education.art.culture.book&media

Keliling Asia, Memburu Cahaya

Ditengah membanjirnya buku-buku (tentang) perjalanan, penulis sejatinya dituntut pandai bersiasat untuk menuliskan segala-hal-berkaitan-dengan-tempat-tujuan dengan cara yang lain, cara yang menghadirkan nilai non-perjalanan yang hanya bisa ditemukan oleh penulis sendiri ketika bertualang. Memang, konten demikian berpotensi menjadikan buku bercitarasa sangat personal. Tapi tidakkah itu akan membuatnya menjadi “lain”. Lagi pula, memangnya masalah kalau hal-hal privat dilempar untuk publik? Mari berpikir lebih terbuka: Di era media sosial yang membuat kehidupan seperti kehilangan sekatnya ini, adakah yang lebih mahal dari privasi?

Kejadian dan pengalaman yang personal dan privat, bila dikemas dengan perspektif dan bahasa yang luwes, tentu akan melahirkan genuinity alias kekhasan—baik dalam peristiwa, maupun narasi. Artinya, banyak sekali buku-buku perjalanan yang sudah melakukannya—mengeksplorasi urusan personal dan privat, namun alih-alih menghasilkan kekhasan, malah membuat buku tersebut menjadi catatan harian yang hanya layak dikonsumsi penulisnya sendiri.

Menuntaskan Memburu Cahaya, Keliling Asia yang ditulis Tary Lestari, penulis dan pejalan, membuat pikiran saya merinci ulang, hal-hal apa saja yang membuat sebuah buku saya tekuni hingga tuntas—di mana saya yakin, salah satunya adalah karena di dalamnya, terdapat hal-hal, atau paling tidak nuansa khas, yang membangun isinya.

Ya, ketika hampir merampungkan buku terbitan Grasindo (Maret, 2017) ini, saya bersoliloqui; Apa yang saya cari? Selain ketertarikan terhadap perjalanan ke luar negeri, saya pun mengkritisi diri sendiri lebih dalam lagi: Apa yang ditawarkan Tary?

Hal yang membuat catatan perjalanan setebal 165 halaman ini langsung membetot urat ketertarikan saya sejak halaman-halaman awalnya adalah kesadaran Tary yang menetapkan tempat wajib-kunjung dalam itineary di sembilan negara Asia yang disinggahinya: masjid. Sebagai seorang muslim, pilihan tersebut seperti memberikan energi bawah sadar untuk terus menelisik buku ini, hingga selesai!

Detail demi detail dalam sejumlah momen yang diketengahkan Tary, dalam beberapa bagian, mampu menciptakan kesubtilan yang emosional atau sebaliknya, seperti cerita ia dan teman-temannya yang dikejar tiga ekor anjing karena mereka kesasar ketika mencari masjid di Macau, atau ketika pelajaran kecil yang hendak ia tularkan pada pembaca: jangan pernah mencari alamat di luar negeri dalam keadaan lapar—yang lahir dari pengalaman bepergiannya di China dan Jepang yang kelelahan wara-wiri ke sana-kemari mencari kantor dan penginapan yang letaknya sangat dekat dari tempat mereka memulai pencarian. Dalam keadaan lapar dan lelah, Google Maps kehilangan kesaktiannya. Bagian-bagian “remeh” di atas sejatinya penting bagi pembaca untuk merasakan citarasa privatnya.

Sebagaimana label “travel-diary” di sampul muka, pembaca memang diajak Tary larut dalam perjalanan-perjalanan yang diceritakan dengan tandas, apa adanya, nirtendens. Kadang, cerita yang diketengahkan tidak memberi apa-apa, selain narasi yang berisikan nama-nama tempat, sejarah, dan atmosfer Asia. Meskipun begitu, sebagai pembaca, saya merasa dimanusiawikan dengan bagian-bagian yang demikian. Hidup tidak selalu logis, penuh twist, atau berurusan dengan hal-hal besar, ‘kan? Buku yang baik, menurut saya, tidak mesti dan tidak melulu berisi “daging-daging” sebab “daging” baru akan “terpampang” sebagai “daging” bila ada lemak dan tulang.

Hal yang patut disayangkan dari buku ini adalah sesuatu yang mulanya menjadi alasan kuat bagi saya untuk menuntas-bacakannya. Ya, masjid. Masjid yang Tary metaforkan dengan “Cahaya”, dari cerita ke cerita, justru tampil kedodoran, sekadar tempelan. Seakan-akan, masjid adalah anak kandung yang, seiring waktu, kehilangan daya tariknya, sehingga tidak lagi mendapatkan perhatian memadai dari orangtuanya. Di tengah kelindan cerita perjalanannya, masjid adalah anak kandung yang diurus setengah hati. Yang kehilangan magnet dan keseksiannya. Yang menjadi anak tiri!

Memang tidak ada larangan menjadikan “Cahaya” sebagai komoditas (baca: daya tarik), namun ketika masjid tak lebih sekadar lokus, subsetting sebuah subcerita, ruh tulisannya pun melayang. Bahkan kehadirannya menjelma semacam benang-yang-ditemukan-kemudian, setelah semua kisah lunas dituliskan, ketika semua kisah “diharuskan” memiliki sebuah persinggungan.

Celah itu, untungnya, menjadi samar karena cara penulisan Tary yang prosaik, sehingga tiap tulisan mengalir sesuai takaran.

Namun, kesesuai-takaran ini pun sejatinya adalah pisau bermata dua. Ia menjelma kekuatan yang akan mengikat pembaca sebab seperti ada alur yang sengaja dibuat penulis, namun di sisi lain, karena ditulis dengan kesadaran penuh bahwa ini bukan karya prosa, tiap tulisan menghadirkan emosi yang tidak tertata dan tanggung. Meskipun begitu, hal terakhir ini tidak bisa dikategorikan secara mutlak sebagai “kekurangan”, sebagaimana hal pertama tidak saklek dinamai “kelebihan”, sebab Tary relatif lihai memilah ingatan-ingatan perjalanannya untuk meramaikan cerita.

Beragamnya kesan yang muncul dalam pembacaan “travel-diary” ini, tak pelak menciptakan pengalaman memahami penulis dan kisahnya dengan cara yang asyik dan mengusik. Ini adalah sehimpun catatan perjalanan yang bercerita dengan realis(tis) tanpa harus repot-repot mengelabui pembacanya dengan menyulapnya menjadi “novel perjalanan” atau sejenisnya.

 

BENNY ARNAS, Penulis dan pejalan.

Hp. 081373534051 | No. Rek. BCA 0570438689

80%
Awesome
  • Design
Comments
Loading...