapi ia juga bisa sesuatu yang menjadi ciri khas di beberapa daerah, misal kuliner tempoyak yang terdapat di Sumsel dan Jambi atau rumahtinggi yang terdapat di beberapa daerah di sebagian besar daerah Melayu, atau kebiasaan membaca buku yang kental di Finlandia dan Islandia, atau menjamurnya kedai kopi di Paris dan Belitung, atau kegemaran bermain catur bakda isya di Moskow dan New Delhi.

Kita kerap lupa, lokalitas adalah kata benda abstrak dari lema “lokal” yang berarti daerah atau bersifat kedaerahan. Jadi ia tidak merujuk pada genuinitas alias kekhasan yang hanya dimiliki suatu daerah. Ketika, misalnya di Muratara penduduknya gemar mengonsumsi sandwich di berbagai kesempatan, hal itu tak serta-merta membuatnya batal sebagai lokalitas hanya karena penduduk Auckland dan Amsterdam juga melakukan hal serupa.

 

  • Kearifan Lokal?

Selain tidak atau belum duduknya definisi lokalitas, kita pula kadang kala serta-merta melompat ke kebiasaan berbahasa yang xenoglosofik, yaitu mencampuradukkan kata atau bahasa yang kita belum pahami benar maknanya ke dalam percakapan dan teks sehari-hari. Salah satu yang acap terjadi adalah menyamakan pengertian lokalitas (locality), kearifan lokal (local wisdoms), dan  ciri khas lokal (local genuines). Artinya, setelah uraian tentang lokalitas di atas, seyogyanya kita bisa melihat bahwa Lokalitas adalah himpunan besar yang mengandung dua himpunan kecil yang mungkin saja beririsan, yaitu Lokalitas yang Mengandung Kearifan dan Lokalitas yang Mengandung Kekhasan. Lokalitas yang arif bisa saja merupakan lokalitas yang khas, atau sebaliknya, sebagaimana lokalitas yang tidak arif bisa saja merupakan lokalitas yang khas atau sebaliknya.

Perkebunan kelapa sawit yang mendiami sebagian wilayah suatu daerah, diakui atau tidak, akhirnya menjadi lokalitas yang tidak khas (sebab di daerah lain pun perkebunan semacam itu banyak ditemukan). Apakah ia bernilai kearifan? Tergantung kepentingan. Ya, tergantung kepentingan, bukan tergantung semacam cara pandang. Perusahaan sawit akan memandangnya sebagai kearifan sebab menurut klaimnya, keberadaan perkebunan itu menyerap tenaga kerja setempat, membuat suatu daerah berkontribusi dalam industri minyak kelapa sawit nasional, sekaligus memanfaatkan lahan-lahan yang kurang/tidak produktif menjadi lebih bernilai ekonomi. Sebagian penduduk melihatnya sebagai lokalitas yang tidak arid, sebab perkebunan itu menggusur lahan dan ladang pertanian yang produktif, mengambil paksa pekarangan mereka, atau menyilakan perusahaan menjadi benalu di lahan mereka yang subur sebab sebagian besar tenaga kerjanya ternyata masih “diimpor” dari luar daerah. Pegiat lingkungan juga melihatnya nyaris setali tiga uang dengan apa yang dilihat penduduk, misal; sawit adalah salah satu jenis tanaman yang rakus unsur hara sehingga membunuh tanaman lain yang mungkin saja diperlukan penduduk untuk hidup atau limbah nonbuah tanaman sawit relatif lebih sulit terurai sehingga akan mengonggok menjadi sampah organik yang tidak produktif.

Keberadaan Gua Napalicin di Muaratara adalah lokalitas khas karena hanya terdapat di daerah tersebut. Penduduk sekitar yang mendapatkan berkah karena dagangan mereka laris dibeli wisatawan akan melihatnya sebagai kearifan lokal. Budayawan yang kecewa melihat pemerintah yang mengelolanya sebagai tujuan wisata semata, bukan kawasan budaya yang memiliki pakem-pakem pemeliharaannya, akhirnya akan melihat keberadaan gua itu sebagai lokalitas yang tidak arif.

Dan seterusnya dan seterusnya.

 

  • Energi Potensial

Kembali lagi, karena pada dasarnya, yang terbentang di muka bumi ini, adalah ladang tanpa nilai, begitupun dengan lokalitas yang berdiam dan atau membentuk suatu daerah. Penyebutan lokalitas atau kearifan lokal atau lokalitas khas, tidak akan memberikan efek apa pun apabila masyarakatnya (termasuk pemerintah, tentu saja) tidak mengelolanya sesuai dengan kepentingan yang menyentuh banyak kalangan alias sebagian besar penduduk alias pelbagai lapisan masyarakat. Tetapi, kalimat di atas terdengar begitu klise, basi, picis, dan memuakkan, bukan? Mari kita bersama-sama mengakui, untuk kemudian sama-sama bangkit, dan menemukan formulasi untuk memberi “arti” pada apa pun yang mengambang sebagai lokalitas—searif atau sekhas apa pun keadaannya.

Untuk urusan ini, yang paling penting adalah kesadaran bahwa apa pun nama dan rupanya, lokalitas adalah keniscayaan, seawam dan sespesifik apa pun, searif dan seburuk apa pun kehadirannya. Namun, karena kehadirannya sebagai sesuatu yang ada dan membumi di daerah tersebut, sejatinya ia adalah potensi. Dan potensi adalah “ladang dengan nilai” yang bisa di-upgrade sampai titik tertentu ketika ia digerakkan, diolah, atau dimodifikasi hingga menjadi energi kinetik dengan keluaran yang sebagaimana mestinya—bahkan bisa melampaui prediksi dan atau ekspektasi banyak orang sekalipun!

Itulah yang dilakukan oleh Belgia dengan manneken pis-nya; Bandung dengan The Great Asia-Afrika-nya; Sungai Salzach di Salzburg dengan Jembatan Seribu Gembok-nya; Gunung Tangkuban Perahu dengan kisah Dayang Sumbi-nya; Kazakhtan dengan Festival Elang-nya, Holy Festival di India, Zagreb dengan Museum Patah Hati-nya, Helsinki dengan pelajaran Bahasa Ibu yang konsisten di sekolah dasarnya, Belanda dengan Van Gogh-nya, atau Pakistan dengan kendaraan umum yang berhiaskan kain dan rumbai-rumbai cantik seperti sang putri yang selalu berhias. Sebenarnya masih banyak contoh dari varian lokalitas lainnya, tapi penulis memang sengaja menampilkan karya-yang-berangkat-dari-lokalitas dengan pola kreatif yang bisa ditiru.

Selain itu, contoh-contoh di atas juga bukan fokus pada efek pariwisata yang ditimbulkan sebuah karya berbasis lokalitas. Bukan! Fokusnya adalah bagaimana karya-karya berbasis lokalitas itu muncul. Ya, karya. Dan mari kita lihat, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Mannaken Pis adalah patung anak kecil setinggi 60 cm karya The Elder dengan latar belakang cerita anak laki-laki yang mengencingi sumbu meriam musuh sehingga Belgia tidak jatuh ke tangan musuh. Sejarah Bandung yang menjadi tuan rumah konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 menjadi latar belakang berdirinya kawasan wisata terpadu The Great Asia-Afrika. Satu dari lima jembatan yang menghubungkan kota tua dan kota lama di atas Sungai Salzach yang dialiri air dari pegunungan Alpen ini memiliki pagar yang yang dibuat dari anyaman kawat yang kuat. Keromantisan kota kelahiran Mozart ini menyulut banyak pasangan yang membeli gembok dan mengaitkannya di kawat-kawat tersebut sebagai simbol cinta sejati. Analisa serupa atas contoh karya selanjutnya bisa Anda temukan sendiri setelah menemukan kekuatan yang bersembunyi di baliknya.

Ya, apa yang menjadi kekuatan besar dari karya-karya di atas?

Jawabannya adalah “Story” alias cerita yang kuat.[2]

Semua peradaban bisa membangun bangunan megah, patung yang cantik, museum yang menyimpan benda-benda purbakala, dan kawasan terpadu yang unik. Banyak negara memiliki gunung, sungai, pantai, dan hutan yang indah. Pelukis, penyanyi, dan seniman berbakat lintasbidang juga lahir di mana-mana. Tapi, tanpa “story”, semuanya takkan dilirik, takkan dipuja-puji, takkan dicari publik, takkan meningkatkan harkat-martabat suatu daerah atau sebuah kota atau sebuah negara! Apakah “story” itu memang benar ada atau legenda atau mitos atau diada-adakan semata, itu urusan yang lain. Dalam urusan ini, Finlandia tampaknya menyadarinya sejak awal dengan memberikan porsi jam belajar dengan metode bercerita dalam bahasa Ibu yang banyak atau Einstein yang mencetuskan bahwa membacakan anak-anak lebih banyak cerita adalah usaha yang tepat untuk membuat mereka genius.

Dalam urusan ini pula, kita kadang lupa bahwa yang membuat sapiens terus bertahan adalah karena pesona dari “story” atau “tatanan khayali” yang dibangun-sambung dari individu satu ke individu yang lain, inter-subjektivitas, sambung-menyambung. Dan itu tidak sama dengan secara bersama-sama atau satu kelompok sekaligus. Dua ribu orang tak saling kenal bisa mengunjungi Nepal bukan demi mencari rusa salju untuk mereka makan dagingnya. Salah satu alasannya karena ucapan Jack Nicholson—Tuhan memberikan bocoran seujung jarum tentang surga itu seperti apa dengan menciptakan Himalaya—dalam film The Bucket List (2007) yang populer dari mulut ke mulut, hingga film itu meraih keuntungan lebih dari 20 juta dolar AS. Ratusan juta rakyat Indonesia menghormati bendera merah putih karena mereka mendapatkan warisan kisah yang membuat secarik pusaka dua warna bisa berkibar dengan leluasa. Hal ini tentu berbeda dengan sejumlah atau beberapa (bukan ratusan apalagi jutaan atau ribuan) monyet atau kucing yang justru bertengkar memperebutkan pisang atau ikan asing. Bukan karena isu “pisang dan ikan asin” tadi tidak dialihkan pada pesona Himalaya atau Kemerdekaan Indonesia, melainkan karena mereka tidak memiliki bahasa yang kompleks untuk memproduksi dan menghayati sebuah cerita.

Pada titik ini, perkara lokalitas sebenarnya sudah bermigrasi ke urusan memproduksi karya berbasis cerita. Tiap daerah memiliki cerita, bahkan memiliki bahasa dan dialek khusus dan aksara spesifik. Peranti kebudayaan yang bernama cerita adalah jantung karya berbasis lokalitas itu sendiri, dengan bahasa sebagai alat atau pembungkusnya. Cerita dan bahasa inilah yang akan membuat perkebunan, dongeng yang telanjur ada, kebiasaan setempat, situs bersejarah, kuliner, dan lain sebagainya, menjadi sesuatu yang bernilai di mata penikmat karya, baik itu wisatawan, akedemisi, seniman, budayawan, atau masyarakat awam.

 

  • Siklus Karya

Jadi, permasalahannya adalah telah cukupkah kita menemukan atau bahkan menggali “story” setiap lokalitas yang ada, untuk kemudian kita olah ke dalam karya yang bersesuaian dengan passion dan kemampuan kita—karya arsitektur, sastra, seni rupa, pertunjukan, festival, atau kebiasaan kolektif? Kalaupun sudah, telahkah ia dibungkus dengan bahasa yang khas dan bertenaga, sebagaimana sapuan kuas Gogh atas semua karya ekspresionisnya di atas kanvas, sebagaimana Museum Patah Hati yang menampilkan peta patah hati yang bisa ditandai siapa pun yang menyetorkan benda yang pernah membuatnya merana, atau David Cerni yang membuat patung Franz Kafka dengan prinsip instalasi bergerak sehingga tampak unik dan hidup? Atau kita hanya menampilkan Sungai Rawas dalam selebaran dan spanduk? Atau kita hanya merutuki kehadiran lokalitas perkebunan sawit hingga kebiasaan merutuk itu menjadi varian lokalitas yang baru?

Ya, tugas kreator hari ini adalah memproduksi energi kinetik, yaitu: menemukan, menggali, atau bahkan kalau perlu menciptakan cerita yang kuat atas lokalitas yang ada, lalu menggarapnya dengan kreativitas dengan konsep yang duduk dan eksekusi yang cemerlang. Dan hal itu harus terus diproduksi berulang-ulang, menjadi siklus yang ajeg dan memuakkan namun terus dilakoni, sampai ia menemukan jaringan kerja dan materi sebagai sumber daya kreatifnya di tingkat lanjut. Tanpa kekuatan cerita, gagasan kreatif, dan keistiqomahan untuk melakoni siklus itu secara terus menerus, lokalitas—searif dan sekhas apa pun—selamanya hanya akan jadi identitas dan kebanggaan semu. Sebab ia tak memberi apa-apa. Selamanya lokalitas hanya akan jadi energi kreatif mentah. Kita terus mengagung-agungkan keberadaannya karena potensi dengan daya letus tanpa batasnya, tapi di saat yang sama kita juga merutuki keberadaannya yang tak juga membawa perubahan lebih baik, apalagi membawa masyarakat daerah itu menjadi sejahtera dan bahagia.

Berkarya bukanlah urusan manusia. Ia adalah bagiannya orang-orang kreatif: mereka yang merelakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memikirkan ide, memproduksi cerita, lalu bergerak—atau bahkan menggerakkan orang-orang—untuk memberi adinilai pada sumber daya lokalitas yang ada! Ingin menjadi bagiannya atau menyaksikan lokalitas itu mengonggok saja, itu pilihan dan urusan Anda sendiri …. ***

 

 

[1] Esai ini pernah dimuat di www.lakonhidup.com dalam dua bagian (Desember 2019 dan Februari 2020) untuk kemudian disampaikan pada Seminar Literasi Society 5.0. dengan subtopik “Cipta Karya Menuju Society 5.0.” yang diselenggarakan oleh TBM Citra Binar Rahma (Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Barat, 7 Februari 2020).

[2] Penulis sengaja menggunakan “Story” dan  tidak menggantinya dengan “Cerita”, selain demi alasan efek tekanan makna yang berbeda, secara arahan bahasa, “Story” bukan berarti “Cerita” semata, melainkan “Cerita yang Kuat”.

Comments
Loading...